Kereta api tujuan Bandung bergerak meninggalkan ibukota negeri ini, membawa diri dan hati yang berat secara terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya.
Satu hari Rachel memutuskan menginap di hotel, sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah rumah sederhana di sebuah kompleks perumahan.
“Kamu sendiri ya, Nduk? Suaminya mana? Apa kamu masih gadis?” Si pemilik rumah bertanya, saat Rachel mendatanginya seorang diri.
“S-saya janda Bu!” Tergagap, Rachel menjawab pertanyaan yang tak disangka-sangka ini.
“Oalaaah, janda. Cantik-cantik kok janda?” ujarnya tidak menyangka. Kemudian, matanya menelisik ke satu arah dan mendekat kemudian berbisik, “Awas loh, hati-hati. Pak RT di sini terkenal ganjen, apalagi sama janda yang masih seger gini!” goda si ibu ini sambil mengecek ponselnya.
Uang sebesar 95 juta sebagai harga pembelian rumah itu telah dikirimkan Rachel pada ibu itu.
Setelah selesai urusan jual beli rumah, tanpa bertele-tele, si pemilik rumah ini pun berikan sertifikat dan kunci berikut duplikatnya. Lalu dengan semringah dia meninggalkan Rachel.
Setelah sendirian di rumah barunya, Rachel kembali termenung. Dia masih tidak menyangka jika inilah keputusan yang harus dijalani. Sendirian, merantau dengan semua beban yang harus dia pikul sendiri.
‘Nggak apa-apa sekarang sendiri dulu, Rachel! Nanti kalau semua sudah lebih baik, kamu bisa ajak Ibu ke sini!’ ujarnya dalam hati, mencoba membakar semangat.
Setelahnya, Rachel memutuskan untuk merapikan barang-barang yang dia bawa. Pikirannya sudah melupakan pria-pria di masa lalu, dan mulai fokus pada hidupnya juga sang bayi saja.
Selesai dengan pekerjaan rumah, tak membuang waktu Rachel pun menuju kampus barunya guna mendaftar ulang. Syukurlah, berkat uang bekal terakhirnya, semua berjalan mulus.
Dan yang terakhir, sebagai warga baru tentu saja Rachel berkewajiban melapor pada Pak RT. Berulang kali Pak RT melihat wajahnya dan KTP-nya secara bergantian.
“Status di KTP-nya masih belum nikah, Neng. Beneran sudah janda?” Pak RT bertanya.
Meski sedikit kaget dengan pertanyaan tersebut, Rachel berusaha tetap tenang, sebab semua hal sudah dia persiapkan jawabannya. “Kami hanya menikah sebentar, belum sempat buat KTP baru dan langsung cerai, Pak.”
Pak RT menggelengkan kepala. “Sayang sekali, cantik dan muda gini sudah dicerai.” Kendati demikian, Pak RT menerima laporan tersebut dan bergegas mengembalikan KTP Rachel usai mencatatnya. “Kenapa cerainya Neng, kalau boleh tau? Selingkuh? Apa dijadiin istri kedua?”
Andai saja Rachel tak ingat dia berhadapan dengan orang tua, juga orang yang dipandang di kampung ini, mungkin kalimat makian sudah dia keluarkan sedari tadi.
Rachel tahu, pandangan Pak RT sedari tadi terus menatap lekat pada tubuhnya. Untungnya, karena sudah diwanti-wanti oleh ibu pemilik rumah tadi, dia memakai pakaian yang longgar.
“Maaf ya, Pak RT, saya tidak bisa lama-lama. Kepala saya pusing, maklum … sedang hamil muda.”
“Ha-hamil?” Mata Pak RT langsung memelotot, dan refleks mengarah ke perut Rachel yang memang belum terlihat membuncit.
Kemudian, Rachel pamit segera diiringi tatapan sinis dari Bu RT yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan. Dari sanalah kemudian kabar kehamilan Rachel menyebar.
Status Rachel yang janda muda, yang dicerai meski tengah hamil muda langsung jadi perbincangan hangat se-komplek.
“Ah, paling dia dicerai juga karena nakal! Lihat aja, kalau nggak nakal–main serong, mana mungkin suaminya ceraikan dia saat dia hamil muda?”
“Eh, iya, Bu. Saya nggak kepikiran. Jangan-jangan dia yang selingkuh … makanya dicerai sama suaminya meski lagi hamil.”
”Ih, kalau saya sih mikirnya dia emang nggak punya suami, Bu. Alias ngaku-ngaku janda.” Kompor terbesar datang dari Bu RT yang sempat bertemu langsung dengan Rachel tempo hari. “Pokoknya, kita jagain suami-suami kita. Jangan sampe kena goda dia!”
Gosip itu sangat riuh, sampai terdengar ke telinga Rachel sendiri. Namun, dia memilih untuk menulikan telinga. Meski hatinya sakit dicap sebagai gadis nakal dan calon perebut suami orang, toh dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Inilah risiko yang harus dia terima.
Gosip memang hanya santer di bulan-bulan pertama. Tetapi tak juga hilang kendati perutnya telah membuncit dan kehamilannya masuk trimester kedua, 7 bulan.
Satu yang Rachel syukuri dari kehamilannya ini adalah … anaknya yang cenderung pengertian. Meski pertumbuhannya yang pesat membuat punggung Rachel terasa begitu pegal dan sakit, tetapi janinnya tak pernah rewel.
Wanita itu tidak pernah mual-mual berlebihan. Badannya selalu bugar, segar hingga bisa menjalankan kuliahnya dengan lancar. Bahkan, dosen-dosen memuji Rachel sebab meski berbadan dua, dia selalu bersemangat dan jadi yang paling aktif di kelas.
Bulan cepat berlalu, hingga kini usia kandungan Rachel sudah menyentuh bulan ke sembilan. Tidur malamnya sudah tak pernah nyenyak. Kram kaki, posisi yang tak nyaman miring kiri atau kanan, juga sering berkemih sudah sering dia alami akhir-akhir ini.
Hingga suatu malam, di saat hujan deras … Rachel merasakan perutnya berkontraksi. Rasa sakit yang semakin kuat, juga dengan intensitas sering membuat dia berkeyakinan jika inilah waktunya dia melahirkan si jabang bayi.
Detik-detik Rachel akan melahirkan dan menjadi seorang ibu … detik itu juga dia mengingat seluruh dosa dan pengorbanan sang ibu.
“Ibu, maafkan Rachel.” Dia berujar lirih dengan air mata.
*****
BERSAMBUNG
Halo, semua. Saya memperbarui bab 7. Untuk membuat revisinya terlihat, kalian bisa log out dan clear cache dulu, ya. Bab 8 OTW dirapikan juga.
1,5 Tahun kemudian….Hari ini kepala Rachel mumet tak terkira. Sejak pagi, Gibran anaknya lebih rewel dari biasanya. Tubuh bocah tersebut tak demam, tak juga terlihat popoknya penuh, atau lapar. Rachel pusing, sebab dia kini sedang dikejar deadline menyelesaikan skripsinya.“Gibran, sebenarnya kamu kenapa sih, Nak?” Rachel menggendong dan menepuk-nepuk lembut punggung sang anak, tapi Gibran tetap tak berhenti menangis“Atitt…atitttt!” Jari mungil Gibran menunjuk ke wajahnya, Rachel paksa membuka mulut anaknya, terlihat tanda merah, seperti sariawan.Tak tega sang anak terus merengek, Rachel pun akhirnya bergegas menuju ke sebuah klinik anak dengan motornya. Tiba di klinik, gestur panik wanita satu anak itu sungguh terlihat. Sebab, tubuh Gibran yang semula adem itu mulai naik suhunya. Kedatangannya di klinik itu pun mencuri perhatian pengunjung.Bahkan, tanpa Rachel sadari, ada mata seorang pria tampan setengah tua tengah memandangnya. Rachel duduk menunggu antrean untuk memeriksak
Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?”
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn
Awalnya, bocah berusia 2 tahun itu bingung mendengar sebutan Papa yang keluar dari bibir Tommy. Namun, karena kediaman Rachel, juga Tommy yang terus mendekatinya … Gibran pun luluh.“Ini,” ujar bocah itu sembari memberikan mainan berupa mobil-mobilan sport.“Kamu suka mobil ini?” Tommy bertanya dengan suara lembut. Gibran mengangguk dengan wajah semringah. “Papa punya mobil ini. Kamu mau naik?” Gibran langsung melonjak kegirangan seraya bertepuk tangan. “Yeay! Aku mau! Aku mau!” katanya berulang kali.Seketika, Rachel mengerjap, kaget. Ini pertama kalinya dia melihat Gibran sebahagia itu dengan seorang pria. Terlebih, pria itu termasuk asing–baru ditemuinya.Sejenak, wanita itu terlena melihat pemandangan hangat yang tersaji di hadapannya. Sosok Tommy yang angkuh, seketika berubah lembut kala di depan Gibran. Pria itu juga terlihat begitu sabar menyahuti segala celoteh bocah kecil itu yang serba ingin tahu. Namun, ketika tangan mungil itu menjabat tangan Tommy dan mereka bersiap kel
Sesaat Rachel membeku, menikah? Bagaimana bisa?Bagi Rachel, dia hanya ingin menikah dengan pria yang dia cinta. Namun pada Tommy, meski pikirannya sudah beberapa kali mengkhianati, dia sadar kalau itu hanyalah kekaguman semata. Rachel mengempaskan tangannya dari tangan Tommy, lalu berlari ke dalam rumah. Dia mengurung diri di kamar dengan perasaan bergejolak di hatinya.Sebenarnya, sedikit sudut hati Rachel ingin berkata ya. Hanya saja, sebagian besar dirinya yang lain menolak, karena takut dianggap wanita murahan yang begitu mudah ditaklukkan.“Papa, kenapa mama lali, Papa nakal ya..?” suara Gibran memecah lamunan Tommy.Netra Tommy yang semula tidak putus menatap arah Rachel pergi, kini menatap sang putra yang berdiri mendongak di hadapan.Tommy membelai wajah Gibran. “Tidak sayang, Papa tak nakal. Mama kamu hanya marah, soalnya Papa jarang ke sini!” siasat jitu mulai Tommy lancarkan pada Gibran.“Kenapa?” dengan wajah lugunya, Gibran menatap wajah ayah kandungnya ini.“Papah sibu
Sesampainya di Jakarta, Rachel langsung fokus bekerja, sementara Tommy entah pergi ke mana. Mata Rachel sungguh berbinar bahagia kala melihat nominal kontrak yang disodorkan padanya sebagai brand ambassador produk kecantikan ini.Namun, tangan Rachel yang sudah siap menandatangani perjanjian itu mendadak berhenti bergerak, dan melayang di udara. Hal itu terjadi saat dia melihat owner produk–Tante Willy bangkit guna menyambut seorang tamu pria bertubuh besar. “Halo Om. Wah, tumben nih berkunjung ke sini?!” Tante Willy ini terlihat begitu akrab, bahkan bercipika cipiki dengan pria tersebut.“Rachel ini kenalkan Om Olly, beliau ini pemilik saham mayoritas perusahaan saya. Suatu kehormatan beliau mau datang ke kantor hari ini.” Tante Willy tidak melihat perubahan wajah Rachel yang memucat setelahnya. “Om, ini loh calon brand ambassador kita, Rachel. Dia ini hebat, Om, sebab dalam sebulan penjualannya luar biasa!” dengan mulut berbusa-busa sang owner ini sebutkan prestasi Rachel ke pria
Tommy menatap bengis wajah kuyu Rachel usai dia berhasil membawa wanita itu keluar dari pub. Kini, mereka ada di sebuah restoran, sebab Tommy menuntut penjelasan.“Kalau kamu mau menerima tawaranku tempo hari, kamu mungkin sudah enak-enakan tidur di rumah bersama Gibran dan menjadi wanita terhormat sebagai nyonya Harnady, Rachel!” Rahang pria itu mengetat. “Setan pun akan mikir 100X untuk ganggu kamu, apalagi cuman si tambun itu!”Intonasi suara Tommy sangat mengintimidasi Rachel. Namun, Rachel yang tidak terima disalahkan itu justru tersinggung.Dia menolak tawaran pernikahan itu, merupakan haknya. Lain hal dengan tadi … Rachel berteriak minta tolong pada Tommy. Bukankah pria itu berkewajiban menolongnya sebagai korban?“Sudah cukup ceramahnya, sekarang antarkan aku balik ke hotel, Om.”Rahang Tommy mengetat. Dia kehabisan kata-kata, melihat kepala batunya Rachel yang tak mau tunduk dengannya.“Aku bukan sopir kamu.” Keangkuhan Tommy pun timbul lagi. Ego lelakinya tersentil karena be