Home / Romansa / Istriku Teman Anakku / Bab 8: Tommy si Pria Angkuh

Share

Bab 8: Tommy si Pria Angkuh

Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.

Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!

Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.

“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.

Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.

Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. 

Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.

“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?” gumam Rachel sambil menatap Gibran yang asik main sepeda roda 3-nya keliling rumah mungil ini.

Sampai akhirnya jelang wisuda, Tommy benar-benar tak pernah bertandang lagi ke rumahnya.

Namun, celetukan Bu Rahmi yang tak sengaja keluar di depan ibu-ibu kompleks perihal Rachel dan sosok pria yang merupakan ayah Gibran itu kembali membuatnya jadi omongan. 

Gosip itu bagai bola api liar, sebab rasa penasaran ibu-ibu lain tentang sosok ayahnya Gibran yang diceritakan Bu Rahmi sebagai orang kaya, tampan, tetapi angkuh. 

Tapi Rachel menulikan telinga terhadap gunjingan itu. Seberapa riuh pun ia dibicarakan, hal itu tak akan mempengaruhinya. Sayangnya, Rachel melupakan sesuatu.

Tepat saat ia akan diwisuda, Ibu Rachel tiba-tiba datang dari Jakarta.

“J-adi… ini penyebabnya kamu kabur dari Jakarta?” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca kala malihat sosok bocah tengah tertidur di ranjangnya. “Ya Tuhan Rachel! Kenapa kamu merahasiakan ini dari Ibu?!”

Rasa bangga karena anaknya sebentar lagi jadi sarjana, bak debu terkena air hujan, hilang tak berbekas.

Sambil berurai air mata, Rachel sampai bersujud di kaki ibunya yang syok mendengar kisah putri cantiknya ini. Tentang jati diri Gibran, cucu yang telah ia kandung sejak ia memutuskan hengkang dari Jakarta. 

“Ampuni Rachel, Bu. Rachel…gelap mata,” suara Rachel terbata-bata bercerita.

“Siapa laki-laki tak bertanggung jawab itu Rachel? Apakah mantan kekasihmu yang kurang ajar itu atau….”

Wajah Bu Sumi yang mulai keriput mengeras. Ia bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

“B-bukan bu…” Rachel bingung bukan main. Apakah aku harus terbuka, atau menambah dosa lagi dengan berbohong, pikir Rachel benar-benar pusing.

“Kamu jangan bikin ibu tambah syok! Sebutkan siapa lelaki itu dan kenapa dia tak mau bertanggung jawab!” bentak bu Sumi dengan pandangan marah campur kesal.

“Bu…Rachel akan cerita. Tapi–” 

“Siapa dia, Rachel!” Bu Sumi mendorong tubuh Rachel yang tengah memeluk kakinya. Wanita tua itu tak ingin menunda untuk mengetahui pria mana yang telah membuat sang putri membuat keputusan seberani ini.

“Di-dia adalah T-Tommy Harnady…!” dengan terisak Rachel akhirnya mengaku juga.

“Siapa pria itu dan di mana dia berada?!” wajah Bu Sumi terus menatap tajam kepada Rachel yang masih menunduk.

“Bukan pria itu yang salah, Bu. I-ini murni kesalahan Rachel.”

“Kamu bahkan masih membela dia?” tuding ibunya lagi. “Kalau dia memang tidak merasa salah, kenapa dia tidak ada di sini? Kenapa kamu melarikan diri, dan memutuskan merahasiakan ini dari Ibu?!”

Suara Bu Sumi masih meninggi, dia melempar tasnya ke lantai seiring dengan tubuhnya yang meluruh di atas sofa. Kepalanya benar-benar berdenyut hebat kala mengetahui fakta pahit dibalik kepergian Rachel nyaris 2 tahun yang lalu.

Saat kondisi dua wanita itu tengah dalam posisi canggung, saat itulah sosok mungil Gibran berlari.

“Nenek…nenekk…!” 

Tiba-tiba saja, Gibran menarik tangan Sumi, seolah mengajaknya bermain. Rachel yang sedari tadi menunduk pun menatap pemandangan mengharukan itu.

Melihat wajah Sumi yang mulai mengeras, ia pun tak tinggal diam. “Gibran mau ajak Nenek main?” ujarnya, menggunakan Gibran untuk meluluhkan kemarahan ibunya.

Pelan-pelan hati Bu Sumi akhirnya luluh. Bagaimana pun, darah lebih kental dari apa pun. Meski mereka tak pernah bertemu … tetapi ikatan batin itu telah terangkai dengan sendirinya.

**

Masalah ibunya, juga perkuliahannya telah Rachel lewati. Namun, ada hal lain yang kembali mengganggunya.

Fokus berkuliah, juga membesarkan Gibran, membuat Rachel hanya bisa mengandalkan uang pemberian Tommy. Yang sayangnya … semakin hari semakin menipis.

“Aku harus cari pekerjaan!”

Dia pun bertekad untuk mencari pekerjaan, untuk menyambung hidup kembali. Kali ini, pikiran Rachel sedikit tenang sebab hadirnya Sumi di rumahnya.

Wanita tua yang semula marah dan ingin langsung kembali ke Jakarta itu pada akhirnya memutuskan untuk tetap berada di Bandung, atas nama cucunya. 

Sudah 20 kantor yang dia masuki, bukannya dapat kerja, tapi hanya godaan dan rayuan Rachel terima.

Mereka hanya menilai Rachel dari segi fisiknya saja. Mereka tak ragu memuji bagaimana cantik dan moleknya Rachel. 

Hanya saja, ketika mereka tahu status Rachel yang merupakan ibu tunggal dari seorang bocah, mereka ramai-ramai menarik kembali penilaian mereka. 

“Ehm, maaf. Tapi, di sini kami hanya menerima wanita yang masih gadis dan belum pernah melahirkan!”

Yang lebih parah, ada oknum dari satu perusahaan yang memandangnya rendah. “Dengan tubuhmu yang bagus, wajah yang cantik … sayang sekali kalau kamu hanya melamar sebagai karyawan biasa.” Pria itu menatap bak menelanjangi Rachel seutuhnya. “Aku bisa orbitkan kamu jadi bintang, dengan satu syarat … temani aku karaoke.”

Tentu saja Rachel menolak dengan lantang. Dia tak ingin lagi terjerembab dalam kubangan dosa yang sama. 

Rachel hampir putus asa. Tapi saat memandang wajah Gibran yang polos dan melihat tingkahnya yang makin hari makin menggemaskan … semangatnya kembali berkobar. 

Keberadaan ibunya yang tak lelah menasehati–meski masih dengan nada ketus, pun ia syukuri. Sebab, kali ini ia tak berjuang sendiri lagi seperti 2 tahun lalu. 

Lama kelamaan, rasa kasihan Sumi pun muncul saat melihat raut lelah dan putus asa Rachel yang belum juga dapat kerjaan. Nilai akademik yang bagus, juga kemampuan yang mumpuni nyatanya tak cukup untuk menjadikan putrinya mudah mendapatkan karier yang cemerlang. 

“Sudahlah… daripada kamu melamar ke sana kemari, mending kamu pikirkan buka usaha.” Pada akhirnya, ide itulah yang membuat raut lelah Rachel kembali terlihat cerah. “Manfaatkan dunia digital, pasarkan produkmu melalui online.” 

Rachel pun tersenyum sendiri.

‘Benar juga! Kenapa tidak terpikirkan olehku?’

mrd_bb

Ini bab 8 versi baru. Bisa clear cache dulu kalau yang muncul masih versi lama, ya.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status