Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.
Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!
Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.
“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.
Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.
Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar.
Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.
“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?” gumam Rachel sambil menatap Gibran yang asik main sepeda roda 3-nya keliling rumah mungil ini.
Sampai akhirnya jelang wisuda, Tommy benar-benar tak pernah bertandang lagi ke rumahnya.
Namun, celetukan Bu Rahmi yang tak sengaja keluar di depan ibu-ibu kompleks perihal Rachel dan sosok pria yang merupakan ayah Gibran itu kembali membuatnya jadi omongan.
Gosip itu bagai bola api liar, sebab rasa penasaran ibu-ibu lain tentang sosok ayahnya Gibran yang diceritakan Bu Rahmi sebagai orang kaya, tampan, tetapi angkuh.
Tapi Rachel menulikan telinga terhadap gunjingan itu. Seberapa riuh pun ia dibicarakan, hal itu tak akan mempengaruhinya. Sayangnya, Rachel melupakan sesuatu.
Tepat saat ia akan diwisuda, Ibu Rachel tiba-tiba datang dari Jakarta.
“J-adi… ini penyebabnya kamu kabur dari Jakarta?” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca kala malihat sosok bocah tengah tertidur di ranjangnya. “Ya Tuhan Rachel! Kenapa kamu merahasiakan ini dari Ibu?!”
Rasa bangga karena anaknya sebentar lagi jadi sarjana, bak debu terkena air hujan, hilang tak berbekas.
Sambil berurai air mata, Rachel sampai bersujud di kaki ibunya yang syok mendengar kisah putri cantiknya ini. Tentang jati diri Gibran, cucu yang telah ia kandung sejak ia memutuskan hengkang dari Jakarta.
“Ampuni Rachel, Bu. Rachel…gelap mata,” suara Rachel terbata-bata bercerita.
“Siapa laki-laki tak bertanggung jawab itu Rachel? Apakah mantan kekasihmu yang kurang ajar itu atau….”
Wajah Bu Sumi yang mulai keriput mengeras. Ia bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“B-bukan bu…” Rachel bingung bukan main. Apakah aku harus terbuka, atau menambah dosa lagi dengan berbohong, pikir Rachel benar-benar pusing.
“Kamu jangan bikin ibu tambah syok! Sebutkan siapa lelaki itu dan kenapa dia tak mau bertanggung jawab!” bentak bu Sumi dengan pandangan marah campur kesal.
“Bu…Rachel akan cerita. Tapi–”
“Siapa dia, Rachel!” Bu Sumi mendorong tubuh Rachel yang tengah memeluk kakinya. Wanita tua itu tak ingin menunda untuk mengetahui pria mana yang telah membuat sang putri membuat keputusan seberani ini.
“Di-dia adalah T-Tommy Harnady…!” dengan terisak Rachel akhirnya mengaku juga.
“Siapa pria itu dan di mana dia berada?!” wajah Bu Sumi terus menatap tajam kepada Rachel yang masih menunduk.
“Bukan pria itu yang salah, Bu. I-ini murni kesalahan Rachel.”
“Kamu bahkan masih membela dia?” tuding ibunya lagi. “Kalau dia memang tidak merasa salah, kenapa dia tidak ada di sini? Kenapa kamu melarikan diri, dan memutuskan merahasiakan ini dari Ibu?!”
Suara Bu Sumi masih meninggi, dia melempar tasnya ke lantai seiring dengan tubuhnya yang meluruh di atas sofa. Kepalanya benar-benar berdenyut hebat kala mengetahui fakta pahit dibalik kepergian Rachel nyaris 2 tahun yang lalu.
Saat kondisi dua wanita itu tengah dalam posisi canggung, saat itulah sosok mungil Gibran berlari.
“Nenek…nenekk…!”
Tiba-tiba saja, Gibran menarik tangan Sumi, seolah mengajaknya bermain. Rachel yang sedari tadi menunduk pun menatap pemandangan mengharukan itu.
Melihat wajah Sumi yang mulai mengeras, ia pun tak tinggal diam. “Gibran mau ajak Nenek main?” ujarnya, menggunakan Gibran untuk meluluhkan kemarahan ibunya.
Pelan-pelan hati Bu Sumi akhirnya luluh. Bagaimana pun, darah lebih kental dari apa pun. Meski mereka tak pernah bertemu … tetapi ikatan batin itu telah terangkai dengan sendirinya.
**
Masalah ibunya, juga perkuliahannya telah Rachel lewati. Namun, ada hal lain yang kembali mengganggunya.
Fokus berkuliah, juga membesarkan Gibran, membuat Rachel hanya bisa mengandalkan uang pemberian Tommy. Yang sayangnya … semakin hari semakin menipis.
“Aku harus cari pekerjaan!”
Dia pun bertekad untuk mencari pekerjaan, untuk menyambung hidup kembali. Kali ini, pikiran Rachel sedikit tenang sebab hadirnya Sumi di rumahnya.
Wanita tua yang semula marah dan ingin langsung kembali ke Jakarta itu pada akhirnya memutuskan untuk tetap berada di Bandung, atas nama cucunya.
Sudah 20 kantor yang dia masuki, bukannya dapat kerja, tapi hanya godaan dan rayuan Rachel terima.
Mereka hanya menilai Rachel dari segi fisiknya saja. Mereka tak ragu memuji bagaimana cantik dan moleknya Rachel.
Hanya saja, ketika mereka tahu status Rachel yang merupakan ibu tunggal dari seorang bocah, mereka ramai-ramai menarik kembali penilaian mereka.
“Ehm, maaf. Tapi, di sini kami hanya menerima wanita yang masih gadis dan belum pernah melahirkan!”
Yang lebih parah, ada oknum dari satu perusahaan yang memandangnya rendah. “Dengan tubuhmu yang bagus, wajah yang cantik … sayang sekali kalau kamu hanya melamar sebagai karyawan biasa.” Pria itu menatap bak menelanjangi Rachel seutuhnya. “Aku bisa orbitkan kamu jadi bintang, dengan satu syarat … temani aku karaoke.”
Tentu saja Rachel menolak dengan lantang. Dia tak ingin lagi terjerembab dalam kubangan dosa yang sama.
Rachel hampir putus asa. Tapi saat memandang wajah Gibran yang polos dan melihat tingkahnya yang makin hari makin menggemaskan … semangatnya kembali berkobar.
Keberadaan ibunya yang tak lelah menasehati–meski masih dengan nada ketus, pun ia syukuri. Sebab, kali ini ia tak berjuang sendiri lagi seperti 2 tahun lalu.
Lama kelamaan, rasa kasihan Sumi pun muncul saat melihat raut lelah dan putus asa Rachel yang belum juga dapat kerjaan. Nilai akademik yang bagus, juga kemampuan yang mumpuni nyatanya tak cukup untuk menjadikan putrinya mudah mendapatkan karier yang cemerlang.
“Sudahlah… daripada kamu melamar ke sana kemari, mending kamu pikirkan buka usaha.” Pada akhirnya, ide itulah yang membuat raut lelah Rachel kembali terlihat cerah. “Manfaatkan dunia digital, pasarkan produkmu melalui online.”
Rachel pun tersenyum sendiri.
‘Benar juga! Kenapa tidak terpikirkan olehku?’
Ini bab 8 versi baru. Bisa clear cache dulu kalau yang muncul masih versi lama, ya.
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn
Awalnya, bocah berusia 2 tahun itu bingung mendengar sebutan Papa yang keluar dari bibir Tommy. Namun, karena kediaman Rachel, juga Tommy yang terus mendekatinya … Gibran pun luluh.“Ini,” ujar bocah itu sembari memberikan mainan berupa mobil-mobilan sport.“Kamu suka mobil ini?” Tommy bertanya dengan suara lembut. Gibran mengangguk dengan wajah semringah. “Papa punya mobil ini. Kamu mau naik?” Gibran langsung melonjak kegirangan seraya bertepuk tangan. “Yeay! Aku mau! Aku mau!” katanya berulang kali.Seketika, Rachel mengerjap, kaget. Ini pertama kalinya dia melihat Gibran sebahagia itu dengan seorang pria. Terlebih, pria itu termasuk asing–baru ditemuinya.Sejenak, wanita itu terlena melihat pemandangan hangat yang tersaji di hadapannya. Sosok Tommy yang angkuh, seketika berubah lembut kala di depan Gibran. Pria itu juga terlihat begitu sabar menyahuti segala celoteh bocah kecil itu yang serba ingin tahu. Namun, ketika tangan mungil itu menjabat tangan Tommy dan mereka bersiap kel
Sesaat Rachel membeku, menikah? Bagaimana bisa?Bagi Rachel, dia hanya ingin menikah dengan pria yang dia cinta. Namun pada Tommy, meski pikirannya sudah beberapa kali mengkhianati, dia sadar kalau itu hanyalah kekaguman semata. Rachel mengempaskan tangannya dari tangan Tommy, lalu berlari ke dalam rumah. Dia mengurung diri di kamar dengan perasaan bergejolak di hatinya.Sebenarnya, sedikit sudut hati Rachel ingin berkata ya. Hanya saja, sebagian besar dirinya yang lain menolak, karena takut dianggap wanita murahan yang begitu mudah ditaklukkan.“Papa, kenapa mama lali, Papa nakal ya..?” suara Gibran memecah lamunan Tommy.Netra Tommy yang semula tidak putus menatap arah Rachel pergi, kini menatap sang putra yang berdiri mendongak di hadapan.Tommy membelai wajah Gibran. “Tidak sayang, Papa tak nakal. Mama kamu hanya marah, soalnya Papa jarang ke sini!” siasat jitu mulai Tommy lancarkan pada Gibran.“Kenapa?” dengan wajah lugunya, Gibran menatap wajah ayah kandungnya ini.“Papah sibu
Sesampainya di Jakarta, Rachel langsung fokus bekerja, sementara Tommy entah pergi ke mana. Mata Rachel sungguh berbinar bahagia kala melihat nominal kontrak yang disodorkan padanya sebagai brand ambassador produk kecantikan ini.Namun, tangan Rachel yang sudah siap menandatangani perjanjian itu mendadak berhenti bergerak, dan melayang di udara. Hal itu terjadi saat dia melihat owner produk–Tante Willy bangkit guna menyambut seorang tamu pria bertubuh besar. “Halo Om. Wah, tumben nih berkunjung ke sini?!” Tante Willy ini terlihat begitu akrab, bahkan bercipika cipiki dengan pria tersebut.“Rachel ini kenalkan Om Olly, beliau ini pemilik saham mayoritas perusahaan saya. Suatu kehormatan beliau mau datang ke kantor hari ini.” Tante Willy tidak melihat perubahan wajah Rachel yang memucat setelahnya. “Om, ini loh calon brand ambassador kita, Rachel. Dia ini hebat, Om, sebab dalam sebulan penjualannya luar biasa!” dengan mulut berbusa-busa sang owner ini sebutkan prestasi Rachel ke pria
Tommy menatap bengis wajah kuyu Rachel usai dia berhasil membawa wanita itu keluar dari pub. Kini, mereka ada di sebuah restoran, sebab Tommy menuntut penjelasan.“Kalau kamu mau menerima tawaranku tempo hari, kamu mungkin sudah enak-enakan tidur di rumah bersama Gibran dan menjadi wanita terhormat sebagai nyonya Harnady, Rachel!” Rahang pria itu mengetat. “Setan pun akan mikir 100X untuk ganggu kamu, apalagi cuman si tambun itu!”Intonasi suara Tommy sangat mengintimidasi Rachel. Namun, Rachel yang tidak terima disalahkan itu justru tersinggung.Dia menolak tawaran pernikahan itu, merupakan haknya. Lain hal dengan tadi … Rachel berteriak minta tolong pada Tommy. Bukankah pria itu berkewajiban menolongnya sebagai korban?“Sudah cukup ceramahnya, sekarang antarkan aku balik ke hotel, Om.”Rahang Tommy mengetat. Dia kehabisan kata-kata, melihat kepala batunya Rachel yang tak mau tunduk dengannya.“Aku bukan sopir kamu.” Keangkuhan Tommy pun timbul lagi. Ego lelakinya tersentil karena be
“Aku tahu. Lepas tanganmu, ini berbahaya buat kita.” Akhirnya, pria itu bersuara setelah beberapa detik mencoba menenangkan degup jantungnya sendiri.Rachel refleks menarik mundur tangannya, dan meminta maaf. Seperti Tommy, dia pun tidak menyadari tindakannya barusan. Dan ketika dia sadar telah menyentuh lengan kekar pria itu, Rachel merasa ada kupu-kupu di perutnya yang menggelitik.“Tolong, antar aku ke hotel.”Sisa perjalanan itu akhirnya dihabiskan dengan keterdiaman mereka. Tommy dan Rachel sama-sama sibuk pada pikiran mereka masing-masing.Sesampainya di hotel, Rachel bermaksud langsung keluar dari mobil sport mewah itu usai mengucapkan terima kasih. Tapi lengan kanannya di tahan Tommy.“Rachel, mengenai tawaranku padamu–” “Maaf Om… Rachel belum ada niat menikah.”“Aku bisa menunggumu. Hanya saja, jangan terlalu lama.” Tommy bukan pria yang mudah menyerah. Hanya saja, tentu dengan perbedaan usia mereka yang cukup jauh … waktu adalah penghalang terberat mereka. Semakin lama Ra
“Heiii Rachel, kamu kenapa sih, aku lagi tanya kamunya malah termenung.” Tegur Gita sedikit sebel dengan sahabat dekatnya ini. Padahal otak Rachel justu kepikiran ke papa sahabatnya tersebut.“Ahh nggak kok, aku hanya mikiran kita nggak bisa lama ngobrol. Soalnya aku ada janji untuk pemotretan sebentar lagi!” Rachel langsung bikin alibi.“Oh yaa…waah kamu balik lagi jadi model yaaa…?” Gita masih ingat Rachel dulu pernah jadi model, tapi sayangnya nggak lanjut.Tak ingin bohongi sahabatnya, Rachel pun jujur kalau dia kini jadi brand ambassador perusahaan skin care milik Tante Willy.“Hmm…Tante Willy, orangnya cantik, putih kayak kamu, tinggi dan jalan suka angkat dagu dikit, bak model, itukah orangnya Rachel?”Rachel pun mengangguk. Gita tertawa kecil.“He-he…perusahaan dia itu bentar lagi akan jadi milik Harnady Group. Tadi papa nge-chat ke aku dan bilang borong semua saham perusahaan itu. Ahh si papa ini, perusahan mantan pacar di suruh borong. Moga ajah nggak CLBK, males banget puny