Beranda / Romansa / Istriku Teman Anakku / Bab 9: Si Tuan Angkuh Berubah

Share

Bab 9: Si Tuan Angkuh Berubah

‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’

Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. 

Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.

Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.

Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. 

Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.

“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mulut manisnya. “Kalau Neng Rachel mau, nanti si nenek lampir di rumah itu bakalan aku tendang, kucerai pokoknya biar Eneng jadi satu-satunya istri Abang!” 

Meski begitu kesal dan ingin melempar pria hidung belang itu dengan gas 3kg, Rachel akhirnya hanya bisa menolaknya dengan cara halus.

Pagi harinya … kegundahan Rachel seolah menghilang, mana kala pintu rumahnya diketuk intens oleh seseorang.

Begitu membuka, dahi wanita itu mengerut, melihat sosok pria yang beberapa bulan ini menghilang … kembali muncul di hadapannya meski dengan penampilan yang sangat berbeda. 

Tatapan pria itu masih angkuh, tapi tak lagi tajam. Mata yang biasanya memancarkan ketegasan itu seakan menyiratkan sebuah luka. Tampilannya yang biasanya perlente, jadi terlihat sedikit berantakan.

Rambut-rambut halus tumbuh di garis rahang, menandakan pria itu sudah lama tak merawat diri. 

Inilah Tommy Harnady, si lelaki angkuh, ayah kandung Gibran yang kemarin dipuja-puji sebagai pria tampan oleh ibu-ibu kompleknya!

‘Kenapa penampilannya jadi begini, apa yang terjadi..?’ batin Rachel sambil memperhatikan wajah pria yang selamanya tak bakal bisa dia lupakan.

Tanpa sepatah kata, pria itu langsung masuk dan duduk di ruang tamu Rachel.

Tak lama, teriakan mungil Gibran terdengar, membuat fokus Rachel yang semula ada pada kondisi Tommy yang seperti patung … sedikit terpencar.

“Mama, Giblan mau minum susu!” 

Rachel tersentak, dia buru-buru menahan langkah Gibran dan segera memberikan bocah itu pengertian. “Iya sayang, nanti mama belikan yaa! Gibran Makan dulu ya, Nenek kan, sudah masak untuk kita.”

“Mama bohong!” ujar Gibran dengan logat cadelnya. “Giblan udah mam banyak, tapi Mama belum belikan susu lagi!”

Hati ibu mana yang tak mencelos mendengar anaknya yang belum genap berusia 2 tahun begitu pintar mengupas kebohongannya.

Air mata Rachel sudah nyaris tumpah, tetapi tertahan karena melihat arah pandangan Gibran yang tertuju pada Tommy sekarang. 

“O-om, siapa?”

Rachel tak sadar, rupanya pria itu memperhatikan dia dan Gibran yang terus bertengkar persoalan susu.

“Sayang, Gibran masuk dulu, ya. Nanti Mama yang–”

Di luar dugaan, Tommy yang semula pandangannya datar itu pun kini terlihat berbinar menatap Gibran. Terlebih, pria itu langsung bangun dan mendekati anaknya secara dekat.

“Kamu mau susu?” tanya pria itu dengan nada lembut.

Kepala bocah itu pun langsung mengangguk dengan girang. Tawaran itu tak disia-siakannya, dengan langsung menyambut uluran tangan Tommy.

Rachel tentu tak tinggal diam. Dia langsung menarik tangan sang anak untuk menjauhkannya dari jangkauan Tommy.

“GIbran, jangan nakal! Kamu nggak dengar Mama ngomong apa?!!”

Kaget, bibir bocah itu pun seketika mencebik. Matanya berembun, sebab inilah kali pertama Rachel memarahinya begitu keras di depan orang.

Di hadapan Rachel yang masih mengatur napasnya karena marah, Tommy mengetatkan rahang. Namun, tak lama … sebab dia langsung melembutkan lagi raut wajahnya.

“Kamu tidak perlu memarahinya, Rachel. Aku yang menawarkannya.” Pria itu berkata dengan lembut, dengan tatapan memohon tertuju pada Rachel. “Dan … tolong, kali ini jangan usir aku. Aku hanya ingin bertemu anakku.”

Di tempatnya, Rachel terperanjat. Begitu pun Sumi yang tengah mengintip pertengkaran Gibran dan Rachel dari dapur.

Dia begitu kaget, sebab pria yang dilihatnya saat ini adalah ayah dari cucunya yang selama ini dicarinya. 

Namun, dasar Rachel kepala batu … dia pun menyangkal pengakuan Tommy dengan nada tak mau kalah. “Siapa bilang dia anak Om? Ini anakku!” 

Walaupun hatinya ingin katakan, ya, tapi keabsenan Tommy di masa lalu membuat dia ingin melampiaskan kekesalannya dengan berkata sebaliknya.

“Oke, ya. Dia memang anakmu. Tapi apa kamu lupa kalau dia juga darah dagingku?!” 

Sementara dua orang dewasa tengah berselisih paham, Gibran menjadi korban ketidaktahuan. Anak itu berdiri di antara dua kaki orang dewasa yang sama-sama mengklaim dirinya.

“PERGI!” usir Rachel dengan suara bergetar. Jarinya mengacung, menunjuk pintu rumahnya yang terbuka pada Tommy.

Lagi, Gibran tersentak. Dia yang begitu takut melihat ibunya marah pun langsung memeluk kaki Rachel dan menyembunyikan wajahnya di sana. 

“Kamu–” Namun, Tommy tak melanjutkan kalimatnya, sebab ia tak ingin menambah ketakutan di wajah Gibran. 

Untuk itu, dia mengurungkan niat untuk mendebat dan mengambil langkah untuk menuruti permintaan Rachel keluar dari rumahnya. 

Setelah itu, Rachel langsung mengunci rumahnya dan memeluk Gibran sambil menenangkan anaknya ini. Dia membawa Gibran ke dalam kamar, dan mengurung diri di sana berdua.

Melihat Gibran yang ketakutan, membuat Rachel sadar jika dia sudah bereaksi berlebihan.

“Maafin Mama ya, Nak. Bukan maksud Mama marahin Gibran. Mama cuma….”

**

Satu jam kemudian, pintu rumah Rachel kembali diketuk. 

Wanita itu telah bersiap untuk mengusir pria itu, dan tak akan membiarkan Gibran kembali melihat keributan di rumah ini. 

Dengan langkah kesal Rachel menuju ke pintu dan dengan kasar membukanya.

“Sudah kubilang–” Rachel langsung terdiam, karena yang datang bukan Tommy, tapi, Bu Rahmi.

“Rachel, kenapa kamu marah-marah, ada apa?” Bu Rahmi memandang penuh selidik.

Cepat, Rachel menormalkan ekspresinya. “E-eh, nggak apa-apa, Bu. Ngomong-ngomong, ada apa Ibu ke sini?”

“Saya tadi dengar kamu teriak-teriak, tapi nggak sempat langsung datang. Kamu … nggak apa-apa?” tanya Bu Rahmi lagi. 

Namun, mata Bu Rahmi tiba-tiba tertuju pada tumpukan 3 kotak paket di teras rumah Rachel.

“Ini bukannya susunya Gibran?” Tentu, Bu Rahmi yang juga dekat dengan anaknya itu tahu, jenis susu yang biasa dikonsumsinya. “Kamu baru beli susu?”

Rachel mengikuti arah pandang Bu Rahmi, dan terkejut saat mendapati Saat melihat tumpukan 3 kardus besar susu formula di teras rumahnya. “O-oh, i-ini…”

Tak sabar menunggu jawaban Rachel, Bu Rahmi pun bergegas mengecek sendiri paket tersebut. Di sana, tertulis pengirimnya dengan jelas. 

“Oh, jadi benar papanya Gibran habis dari sini, ya?” Bu Rahmi dengan wajah berseri-seri mencoba mengonfirmasi. 

Rachel tak menjawab, bingung melanda hatinya. Namun, dia buru-buru memasukkan tumpukan susu itu ke dalam rumah dan meninggalkan Bu Rahmi tanpa jawaban lebih lanjut. 

Penasaran Rachel pun mengambil surat itu dan langsung ke dalam membacanya.

“Susu dan cek ini buat Gibran. Dari papanya, Tommy Harnady!”

*****

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status