‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’
Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu.
Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.
Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.
Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta.
Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.
“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mulut manisnya. “Kalau Neng Rachel mau, nanti si nenek lampir di rumah itu bakalan aku tendang, kucerai pokoknya biar Eneng jadi satu-satunya istri Abang!”
Meski begitu kesal dan ingin melempar pria hidung belang itu dengan gas 3kg, Rachel akhirnya hanya bisa menolaknya dengan cara halus.
Pagi harinya … kegundahan Rachel seolah menghilang, mana kala pintu rumahnya diketuk intens oleh seseorang.
Begitu membuka, dahi wanita itu mengerut, melihat sosok pria yang beberapa bulan ini menghilang … kembali muncul di hadapannya meski dengan penampilan yang sangat berbeda.
Tatapan pria itu masih angkuh, tapi tak lagi tajam. Mata yang biasanya memancarkan ketegasan itu seakan menyiratkan sebuah luka. Tampilannya yang biasanya perlente, jadi terlihat sedikit berantakan.
Rambut-rambut halus tumbuh di garis rahang, menandakan pria itu sudah lama tak merawat diri.
Inilah Tommy Harnady, si lelaki angkuh, ayah kandung Gibran yang kemarin dipuja-puji sebagai pria tampan oleh ibu-ibu kompleknya!
‘Kenapa penampilannya jadi begini, apa yang terjadi..?’ batin Rachel sambil memperhatikan wajah pria yang selamanya tak bakal bisa dia lupakan.
Tanpa sepatah kata, pria itu langsung masuk dan duduk di ruang tamu Rachel.
Tak lama, teriakan mungil Gibran terdengar, membuat fokus Rachel yang semula ada pada kondisi Tommy yang seperti patung … sedikit terpencar.
“Mama, Giblan mau minum susu!”
Rachel tersentak, dia buru-buru menahan langkah Gibran dan segera memberikan bocah itu pengertian. “Iya sayang, nanti mama belikan yaa! Gibran Makan dulu ya, Nenek kan, sudah masak untuk kita.”
“Mama bohong!” ujar Gibran dengan logat cadelnya. “Giblan udah mam banyak, tapi Mama belum belikan susu lagi!”
Hati ibu mana yang tak mencelos mendengar anaknya yang belum genap berusia 2 tahun begitu pintar mengupas kebohongannya.
Air mata Rachel sudah nyaris tumpah, tetapi tertahan karena melihat arah pandangan Gibran yang tertuju pada Tommy sekarang.
“O-om, siapa?”
Rachel tak sadar, rupanya pria itu memperhatikan dia dan Gibran yang terus bertengkar persoalan susu.
“Sayang, Gibran masuk dulu, ya. Nanti Mama yang–”
Di luar dugaan, Tommy yang semula pandangannya datar itu pun kini terlihat berbinar menatap Gibran. Terlebih, pria itu langsung bangun dan mendekati anaknya secara dekat.
“Kamu mau susu?” tanya pria itu dengan nada lembut.
Kepala bocah itu pun langsung mengangguk dengan girang. Tawaran itu tak disia-siakannya, dengan langsung menyambut uluran tangan Tommy.
Rachel tentu tak tinggal diam. Dia langsung menarik tangan sang anak untuk menjauhkannya dari jangkauan Tommy.
“GIbran, jangan nakal! Kamu nggak dengar Mama ngomong apa?!!”
Kaget, bibir bocah itu pun seketika mencebik. Matanya berembun, sebab inilah kali pertama Rachel memarahinya begitu keras di depan orang.
Di hadapan Rachel yang masih mengatur napasnya karena marah, Tommy mengetatkan rahang. Namun, tak lama … sebab dia langsung melembutkan lagi raut wajahnya.
“Kamu tidak perlu memarahinya, Rachel. Aku yang menawarkannya.” Pria itu berkata dengan lembut, dengan tatapan memohon tertuju pada Rachel. “Dan … tolong, kali ini jangan usir aku. Aku hanya ingin bertemu anakku.”
Di tempatnya, Rachel terperanjat. Begitu pun Sumi yang tengah mengintip pertengkaran Gibran dan Rachel dari dapur.
Dia begitu kaget, sebab pria yang dilihatnya saat ini adalah ayah dari cucunya yang selama ini dicarinya.
Namun, dasar Rachel kepala batu … dia pun menyangkal pengakuan Tommy dengan nada tak mau kalah. “Siapa bilang dia anak Om? Ini anakku!”
Walaupun hatinya ingin katakan, ya, tapi keabsenan Tommy di masa lalu membuat dia ingin melampiaskan kekesalannya dengan berkata sebaliknya.
“Oke, ya. Dia memang anakmu. Tapi apa kamu lupa kalau dia juga darah dagingku?!”
Sementara dua orang dewasa tengah berselisih paham, Gibran menjadi korban ketidaktahuan. Anak itu berdiri di antara dua kaki orang dewasa yang sama-sama mengklaim dirinya.
“PERGI!” usir Rachel dengan suara bergetar. Jarinya mengacung, menunjuk pintu rumahnya yang terbuka pada Tommy.
Lagi, Gibran tersentak. Dia yang begitu takut melihat ibunya marah pun langsung memeluk kaki Rachel dan menyembunyikan wajahnya di sana.
“Kamu–” Namun, Tommy tak melanjutkan kalimatnya, sebab ia tak ingin menambah ketakutan di wajah Gibran.
Untuk itu, dia mengurungkan niat untuk mendebat dan mengambil langkah untuk menuruti permintaan Rachel keluar dari rumahnya.
Setelah itu, Rachel langsung mengunci rumahnya dan memeluk Gibran sambil menenangkan anaknya ini. Dia membawa Gibran ke dalam kamar, dan mengurung diri di sana berdua.
Melihat Gibran yang ketakutan, membuat Rachel sadar jika dia sudah bereaksi berlebihan.
“Maafin Mama ya, Nak. Bukan maksud Mama marahin Gibran. Mama cuma….”
**
Satu jam kemudian, pintu rumah Rachel kembali diketuk.
Wanita itu telah bersiap untuk mengusir pria itu, dan tak akan membiarkan Gibran kembali melihat keributan di rumah ini.
Dengan langkah kesal Rachel menuju ke pintu dan dengan kasar membukanya.
“Sudah kubilang–” Rachel langsung terdiam, karena yang datang bukan Tommy, tapi, Bu Rahmi.
“Rachel, kenapa kamu marah-marah, ada apa?” Bu Rahmi memandang penuh selidik.
Cepat, Rachel menormalkan ekspresinya. “E-eh, nggak apa-apa, Bu. Ngomong-ngomong, ada apa Ibu ke sini?”
“Saya tadi dengar kamu teriak-teriak, tapi nggak sempat langsung datang. Kamu … nggak apa-apa?” tanya Bu Rahmi lagi.
Namun, mata Bu Rahmi tiba-tiba tertuju pada tumpukan 3 kotak paket di teras rumah Rachel.
“Ini bukannya susunya Gibran?” Tentu, Bu Rahmi yang juga dekat dengan anaknya itu tahu, jenis susu yang biasa dikonsumsinya. “Kamu baru beli susu?”
Rachel mengikuti arah pandang Bu Rahmi, dan terkejut saat mendapati Saat melihat tumpukan 3 kardus besar susu formula di teras rumahnya. “O-oh, i-ini…”
Tak sabar menunggu jawaban Rachel, Bu Rahmi pun bergegas mengecek sendiri paket tersebut. Di sana, tertulis pengirimnya dengan jelas.
“Oh, jadi benar papanya Gibran habis dari sini, ya?” Bu Rahmi dengan wajah berseri-seri mencoba mengonfirmasi.
Rachel tak menjawab, bingung melanda hatinya. Namun, dia buru-buru memasukkan tumpukan susu itu ke dalam rumah dan meninggalkan Bu Rahmi tanpa jawaban lebih lanjut.
Penasaran Rachel pun mengambil surat itu dan langsung ke dalam membacanya.
“Susu dan cek ini buat Gibran. Dari papanya, Tommy Harnady!”
*****
BERSAMBUNG
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn
Awalnya, bocah berusia 2 tahun itu bingung mendengar sebutan Papa yang keluar dari bibir Tommy. Namun, karena kediaman Rachel, juga Tommy yang terus mendekatinya … Gibran pun luluh.“Ini,” ujar bocah itu sembari memberikan mainan berupa mobil-mobilan sport.“Kamu suka mobil ini?” Tommy bertanya dengan suara lembut. Gibran mengangguk dengan wajah semringah. “Papa punya mobil ini. Kamu mau naik?” Gibran langsung melonjak kegirangan seraya bertepuk tangan. “Yeay! Aku mau! Aku mau!” katanya berulang kali.Seketika, Rachel mengerjap, kaget. Ini pertama kalinya dia melihat Gibran sebahagia itu dengan seorang pria. Terlebih, pria itu termasuk asing–baru ditemuinya.Sejenak, wanita itu terlena melihat pemandangan hangat yang tersaji di hadapannya. Sosok Tommy yang angkuh, seketika berubah lembut kala di depan Gibran. Pria itu juga terlihat begitu sabar menyahuti segala celoteh bocah kecil itu yang serba ingin tahu. Namun, ketika tangan mungil itu menjabat tangan Tommy dan mereka bersiap kel
Sesaat Rachel membeku, menikah? Bagaimana bisa?Bagi Rachel, dia hanya ingin menikah dengan pria yang dia cinta. Namun pada Tommy, meski pikirannya sudah beberapa kali mengkhianati, dia sadar kalau itu hanyalah kekaguman semata. Rachel mengempaskan tangannya dari tangan Tommy, lalu berlari ke dalam rumah. Dia mengurung diri di kamar dengan perasaan bergejolak di hatinya.Sebenarnya, sedikit sudut hati Rachel ingin berkata ya. Hanya saja, sebagian besar dirinya yang lain menolak, karena takut dianggap wanita murahan yang begitu mudah ditaklukkan.“Papa, kenapa mama lali, Papa nakal ya..?” suara Gibran memecah lamunan Tommy.Netra Tommy yang semula tidak putus menatap arah Rachel pergi, kini menatap sang putra yang berdiri mendongak di hadapan.Tommy membelai wajah Gibran. “Tidak sayang, Papa tak nakal. Mama kamu hanya marah, soalnya Papa jarang ke sini!” siasat jitu mulai Tommy lancarkan pada Gibran.“Kenapa?” dengan wajah lugunya, Gibran menatap wajah ayah kandungnya ini.“Papah sibu
Sesampainya di Jakarta, Rachel langsung fokus bekerja, sementara Tommy entah pergi ke mana. Mata Rachel sungguh berbinar bahagia kala melihat nominal kontrak yang disodorkan padanya sebagai brand ambassador produk kecantikan ini.Namun, tangan Rachel yang sudah siap menandatangani perjanjian itu mendadak berhenti bergerak, dan melayang di udara. Hal itu terjadi saat dia melihat owner produk–Tante Willy bangkit guna menyambut seorang tamu pria bertubuh besar. “Halo Om. Wah, tumben nih berkunjung ke sini?!” Tante Willy ini terlihat begitu akrab, bahkan bercipika cipiki dengan pria tersebut.“Rachel ini kenalkan Om Olly, beliau ini pemilik saham mayoritas perusahaan saya. Suatu kehormatan beliau mau datang ke kantor hari ini.” Tante Willy tidak melihat perubahan wajah Rachel yang memucat setelahnya. “Om, ini loh calon brand ambassador kita, Rachel. Dia ini hebat, Om, sebab dalam sebulan penjualannya luar biasa!” dengan mulut berbusa-busa sang owner ini sebutkan prestasi Rachel ke pria
Tommy menatap bengis wajah kuyu Rachel usai dia berhasil membawa wanita itu keluar dari pub. Kini, mereka ada di sebuah restoran, sebab Tommy menuntut penjelasan.“Kalau kamu mau menerima tawaranku tempo hari, kamu mungkin sudah enak-enakan tidur di rumah bersama Gibran dan menjadi wanita terhormat sebagai nyonya Harnady, Rachel!” Rahang pria itu mengetat. “Setan pun akan mikir 100X untuk ganggu kamu, apalagi cuman si tambun itu!”Intonasi suara Tommy sangat mengintimidasi Rachel. Namun, Rachel yang tidak terima disalahkan itu justru tersinggung.Dia menolak tawaran pernikahan itu, merupakan haknya. Lain hal dengan tadi … Rachel berteriak minta tolong pada Tommy. Bukankah pria itu berkewajiban menolongnya sebagai korban?“Sudah cukup ceramahnya, sekarang antarkan aku balik ke hotel, Om.”Rahang Tommy mengetat. Dia kehabisan kata-kata, melihat kepala batunya Rachel yang tak mau tunduk dengannya.“Aku bukan sopir kamu.” Keangkuhan Tommy pun timbul lagi. Ego lelakinya tersentil karena be
“Aku tahu. Lepas tanganmu, ini berbahaya buat kita.” Akhirnya, pria itu bersuara setelah beberapa detik mencoba menenangkan degup jantungnya sendiri.Rachel refleks menarik mundur tangannya, dan meminta maaf. Seperti Tommy, dia pun tidak menyadari tindakannya barusan. Dan ketika dia sadar telah menyentuh lengan kekar pria itu, Rachel merasa ada kupu-kupu di perutnya yang menggelitik.“Tolong, antar aku ke hotel.”Sisa perjalanan itu akhirnya dihabiskan dengan keterdiaman mereka. Tommy dan Rachel sama-sama sibuk pada pikiran mereka masing-masing.Sesampainya di hotel, Rachel bermaksud langsung keluar dari mobil sport mewah itu usai mengucapkan terima kasih. Tapi lengan kanannya di tahan Tommy.“Rachel, mengenai tawaranku padamu–” “Maaf Om… Rachel belum ada niat menikah.”“Aku bisa menunggumu. Hanya saja, jangan terlalu lama.” Tommy bukan pria yang mudah menyerah. Hanya saja, tentu dengan perbedaan usia mereka yang cukup jauh … waktu adalah penghalang terberat mereka. Semakin lama Ra
“Heiii Rachel, kamu kenapa sih, aku lagi tanya kamunya malah termenung.” Tegur Gita sedikit sebel dengan sahabat dekatnya ini. Padahal otak Rachel justu kepikiran ke papa sahabatnya tersebut.“Ahh nggak kok, aku hanya mikiran kita nggak bisa lama ngobrol. Soalnya aku ada janji untuk pemotretan sebentar lagi!” Rachel langsung bikin alibi.“Oh yaa…waah kamu balik lagi jadi model yaaa…?” Gita masih ingat Rachel dulu pernah jadi model, tapi sayangnya nggak lanjut.Tak ingin bohongi sahabatnya, Rachel pun jujur kalau dia kini jadi brand ambassador perusahaan skin care milik Tante Willy.“Hmm…Tante Willy, orangnya cantik, putih kayak kamu, tinggi dan jalan suka angkat dagu dikit, bak model, itukah orangnya Rachel?”Rachel pun mengangguk. Gita tertawa kecil.“He-he…perusahaan dia itu bentar lagi akan jadi milik Harnady Group. Tadi papa nge-chat ke aku dan bilang borong semua saham perusahaan itu. Ahh si papa ini, perusahan mantan pacar di suruh borong. Moga ajah nggak CLBK, males banget puny
Bu Sumi heran sepulang dari wahana permainan di mal mewah, Rachel sering melamun. Tapi wanita setengah baya ini sungkan bertanya apa sebabnya.Rachel juga selalu menghindar setiap kali Tommy Harnady datang ke apartemen. Kalaupun datang, dia sengaja tak mau menemuinya, dengan alasan capek habis kerja.Hingga Tommy terpaksa hanya bermain dengan Gibran, sampai Tommy pulang lagi. Rachel tetap bersekeras tak mau menemui pria tampan ini.Hal ini terbawa pada pekerjaannya saat ini.Tak sekali dua kali pemotretan harus di take berulang-ulang, gara-gara Rachel sering salah dan tidak sesuai dengan keinginan sang fashion stylist -penata gaya.“Kamu kenapa sih, tak biasanya?” si fashion stylist bertanya.“Maaf mas, mungkin aku perlu rehat dulu, sehari dua hari, boleh yaa?”“Nggak bisa Rachel, dalam waktu dua hari ini foto-foto terbaru ini harus seger kelar, ntar Tante Willy marah, apalagi perusahaaan ini sudah go publik dan milik sebuah group perusahaan besar!”Rachel langsung terdiam. “Tolong, b