Dua minggu kemudian.
Rachel duduk termangu usai menerima telepon dari temannya. Sejak peristiwa yang tak pernah dia impikan berturut-turut menimpanya, gadis itu jadi sering melamun.
Otaknya mumet penuh dengan rasa bersalah, kemarahan dan kejengkelan pada Doni, hingga bayangan Tuan Tommy. Meski tak pernah bertemu lagi dengan pria setengah tua itu, otaknya masih menyimpan dengan baik perilaku pria itu, juga ketampanannya.
Pikiran yang tidak-tidak pun mulai dia rasakan. Rasa ketertarikan pada Tommy, juga perasaannya yang begitu nyaman ketika bersama pria itu membuat angan-angan Rachel meliar, berharap dan memimpikan jika dia bisa menjadi pasangan pria gagah itu.
“Gila kamu Rachel!” Gadis itu memarahi dirinya sendiri. “Bagaimana pun, dia lebih cocok jadi papamu, ketimbang kekasihmu! Lagian, orang sepertinya tidak mungkin ingat aku, kan?”
Rachel mengempaskan pikiran tidak-tidaknya itu dengan membandingkan kondisi mereka berdua. Dia yang hanya anak ingusan–mungkin, di hadapan Tommy, jelas tidak akan berarti apa-apa bagi pria dewasa nan kaya itu.
Pria mapan dan rupawan seperti Tommy pasti dikelilingi wanita menawan, yang jauh dari penampilan Rachel sekarang. Pria itu juga pasti dengan mudah menggantikan dirinya dengan wanita lain yang suka rela menghabiskan malam dengannya.
“Apa aku sudah gila?” keluar juga suara hati dari mulut mungilnya.
“Siapa yang gila, Rachel!” sekonyong-konyong, ibunya muncul di kamar, mengagetkannya.
“T-tidak ada, Bu. Rachel hanya sedang melepaskan rasa kesal saja.”
Sumi memandang anaknya dengan wajah penuh selidik. “Ibu lihat kamu sudah dua mingguan ini sering melamun. Apakah karena putus cinta dengan Doni?”
Mata Rachel memutar, jengah ketika nama pria berengsek itu diucap ibunya. “Nggak kok bu, Rachel malah senang putus dengan pria brengsek itu!”
Ekspresi kekagetan Sumi tak bisa disembunyikan saat mendengar Rachel memaki pria yang diketahui sempat menjadi pacarnya itu. “Brengsek? Apa yang sudah dia lakukan padamu sampai kamu menyebutnya berengsek?”
Rachel jelas gelagapan. Namun, dia tidak mungkin berkata jujur pada ibunya, karena bisa-bisa wanita itu akan jantungan. “Tidak usah dipikirkan lagi, Bu. Pokoknya, yang jelas Rachel mau fokus kuliah dulu untuk saat ini.”
Setelahnya, dia pun keluar dari kamarnya tanpa mengacuhkan ibunya yang masih terheran-heran.
**
Tiga hari kemudian….
Rachel sampai di sebuah rumah mewah bertingkat dua. Penjaga rumah ini sudah tahu siapa Rachel, sehingga gadis cantik ini dipersilahkan masuk dengan mudah.
Inilah rumah Gita, sahabat karibnya yang beberapa hari lalu menelepon.
Awal bersahabat, Rachel sempat minder datang ke rumah ini. Dia sadar dirinya bukan anak orang mampu. Sungguh jauh sekali dengan kondisi sahabatnya yang serba berkecukupan.
Namun, karena Gita terus-terusan meyakinkannya jika perbedaan kasta mereka bukanlah masalah, Rachel lama kelaman menjadi nyaman berteman dengannya.
“Wow, tumben bawa motor?!” Gita langsung menyambut Rachel usai dia mematikan motornya. “Motor baru, ya? Habis dapat rejeki, nih?” goda gadis itu lagi.
Rachel tersenyum malu-malu. Malu mengakui dia dapat membeli motor ini dari uang haram, lebih tepatnya.
Namun, jelaslah dia tak bisa memberitahukan aibnya pada sang sahabat. “E-emak menguras tabungan buat belikan aku motor ini!” Rachel terpaksa berbohong. Suaranya terbata sesaat. Untung saja Gita tak mencecar lagi.
“Ya bagus dong. Daripada kamu naik angkutan umum atau ojek daring terus? Lebih hemat kalau pakai motor.”
Setelahnya, mereka langsung masuk ke rumah megah itu dan mengerjakan tugas mereka.
Keduanya pun fokus belajar bersama, hingga kemudian pukul 17.00 terdengar suara deru mobil memasuki garasi rumah Gita.
Sahabatnya yang cantik itu menoleh disertai kerutan di dahi. “Papa? Tumben papahku pulang sore?” Gadis itu bergumam, lalu bangkit dari posisinya, “Sebentar ya Rachel, aku lihat Papa dulu.”
Rachel awalnya tetap fokus pada buku yang sedang dia pegang. Namun lamat-lamat telinganya mendengar suara yang tak pernah dia lupakan sampai detik ini.
“Ada temanmu di dalam?”
Kepalanya terangkat, matanya yang jeli menatap lurus ke depan.
Deg!
Jantung Rachel bak berhenti berdetak, saat melihat seorang pria setengah tua yang tetap prima terlihat sedang merangkul dengan sayang bahu Gita.
Tangannya gemetaran, hingga tak terasa buku yang dia pegang terlepas dari pegangannya.
“Rachel, kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit?” Gita menatap heran wajah sang sahabati.
Gita pun langsung berlari ke arahnya, meninggalkan pria yang Rachel duga sebagai papanya di belakang. Beruntung, saat Gita menghampirinya, pria tersebut tak ikut mendekat.
Mata gadis itu mengerjap. “Ah, I-iya … badanku mendadak nggak enak.”
“Terus gimana? Apa kamu mau kuantar ke dokter untuk berobat?”
“J-jangan Git, a-aku pulang saja.” Rachel menolak, “Kayaknya aku cuma butuh istirahat. Mungkin juga masuk angin, maklum … nggak biasa kena angin motor.”
Dengan buru-buru dan tanpa menunggu jawaban temannya, Rachel merapikan buku-bukunya ke dalam tas.
“Kamu beneran bisa bawa motor?” Gelagat Rachel yang terburu-buru justru dianggap sebagai sinyal jika gadis itu tengah merasa kesakitan luar biasa bagi Gita. “Kalau kalau nggak bisa, motor kamu biar di sini saja dulu. Kamu diantar sopir papaku saja, ya?”
Lagi, Rachel menolak. Dia bergegas menuju motornya, diikuti Gita yang memandangnya dengan kekhawatiran. “Aku pamit ya.. Sampai ketemu di kampus lusa!”
Setelahnya, dia memacu motornya dengan cepat. Pikiran, juga hatinya kembali terusik. Dia tidak menyangka, jika pria yang telah membeli keperawanannya adalah ayah dari sahabatnya.
Bodohnya, dia tak menyadari kemiripan antara sahabat dan pria yang sempat mengguncang ketenangan hatinya. Semakin bodoh lagi, sebab Rachel melupakan nama keluarga mereka yang sama.
“Bagaimana mungkin aku lupa mereka sama-sama bernama Harnady?”
Setelah hari itu dia berpura-pura sakit, Rachel jadi terus-terusan menghindari Gita ketika di kampus. Rasanya, dia tak lagi punya muka, apalagi jika sampai sahabatnya itu tahu kalau dia dan papanya memiliki skandal satu malam.
Kefrustrasian Rachel pun berdampak langsung pada tubuhnya. Dia yang semula terlihat bugar, kini berubah agak pucat. Tubuhnya mengurus, dengan mata yang tak lagi segar–cenderung terlihat sendu.
Dan yang paling parah adalah … dia yang selalu mual, terlebih ketika pagi.
Melihat keadaan Rachel yang dinilai semakin parah itu, Gita pun tak tega. Dia terus-terusan mendesak gadis itu untuk berobat.
“Kamu sakit apa sih sebenarnya, Rachel? Kenapa kamu jadi sering mual-mual??”
Bersambung....
Keheranan pun terjadi pada Sumi. Melihat anaknya terus-terusan muntah di pagi hari itu, membuatnya tak tega.“Kamu makan apa sih nduk, kenapa sampai muntah-muntah begini?”Ibunya itu memijat punggung mulus anaknya ini dengan lembut, mengantarkan kenyamanan yang Rachel rasakan. “Kayaknya Rachel masuk angin, Bu,” jawab Rachel asal, lagi-lagi mengulang alasan yang sama.Pikirnya, saat ini memang sedang masuk musim penghujan. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir dia selalu kehujanan ketika pulang dari kampus.Rachel merasa lebih baik usai dipijat ibunya. Wangi aroma minyak urut yang digunakan sang ibu agaknya manjur mengusir mualnya. Tak lama, hasrat ingin makannya pun muncul, membuat dia langsung menuju ke dapur.Mata Rachel berbinar begitu melihat buah mangga yang masih muda, yang ada di atas meja makan. Air liurnya bahkan terus-terusan melonjak, seolah tubuhnya begitu menginginkan buah yang asam itu. Tanpa pikir panjang, alih-alih menyendok makan, Rachel mengupas mangga muda itu. Ha
Kereta api tujuan Bandung bergerak meninggalkan ibukota negeri ini, membawa diri dan hati yang berat secara terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya. Satu hari Rachel memutuskan menginap di hotel, sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah rumah sederhana di sebuah kompleks perumahan. “Kamu sendiri ya, Nduk? Suaminya mana? Apa kamu masih gadis?” Si pemilik rumah bertanya, saat Rachel mendatanginya seorang diri. “S-saya janda Bu!” Tergagap, Rachel menjawab pertanyaan yang tak disangka-sangka ini. “Oalaaah, janda. Cantik-cantik kok janda?” ujarnya tidak menyangka. Kemudian, matanya menelisik ke satu arah dan mendekat kemudian berbisik, “Awas loh, hati-hati. Pak RT di sini terkenal ganjen, apalagi sama janda yang masih seger gini!” goda si ibu ini sambil mengecek ponselnya. Uang sebesar 95 juta sebagai harga pembelian rumah itu telah dikirimkan Rachel pada ibu itu. Setelah selesai urusan jual beli rumah, tanpa bertele-tele, si pemilik rumah ini pun berikan sertifikat dan
1,5 Tahun kemudian….Hari ini kepala Rachel mumet tak terkira. Sejak pagi, Gibran anaknya lebih rewel dari biasanya. Tubuh bocah tersebut tak demam, tak juga terlihat popoknya penuh, atau lapar. Rachel pusing, sebab dia kini sedang dikejar deadline menyelesaikan skripsinya.“Gibran, sebenarnya kamu kenapa sih, Nak?” Rachel menggendong dan menepuk-nepuk lembut punggung sang anak, tapi Gibran tetap tak berhenti menangis“Atitt…atitttt!” Jari mungil Gibran menunjuk ke wajahnya, Rachel paksa membuka mulut anaknya, terlihat tanda merah, seperti sariawan.Tak tega sang anak terus merengek, Rachel pun akhirnya bergegas menuju ke sebuah klinik anak dengan motornya. Tiba di klinik, gestur panik wanita satu anak itu sungguh terlihat. Sebab, tubuh Gibran yang semula adem itu mulai naik suhunya. Kedatangannya di klinik itu pun mencuri perhatian pengunjung.Bahkan, tanpa Rachel sadari, ada mata seorang pria tampan setengah tua tengah memandangnya. Rachel duduk menunggu antrean untuk memeriksak
Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?”
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn
Awalnya, bocah berusia 2 tahun itu bingung mendengar sebutan Papa yang keluar dari bibir Tommy. Namun, karena kediaman Rachel, juga Tommy yang terus mendekatinya … Gibran pun luluh.“Ini,” ujar bocah itu sembari memberikan mainan berupa mobil-mobilan sport.“Kamu suka mobil ini?” Tommy bertanya dengan suara lembut. Gibran mengangguk dengan wajah semringah. “Papa punya mobil ini. Kamu mau naik?” Gibran langsung melonjak kegirangan seraya bertepuk tangan. “Yeay! Aku mau! Aku mau!” katanya berulang kali.Seketika, Rachel mengerjap, kaget. Ini pertama kalinya dia melihat Gibran sebahagia itu dengan seorang pria. Terlebih, pria itu termasuk asing–baru ditemuinya.Sejenak, wanita itu terlena melihat pemandangan hangat yang tersaji di hadapannya. Sosok Tommy yang angkuh, seketika berubah lembut kala di depan Gibran. Pria itu juga terlihat begitu sabar menyahuti segala celoteh bocah kecil itu yang serba ingin tahu. Namun, ketika tangan mungil itu menjabat tangan Tommy dan mereka bersiap kel
Sesaat Rachel membeku, menikah? Bagaimana bisa?Bagi Rachel, dia hanya ingin menikah dengan pria yang dia cinta. Namun pada Tommy, meski pikirannya sudah beberapa kali mengkhianati, dia sadar kalau itu hanyalah kekaguman semata. Rachel mengempaskan tangannya dari tangan Tommy, lalu berlari ke dalam rumah. Dia mengurung diri di kamar dengan perasaan bergejolak di hatinya.Sebenarnya, sedikit sudut hati Rachel ingin berkata ya. Hanya saja, sebagian besar dirinya yang lain menolak, karena takut dianggap wanita murahan yang begitu mudah ditaklukkan.“Papa, kenapa mama lali, Papa nakal ya..?” suara Gibran memecah lamunan Tommy.Netra Tommy yang semula tidak putus menatap arah Rachel pergi, kini menatap sang putra yang berdiri mendongak di hadapan.Tommy membelai wajah Gibran. “Tidak sayang, Papa tak nakal. Mama kamu hanya marah, soalnya Papa jarang ke sini!” siasat jitu mulai Tommy lancarkan pada Gibran.“Kenapa?” dengan wajah lugunya, Gibran menatap wajah ayah kandungnya ini.“Papah sibu