“Tunggu sebentar, aku akan ambilkan uangnya.”
Mata Rachel mengerjap, kemudian mengikuti gerak Tommy yang melangkah menuju brankas yang ada di kamar tersebut.
Pria itu terlihat mengambil satu gepok uang, lalu kembali ke hadapan Rachel dan menyerahkan uang itu pada sang gadis.
“O-om, ini….”
“50 juta. Sisanya, akan kubayar setelah kegiatan kita selesai.”
Rachel meneguk lagi salivanya dengan kasar. Untuk pertama kalinya dia memegang uang sebanyak ini. Namun, dia juga gugup sebab untuk pertama kalinya akan bersentuhan dengan seorang pria.
“Tapi kalau kamu ragu, aku tidak memaksa.” Pria itu kembali berujar. Raut wajah Rachel yang memucat cukup jadi gambaran kalau masih ada keraguan pada gadis itu. “Kamu boleh kembali ke kamarmu.”
“T-tidak, Om.” Rachel menggeleng. Dia memberanikan diri menaikkan pandangan dan menatap Tommy dalam-dalam. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Kemudian, dengan pengalaman yang dimiliki Tommy, pria itu membimbing Rachel melewati hal baru. Perlakuan pria itu yang lembut, sabar, tetapi begitu peka pada gestur tubuh Rachel yang mulai terbiasa akan keberadaan pria itu di dalamnya, membuat gadis itu tidak merasakan sakit.
Alih-alih meraung kesakitan, justru kamar itu dipenuhi dengan lenguhan-lenguhan yang keluar dari dua bibir manusia yang sedang berlomba meraih kepuasan.
Cukup lama Tommy bertahan, sementara Rachel tak terhitung sudah beberapa kali mendapatkan puncaknya. Namun, ketika akhirnya pria itu mendapatkan pelepasan, tak lama pria itu langsung bergulir ke sampingnya dan tertidur dengan pulas.
Dalam cahaya kamar yang temaram, juga suara pendingin udara yang menjadi latar malam itu … Rachel tak kunjung memejamkan mata. Meski tubuhnya lelah, pangkal pahanya juga terasa nyeri sebab kepunyaan Tommy yang begitu perkasa, pikiran gadis itu justru dihantui rasa bersalah.
Ada perasaan tak berdaya, marah, kecewa juga sedih yang dia rasakan. Lelehan air mata bahkan terlihat semakin deras, ketika akhirnya gadis itu memutar tubuh dan memunggungi Tommy yang sudah mengeksplor dunia mimpi.
‘Ya Tuhan, maafkan aku. Aku telah menjadi pelacur.”
**
Pagi harinya, tanpa membangunkan Tommy yang masih lelap dalam tidur, Rachel memutuskan untuk pulang seorang diri.
Tanpa menagih nominal uang sisa pembayaran yang dijanjikan pria itu, gadis itu keluar dari kamar dengan langkah yang tersaruk-saruk. Baru dia sadari, jika kegiatan semalam meninggalkan ‘bekas’ selain noda merah di sekujur tubuhnya yang tersembunyi pakaian. Langkahnya yang semula ringan, kini terasa sedikit berat akibat luka robeknya selaput dara.
Taksi yang ditumpangi Rachel sampai di rumah ketika matahari mulai terang. Dia bergegas mandi, membasuh seluruh tubuhnya dengan kasar, berharap perasaan jijik pada dirinya sendiri menghilang. Namun, nasi telah menjadi bubur. Dirinya tak bisa kembali utuh seperti dulu.
“Aku tidak akan pernah melakukannya lagi.”
Sembari memakai baju di depan cermin kamar, Rachel berjanji pada dirinya sendiri. Uang 50 juta yang diberikan Tommy sudah lebih dari cukup untuk membiayai kuliahnya hingga lulus nanti. Bahkan, ibunya yang hanya berjualan gorengan pun agaknya bisa berhenti berdagang sebab uang itu pasti akan cukup membiayai keseharian mereka hingga nanti dia mendapatkan pekerjaan.
“Kamu habis menangis, Rachel?” tanya ibunya ketika Rachel baru saja duduk di meja makan.
Gadis itu menggeleng, sembari menyendok sarapan sederhana yang telah ibunya buat. “Tidak, Bu. Rachel hanya kurang tidur.”
Kerutan di dahi ibunya–Sumi pun tak terelakkan. Sebagai seorang ibu, tentu ketidakpulangan Rachel semalam menjadi pertanyaan besar, sebab tak biasanya sang putri tidak tidur di rumah.
“Kamu tidur di mana semalam? Kenapa tidak kabarin Ibu?” tanya ibunya lagi. Ada nada khawatir dari suaranya.
Sang anak, setelah tak pulang semalaman … justru pulang dengan mata sembab dan seperti kehilangan gairah.
“Rachel tadi malam belajar di rumah teman Bu, dia meminta aku nginap sekalian.” Rachel terpaksa berdusta, agar ibunya tak curiga.
Ibunya pasti akan marah, bahkan bisa terserang penyakit jantung kalau tahu apa yang sebenarnya dia lakukan semalam.
Salah-salah, jika Rachel berkata jujur … setelah kehilangan ayahnya yang meninggal karena dibegal orang, dia bisa juga kehilangan ibunya karena serangan jantung.
Dan, Rachel tentu tak menginginkan hal buruk itu terjadi.
Sumi menghela napas panjang. Kendati masih menaruh curiga–terlihat dari pancaran matanya yang masih menelisik sang anak, dia tak memperpanjang pertanyaannya.
“Ya sudah kalau gitu.”
Jika menuruti tubuhnya yang begitu lelah dan sakit seperti orang habis dipukuli massa, Rachel tentu memilih tidur seharian di kamarnya. Namun, hari ini dia sudah punya janji untuk melunasi UKT, sehingga mau tak mau dia harus pergi ke kampus.
Beruntung, pihak kampus tak menggelontorkan pertanyaan dan langsung memproses pembayarannya. Rachel bisa bernapas lega, sebab pengorbanan dirinya yang rela menukar keperawanan dengan uang pangkal kuliah tak sia-sia.
Tak ingin berlama-lama di kampus karena enggan bertemu Doni, Rachel yang hari itu tak ada mata kuliah memutuskan untuk buru-buru pulang lagi.
Sayangnya, keberuntungan seolah tak berpihak. Saat sedikit lagi dia tiba di rumahnya, seruan seorang pria yang enggan ditemuinya terdengar memanggil, “Rachel!”
“Sial! Kenapa dia ke sini?!” Rachel mengumpat pelan.
Doni datang dengan motornya, persis di depan gang menuju rumahnya. Tak ingin bertemu pria itu, Rachel pun mempercepat langkahnya. Selain masih marah, dia juga sudah tak sudi berhadapan dengan pria bajingan itu.
Namun, pria itu tak gentar dan malah mengikutinya. “Rachel, maafkan aku,” katanya dengan nada memelas.
Akhirnya, Rachel menghentikan langkahnya dan menatap sang mantan dengan garang. “Kamu masih berani lihatin wajahmu?!!” Gigi wanita itu gemeretak. Raut marah jelas terpancar dari wajahnya. “Pergi kamu! Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi!”
Posisi mereka yang berada di ruang publik menyebabkan mereka jadi perhatian orang-orang di sekitar. Terlebih, wilayah rumah Rachel memang berisikan perumahan padat penduduk. Sudah jelas, pertengkaran ini bisa memancing lebih banyak massa untuk mengerubungi mereka.
Menjadi tontonan sebab Rachel yang menolaknya jelas bukan pilihan Doni. Tak ingin semakin malu, pria itu pun tancap gas meninggalkan Rachel yang langsung lari ke rumahnya dan mengurung diri.
“Benar-benar bajingan kamu, Doni!!”
Bersambung....
Dua minggu kemudian.Rachel duduk termangu usai menerima telepon dari temannya. Sejak peristiwa yang tak pernah dia impikan berturut-turut menimpanya, gadis itu jadi sering melamun.Otaknya mumet penuh dengan rasa bersalah, kemarahan dan kejengkelan pada Doni, hingga bayangan Tuan Tommy. Meski tak pernah bertemu lagi dengan pria setengah tua itu, otaknya masih menyimpan dengan baik perilaku pria itu, juga ketampanannya. Pikiran yang tidak-tidak pun mulai dia rasakan. Rasa ketertarikan pada Tommy, juga perasaannya yang begitu nyaman ketika bersama pria itu membuat angan-angan Rachel meliar, berharap dan memimpikan jika dia bisa menjadi pasangan pria gagah itu.“Gila kamu Rachel!” Gadis itu memarahi dirinya sendiri. “Bagaimana pun, dia lebih cocok jadi papamu, ketimbang kekasihmu! Lagian, orang sepertinya tidak mungkin ingat aku, kan?”Rachel mengempaskan pikiran tidak-tidaknya itu dengan membandingkan kondisi mereka berdua. Dia yang hanya anak ingusan–mungkin, di hadapan Tommy, jelas
Keheranan pun terjadi pada Sumi. Melihat anaknya terus-terusan muntah di pagi hari itu, membuatnya tak tega.“Kamu makan apa sih nduk, kenapa sampai muntah-muntah begini?”Ibunya itu memijat punggung mulus anaknya ini dengan lembut, mengantarkan kenyamanan yang Rachel rasakan. “Kayaknya Rachel masuk angin, Bu,” jawab Rachel asal, lagi-lagi mengulang alasan yang sama.Pikirnya, saat ini memang sedang masuk musim penghujan. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir dia selalu kehujanan ketika pulang dari kampus.Rachel merasa lebih baik usai dipijat ibunya. Wangi aroma minyak urut yang digunakan sang ibu agaknya manjur mengusir mualnya. Tak lama, hasrat ingin makannya pun muncul, membuat dia langsung menuju ke dapur.Mata Rachel berbinar begitu melihat buah mangga yang masih muda, yang ada di atas meja makan. Air liurnya bahkan terus-terusan melonjak, seolah tubuhnya begitu menginginkan buah yang asam itu. Tanpa pikir panjang, alih-alih menyendok makan, Rachel mengupas mangga muda itu. Ha
Kereta api tujuan Bandung bergerak meninggalkan ibukota negeri ini, membawa diri dan hati yang berat secara terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya. Satu hari Rachel memutuskan menginap di hotel, sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah rumah sederhana di sebuah kompleks perumahan. “Kamu sendiri ya, Nduk? Suaminya mana? Apa kamu masih gadis?” Si pemilik rumah bertanya, saat Rachel mendatanginya seorang diri. “S-saya janda Bu!” Tergagap, Rachel menjawab pertanyaan yang tak disangka-sangka ini. “Oalaaah, janda. Cantik-cantik kok janda?” ujarnya tidak menyangka. Kemudian, matanya menelisik ke satu arah dan mendekat kemudian berbisik, “Awas loh, hati-hati. Pak RT di sini terkenal ganjen, apalagi sama janda yang masih seger gini!” goda si ibu ini sambil mengecek ponselnya. Uang sebesar 95 juta sebagai harga pembelian rumah itu telah dikirimkan Rachel pada ibu itu. Setelah selesai urusan jual beli rumah, tanpa bertele-tele, si pemilik rumah ini pun berikan sertifikat dan
1,5 Tahun kemudian….Hari ini kepala Rachel mumet tak terkira. Sejak pagi, Gibran anaknya lebih rewel dari biasanya. Tubuh bocah tersebut tak demam, tak juga terlihat popoknya penuh, atau lapar. Rachel pusing, sebab dia kini sedang dikejar deadline menyelesaikan skripsinya.“Gibran, sebenarnya kamu kenapa sih, Nak?” Rachel menggendong dan menepuk-nepuk lembut punggung sang anak, tapi Gibran tetap tak berhenti menangis“Atitt…atitttt!” Jari mungil Gibran menunjuk ke wajahnya, Rachel paksa membuka mulut anaknya, terlihat tanda merah, seperti sariawan.Tak tega sang anak terus merengek, Rachel pun akhirnya bergegas menuju ke sebuah klinik anak dengan motornya. Tiba di klinik, gestur panik wanita satu anak itu sungguh terlihat. Sebab, tubuh Gibran yang semula adem itu mulai naik suhunya. Kedatangannya di klinik itu pun mencuri perhatian pengunjung.Bahkan, tanpa Rachel sadari, ada mata seorang pria tampan setengah tua tengah memandangnya. Rachel duduk menunggu antrean untuk memeriksak
Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?”
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn
Awalnya, bocah berusia 2 tahun itu bingung mendengar sebutan Papa yang keluar dari bibir Tommy. Namun, karena kediaman Rachel, juga Tommy yang terus mendekatinya … Gibran pun luluh.“Ini,” ujar bocah itu sembari memberikan mainan berupa mobil-mobilan sport.“Kamu suka mobil ini?” Tommy bertanya dengan suara lembut. Gibran mengangguk dengan wajah semringah. “Papa punya mobil ini. Kamu mau naik?” Gibran langsung melonjak kegirangan seraya bertepuk tangan. “Yeay! Aku mau! Aku mau!” katanya berulang kali.Seketika, Rachel mengerjap, kaget. Ini pertama kalinya dia melihat Gibran sebahagia itu dengan seorang pria. Terlebih, pria itu termasuk asing–baru ditemuinya.Sejenak, wanita itu terlena melihat pemandangan hangat yang tersaji di hadapannya. Sosok Tommy yang angkuh, seketika berubah lembut kala di depan Gibran. Pria itu juga terlihat begitu sabar menyahuti segala celoteh bocah kecil itu yang serba ingin tahu. Namun, ketika tangan mungil itu menjabat tangan Tommy dan mereka bersiap kel