“Apa kau tidak bisa melakukannya dengan perlahan saja?” Rahang Andika mengeras, matanya terbelalak dan pipinya memerah akibat rasa malu yang menyelimuti dirinya.
Pakaian mahalnya kini bernoda kopi panas yang tumpah akibat ketidakhati-hatian pelayan baru, Cantika. “Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja karena ada sesuatu yang membuat saya terjatuh,” ucap Cantika lirih, sambil melirik sekilas ke arah Kartika. “Kenapa kau menatapku seperti itu?" ujar Kartika, mendelik penuh amarah. Alisnya menyatu, dan bola matanya memancarkan api kemarahan. "seorang pelayan rendahan beraninya menatap nyonya rumah sepertiku! Apa kau ingin menuduhku melakukan hal hina seperti itu?” Wajahnya merah padam sekaligus merasa bersalah karena di sini, salahnya sendiri yang menyebabkan kesalahan. Cantika menundukkan kepala, menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi yang memuncak, merasa ditekan oleh tatapan tajam suaminya yang membuatnya ingin menangis. “Saya tidak bermaksud menuduh Anda, hanya saja kaki saya memang tersandung sesuatu hingga jatuh.” Andika, yang saat itu duduk di kursi ruang tamu, bangkit dengan geram dan menatap gadis itu dengan tatapan merendahkan. Ekspresi wajahnya menyiratkan betapa kecewanya pada Cantika. “Seharusnya kalau kau tidak bisa bekerja hari ini, jangan memaksakan diri!” ucap Andika dengan nada sinis, lalu pergi dari sana tanpa menoleh, meninggalkan Cantika dalam keadaan terpuruk, sambil memperhatikan langkah kakinya yang semakin jauh. Kartika yang melihat suaminya pergi tanpa mengatakan apa pun, melirik Cantika dengan sinis. Lalu beralih kepada tamu yang ditinggalkan, sehingga sekarang perempuan tersebut sibuk menenangkan tamunya. Cantika melihat ini sebagai kesempatan untuk merapikan kekacauan yang telah ia buat. Dengan perlahan, ia mengelap tumpahan kopi di lantai dan meja. Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, gadis itu bergerak lincah. Sesekali, ia meremas pahanya, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara. Bekas kuku di pahanya tidak mempengaruhi semangatnya. Nampan di tangannya bergoyang saat Cantika berusaha berdiri dari posisi jongkok. Suara dentingan gelas terdengar, membuat Kartika menatapnya dengan tajam. "Maafkan saya," kata Cantika sambil membungkukkan tubuh, kemudian pergi menuju dapur. Di dapur, Cantika melihat Andika yang berdiri, menatapnya dengan dingin. Namun, gadis itu memutuskan untuk mengabaikan tatapan suaminya dan melanjutkan langkahnya melewati Andika. Rasa kesal akibat sang suami tak mengenali dirinya masih membayangi hati Cantika. Andika mencengkram tangan Cantika dengan erat, tubuhnya bergelora kemarahan. "Kenapa kau malah melewatiku?" keluhnya seraya merasakan rasa nyeri di dalam dadanya. Disaat pelayan rendahan seperti Cantika tak menatapnya dan malah berpura-pura tidak melihat kehadirannya. "Saya tidak melihat, Tuan. Jadi maafkan saya!" Cantika menjawab pelan sambil menundukkan kepala. Namun, Andika merasa kalau Cantika sedang berbohong, sehingga ia semakin kuat mencengkram tangan mungil gadis tersebut. Wajah Andika memerah oleh kemarahan, "Kau berbohong kepadaku? Padahal aku adalah majikanmu, tetapi berani sekali kau!" Cantika meringis, menahan rasa sakit yang dihasilkan dari cengkeraman tangan Andika. "Saya mohon, lepaskan saya, Tuan! Saya di sini hanya bekerja, bukan siapa-siapa!" Ucapan Cantika membuat bibirnya menggigit, karena mengatakan hal yang menyakitkan bagi dirinya sendiri. "Maksudmu apa mengatakan kalau kau bukan siapa-siapa?" Kali ini suara Andika terdengar melunak, mata yang tadinya tajam berubah menjadi berkaca-kaca. Tak lagi meninggi seperti tadi. Cantika terperangah, matanya berkaca-kaca ketika merasa sang suami mengenalinya. Baru ingin menggumamkan kata-kata, namun Andika menarik lengannya untuk mendekat. "Kau ini pelayanku, jangan berani-berani membohongi tuanmu!" bentak Andika sambil menepis tangan Cantika kasar, lalu melangkah pergi dari tempat itu. Hatinya tercabik melihat punggung lebar suaminya menjauh, yang berkali-kali melukainya dengan perkataannya. Cantika mengusap mata yang basah, menahan isak sambil menatapnya semakin menjauh. "Kenapa engkau melupakan istrimu, padahal kita pernah menghabiskan malam indah bersama!" gumamnya hampa. Dalam kebingungannya, Cantika bergegas menggenggam nampan berisi gelas kotor dan pergi ke dapur. Beruntung gelas itu tidak terjatuh, sebaliknya masih utuh meskipun hatinya hancur. Bulir-bulir bening menetes dari kedua sudut mata Cantika, namun dia seakan tak mempedulikannya. Ia terus mencuci gelas dan perabotan yang menumpuk di wastafel, lalu beralih membersihkan bagian lainnya. Cantika acuh saja bila ada yang melihat penampilannya sekarang. Air mata tetap saja menetes tak terbendung. Kemudian, tubuh Cantika seolah kehilangan tenaga, sampai lantai keramik yang dipijak terasa bergetar. Cantika pun terduduk lemas di sudut dapur, gemetaran tak terkendali. "Ayah, aku tak yakin bisa bertahan di sini! Suamiku sendiri bahkan tidak mengenali aku, istrinya sendiri," ujarnya hancur, sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Airmata Cantika membasahi wajahnya yang pucat, memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit dari memar dan luka di tubuhnya hampir tak terasa, namun hatinya yang tak terluka justru merasakan penderitaan yang tak terhingga. Seorang diri, Cantika terdiam di sudut rumah besar yang semula milik istri pertama suaminya. Suaminya dan istri pertama terang-terangan berlaku tak adil padanya, membuat Cantika semakin merasa dirinya menyedihkan. Tiada seorang pun yang bersimpati kepadanya. "Sudahlah, tak ada gunanya terlalu bersedih. Semuanya malah akan membuatku semakin menderita kalau terlalu dipikirkan," gumam Cantika seraya bangkit dari kursi. Dalam upaya menenangkan hati, ia memutuskan untuk membasuh wajah dengan air. Menyegarkan, itu yang ia rasakan saat air membasahi wajahnya. "Hei, kau harus datang ke ruang tamu tadi! Aksi konyolmu tadi membuat tamuku menjadi marah, jadi kau harus bertanggung jawab menghibur mereka!" Kartika datang dengan tangan bersedekap di dada, menatap rendah kepada Cantika. Cantika terperanjat, tak mengerti apa yang harus ia lakukan. "Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya dengan raut kebingungan. Seumur hidupnya, ia belum pernah mengalami situasi seperti ini, diminta untuk menghibur orang yang tak ia kenal. “Ya, kau tinggal lakukan apa yang mereka perintahkan. Itu saja tidak mengerti!” gerutu Kartika sambil menatap tajam wajah Cantika, matanya menerawang kesal. “Tidak melakukan yang aneh-aneh, kan?” Cantika menatap ragu kepada Kartika, entah kenapa jantungnya berdebar kencang saat berurusan dengan istri pertama sang suami. Kartika menghela napas berat, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Kau pikir aku akan melakukan hal rendah seperti itu? Aku hanya menyuruhmu menghibur mereka dengan menuangkan anggur saja, tidak lebih! Kalau mereka melakukan sesuatu kepadamu, kau tinggal pergi saja dari sana!” Kartika meraih sebotol anggur di meja dan memberikannya pada Cantika, lalu berlalu pergi meninggalkan gadis muda tersebut dengan senyuman misterius yang membuat Cantika semakin gelisah. Cantika merapikan rambutnya yang tergerai, tak ingin membuat tamu sang suami menunggu lebih lama lagi. Senyuman pun diukir semanis mungkin di wajahnya, berharap mereka semua tak mengeluhkan layanan yang dirinya berikan. Dengan langkah anggun, Cantika melangkah menuju ruang tamu. Begitu memasuki ruangan, ia terkejut melihat tak ada satu pun orang di sana. Gadis itu mengerutkan keningnya sambil memandang heran ke arah ruang tamu yang kosong. "Loh, kok tamu-tamunya pada kemana, ya?" gumam Cantika bingung. Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya ke dalam ruangan yang berada bersebelahan dengan ruang tamu. Kedua mata Cantika membulat terkejut. "Di sini, Cantik. Kamu nyari kami di mana sih?" tanya seorang lelaki dengan senyum mesum mengembang di wajahnya, seolah menikmati raut kebingungan Cantika.Cantika berusaha menetralkan degup jantungnya yang terkejut dan berusaha berpikir positif, karena ingat dengan perkataan dari Kartika. Namun, tetap saja merasa susah lantaran hanya ada satu orang yang berada di ruangan ini. Bukankah Kartika berkata kalau ia harus menghibur para tamu, berarti bukan hanya satu orang saja? “Saya membawakan anggur untuk, Tuan.” Cantika membuka tutup botol itu untuk mempercepat pekerjaannya. Lelaki tampan bermata coklat tersebut tersenyum tipis, matanya terus menatap ke rok yang Cantika kenakan. “Kau harus layani aku dengan benar, Cantik! Karena aku tak suka kalau ada sedikit pun kesalahan.” Cantika berusaha tersenyum, walau pun terasa sangat sulit sekarang dilakukan. “Baik, saya akan melayani Anda tanpa melakukan kesalahan apa pun.” Tangan mungil tersebut berusaha menggapai gelas kosong yang disediakan di sana, tetapi baru saja menyentuhnya tangan lelaki asing itu sudah memegangi tangan Cantika. “Tuan, saya ingin mengambil gelas itu. Jadi saya
Jantung Cantika berdetak dengan kencang, bulir bening pun meluncur dengan deras dari kedua sudut matanya. Tangan mungil memukuli pintu dengan kuat dan mulut terus berteriak meminta pertolongan, berharap di luar sana ada seseorang yang lewat dan membukakan pintu untuknya. “Jangan takut seperti itu, Cantik. Aku hanya akan mengajakmu bersenang-senang saja.” Jack menuangkan anggur ke gelas hingga penuh , lalu diberikan kepada Cantika. Tubuh Cantika gemetar, kepalanya terus menggeleng dengan cepat. “Saya tidak mau!” Jack menatap tajam kepada gadis tersebut, tak terima dengan penolakan. “Aku hanya memberikanmu segelas anggur, bukan racun. Jadi minum!” Lelaki itu mencengkram rahang gadis tersebut dengan kuat, lalu memasukan paksa segelas anggur ke dalam mulut Cantika. “Minum!” teriak Jack dengan nada memaksa, tak suka penolakan yang dilakukan gadis itu sedari tadi. Cantika memilih memuntahkan anggur itu dari mulutnya, sehingga sekarang pakaian yang ia kenakan menjadi basah. “Kau masi
“N-nyonya Kartika yang memberikan anggur ini kepada saya, Tuan,” jawab Cantika dengan gugup. Andika mengarahkan tinjunya ke arah pintu, sehingga darah segar mulai mengalir dari tangannya. Cantika dengan sigap mendekat kepada sang suami, ia mengambil tangan Andika menatap nanar darah segar yang terus mengalir itu. “Kenapa Anda malah melakukan ini? Ayo kita obati dulu, takutnya malah jadi infeksi.” Cantika menarik tangan sang suami keluar. Sebenarnya tak tahu di mana kotak obat berada, sehingga gadis kecil tersebut hanya mengelilingi kediaman besar itu sedari tadi. “Lepaskan!” Andika menepis tangan Cantika. “Tapi luka di tangan Anda harus segera diobati, Tuan,” ucap Cantika dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Tak perlu diobati, karena ada yang lebih penting dari itu. Tentang kau mengatakan kebohongan di ruangan tadi, mana mungkin Kartika adalah wanita seperti itu. Jadi katakan saja yang sejujurnya, siapa yang memberikan botol anggur berisi obat itu kepadaku!” paksa Andika dengan
“Tikus!” jerit Cantika dengan suara nyaring. Wajah gadis itu sangatlah pucat, ia sangat ketakutan dengan binatang pengerat tersebut. Sehingga membuatnya tak bisa berpikiran jernih dan terus berteriak sedari tadi. Andika kebetulan tak jauh dari sana pun bergegas berlari menghampiri asal suara seseorang yang berteriak, ia takut kalau Jack yang masih berada di rumah ini menghampiri sang pelayan. Pintu lelaki itu buka dengan kasar, tak peduli kalau pintunya lepas karena ulahnya. Yang terpenting adalah menyelamatkan gadis terlihat lemah tersebut dari seseorang seperti Jack. Nihil, ternyata gadis tersebut sekarang hanya sendiri. Berdiri di atas kasur sambil memegangi sapu dengan wajah pucat. “Apa yang terjadi sehingga kau berteriak dengan keras seperti itu?” tanya Andika, wajah lelaki itu merengut. “Itu ada tikus.” Tunjuk Cantika ke pojok ruangan, di sana ada satu ekor tikus kecil. Andika mendesah, tak habis pikir gadis itu malah ketakutan dengan binatang yang sangatlah kecil. Mungki
Kartika berdecak kesal mendengar perkataan Cantika yang membela diri, “Tapi apapun perkataanmu, kau tetaplah istri kedua yang tak akan pernah mendapatkan hati Andika sampai kapan pun!” Perempuan itu langsung bergegas pergi dari sana dengan ekspresi penuh amarah. Ia merasa kehabisan kata-kata untuk melawan Cantika, karena yang dikatakan gadis tersebut adalah benar. Sedangkan Cantika baru bisa bernafas lega, lantaran bisa terhindar dari Amar yang mengerikan dari Kartika. “Kenapa dia selalu saja menarik rambutku? Kalau dia terus melakukan itu, bisa-bisa rambutku yang panjang ini akan habis,” ringis Cantika menahan rasa sakit yang masih terasa. Di dalam hati kecilnya merasa sangat tersakiti oleh perkataan dari Kartika. Namun, ia tak menolak fakta itu karena memang benar sepertinya tidak akan pernah mengalahkan Kartika sebagai istri pertama. Lalu bukankah dirinya tidak ada niatan untuk memiliki perasaan kepada Andika, gadis itu menikah
Kartika memandang datar kepada gadis yang berada di depannya sekarang ini. “Apa yang kau lihat?”Cantika menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak ada, Nyonya!”“Bagus, memang sepatutnya seperti itulah pelayan. Jangan pernah mencampuri apa yang dilakukan oleh majikan sendiri.” Kartika bersedekap dada, senyum sinis terukir di bibirnya. “ah, iya! Antarkan makan siang ke kamar.”Setelah mendengar perintah perempuan itu, Cantika segera melangkahkan kakinya ke ruang makan.“Eh, ada apa? Kenapa Nyonya Kartika tidak turun?” Gadis yang membantu memasak tadi memberondong pertanyaan kepada Cantika.“Nyonya ingin makan di dalam kamar saja, jadi memintaku untuk membawa semuanya ke kamar.” Cantika ingin mengangkat semuanya satu-persatu.“Kalau kau membawanya seperti itu, nanti Nyonya Kartika malah akan marah. Di sana ada troli untuk membawa beberapa hidangan sekaligus.” Gadis yang masih belum diketahui namanya itu menunjuk ke sudut dapur.
Wajah Cantika menjadi menegang, merasakan kalau sebenarnya gadis yang ada di depannya ini menyimpan sesuatu darinya. Namun, sama seperti tadi Diana hanya tertawa kecil melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Cantika.“Astaga, kenapa wajah kamu tegang terus sih dari tadi? Seperti seseorang yang menyimpan sesuatu saja,” kekeh Diana ia seakan sedang mengamati gadis tersebut.Cantika menetralkan wajahnya yang tegang, lalu mulai mengatakan alasan apa akhirnya berada di sini. “Em, bukan apa-apa sih. Aku hanya teringat dengan ayahku yang dirawat di rumah sakit, jadi memerlukan banyak biaya sedangkan aku tidak bekerja. Terus mendengar lowongan pekerjaan sebagai pelayan di sini, lalu melamar.”Senyuman canggung terukir di bibir Cantika, tetapi ia berusaha untuk membuat Diana percaya kepadanya. Lagi pula alasan yang dirinya katakan itu tidak sepenuhnya salah. “Em, begitu. Sepertinya kau harus menahan dirimu di tempat seperti ini untuk waktu yang l
Tak Cantika pedulikan lagi tentang ponselnya yang jatuh. Gadis tersebut berlari ke kamar di mana Kartika dan Andika berada, tidak mungkin ia tak minta izin dari mereka berdua. Sehingga tanpa ada rasa ragu mengetuk pintu tersebut dengan cepat.“Bisa tidak sih mengetuk pintunya pelan-pelan saja!” ketus Kartika dengan wajah sinisnya.Bukannya menjawab, bulir bening malah meluncur dengan deras dari kedua mata Cantika. Ia tak kuasa mengatakan apapun dari bibir mungilnya.Kartika merasa terkejut melihat itu, lantas mendorong Cantika untuk mundur supaya bisa menutup pintu kamar.“Cengeng banget jadi perempuan, dibentak sedikit saja nangis.” Kartika bersedekap dada, tak peduli dengan perasaan gadis itu.“Saya ingin izin pergi ke rumah sakit hari ini, karena keadaan ayah saya memburuk,” ucap Cantika terisak, tak dapat mengatakan dengan benar. “Paling ayahmu itu sebentar lagi akan mati. Jadi apa gunanya kau k