Share

Bab 4: Berharap Benih itu tidak Tumbuh

Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya. 

Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana.

“Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. 

Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya.

Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. 

Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan.

Fandy tak segera menoleh pada Riana setelah akad usai. Ia malah memalingkan pandangannya, menyendiri sambil menatap foto di layar ponselnya. Di sana, wajah Citra, perempuan yang seharusnya berada di sisinya kini, menatapnya dengan senyum samar. 

“Harusnya kamu yang duduk di sini,” gumamnya pelan, suaranya hanya didengar oleh dirinya sendiri. Wajahnya menegang, menahan rasa sedih yang tersirat namun tetap menjaga diri agar tak terlihat lemah.

Sementara itu, Riana duduk sendiri, mengenakan gaun putih yang membuatnya tampak anggun, bagai putri dari kerajaan dongeng yang siap dipersunting oleh pangeran. 

Tetapi, siapa yang akan menyangka, sang pangeran bahkan tak menganggapnya lebih dari sekadar boneka yang dipaksa hadir di hadapan para tamu? 

Sedari tadi, Fandy hanya memandangi layar ponselnya, menatap wajah sang kekasih yang kini tak dapat ia miliki sebagai istri karena penyakit yang tengah dideritanya dan harus dirawat di luar negeri.

Kerumunan tamu berbondong-bondong mendekati mereka, memberi selamat dan melemparkan doa-doa kebahagiaan. Salah seorang teman Yuni, ibu Fandy, menyambut dengan senyum cerah. 

“Selamat ya, Bu. Akhirnya, anaknya menikah juga. Istrinya cantik sekali ya, Bu.” Ia menggenggam tangan Riana dan Fandy sejenak, menatap mereka berdua dengan pandangan kagum.

Namun, di balik senyum yang terpampang, Fandy tak bisa menahan rasa muaknya terhadap situasi ini. Begitu tamu itu beranjak, ia memandang Riana datar, bibirnya terkatup dingin. 

“Jangan pernah menunjukkan kemenangan, karena pada akhirnya aku harus bertanggung jawab,” ucapnya datar, penuh nada sinis yang mengiris tipis perasaan Riana.

Riana hanya menghela napas panjang, menahan diri agar tak mengeluarkan sindiran yang sebenarnya ingin ia lontarkan. Alih-alih, ia menatap Fandy dengan sorot mata yang tidak mengindahkan kesinisannya. 

“Aku tidak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Jangan khawatir,” balasnya singkat, namun ketus.

Fandy menatapnya dengan kilatan sinis di matanya. “Meskipun kamu cantik, bukan berarti aku akan luluh lalu mengganti posisi Citra di hatiku,” katanya, dengan keyakinan yang seolah menegaskan bahwa hati Riana bukanlah sesuatu yang pantas ia beri perhatian.

Riana merasa ingin menertawakan arogansi lelaki ini, namun ia mengurungkan niat itu. Ia hanya menatap datar wajah Fandy, yang kini resmi menjadi suaminya dalam ikatan yang tak berarti bagi mereka berdua. 

Akhirnya, Riana duduk di kursi pelaminan, seolah mengikuti sandiwara pernikahan yang harus mereka jalani. Tamu-tamu yang hadir melihat pasangan pengantin yang berbahagia—setidaknya di permukaan. 

Tak seorang pun mengetahui bagaimana mereka menyembunyikan kebencian dan ketidakpedulian di balik senyum yang dipaksakan.

Resepsi itu begitu meriah, penuh kilauan lampu dan tawa tamu-tamu yang menyaksikan kebahagiaan palsu. Semuanya tampak sempurna, seolah mereka benar-benar pasangan yang saling mencintai. 

Padahal kenyataannya, perasaan yang ada di antara mereka hanyalah keterpaksaan yang memunculkan kehampaan.

Malam semakin larut. Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh ketika akhirnya mereka tiba di rumah baru yang telah disiapkan untuk mereka—hadiah pernikahan dari kakak Fandy, Satya, yang tak bisa hadir karena berada di luar negeri. 

Setibanya di sana, Fandy berjalan ke pintu masuk dan segera membagi wilayah seolah ia tak ingin berbagi sebutir pun keintiman dengan Riana.

“Ini kamarku, dan ini kamarmu!” katanya seraya menunjuk kamar-kamar yang ada di rumah itu. “Hanya jika ada orang tuaku saja, kita satu kamar. Ingat, Riana, jangan berharap lebih apalagi mengharapkan cinta dariku!” serunya dengan nada keras, seperti ingin mengukuhkan dinding tebal di antara mereka.

Riana tersenyum miring, menatap Fandy seolah menertawakannya tanpa suara. “Kalau bukan karena kamu yang memaksa dan orang tuamu yang setuju, aku pun tidak berharap kamu mau tanggung jawab,” balasnya. Ia tak lagi bisa menyembunyikan sindiran dalam suaranya.

Fandy menatapnya sekilas, dengan senyum pahit yang hanya menambah keangkuhan dalam dirinya. “Lalu, kamu menyesal karena sudah menuruti keinginan orang tuaku? Tenang saja, Riana. Setelah Citra sembuh dari sakitnya, aku akan menceraikan kamu dan berterima kasih padamu karena sudah bersedia menjadi pengantin pengganti!”

Riana hanya menatap nanar pada lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya. Suami hanya dalam sebutan, bukan dalam makna yang sesungguhnya. Tanpa kata-kata lagi, ia mengambil kopernya dan berjalan menuju kamar yang telah ditunjukkan oleh Fandy. 

Kamar itu luas, indah, namun hampa. Ia bahkan tak merasa ada kehangatan atau kenyamanan di dalamnya.

Sesampainya di dalam, Riana membaringkan kopernya dan berdiri di depan cermin. Wajahnya kini bersih tanpa riasan, hanya bayangan bathrobe putih yang menyelimuti tubuhnya. 

Menatap bayangan dirinya sendiri di cermin, ia merenung sejenak, memikirkan kehidupannya yang kini penuh ironi. “Pernikahan macam apa ini?” gumamnya, suaranya begitu lemah. “Menikah dengan pria yang sama sekali tidak menginginkanku, yang hanya memandangku sebagai kewajiban.”

Sambil mengusap wajahnya dengan lembut, ia berbicara pada bayangan dirinya sendiri, seolah menguatkan hati. “Mungkin sudah nasibku seperti ini,” ujarnya. “Menikah dengan pria yang tidak akan pernah mencintaiku. Dan aku pun tidak berniat mencintai kamu, Fandy.” 

Ucapannya mengandung sumpah yang menancap dalam di hatinya. “Semoga benih itu tidak tumbuh. Semoga kau benar-benar menceraikanku setelah kekasihmu sembuh,” tambahnya sambil menarik napas dalam, berharap ia bisa benar-benar menepati sumpahnya.

Tepat saat ia selesai berbicara pada dirinya sendiri, terdengar ketukan pelan di pintu kamar. Pintu berderit terbuka, dan Riana hampir terlonjak ketika melihat Fandy berdiri di sana, dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, tatapan matanya dingin seperti biasanya.

“Mau apa, kamu?” tanya Riana, matanya melebar karena terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status