Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya.
Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana. “Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya. Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan. Fandy tak segera menoleh pada Riana setelah akad usai. Ia malah memalingkan pandangannya, menyendiri sambil menatap foto di layar ponselnya. Di sana, wajah Citra, perempuan yang seharusnya berada di sisinya kini, menatapnya dengan senyum samar. “Harusnya kamu yang duduk di sini,” gumamnya pelan, suaranya hanya didengar oleh dirinya sendiri. Wajahnya menegang, menahan rasa sedih yang tersirat namun tetap menjaga diri agar tak terlihat lemah. Sementara itu, Riana duduk sendiri, mengenakan gaun putih yang membuatnya tampak anggun, bagai putri dari kerajaan dongeng yang siap dipersunting oleh pangeran. Tetapi, siapa yang akan menyangka, sang pangeran bahkan tak menganggapnya lebih dari sekadar boneka yang dipaksa hadir di hadapan para tamu? Sedari tadi, Fandy hanya memandangi layar ponselnya, menatap wajah sang kekasih yang kini tak dapat ia miliki sebagai istri karena penyakit yang tengah dideritanya dan harus dirawat di luar negeri. Kerumunan tamu berbondong-bondong mendekati mereka, memberi selamat dan melemparkan doa-doa kebahagiaan. Salah seorang teman Yuni, ibu Fandy, menyambut dengan senyum cerah. “Selamat ya, Bu. Akhirnya, anaknya menikah juga. Istrinya cantik sekali ya, Bu.” Ia menggenggam tangan Riana dan Fandy sejenak, menatap mereka berdua dengan pandangan kagum. Namun, di balik senyum yang terpampang, Fandy tak bisa menahan rasa muaknya terhadap situasi ini. Begitu tamu itu beranjak, ia memandang Riana datar, bibirnya terkatup dingin. “Jangan pernah menunjukkan kemenangan, karena pada akhirnya aku harus bertanggung jawab,” ucapnya datar, penuh nada sinis yang mengiris tipis perasaan Riana. Riana hanya menghela napas panjang, menahan diri agar tak mengeluarkan sindiran yang sebenarnya ingin ia lontarkan. Alih-alih, ia menatap Fandy dengan sorot mata yang tidak mengindahkan kesinisannya. “Aku tidak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Jangan khawatir,” balasnya singkat, namun ketus. Fandy menatapnya dengan kilatan sinis di matanya. “Meskipun kamu cantik, bukan berarti aku akan luluh lalu mengganti posisi Citra di hatiku,” katanya, dengan keyakinan yang seolah menegaskan bahwa hati Riana bukanlah sesuatu yang pantas ia beri perhatian. Riana merasa ingin menertawakan arogansi lelaki ini, namun ia mengurungkan niat itu. Ia hanya menatap datar wajah Fandy, yang kini resmi menjadi suaminya dalam ikatan yang tak berarti bagi mereka berdua. Akhirnya, Riana duduk di kursi pelaminan, seolah mengikuti sandiwara pernikahan yang harus mereka jalani. Tamu-tamu yang hadir melihat pasangan pengantin yang berbahagia—setidaknya di permukaan. Tak seorang pun mengetahui bagaimana mereka menyembunyikan kebencian dan ketidakpedulian di balik senyum yang dipaksakan. Resepsi itu begitu meriah, penuh kilauan lampu dan tawa tamu-tamu yang menyaksikan kebahagiaan palsu. Semuanya tampak sempurna, seolah mereka benar-benar pasangan yang saling mencintai. Padahal kenyataannya, perasaan yang ada di antara mereka hanyalah keterpaksaan yang memunculkan kehampaan. Malam semakin larut. Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh ketika akhirnya mereka tiba di rumah baru yang telah disiapkan untuk mereka—hadiah pernikahan dari kakak Fandy, Satya, yang tak bisa hadir karena berada di luar negeri. Setibanya di sana, Fandy berjalan ke pintu masuk dan segera membagi wilayah seolah ia tak ingin berbagi sebutir pun keintiman dengan Riana. “Ini kamarku, dan ini kamarmu!” katanya seraya menunjuk kamar-kamar yang ada di rumah itu. “Hanya jika ada orang tuaku saja, kita satu kamar. Ingat, Riana, jangan berharap lebih apalagi mengharapkan cinta dariku!” serunya dengan nada keras, seperti ingin mengukuhkan dinding tebal di antara mereka. Riana tersenyum miring, menatap Fandy seolah menertawakannya tanpa suara. “Kalau bukan karena kamu yang memaksa dan orang tuamu yang setuju, aku pun tidak berharap kamu mau tanggung jawab,” balasnya. Ia tak lagi bisa menyembunyikan sindiran dalam suaranya. Fandy menatapnya sekilas, dengan senyum pahit yang hanya menambah keangkuhan dalam dirinya. “Lalu, kamu menyesal karena sudah menuruti keinginan orang tuaku? Tenang saja, Riana. Setelah Citra sembuh dari sakitnya, aku akan menceraikan kamu dan berterima kasih padamu karena sudah bersedia menjadi pengantin pengganti!” Riana hanya menatap nanar pada lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya. Suami hanya dalam sebutan, bukan dalam makna yang sesungguhnya. Tanpa kata-kata lagi, ia mengambil kopernya dan berjalan menuju kamar yang telah ditunjukkan oleh Fandy. Kamar itu luas, indah, namun hampa. Ia bahkan tak merasa ada kehangatan atau kenyamanan di dalamnya. Sesampainya di dalam, Riana membaringkan kopernya dan berdiri di depan cermin. Wajahnya kini bersih tanpa riasan, hanya bayangan bathrobe putih yang menyelimuti tubuhnya. Menatap bayangan dirinya sendiri di cermin, ia merenung sejenak, memikirkan kehidupannya yang kini penuh ironi. “Pernikahan macam apa ini?” gumamnya, suaranya begitu lemah. “Menikah dengan pria yang sama sekali tidak menginginkanku, yang hanya memandangku sebagai kewajiban.” Sambil mengusap wajahnya dengan lembut, ia berbicara pada bayangan dirinya sendiri, seolah menguatkan hati. “Mungkin sudah nasibku seperti ini,” ujarnya. “Menikah dengan pria yang tidak akan pernah mencintaiku. Dan aku pun tidak berniat mencintai kamu, Fandy.” Ucapannya mengandung sumpah yang menancap dalam di hatinya. “Semoga benih itu tidak tumbuh. Semoga kau benar-benar menceraikanku setelah kekasihmu sembuh,” tambahnya sambil menarik napas dalam, berharap ia bisa benar-benar menepati sumpahnya. Tepat saat ia selesai berbicara pada dirinya sendiri, terdengar ketukan pelan di pintu kamar. Pintu berderit terbuka, dan Riana hampir terlonjak ketika melihat Fandy berdiri di sana, dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, tatapan matanya dingin seperti biasanya. “Mau apa, kamu?” tanya Riana, matanya melebar karena terkejut.Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucap
Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk
Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”Yuni memandang Rian
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s