Share

Bab 7: Penganti Baru?

Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”

Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”

Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. 

“Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”

Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”

Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”

Yuni memandang Riana dengan sorot mata yang penuh amarah, matanya menyala dalam dingin yang menghujam. “Tidak!” seru Yuni, nadanya tegas dan tak terbantahkan. 

“Keluarga itu sudah mempermalukan Mama! Mama tidak akan pernah merestui Fandy kembali pada perempuan itu. Walaupun sudah sembuh, Mama tidak akan pernah memberikan restu apalagi menyetujui dia menceraikan kamu.”

Yuni tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya, Fandy, masih berniat untuk kembali kepada Citra setelah perempuan itu sembuh. 

Sudah cukup baginya menahan amarah dan penghinaan ketika pernikahan mereka dibatalkan secara mendadak, hanya demi mengetahui belakangan bahwa alasan di balik pembatalan itu adalah penyakit yang Citra sembunyikan selama enam bulan terakhir. 

Keluarga Citra, baginya, tak hanya mempermalukan putranya tetapi juga mengorbankan martabat keluarganya sendiri.

“Bodoh! Bodoh kalau Fandy masih mencintai perempuan itu. Sudah tahu, keluarga Citra yang sudah membatalkan pernikahan itu. 

Itu artinya Citra sudah tidak menginginkan Fandy lagi. Brengsek, memang si Fandy ini,” geram Yuni, kemarahannya menggelegak tanpa kendali.

Riana hanya tersenyum tipis, pandangannya dingin, namun ada ketabahan yang tersembunyi di balik bibirnya yang tertutup rapat. 

Dia tahu betul sikap Fandy, bagaimana lelaki itu tak pernah benar-benar memperlakukannya dengan penuh cinta atau kasih sayang, namun tetap saja, sebagai istri yang terjebak dalam situasi ini, ia tahu batasan untuk berbicara.

“Ma,” bisiknya lirih, “Saya juga tidak mengharapkan pernikahan ini langgeng. Kalau bisa, saya ingin pisah saja dengan dia.”

Perkataan Riana membuat Yuni terkejut, dan tanpa berpikir panjang, perempuan itu jatuh berlutut di hadapan Riana, mengangkat kedua tangannya seolah merapal doa kepada Tuhan.

“Jangan, Nak,” katanya dengan suara lirih, penuh permohonan. “Mama mohon, jangan, Sayang. Mama tidak ingin kalian berpisah.”

Riana terperangah, mencoba menarik Yuni agar berdiri, namun Yuni menolak. “Ma… jangan seperti ini. Bangunlah, Ma!”

Yuni tetap menggelengkan kepalanya, suaranya bergetar penuh tekad. “Mama tidak akan bangun kalau kamu tidak mengiyakan permintaan Mama. Jangan cerai dengan Fandy, Sayang. Mama janji, Mama akan membuat Fandy mencintai kamu.”

Riana akhirnya mengangguk dengan berat hati, menyentuh tangan Yuni yang masih bergetar. “Iya, Ma. Saya tidak akan berpisah dengannya. Saya mohon, Ma, bangunlah.” Dengan lembut, dia menarik Yuni, membantunya untuk duduk kembali di sofa.

Yuni menatap Riana dengan penuh tekad, seperti ibu singa yang bersumpah melindungi anaknya. “Mama tidak ingin Fandy kembali pada Citra. Tanpa mereka sadari, mereka sudah membuat kami terluka. Fandy memang bodoh! Tapi, Mama akan memberi pelajaran padanya!”

“Jangan, Ma…” Riana berbisik dengan nada takut, hampir seperti gumaman. “Fandy akan memarahi saya karena Mama tahu apa yang dia rencanakan. Dia terlalu arogan menurut saya, Ma. Dia bisa… membunuhku kalau tahu, saya bercerita semuanya pada Mama.”

Riana menghela napas pelan, menyembunyikan ketakutan di balik kata-katanya. Fandy bukan hanya seorang lelaki yang bertindak sesuka hatinya; dia bisa menjadi sosok yang begitu menakutkan saat marah. 

Pernah suatu kali, ia kehilangan kendali, dan itu meninggalkan jejak dalam ingatan Riana. Keterbatasannya melawan, kelemahannya, semua itu membuat dia tak bisa melawan saat situasi memanas.

Yuni menggigit bibirnya, menahan amarah. “Mama pikir, Fandy akan melupakan perempuan itu. Rupanya tidak. Malah ingin menunggunya sampai sembuh dan akan menceraikan kamu kemudian menikah dengan dia. Kurang ajar!” serunya penuh kejengkelan. “Seharusnya dia berterima kasih pada kamu karena sudah bersedia menggantikan Citra.”

Di dalam hati Yuni, tersimpan kekecewaan yang mendalam pada putranya, putranya yang hanya mempermalukan dirinya dan keluarganya. 

“Tanpa kamu, Riana, mereka semua akan menertawakan keluarga kita. Mama tak akan membiarkan itu terjadi. Kamu harus tahu, kita semua berterima kasih atas pengorbananmu,” ujarnya dengan penuh empati.

Riana hanya bisa menganggukkan kepala. “Kalau begitu, Ma, saya akan berusaha sebaik mungkin,” ucapnya, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Mungkin keinginannya untuk berpisah hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.

Yuni berdiri, mengusap mata yang mulai basah, lalu menghela napas. “Mama harus pulang sekarang. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama. Jangan diam saja.”

Riana tersenyum tipis. “Iya, Ma. Saya akan menghubungi Mama kalau ada sesuatu.”

Setelah Yuni pergi, rumah itu terasa sunyi kembali. Riana duduk termenung, memandangi ruang kosong yang kini terasa seperti cangkang kosong. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore, saatnya berangkat kerja. 

Malam ini, ia merasa sedikit lega, sebab ia akan pulang larut malam, dan Fandy mungkin sudah tidur, memberinya waktu untuk menikmati kedamaian sementara.

Saat tiba di hotel, Vivi, rekannya, langsung mendekat. “Riana! Kemarin kamu ke mana? Kok nggak masuk?” tanya Vivi penasaran.

“Oh, kemarin ada urusan mendadak, Vi. Makanya nggak masuk,” jawab Riana beralasan, sambil mencoba tersenyum.

Vivi mengangguk. “Aah, baiklah. Eh, tolong bersihkan kamar nomor 203, ya. Aku mau ke lantai lima dulu, ada pasangan pengantin baru yang mau ketemu aku.”

“Pengantin baru? Siapa?” tanya Riana, sedikit tertarik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status