Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”
Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…” Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.” Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?” Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.” Yuni memandang Riana dengan sorot mata yang penuh amarah, matanya menyala dalam dingin yang menghujam. “Tidak!” seru Yuni, nadanya tegas dan tak terbantahkan. “Keluarga itu sudah mempermalukan Mama! Mama tidak akan pernah merestui Fandy kembali pada perempuan itu. Walaupun sudah sembuh, Mama tidak akan pernah memberikan restu apalagi menyetujui dia menceraikan kamu.” Yuni tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya, Fandy, masih berniat untuk kembali kepada Citra setelah perempuan itu sembuh. Sudah cukup baginya menahan amarah dan penghinaan ketika pernikahan mereka dibatalkan secara mendadak, hanya demi mengetahui belakangan bahwa alasan di balik pembatalan itu adalah penyakit yang Citra sembunyikan selama enam bulan terakhir. Keluarga Citra, baginya, tak hanya mempermalukan putranya tetapi juga mengorbankan martabat keluarganya sendiri. “Bodoh! Bodoh kalau Fandy masih mencintai perempuan itu. Sudah tahu, keluarga Citra yang sudah membatalkan pernikahan itu. Itu artinya Citra sudah tidak menginginkan Fandy lagi. Brengsek, memang si Fandy ini,” geram Yuni, kemarahannya menggelegak tanpa kendali. Riana hanya tersenyum tipis, pandangannya dingin, namun ada ketabahan yang tersembunyi di balik bibirnya yang tertutup rapat. Dia tahu betul sikap Fandy, bagaimana lelaki itu tak pernah benar-benar memperlakukannya dengan penuh cinta atau kasih sayang, namun tetap saja, sebagai istri yang terjebak dalam situasi ini, ia tahu batasan untuk berbicara. “Ma,” bisiknya lirih, “Saya juga tidak mengharapkan pernikahan ini langgeng. Kalau bisa, saya ingin pisah saja dengan dia.” Perkataan Riana membuat Yuni terkejut, dan tanpa berpikir panjang, perempuan itu jatuh berlutut di hadapan Riana, mengangkat kedua tangannya seolah merapal doa kepada Tuhan. “Jangan, Nak,” katanya dengan suara lirih, penuh permohonan. “Mama mohon, jangan, Sayang. Mama tidak ingin kalian berpisah.” Riana terperangah, mencoba menarik Yuni agar berdiri, namun Yuni menolak. “Ma… jangan seperti ini. Bangunlah, Ma!” Yuni tetap menggelengkan kepalanya, suaranya bergetar penuh tekad. “Mama tidak akan bangun kalau kamu tidak mengiyakan permintaan Mama. Jangan cerai dengan Fandy, Sayang. Mama janji, Mama akan membuat Fandy mencintai kamu.” Riana akhirnya mengangguk dengan berat hati, menyentuh tangan Yuni yang masih bergetar. “Iya, Ma. Saya tidak akan berpisah dengannya. Saya mohon, Ma, bangunlah.” Dengan lembut, dia menarik Yuni, membantunya untuk duduk kembali di sofa. Yuni menatap Riana dengan penuh tekad, seperti ibu singa yang bersumpah melindungi anaknya. “Mama tidak ingin Fandy kembali pada Citra. Tanpa mereka sadari, mereka sudah membuat kami terluka. Fandy memang bodoh! Tapi, Mama akan memberi pelajaran padanya!” “Jangan, Ma…” Riana berbisik dengan nada takut, hampir seperti gumaman. “Fandy akan memarahi saya karena Mama tahu apa yang dia rencanakan. Dia terlalu arogan menurut saya, Ma. Dia bisa… membunuhku kalau tahu, saya bercerita semuanya pada Mama.” Riana menghela napas pelan, menyembunyikan ketakutan di balik kata-katanya. Fandy bukan hanya seorang lelaki yang bertindak sesuka hatinya; dia bisa menjadi sosok yang begitu menakutkan saat marah. Pernah suatu kali, ia kehilangan kendali, dan itu meninggalkan jejak dalam ingatan Riana. Keterbatasannya melawan, kelemahannya, semua itu membuat dia tak bisa melawan saat situasi memanas. Yuni menggigit bibirnya, menahan amarah. “Mama pikir, Fandy akan melupakan perempuan itu. Rupanya tidak. Malah ingin menunggunya sampai sembuh dan akan menceraikan kamu kemudian menikah dengan dia. Kurang ajar!” serunya penuh kejengkelan. “Seharusnya dia berterima kasih pada kamu karena sudah bersedia menggantikan Citra.” Di dalam hati Yuni, tersimpan kekecewaan yang mendalam pada putranya, putranya yang hanya mempermalukan dirinya dan keluarganya. “Tanpa kamu, Riana, mereka semua akan menertawakan keluarga kita. Mama tak akan membiarkan itu terjadi. Kamu harus tahu, kita semua berterima kasih atas pengorbananmu,” ujarnya dengan penuh empati. Riana hanya bisa menganggukkan kepala. “Kalau begitu, Ma, saya akan berusaha sebaik mungkin,” ucapnya, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Mungkin keinginannya untuk berpisah hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud. Yuni berdiri, mengusap mata yang mulai basah, lalu menghela napas. “Mama harus pulang sekarang. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama. Jangan diam saja.” Riana tersenyum tipis. “Iya, Ma. Saya akan menghubungi Mama kalau ada sesuatu.” Setelah Yuni pergi, rumah itu terasa sunyi kembali. Riana duduk termenung, memandangi ruang kosong yang kini terasa seperti cangkang kosong. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore, saatnya berangkat kerja. Malam ini, ia merasa sedikit lega, sebab ia akan pulang larut malam, dan Fandy mungkin sudah tidur, memberinya waktu untuk menikmati kedamaian sementara. Saat tiba di hotel, Vivi, rekannya, langsung mendekat. “Riana! Kemarin kamu ke mana? Kok nggak masuk?” tanya Vivi penasaran. “Oh, kemarin ada urusan mendadak, Vi. Makanya nggak masuk,” jawab Riana beralasan, sambil mencoba tersenyum. Vivi mengangguk. “Aah, baiklah. Eh, tolong bersihkan kamar nomor 203, ya. Aku mau ke lantai lima dulu, ada pasangan pengantin baru yang mau ketemu aku.” “Pengantin baru? Siapa?” tanya Riana, sedikit tertarik.“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
Malam sudah larut, jam berdentang dua belas, dan angin terasa dingin menusuk hingga ke sumsum. Di sudut gelap parkiran hotel, Riana duduk di atas jok motornya, bersiap pulang setelah jam kerjanya yang panjang.Pandangannya sejenak tertuju ke jalanan yang lengang, seolah mencari sesuatu di kejauhan, sebelum suara pelan memanggil namanya.“Riana?”Dimas muncul dari kegelapan, menghampirinya dengan langkah perlahan yang seperti menembus kabut malam. Wajahnya setengah tersenyum di bawah cahaya temaram.“Iya, Dimas?” Riana menoleh, memasang helmnya dengan gerakan anggun namun terburu.“HP kamu ketinggalan.” Dimas mengulurkan benda kecil itu, ponselnya, yang bersinar redup seperti memberi tahu hal penting yang tertunda.“Oh, astaga. Thanks, Dim,” sahutnya sambil meraih ponsel dari tangan Dimas. Jemari mereka hampir bersentuhan, dan ada jeda yang terasa lama—atau mungkin itu hanya di benak Dimas
Lelaki itu, masih diliputi keangkuhan yang kental, menatap Riana yang tengah sibuk dengan masakan di dapur. “Buatkan aku sup pereda pengar. Sup tauge,” titahnya, nadanya datar, nyaris tanpa ekspresi.“Ya,” jawab Riana pendek. Kata-katanya tercekat, hanya sepatah dua yang keluar, seakan menyimpan seluruh perasaan yang mendidih di dalam.Fandy memandang punggung Riana, ada sesuatu yang ganjil yang tak bisa ia abaikan. Wajah Riana yang keras kepala dan teguh seolah menantang untuk dikenal lebih dalam, tetapi harga dirinya terlanjur menahannya.“Riana!” panggil Fandy dengan suara yang nyaris dingin.“Ya?” sahut Riana lagi, suara yang terkesan acuh, sekilas menusuk ke relung keangkuhan Fandy.“Jangan dekat-dekat Kak Satya,” ujarnya pelan namun tegas, mengabaikan tatapan penuh kecurigaan Riana. “Dia bukan orang sembarangan, dan kamu harus tahu… dia tidak menyukai perempuan seperti k
Pagi tiba dengan warna-warna lembut yang mengintip di antara gorden jendela. Dengan hati yang setengah ragu, Riana berdiri di dapur, memasak sup untuk Fandy, mencoba mengusir sisa mabuk yang melekat padanya."Aku akan berhenti jadi istri Fandy setelah Citra kembali," bisiknya pada dirinya sendiri, suara yang bergetar oleh keraguan. "Tapi... bagaimana jika Mama tidak setuju? Apakah selamanya aku akan terjebak dalam bayang-bayang wanita yang tak pernah kulihat?"Suara langkah berat di belakangnya menghentikan pikirannya. Fandy berjalan mendekatinya, tatapan datar menghiasi wajahnya, sisa malam tadi masih tampak di garis-garis wajahnya. "Apa yang sedang kamu buat?" tanyanya, suaranya rendah, nyaris tanpa emosi."Sup pereda pengar, untukmu," jawab Riana, suaranya terdengar lebih dingin dari udara pagi, dan pandangannya terarah lurus ke panci sup.Fandy menghela napas, perasaan yang terpendam menyelimuti suasana. "Aku akan mandi," ucapnya sebelum beranjak perg
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak
Riana meringis pelan. "Yaa maksudnya banyak banget ini, Kak. Aku nggak sanggup nih, buka sendirian hadiahnya.""Nanti aku bantu. Mama sama Papa juga nanti ke sini buat bantu kita bukain kadonya Fabian.""Okelah kalau begitu. Kamu masih cuti, Kak?" tanyanya kemudian."Sampai besok. Kenapa memangnya?""Nggak sih. Cuma nanya aja."Satya menaikan alisnya sebelah. "Nggak biasanya kamu nanya tapi nggak ada alasan. Ada apa, hem?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah istrinya itu."Nggak, kok. Beneran cuma nanya aja.""Oh, begitu. Baiklah." Satya kemudian mengulas senyumnya. "Eum. Ada yang ingin aku tanyakan pada kamu, Sayang."Satya menggenggam kedua tangan Riana seraya menatapnya dengan lekat kemudian menghela napasnya dengan panjang."Maaf, kalau aku terkesan buru-buru. Tapi, aku hanya ingin tahu adakah niat di hati kamu atau tidak."Riana menaikan alisnya sebelah. "Maksud kamu?" tanyanyak masih bingung dengan ucapan dari suaminya itu.Satya menelan saliva dengan pelan. "Eum! Aku ingin
Satu tahun berlalu.Usia Fabian kini sudah satu tahun. Tepat di hari ini, Fabian merayakan ulang tahunnya yang pertama. Di hotel miliknya di sebuah aula yang sangat luas, kedua orang tuanya merayakan ulang tahun anak satu-satunya mereka dengan meriah."Selamat ulang tahun cucuku. Oma doakan kamu akan menjadi anak yang baik dan sayang pada kedua orang tuamu." Yuni memberikan selamat kepada sang cucu sembari mencium pipinya."Makasih ya, Oma. Hadiahnya banyak banget." Riana mengusapi pucuk kepala sang anak sembari berbicara kepada mertuanya."Sama-sama. Ini nggak seberapa sama hadiah yang dikasih Satya."Riana mengulas senyumnya. "Kalian memang sangat luar biasa. Aku sayang kalian semua. Fabian juga pasti menyayangi papa, oma dan opanya."Yuni kemudian mengusapi lengan menantunya itu sembari mengulas senyumnya. "Banyak, yang menyayangi kamu dan Fabian, Sayang. Lihatlah! Betapa banyak tamu undangan yang menghadiri acara ulang tahun Fabian."Riana mengulas senyum lagi seraya menganggukkan
Lima belas menit setelah mandi, Satya keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang hanya dililit oleh handuk membuatnya malu sendiri."Kamu kenapa sih, Kak? Gugup?" tanya Riana kemudian mengatup bibirnya menahan tawa melihat wajah Satya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu lucu ia lihat.Satya menghela napasnya dengan panjang kemudian menghampiri Riana dan menatapnya dengan lekat."Aku memang sedikit gugup, tapi aku juga pengen.""Ya udah, nggak usah gugup. Kamu berhak minta kapan pun selagi aku sempat dan mau juga. Walau sebenarnya menolak itu dosa."Satya menerbitkan senyumnya. "Baiklah. Maaf ya, kalau aku terkesan norak."Riana mengusapi lengan suaminya itu. "Nggak apa-apa. Aku maklumi kok. Nanti juga terbiasa. Lagi pula, kita nikah juga baru satu minggu. Belum satu tahun."Satya menerbitkan cengiran. "Ya sudah kalau begitu, kita mulai saja."Riana mengangguk seraya mengulas senyumnya kepada suaminya itu. Satya kemudian melangkah lebih mendekat kepada Riana.Meraup bibir itu dengan lembu
Tak lama setelahnya, Satya mengakhiri panggilan tersebut dan menghampiri Riana yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya."Masak apa hari ini?" tanyanya sembari membuka kotak nasi tersebut."Cumi saus padang sama tumis kangkung pakai udang. Nggak ada alergi udang, kan?"Satya menggeleng. "Nggak kok. Terima kasih, sudah membawakan aku makan siang masakan kamu.""Sama-sama. Dihabisin ya, jangan sampai nggak.""Pasti. Masakan kamu enak, nggak pernah gagal."Riana lantas menerbitkan senyumnya mendengar pujian dari sang suami. "Bisa aja. Padahal aku sering lho, gagal bikin masakan.""Nggak apa-apa. Aku maklumi. Namanya manusia tidak ada yang sempurna."Riana kembali tersenyum mendengar ucapan dari suaminya itu. "Manis banget sih. Suami siapa sih ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan. "Dihabisin nasinya. Nanti yang udah buatnya nangis.""Nanti aku peluk kalau nangis."Riana lantas mengerucutkan bibirnya. "Bisa-bisanya ngegombal. Saya ini udah jadi istri Bapak. Nggak butuh