“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
Malam sudah larut, jam berdentang dua belas, dan angin terasa dingin menusuk hingga ke sumsum. Di sudut gelap parkiran hotel, Riana duduk di atas jok motornya, bersiap pulang setelah jam kerjanya yang panjang.Pandangannya sejenak tertuju ke jalanan yang lengang, seolah mencari sesuatu di kejauhan, sebelum suara pelan memanggil namanya.“Riana?”Dimas muncul dari kegelapan, menghampirinya dengan langkah perlahan yang seperti menembus kabut malam. Wajahnya setengah tersenyum di bawah cahaya temaram.“Iya, Dimas?” Riana menoleh, memasang helmnya dengan gerakan anggun namun terburu.“HP kamu ketinggalan.” Dimas mengulurkan benda kecil itu, ponselnya, yang bersinar redup seperti memberi tahu hal penting yang tertunda.“Oh, astaga. Thanks, Dim,” sahutnya sambil meraih ponsel dari tangan Dimas. Jemari mereka hampir bersentuhan, dan ada jeda yang terasa lama—atau mungkin itu hanya di benak Dimas
Lelaki itu, masih diliputi keangkuhan yang kental, menatap Riana yang tengah sibuk dengan masakan di dapur. “Buatkan aku sup pereda pengar. Sup tauge,” titahnya, nadanya datar, nyaris tanpa ekspresi.“Ya,” jawab Riana pendek. Kata-katanya tercekat, hanya sepatah dua yang keluar, seakan menyimpan seluruh perasaan yang mendidih di dalam.Fandy memandang punggung Riana, ada sesuatu yang ganjil yang tak bisa ia abaikan. Wajah Riana yang keras kepala dan teguh seolah menantang untuk dikenal lebih dalam, tetapi harga dirinya terlanjur menahannya.“Riana!” panggil Fandy dengan suara yang nyaris dingin.“Ya?” sahut Riana lagi, suara yang terkesan acuh, sekilas menusuk ke relung keangkuhan Fandy.“Jangan dekat-dekat Kak Satya,” ujarnya pelan namun tegas, mengabaikan tatapan penuh kecurigaan Riana. “Dia bukan orang sembarangan, dan kamu harus tahu… dia tidak menyukai perempuan seperti k
Pagi tiba dengan warna-warna lembut yang mengintip di antara gorden jendela. Dengan hati yang setengah ragu, Riana berdiri di dapur, memasak sup untuk Fandy, mencoba mengusir sisa mabuk yang melekat padanya."Aku akan berhenti jadi istri Fandy setelah Citra kembali," bisiknya pada dirinya sendiri, suara yang bergetar oleh keraguan. "Tapi... bagaimana jika Mama tidak setuju? Apakah selamanya aku akan terjebak dalam bayang-bayang wanita yang tak pernah kulihat?"Suara langkah berat di belakangnya menghentikan pikirannya. Fandy berjalan mendekatinya, tatapan datar menghiasi wajahnya, sisa malam tadi masih tampak di garis-garis wajahnya. "Apa yang sedang kamu buat?" tanyanya, suaranya rendah, nyaris tanpa emosi."Sup pereda pengar, untukmu," jawab Riana, suaranya terdengar lebih dingin dari udara pagi, dan pandangannya terarah lurus ke panci sup.Fandy menghela napas, perasaan yang terpendam menyelimuti suasana. "Aku akan mandi," ucapnya sebelum beranjak perg
Kalimat itu meluncur tajam, mengguncang dinding hati Fandy yang rapuh. Hatinya berdebar, namun ia tak mampu berkata-kata.Ia hanya bisa menatap Riana, melihat bagaimana setiap kata yang diucapkan Riana mengiris hatinya sendiri.“Jika memang hati dan pikiranmu hanya untuk Citra, maka jangan pernah menyentuhku lagi, Fandy. Aku akan memberi tahu Mama jika kau mengulangi kesalahan yang sama.”Riana menyelesaikan kalimatnya, nadanya tegas, namun di balik ketegasan itu, ada retakan kecil yang membuat suaranya bergetar.Dengan tegar, Riana berdiri, mengakhiri sarapannya dan meninggalkan meja, sementara Fandy duduk membeku, tenggelam dalam rasa bersalah yang mulai menggelayut di hatinya.Di dalam dirinya, pertanyaan itu bergema: Apakah ia bisa melepaskan bayangan Citra yang terus membayanginya? Fandy menyandarkan wajahnya ke telapak tangan, merasakan beban yang tak kunjung berkurang.**Di The Spring Hotel, setelah perjalanan panj
Riana menggerutu kesal. “Dasar, pria aneh!” serunya sebelum memasang helm. Ia melaju pulang, memikirkan dengan penuh tanda tanya mengapa Fandy tiba-tiba memintanya segera pulang.Sesampainya di rumah, ia membuka helm dan jaket, lalu melangkah masuk sambil menenteng kantong plastik belanjaan. Di ruang tengah, Fandy sudah menunggunya, duduk di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan.“Ada apa?” tanyanya singkat.Fandy menatapnya datar, tanpa menjawab, hanya menyuruhnya menyimpan belanjaannya dulu. Riana mendengus kecil, lalu menuju dapur. “Nyuruh-nyuruh cepat pulang, tapi pas sudah sampai malah menyuruh simpan belanjaan dulu,” gumamnya.Sepuluh menit kemudian, Riana kembali ke ruang tengah, melihat Fandy masih duduk dengan ekspresi yang tak berubah. Kali ini, ia duduk di sofa di sampingnya.“Ada apa?” ulangnya, lebih tegas.Fandy menepuk sofa di sampingnya, meminta Riana duduk lebih dekat. Tatapannya serius, mengintip langsung ke kedalaman mata Riana, seolah ada yang ingin ia cari di s
Riana tertawa pendek, terkekeh. "Hah? Dari mana kesimpulan itu, Fandy? ‘Baiklah kalau begitu’ artinya aku paham, bukan berarti aku setuju untuk menuruti keinginanmu."Fandy menelan ludah, sedikit terintimidasi tapi juga tak ingin menyerah. “Jadi... kamu menolaknya lagi?”Riana mengangkat bahunya, ekspresinya tak terpengaruh. "Aku tidak bilang begitu juga.”Namun, tanpa peringatan, Fandy mendekat, menarik tubuh Riana ke pelukannya, meraup bibirnya. Riana terperangah, tapi tidak sempat menolak. Fandy semakin agresif, tangannya berusaha membuka daster yang dikenakan Riana."Jangan bermain-main denganku, Riana," bisiknya kasar. "Kamu sudah terlalu lama mengulur waktu."Riana terpaksa membiarkan Fandy melakukan kehendaknya, meskipun pandangannya tetap dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus. Di tengah rasa sakit, amarahnya makin membara, dan dengan nada lirih, ia berkata, "Munafik!"Fandy yang sedang menikmati tubuh istrinya, mendongak, "Apa kamu bilang?"Riana menggeleng denga
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak
Riana meringis pelan. "Yaa maksudnya banyak banget ini, Kak. Aku nggak sanggup nih, buka sendirian hadiahnya.""Nanti aku bantu. Mama sama Papa juga nanti ke sini buat bantu kita bukain kadonya Fabian.""Okelah kalau begitu. Kamu masih cuti, Kak?" tanyanya kemudian."Sampai besok. Kenapa memangnya?""Nggak sih. Cuma nanya aja."Satya menaikan alisnya sebelah. "Nggak biasanya kamu nanya tapi nggak ada alasan. Ada apa, hem?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah istrinya itu."Nggak, kok. Beneran cuma nanya aja.""Oh, begitu. Baiklah." Satya kemudian mengulas senyumnya. "Eum. Ada yang ingin aku tanyakan pada kamu, Sayang."Satya menggenggam kedua tangan Riana seraya menatapnya dengan lekat kemudian menghela napasnya dengan panjang."Maaf, kalau aku terkesan buru-buru. Tapi, aku hanya ingin tahu adakah niat di hati kamu atau tidak."Riana menaikan alisnya sebelah. "Maksud kamu?" tanyanyak masih bingung dengan ucapan dari suaminya itu.Satya menelan saliva dengan pelan. "Eum! Aku ingin
Satu tahun berlalu.Usia Fabian kini sudah satu tahun. Tepat di hari ini, Fabian merayakan ulang tahunnya yang pertama. Di hotel miliknya di sebuah aula yang sangat luas, kedua orang tuanya merayakan ulang tahun anak satu-satunya mereka dengan meriah."Selamat ulang tahun cucuku. Oma doakan kamu akan menjadi anak yang baik dan sayang pada kedua orang tuamu." Yuni memberikan selamat kepada sang cucu sembari mencium pipinya."Makasih ya, Oma. Hadiahnya banyak banget." Riana mengusapi pucuk kepala sang anak sembari berbicara kepada mertuanya."Sama-sama. Ini nggak seberapa sama hadiah yang dikasih Satya."Riana mengulas senyumnya. "Kalian memang sangat luar biasa. Aku sayang kalian semua. Fabian juga pasti menyayangi papa, oma dan opanya."Yuni kemudian mengusapi lengan menantunya itu sembari mengulas senyumnya. "Banyak, yang menyayangi kamu dan Fabian, Sayang. Lihatlah! Betapa banyak tamu undangan yang menghadiri acara ulang tahun Fabian."Riana mengulas senyum lagi seraya menganggukkan
Lima belas menit setelah mandi, Satya keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang hanya dililit oleh handuk membuatnya malu sendiri."Kamu kenapa sih, Kak? Gugup?" tanya Riana kemudian mengatup bibirnya menahan tawa melihat wajah Satya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu lucu ia lihat.Satya menghela napasnya dengan panjang kemudian menghampiri Riana dan menatapnya dengan lekat."Aku memang sedikit gugup, tapi aku juga pengen.""Ya udah, nggak usah gugup. Kamu berhak minta kapan pun selagi aku sempat dan mau juga. Walau sebenarnya menolak itu dosa."Satya menerbitkan senyumnya. "Baiklah. Maaf ya, kalau aku terkesan norak."Riana mengusapi lengan suaminya itu. "Nggak apa-apa. Aku maklumi kok. Nanti juga terbiasa. Lagi pula, kita nikah juga baru satu minggu. Belum satu tahun."Satya menerbitkan cengiran. "Ya sudah kalau begitu, kita mulai saja."Riana mengangguk seraya mengulas senyumnya kepada suaminya itu. Satya kemudian melangkah lebih mendekat kepada Riana.Meraup bibir itu dengan lembu
Tak lama setelahnya, Satya mengakhiri panggilan tersebut dan menghampiri Riana yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya."Masak apa hari ini?" tanyanya sembari membuka kotak nasi tersebut."Cumi saus padang sama tumis kangkung pakai udang. Nggak ada alergi udang, kan?"Satya menggeleng. "Nggak kok. Terima kasih, sudah membawakan aku makan siang masakan kamu.""Sama-sama. Dihabisin ya, jangan sampai nggak.""Pasti. Masakan kamu enak, nggak pernah gagal."Riana lantas menerbitkan senyumnya mendengar pujian dari sang suami. "Bisa aja. Padahal aku sering lho, gagal bikin masakan.""Nggak apa-apa. Aku maklumi. Namanya manusia tidak ada yang sempurna."Riana kembali tersenyum mendengar ucapan dari suaminya itu. "Manis banget sih. Suami siapa sih ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan. "Dihabisin nasinya. Nanti yang udah buatnya nangis.""Nanti aku peluk kalau nangis."Riana lantas mengerucutkan bibirnya. "Bisa-bisanya ngegombal. Saya ini udah jadi istri Bapak. Nggak butuh