Malam sudah larut, jam berdentang dua belas, dan angin terasa dingin menusuk hingga ke sumsum. Di sudut gelap parkiran hotel, Riana duduk di atas jok motornya, bersiap pulang setelah jam kerjanya yang panjang.Pandangannya sejenak tertuju ke jalanan yang lengang, seolah mencari sesuatu di kejauhan, sebelum suara pelan memanggil namanya.“Riana?”Dimas muncul dari kegelapan, menghampirinya dengan langkah perlahan yang seperti menembus kabut malam. Wajahnya setengah tersenyum di bawah cahaya temaram.“Iya, Dimas?” Riana menoleh, memasang helmnya dengan gerakan anggun namun terburu.“HP kamu ketinggalan.” Dimas mengulurkan benda kecil itu, ponselnya, yang bersinar redup seperti memberi tahu hal penting yang tertunda.“Oh, astaga. Thanks, Dim,” sahutnya sambil meraih ponsel dari tangan Dimas. Jemari mereka hampir bersentuhan, dan ada jeda yang terasa lama—atau mungkin itu hanya di benak Dimas
Lelaki itu, masih diliputi keangkuhan yang kental, menatap Riana yang tengah sibuk dengan masakan di dapur. “Buatkan aku sup pereda pengar. Sup tauge,” titahnya, nadanya datar, nyaris tanpa ekspresi.“Ya,” jawab Riana pendek. Kata-katanya tercekat, hanya sepatah dua yang keluar, seakan menyimpan seluruh perasaan yang mendidih di dalam.Fandy memandang punggung Riana, ada sesuatu yang ganjil yang tak bisa ia abaikan. Wajah Riana yang keras kepala dan teguh seolah menantang untuk dikenal lebih dalam, tetapi harga dirinya terlanjur menahannya.“Riana!” panggil Fandy dengan suara yang nyaris dingin.“Ya?” sahut Riana lagi, suara yang terkesan acuh, sekilas menusuk ke relung keangkuhan Fandy.“Jangan dekat-dekat Kak Satya,” ujarnya pelan namun tegas, mengabaikan tatapan penuh kecurigaan Riana. “Dia bukan orang sembarangan, dan kamu harus tahu… dia tidak menyukai perempuan seperti k
Pagi tiba dengan warna-warna lembut yang mengintip di antara gorden jendela. Dengan hati yang setengah ragu, Riana berdiri di dapur, memasak sup untuk Fandy, mencoba mengusir sisa mabuk yang melekat padanya."Aku akan berhenti jadi istri Fandy setelah Citra kembali," bisiknya pada dirinya sendiri, suara yang bergetar oleh keraguan. "Tapi... bagaimana jika Mama tidak setuju? Apakah selamanya aku akan terjebak dalam bayang-bayang wanita yang tak pernah kulihat?"Suara langkah berat di belakangnya menghentikan pikirannya. Fandy berjalan mendekatinya, tatapan datar menghiasi wajahnya, sisa malam tadi masih tampak di garis-garis wajahnya. "Apa yang sedang kamu buat?" tanyanya, suaranya rendah, nyaris tanpa emosi."Sup pereda pengar, untukmu," jawab Riana, suaranya terdengar lebih dingin dari udara pagi, dan pandangannya terarah lurus ke panci sup.Fandy menghela napas, perasaan yang terpendam menyelimuti suasana. "Aku akan mandi," ucapnya sebelum beranjak perg
Kalimat itu meluncur tajam, mengguncang dinding hati Fandy yang rapuh. Hatinya berdebar, namun ia tak mampu berkata-kata.Ia hanya bisa menatap Riana, melihat bagaimana setiap kata yang diucapkan Riana mengiris hatinya sendiri.“Jika memang hati dan pikiranmu hanya untuk Citra, maka jangan pernah menyentuhku lagi, Fandy. Aku akan memberi tahu Mama jika kau mengulangi kesalahan yang sama.”Riana menyelesaikan kalimatnya, nadanya tegas, namun di balik ketegasan itu, ada retakan kecil yang membuat suaranya bergetar.Dengan tegar, Riana berdiri, mengakhiri sarapannya dan meninggalkan meja, sementara Fandy duduk membeku, tenggelam dalam rasa bersalah yang mulai menggelayut di hatinya.Di dalam dirinya, pertanyaan itu bergema: Apakah ia bisa melepaskan bayangan Citra yang terus membayanginya? Fandy menyandarkan wajahnya ke telapak tangan, merasakan beban yang tak kunjung berkurang.**Di The Spring Hotel, setelah perjalanan panj
Riana menggerutu kesal. “Dasar, pria aneh!” serunya sebelum memasang helm. Ia melaju pulang, memikirkan dengan penuh tanda tanya mengapa Fandy tiba-tiba memintanya segera pulang.Sesampainya di rumah, ia membuka helm dan jaket, lalu melangkah masuk sambil menenteng kantong plastik belanjaan. Di ruang tengah, Fandy sudah menunggunya, duduk di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan.“Ada apa?” tanyanya singkat.Fandy menatapnya datar, tanpa menjawab, hanya menyuruhnya menyimpan belanjaannya dulu. Riana mendengus kecil, lalu menuju dapur. “Nyuruh-nyuruh cepat pulang, tapi pas sudah sampai malah menyuruh simpan belanjaan dulu,” gumamnya.Sepuluh menit kemudian, Riana kembali ke ruang tengah, melihat Fandy masih duduk dengan ekspresi yang tak berubah. Kali ini, ia duduk di sofa di sampingnya.“Ada apa?” ulangnya, lebih tegas.Fandy menepuk sofa di sampingnya, meminta Riana duduk lebih dekat. Tatapannya serius, mengintip langsung ke kedalaman mata Riana, seolah ada yang ingin ia cari di s
Riana tertawa pendek, terkekeh. "Hah? Dari mana kesimpulan itu, Fandy? ‘Baiklah kalau begitu’ artinya aku paham, bukan berarti aku setuju untuk menuruti keinginanmu."Fandy menelan ludah, sedikit terintimidasi tapi juga tak ingin menyerah. “Jadi... kamu menolaknya lagi?”Riana mengangkat bahunya, ekspresinya tak terpengaruh. "Aku tidak bilang begitu juga.”Namun, tanpa peringatan, Fandy mendekat, menarik tubuh Riana ke pelukannya, meraup bibirnya. Riana terperangah, tapi tidak sempat menolak. Fandy semakin agresif, tangannya berusaha membuka daster yang dikenakan Riana."Jangan bermain-main denganku, Riana," bisiknya kasar. "Kamu sudah terlalu lama mengulur waktu."Riana terpaksa membiarkan Fandy melakukan kehendaknya, meskipun pandangannya tetap dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus. Di tengah rasa sakit, amarahnya makin membara, dan dengan nada lirih, ia berkata, "Munafik!"Fandy yang sedang menikmati tubuh istrinya, mendongak, "Apa kamu bilang?"Riana menggeleng denga
“Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan Citra.” Senyum miring terukir di bibir Riana, senyum yang tak sepenuhnya bahagia, lebih mirip pahit yang terpaksa tertelan.“Lalu, kalau memang iya, aku harus mencintainya? Oh, no! Sampai kapan pun nggak akan pernah melakukannya!” bisiknya tegas, seperti sumpah yang diucap pada hatinya sendiri.Ada bara kecil yang tertahan di dada Riana. Bukan api cinta, melainkan bara dendam yang belum padam atas semua luka yang ditinggalkan Fandy.Di pikirannya, yang terbersit hanya cara untuk bicara pada Mama Yuni, meminta izin agar bisa segera pergi meninggalkan lelaki yang, baginya, tak pernah benar-benar menjadi suaminya.Betapa sulitnya, ia tahu, namun perih yang ia telan sebulan terakhir ini sudah cukup. Fandy hanya memperlakukan baik di hari kemarin dan hari ini, seolah lelaki itu ingin menghapus segala luka dengan dua hari kebaikan.Riana membawa sepiring sandwich dan menaruhnya di depan Fandy yang sudah menunggu di meja makan.“Terima kasih, untuk
Matanya langsung tertuju kepada Riana yang tengah memperlihatkan tatapan datarnya. Ia pun menghela napas panjang untuk memulai breafing di pagi hari itu.“Selamat pagi, semuanya. Hari ini kita akan kedatangan tamu dari Amerika Serikat yakni rekan kerja kakak saya di sana. Pemilik hotel bintang lima juga dan sudah berdiri sejak dua puluh tahun lamanya. Untuk itu, hari ini kalian bersih-bersih, untuk bagian koki, nanti ada breafing kedua dengan kepala koki.“Ada banyak hidangan yang diminta oleh Mr. Robert. Ingin mencicipi makanan khas Indonesia dari berbagai daerah yang akan dia distribusikan juga di sana. Semoga sukses dan bisa bekerja sama dengan beliau.“Untuk itu, mohon kerja samanya dan jangan lupa jaga kebersihan, sopan satun dan ramah tamah seperti halnya Indonesia dikenal sebagai salah satu negara teramah.”Fandy mengakhiri breafing-nya. Ia kemudian menatap Riana yang tengah mendengarkan obrolan para karyawannya.“Riana. Ke ruangan saya sebentar!” ucapnya kemudian pergi dari ru
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak