Riana tertawa pendek, terkekeh. "Hah? Dari mana kesimpulan itu, Fandy? ‘Baiklah kalau begitu’ artinya aku paham, bukan berarti aku setuju untuk menuruti keinginanmu."Fandy menelan ludah, sedikit terintimidasi tapi juga tak ingin menyerah. “Jadi... kamu menolaknya lagi?”Riana mengangkat bahunya, ekspresinya tak terpengaruh. "Aku tidak bilang begitu juga.”Namun, tanpa peringatan, Fandy mendekat, menarik tubuh Riana ke pelukannya, meraup bibirnya. Riana terperangah, tapi tidak sempat menolak. Fandy semakin agresif, tangannya berusaha membuka daster yang dikenakan Riana."Jangan bermain-main denganku, Riana," bisiknya kasar. "Kamu sudah terlalu lama mengulur waktu."Riana terpaksa membiarkan Fandy melakukan kehendaknya, meskipun pandangannya tetap dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus. Di tengah rasa sakit, amarahnya makin membara, dan dengan nada lirih, ia berkata, "Munafik!"Fandy yang sedang menikmati tubuh istrinya, mendongak, "Apa kamu bilang?"Riana menggeleng denga
“Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan Citra.” Senyum miring terukir di bibir Riana, senyum yang tak sepenuhnya bahagia, lebih mirip pahit yang terpaksa tertelan.“Lalu, kalau memang iya, aku harus mencintainya? Oh, no! Sampai kapan pun nggak akan pernah melakukannya!” bisiknya tegas, seperti sumpah yang diucap pada hatinya sendiri.Ada bara kecil yang tertahan di dada Riana. Bukan api cinta, melainkan bara dendam yang belum padam atas semua luka yang ditinggalkan Fandy.Di pikirannya, yang terbersit hanya cara untuk bicara pada Mama Yuni, meminta izin agar bisa segera pergi meninggalkan lelaki yang, baginya, tak pernah benar-benar menjadi suaminya.Betapa sulitnya, ia tahu, namun perih yang ia telan sebulan terakhir ini sudah cukup. Fandy hanya memperlakukan baik di hari kemarin dan hari ini, seolah lelaki itu ingin menghapus segala luka dengan dua hari kebaikan.Riana membawa sepiring sandwich dan menaruhnya di depan Fandy yang sudah menunggu di meja makan.“Terima kasih, untuk
Matanya langsung tertuju kepada Riana yang tengah memperlihatkan tatapan datarnya. Ia pun menghela napas panjang untuk memulai breafing di pagi hari itu.“Selamat pagi, semuanya. Hari ini kita akan kedatangan tamu dari Amerika Serikat yakni rekan kerja kakak saya di sana. Pemilik hotel bintang lima juga dan sudah berdiri sejak dua puluh tahun lamanya. Untuk itu, hari ini kalian bersih-bersih, untuk bagian koki, nanti ada breafing kedua dengan kepala koki.“Ada banyak hidangan yang diminta oleh Mr. Robert. Ingin mencicipi makanan khas Indonesia dari berbagai daerah yang akan dia distribusikan juga di sana. Semoga sukses dan bisa bekerja sama dengan beliau.“Untuk itu, mohon kerja samanya dan jangan lupa jaga kebersihan, sopan satun dan ramah tamah seperti halnya Indonesia dikenal sebagai salah satu negara teramah.”Fandy mengakhiri breafing-nya. Ia kemudian menatap Riana yang tengah mendengarkan obrolan para karyawannya.“Riana. Ke ruangan saya sebentar!” ucapnya kemudian pergi dari ru
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam.“Huufft! Hari yang sangat melelahkan,” keluh Riana yang baru pulang ke rumah. Ia kemudian menoleh ke arah pintu utama. Fandy belum juga tiba di sana. “Lembur? Katanya jam sembilan, acaranya? Apa, lagi masak rendang?”Riana mengembungkan pipinya. Ia teringat akan ucapan Satya di pagi hari tadi. Begitu lembut dan ternyata hanya karena sedang ada maunya.“Kak Satya sama aja, kayak Fandy. Tukang memberi harapan palsu. Hhh ….” Riana menghela napas kasar. “Orang ganteng kayak gitu, bisa-bisanya punya sifat mirip adiknya. Devil.” Riana memutar bola matanya dengan pelan.Cklek!Riana menoleh dengan cepat ke arah pintu utama di mana ada seseorang yang membuka pintu tersebut.“Baru pulang rupanya,” gumamnya seraya menatap Fandy dengan tatapan datarnya.“Apa benar, Kak Satya minta kamu mendampingi dia?” tanya Fandy kemudian.
Matanya mengerjap-ngerjap kala melihat Riana yang begitu anggun mengenakan dress panjang dengan belahan dada yang tidak terlalu terekspos.Rambut panjang yang digerai dengan hiasan jepitan kecil di sebelah kiri, polesan wajah natural membuat wajah Riana semakin terlihat cantik.“Bagaimana, Fandy? Bukankah istrimu jauh lebih cantik bila dirawat? Kenapa kamu selalu masa bodoh dengan penampilan istrimu ini?” kata Satya yang sama mengagumi kecantikan adik iparnya itu.Fandy mengusap leher belakangnya seraya membuang muka. Tidak ingin mengakui kecantikan istrinya sendiri.“Ya. Urus saja oleh Kakak. Aku tidak pandai merawat perempuan,” ucapnya dengan entengnya.“Oh, yaa? Lalu, biaya perawatan berpuluh-puluh juta di salon kecantikan itu apa? Dengan Citra? Kamu bawa saja ke tempat itu. Aku yakin, Riana akan jauh lebih cantik dari Citra kalau kamu rawat juga, Fandy.” Satya menatap adiknya itu.Terdapat kejanggalan
Tangan itu, hangat dan penuh genggaman, tidak pernah lepas dari jemari Satya yang kokoh, menguar sinar lembut namun intens yang menyihir setiap helai perasaan Riana. Ada sesuatu di balik senyum manisnya, sebuah teka-teki yang belum selesai dibaca Riana—apakah Satya memang tenggelam dalam peran, atau ada rahasia halus yang tak ia ucapkan? Keberadaan Satya seakan menghipnotisnya, membuat dada Riana bergetar dalam keraguan yang ia pun tak pahami.“Kak Satya?” suara lembut Riana memecah keheningan di antara mereka.“Heum. Ada apa, Riana?” jawabnya, suaranya bagaikan belaian angin lembut di senja hari.Riana tergagap, hatinya masih berdetak riuh. “Saya… saya mau ke toilet dulu. Nggak paham juga, yang kalian obrolkan itu apa.”Satya hanya terkekeh kecil, matanya berkilat, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Jangan lama-lama, ya.”Riana tersenyum tipis, menenangkan debar di dadanya sebelum beranjak dari tempat itu. Langkahnya terasa berlarian dalam batin, seolah ingin cepat-cepat melarikan di
Riana tersenyum sinis pada bayangannya sendiri, mencibir takdir yang seakan selalu menempatkannya dalam pilihan yang berlawanan dengan harga diri.“Inilah ternyata hidup,” gumamnya lirih, “saat terpaksa memilih jalan yang bertolak belakang dengan derajat yang kuinginkan.” Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir perih yang menyesak di dadanya.Suara lembut Satya tiba-tiba memecah lamunannya. “Kenapa melamun?”Riana terperanjat dan menoleh, mendapati tatapan Satya yang penuh perhatian. “Saya ingin pulang, Kak,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan yang rapuh.“Pulang? Kenapa?” Tanya Satya dengan nada prihatin, matanya memperlihatkan ketulusan yang membuat Riana semakin merasa dihargai.“Eeuh... saya nggak enak badan. Kayaknya meriang. Maaf, ya, Kak.”“Oh, ya sudah kalau begitu. Aku antar pulang.” Satya bersikeras, tangannya terulur hendak membantunya berdiri.“Tidak usah, Kak. Saya bisa pesan taksi saja. Nggak enak, Kakak ninggalin tamunya.”Satya tersenyum tenang, seolah tak tergo
Riana mengembuskan napas panjang, membiarkan angin malam membelai wajahnya yang memerah. Ia tahu, perasaan ini belum tumbuh besar, hanya sebutir benih yang tersembunyi di dasar hati.Dan mungkin, benih itu akan layu, akan hilang bersama jarak ketika Satya kembali ke Amerika, bersama kehidupannya yang tak akan pernah bisa ia jangkau. Ia melangkah masuk ke rumah, berharap seiring waktu, perasaan itu pun akan menghilang di balik bayang-bayang hidupnya.“Hufft! Hanya duduk manis sembari mendengarkan obrolan yang nggak aku pahami saja sudah cukup membuatku lelah. Bayangkan kalau aku yang harus mengelola perusahaan itu,” gumam Riana, membuang napas panjang sembari mengembungkan pipinya.Ia bisa merasakan sisa-sisa ketegangan di bahunya, seperti beban tak terlihat yang diam-diam melingkupinya. "Bisa-bisa, otakku meledak!" lanjutnya, menatap bayangannya di cermin yang berkilauan samar di bawah cahaya lampu.Terdengar bunyi pintu terbuka. Cklek!Riana menoleh, dan tatapannya langsung tertuju p
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak