Lelaki itu, masih diliputi keangkuhan yang kental, menatap Riana yang tengah sibuk dengan masakan di dapur. “Buatkan aku sup pereda pengar. Sup tauge,” titahnya, nadanya datar, nyaris tanpa ekspresi.
“Ya,” jawab Riana pendek. Kata-katanya tercekat, hanya sepatah dua yang keluar, seakan menyimpan seluruh perasaan yang mendidih di dalam.
Fandy memandang punggung Riana, ada sesuatu yang ganjil yang tak bisa ia abaikan. Wajah Riana yang keras kepala dan teguh seolah menantang untuk dikenal lebih dalam, tetapi harga dirinya terlanjur menahannya.
“Riana!” panggil Fandy dengan suara yang nyaris dingin.
“Ya?” sahut Riana lagi, suara yang terkesan acuh, sekilas menusuk ke relung keangkuhan Fandy.
“Jangan dekat-dekat Kak Satya,” ujarnya pelan namun tegas, mengabaikan tatapan penuh kecurigaan Riana. “Dia bukan orang sembarangan, dan kamu harus tahu… dia tidak menyukai perempuan seperti k
Pagi tiba dengan warna-warna lembut yang mengintip di antara gorden jendela. Dengan hati yang setengah ragu, Riana berdiri di dapur, memasak sup untuk Fandy, mencoba mengusir sisa mabuk yang melekat padanya."Aku akan berhenti jadi istri Fandy setelah Citra kembali," bisiknya pada dirinya sendiri, suara yang bergetar oleh keraguan. "Tapi... bagaimana jika Mama tidak setuju? Apakah selamanya aku akan terjebak dalam bayang-bayang wanita yang tak pernah kulihat?"Suara langkah berat di belakangnya menghentikan pikirannya. Fandy berjalan mendekatinya, tatapan datar menghiasi wajahnya, sisa malam tadi masih tampak di garis-garis wajahnya. "Apa yang sedang kamu buat?" tanyanya, suaranya rendah, nyaris tanpa emosi."Sup pereda pengar, untukmu," jawab Riana, suaranya terdengar lebih dingin dari udara pagi, dan pandangannya terarah lurus ke panci sup.Fandy menghela napas, perasaan yang terpendam menyelimuti suasana. "Aku akan mandi," ucapnya sebelum beranjak perg
Kalimat itu meluncur tajam, mengguncang dinding hati Fandy yang rapuh. Hatinya berdebar, namun ia tak mampu berkata-kata.Ia hanya bisa menatap Riana, melihat bagaimana setiap kata yang diucapkan Riana mengiris hatinya sendiri.“Jika memang hati dan pikiranmu hanya untuk Citra, maka jangan pernah menyentuhku lagi, Fandy. Aku akan memberi tahu Mama jika kau mengulangi kesalahan yang sama.”Riana menyelesaikan kalimatnya, nadanya tegas, namun di balik ketegasan itu, ada retakan kecil yang membuat suaranya bergetar.Dengan tegar, Riana berdiri, mengakhiri sarapannya dan meninggalkan meja, sementara Fandy duduk membeku, tenggelam dalam rasa bersalah yang mulai menggelayut di hatinya.Di dalam dirinya, pertanyaan itu bergema: Apakah ia bisa melepaskan bayangan Citra yang terus membayanginya? Fandy menyandarkan wajahnya ke telapak tangan, merasakan beban yang tak kunjung berkurang.**Di The Spring Hotel, setelah perjalanan panj
Riana menggerutu kesal. “Dasar, pria aneh!” serunya sebelum memasang helm. Ia melaju pulang, memikirkan dengan penuh tanda tanya mengapa Fandy tiba-tiba memintanya segera pulang.Sesampainya di rumah, ia membuka helm dan jaket, lalu melangkah masuk sambil menenteng kantong plastik belanjaan. Di ruang tengah, Fandy sudah menunggunya, duduk di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan.“Ada apa?” tanyanya singkat.Fandy menatapnya datar, tanpa menjawab, hanya menyuruhnya menyimpan belanjaannya dulu. Riana mendengus kecil, lalu menuju dapur. “Nyuruh-nyuruh cepat pulang, tapi pas sudah sampai malah menyuruh simpan belanjaan dulu,” gumamnya.Sepuluh menit kemudian, Riana kembali ke ruang tengah, melihat Fandy masih duduk dengan ekspresi yang tak berubah. Kali ini, ia duduk di sofa di sampingnya.“Ada apa?” ulangnya, lebih tegas.Fandy menepuk sofa di sampingnya, meminta Riana duduk lebih dekat. Tatapannya serius, mengintip langsung ke kedalaman mata Riana, seolah ada yang ingin ia cari di s
Riana tertawa pendek, terkekeh. "Hah? Dari mana kesimpulan itu, Fandy? ‘Baiklah kalau begitu’ artinya aku paham, bukan berarti aku setuju untuk menuruti keinginanmu."Fandy menelan ludah, sedikit terintimidasi tapi juga tak ingin menyerah. “Jadi... kamu menolaknya lagi?”Riana mengangkat bahunya, ekspresinya tak terpengaruh. "Aku tidak bilang begitu juga.”Namun, tanpa peringatan, Fandy mendekat, menarik tubuh Riana ke pelukannya, meraup bibirnya. Riana terperangah, tapi tidak sempat menolak. Fandy semakin agresif, tangannya berusaha membuka daster yang dikenakan Riana."Jangan bermain-main denganku, Riana," bisiknya kasar. "Kamu sudah terlalu lama mengulur waktu."Riana terpaksa membiarkan Fandy melakukan kehendaknya, meskipun pandangannya tetap dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus. Di tengah rasa sakit, amarahnya makin membara, dan dengan nada lirih, ia berkata, "Munafik!"Fandy yang sedang menikmati tubuh istrinya, mendongak, "Apa kamu bilang?"Riana menggeleng denga
“Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan Citra.” Senyum miring terukir di bibir Riana, senyum yang tak sepenuhnya bahagia, lebih mirip pahit yang terpaksa tertelan.“Lalu, kalau memang iya, aku harus mencintainya? Oh, no! Sampai kapan pun nggak akan pernah melakukannya!” bisiknya tegas, seperti sumpah yang diucap pada hatinya sendiri.Ada bara kecil yang tertahan di dada Riana. Bukan api cinta, melainkan bara dendam yang belum padam atas semua luka yang ditinggalkan Fandy.Di pikirannya, yang terbersit hanya cara untuk bicara pada Mama Yuni, meminta izin agar bisa segera pergi meninggalkan lelaki yang, baginya, tak pernah benar-benar menjadi suaminya.Betapa sulitnya, ia tahu, namun perih yang ia telan sebulan terakhir ini sudah cukup. Fandy hanya memperlakukan baik di hari kemarin dan hari ini, seolah lelaki itu ingin menghapus segala luka dengan dua hari kebaikan.Riana membawa sepiring sandwich dan menaruhnya di depan Fandy yang sudah menunggu di meja makan.“Terima kasih, untuk
Matanya langsung tertuju kepada Riana yang tengah memperlihatkan tatapan datarnya. Ia pun menghela napas panjang untuk memulai breafing di pagi hari itu.“Selamat pagi, semuanya. Hari ini kita akan kedatangan tamu dari Amerika Serikat yakni rekan kerja kakak saya di sana. Pemilik hotel bintang lima juga dan sudah berdiri sejak dua puluh tahun lamanya. Untuk itu, hari ini kalian bersih-bersih, untuk bagian koki, nanti ada breafing kedua dengan kepala koki.“Ada banyak hidangan yang diminta oleh Mr. Robert. Ingin mencicipi makanan khas Indonesia dari berbagai daerah yang akan dia distribusikan juga di sana. Semoga sukses dan bisa bekerja sama dengan beliau.“Untuk itu, mohon kerja samanya dan jangan lupa jaga kebersihan, sopan satun dan ramah tamah seperti halnya Indonesia dikenal sebagai salah satu negara teramah.”Fandy mengakhiri breafing-nya. Ia kemudian menatap Riana yang tengah mendengarkan obrolan para karyawannya.“Riana. Ke ruangan saya sebentar!” ucapnya kemudian pergi dari ru
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam.“Huufft! Hari yang sangat melelahkan,” keluh Riana yang baru pulang ke rumah. Ia kemudian menoleh ke arah pintu utama. Fandy belum juga tiba di sana. “Lembur? Katanya jam sembilan, acaranya? Apa, lagi masak rendang?”Riana mengembungkan pipinya. Ia teringat akan ucapan Satya di pagi hari tadi. Begitu lembut dan ternyata hanya karena sedang ada maunya.“Kak Satya sama aja, kayak Fandy. Tukang memberi harapan palsu. Hhh ….” Riana menghela napas kasar. “Orang ganteng kayak gitu, bisa-bisanya punya sifat mirip adiknya. Devil.” Riana memutar bola matanya dengan pelan.Cklek!Riana menoleh dengan cepat ke arah pintu utama di mana ada seseorang yang membuka pintu tersebut.“Baru pulang rupanya,” gumamnya seraya menatap Fandy dengan tatapan datarnya.“Apa benar, Kak Satya minta kamu mendampingi dia?” tanya Fandy kemudian.
Matanya mengerjap-ngerjap kala melihat Riana yang begitu anggun mengenakan dress panjang dengan belahan dada yang tidak terlalu terekspos.Rambut panjang yang digerai dengan hiasan jepitan kecil di sebelah kiri, polesan wajah natural membuat wajah Riana semakin terlihat cantik.“Bagaimana, Fandy? Bukankah istrimu jauh lebih cantik bila dirawat? Kenapa kamu selalu masa bodoh dengan penampilan istrimu ini?” kata Satya yang sama mengagumi kecantikan adik iparnya itu.Fandy mengusap leher belakangnya seraya membuang muka. Tidak ingin mengakui kecantikan istrinya sendiri.“Ya. Urus saja oleh Kakak. Aku tidak pandai merawat perempuan,” ucapnya dengan entengnya.“Oh, yaa? Lalu, biaya perawatan berpuluh-puluh juta di salon kecantikan itu apa? Dengan Citra? Kamu bawa saja ke tempat itu. Aku yakin, Riana akan jauh lebih cantik dari Citra kalau kamu rawat juga, Fandy.” Satya menatap adiknya itu.Terdapat kejanggalan
Sudah satu minggu berlalu, waktu merangkak dengan berat, seolah-olah setiap detiknya menggantung di ujung jarum jam yang berkarat.Riana dan Fandy akhirnya memutuskan untuk pulang saja ke rumah, mengakhiri perdebatan panjang yang lebih menyerupai pertarungan batin daripada diskusi.Di antara mereka, udara terasa seperti beban yang sulit dihirup, berat oleh keengganan dan keputusasaan. Riana tidak tahu lagi harus berbuat apa, sementara Fandy masih menggenggam harapan rapuh bahwa Citra akan kembali setelah selesai pengobatannya.“Lho... kok sudah pulang?” Suara Yuni meluncur seperti angin yang tiba-tiba muncul dari balik sudut ruang tamu.Matanya yang bulat memancarkan keheranan kala melihat Riana berdiri di ambang pintu, tampak letih namun berusaha menampilkan senyuman tipis yang hampir pudar.Riana menoleh perlahan, seperti boneka yang hampir kehabisan energi. Di sana, Yuni berdiri dengan elegansi seorang ratu, paper bag bergelantungan ringan di tangan kirinya.“Dua minggu terlalu lam
Waktu sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Langit di luar apartemen begitu gelap, namun gemerlap lampu kota Sydney masih menyala seperti ribuan bintang yang turun ke bumi.Setelah puas menyusuri megahnya Jembatan Sydney Harbour, Riana dan Fandy akhirnya kembali ke apartemen."Huufft! Lelah juga," keluh Riana, duduk di sofa sambil memijat kakinya yang pegal. Rasa letih dari perjalanan panjang terasa menjalar dari telapak kaki hingga betisnya, membuatnya mengernyit sedikit.Tanpa diminta, Fandy mendekat, berlutut di hadapan Riana. Tangannya yang hangat mulai memijat lembut kaki istrinya, gerakannya penuh perhatian dan kelembutan.Wajahnya terangkat sedikit, menatap Riana dengan sorot mata yang tenang namun dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak terucap.Riana, yang merasa risih dengan tatapan itu, buru-buru membuang muka. Pipinya memerah samar, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Fandy yang melihat reaksi itu hanya terkekeh pelan, suara tawanya seperti alunan melodi yan
Fandy memandang istrinya, senyuman tipis terukir di bibirnya, penuh rasa sayang. Melihat Riana merentangkan tangannya, membiarkan angin menyelimuti tubuhnya, membuat hatinya terasa hangat."Nanti ke sini lagi kalau belum puas," ujarnya lembut, seolah menjanjikan sebuah kebahagiaan yang tak akan pernah pudar.Riana menoleh, matanya berbinar seperti permata yang memantulkan cahaya pagi. Ia mengangguk antusias, senyuman lebar menghiasi wajahnya, membawa kebahagiaan yang terasa menular."Oke!" jawabnya riang, suaranya penuh semangat.Fandy menatapnya dengan tatapan geli. "Mau tahu sejarah jembatan ini?" tanyanya tiba-tiba, memecah momen hening yang begitu damai.Riana menoleh, alisnya terangkat sedikit, menciptakan ekspresi skeptis yang menggemaskan. "Memangnya kamu tahu?" tanyanya, nadanya setengah meragukan, tetapi ada sedikit rasa penasaran di dalamnya.Fandy menyunggingkan senyum kecil, seolah menyimpan rahasia yang ingin ia bagikan. Ia menghela napas panjang sebelum mulai berbicara,
Fandy menganggukkan kepalanya perlahan, seperti mencoba menata sebuah pikiran yang terurai kusut. "Iya. Aku ingin tahu setidaknya pendidikan terakhir kamu itu apa," tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik nada datarnya.Riana menundukkan kepala, seolah ada beban tak kasatmata yang tiba-tiba menghimpit bahunya."Hanya sampai SMA," jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening yang terasa meluas di antara mereka."Setelah itu, kerja dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Terakhir, aku dapat pekerjaan jadi service room di hotel kamu."Fandy tersenyum samar, seperti ada sesuatu yang hanya dia tahu. "Kak Satya," koreksinya lembut."Hotel itu milik Kak Satya. Setelah dia mengalami trauma itu, aku ditugaskan untuk menjaga hotel itu selama Kak Satya menjalani pengobatannya."Ia berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke arah Riana, penuh dengan intensitas yang sulit diartikan. "Jangan bicara pada siapa pun, sekalipun pada temanmu soa
Riana menyunggingkan bibirnya kemudian memutar bola matanya dengan malas.Fandy yang melihatnya lantas terkekeh pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku hanya bertanya, kalau memang tidak, ya sudah. Tidak perlu emosi. Tidurlah, sudah malam." Fandy menepuk-nepuk kasur di sampingnya agar menghampiri Fandy di sana.Riana lantas menarik selimut kemudian memunggungi Fandy. Tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang tengah menahan emosinya lantaran pertanyaan Fandy mengenai perasaannya kepada Satya.'Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu padaku. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu padaku? Cinta? Bagaimana bisa?' Riana berucap dalam hatinya.Ia pun tidak tahu apakah dia mencintai Satya atau hanya sekadar menganggap bila Satya adalah kakak iparnya yang memiliki sifat baik dan selalu perhatian kepadanya.Pikiran Riana terus tertuju pada pertanyaan Fandy tadi. Belum bisa ia lupakan hingga tak sadar sudah satu jam lamanya dia terjaga sementara Fandy sudah terlelap dalam tidurnya.'Kenapa malah nggak bi
Fandy mengadahkan kepalanya kemudian tersenyum tipis. "Enjoy, Riana," ucapnya kemudian mengulum pucuk merah muda itu dengan rakus.Riana membusungkan dadanya. Tangannya meremas erat sprei di sampingnya dengan mata terpejam.Suara parau itu beradu jadi jadi seraya menikmati sentuhan nikmat yang mereka lakukan di malam itu. Gerayang nafsu akan bercinta yang mulai diadu di malam itu.Puas menyesapi dada itu, Fandy mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Matanya terus menatap Riana yang tengah bersiap menunggu Fandy menyatukan dirinya.Blesss ....Riana menggigit bibirnya seraya menahan sesuatu di bawah sana sudah masuk. Ia kemudian membuka matanya dan menatap Fandy yang berada di atasnya."Percobaan pertama. Ke sananya juga kamu bisa nikmati ini. Jangan hanya sebagai penumpu apa yang aku lakukan pada kamu," ucapnya seraya mendorong tubuhnya.Riana sudah bukan gadis lagi. Tak perlu ia hati-hati karena memang sudah biasa ada benda asing masuk di bawah sana. Milik Fandy, hanya dia dan mungk
Riana menelan saliva dengan susah payah. "Karena ... karena aku sudah ...." Kalimatnya menggantung di udara, diikuti helaan napas kasar.Ia menatap wajah Fandy dengan sorot mata yang penuh emosi. "Karena aku menjaga kehamilan! Tapi, bukan sepenuhnya salahku. Kamu juga yang membuatku melakukannya!"Fandy tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu bukan untuk mengejek, melainkan bentuk kehangatan yang ia harapkan dapat meringankan hati istrinya."Maksud kamu ... kamu merasa bersalah karena kita menjaga supaya tidak punya anak dulu? It's oke, Riana. Kalau kamu mau, kita coba lagi. Kali ini semoga berhasil. Oke?""Heuh?" Riana menatap Fandy dengan bingung.Fandy tersenyum penuh arti, lalu mengacak lembut rambut Riana. "Jangan pura-pura nggak tahu, Riana. Sok polos banget, deh!" candanya sambil melangkah ke arah tempat penitipan papan selancar. "Tunggu di sini sebentar. Aku ganti baju dulu. Habis ini kita mau ke mana lagi? Masih jam empat."Riana mengangkat bahunya dengan ekspresi bing
Ia mengembungkan pipinya, sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan ketika merasa kesal atau gelisah.Ting!Suara notifikasi dari ponsel Fandy memecah lamunannya. Riana menoleh, pandangannya tertuju pada ponsel itu yang tergeletak di atas pasir. Ia menatapnya sejenak, ragu."Aku nggak berani buka. Takut Fandy marah," bisiknya pada diri sendiri. Tapi rasa penasaran mulai menggerogoti hatinya, seperti air laut yang perlahan mengikis tebing karang."Tapi, penasaran juga dari siapa," gumamnya sambil mengambil ponsel itu dengan hati-hati. Ia mengetuk layar ponsel dan membukanya. "Sekalian lihat wajah Citra juga. Pasti masih ada di sini."Riana memandangi layar dengan jantung yang berdegup sedikit lebih cepat. Pesan masuk baru saja dikirim, dan ia membaca nama pengirimnya.Satya.Matanya membelalak. "Kak Satya?" gumamnya, lalu membuka pesan itu dengan telunjuk yang sedikit gemetar.Satya:[Jangan khawatir, Fandy. Aku sudah semakin membaik. Have fun ya, Dek. Jaga Riana, jangan sampai kehilanga
Namun, semua emosi itu larut perlahan seperti jejak kaki di pasir yang diterjang gelombang. Riana menghela napas panjang, membiarkan udara pantai yang asin dan segar memenuhi paru-parunya.Ia memilih untuk menikmati pemandangan yang begitu indah ketimbang tenggelam dalam perdebatan yang tak ada ujungnya."Riana, aku minta maaf. Aku mohon jangan marah lagi," suara Fandy terdengar di belakangnya, penuh ketulusan yang hampir menyakitkan."Aku lihat antusias kamu ingin ke sini, makanya aku nggak cari negara lain lagi dan memilih negara ini saja. Tapi, kalau kamu tidak nyaman ada di sini, kita bisa pergi ke tempat lain."Riana diam, matanya memandang jauh ke cakrawala di mana langit dan laut bertemu dalam warna biru yang nyaris tak terbedakan.Entah bagaimana, di tengah kecamuk rasa kecewa, ia menemukan setitik damai. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mencoba menerima semua ini.Riana mengibaskan tangannya dengan gerakan malas, seolah mengusir debu kenangan yang berusaha menyelimuti mereka.