Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
“Lepaskan! Aku mohon jangan sentuh aku!”Pekikan dari seorang wanita bernama Riana Anggraini—perempuan cantik berusia dua puluh enam tahun itu tengah direnggut paksa mahkota sucinya oleh seorang pria mabuk yang rupanya salah memasuki kamar.“Diam, Sayang. Biasanya kamu tidak pernah menolakku seperti ini.” Fandy Pramudia—pria berusia tiga puluh tahun yang tak lain adalah putra pemilik hotel tersebut tidak sadar, siapa yang tengah dia gauli itu.“Kenapa sempit sekali,” ucapnya dengan suara paraunya. Namun, lelaki itu terus memaksanya agar masuk. Hingga akhirnya kesucian Riana direnggut oleh pria yang tidak dia kenali itu.Hanya bisa menjerit, menangis, meraung dan segala kekesalan bersatu dalam dirinya. Riana harus kehilangan mahkota yang selalu ia jaga, yang hanya akan dia berikan kepada suaminya itu rupanya harus hilang di malam itu.**Pagi telah menyusup dengan sinarnya yang lembut, namun bagi Riana, sinar itu seolah menyayat, mempertegas jejak kelam yang baru ia lalui.Udara pagi s
Ancaman itu seketika menghapus harapan terakhir Riana. Ia terdiam, membeku dalam luka yang lebih dalam. Fandy lalu mengangkat bahunya, melempar senyum penuh kemenangan.“Ambil uang itu dan simpan cerita ini baik-baik. Kamu masih ingin bekerja di sini, bukan?” Dengan santai, ia berbalik dan meninggalkan Riana.Kini Riana sendiri, di kamar penuh luka dan kepahitan. Tangannya yang gemetar meraih pakaiannya, mengenakan satu per satu dengan pelan, tiap helai terasa menyakitkan. Air mata masih mengalir, jatuh ke tangan yang berusaha meraih kekuatan.“Ini mungkin nasibku,” bisiknya, penuh kepedihan.Waktu telah merangkak menuju pukul sepuluh pagi, menjemput Fandy yang baru saja pulang setelah semalaman terjerat di pusaran mabuk.Wajahnya masih menyiratkan letih, matanya nyaris tertutup sepenuhnya, seakan memprotes dunia yang terlalu terang. Dia menatap kamar dengan pandangan buram sebelum akhirnya melepaskan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa memulihkan diri dari pening di kepalanya.Se
“Tapi, jangan pernah berharap apa-apa. Kamu hanya akan menjadi pengantin pengganti saja. Dan satu lagi, jangan berharap cinta dariku, karena itu tidak akan pernah terjadi.”Riana memandang Fandy dengan tatapan nanar, kepahitan yang terpancar dari mata perempuan itu menggoreskan luka yang tak terucap. “Lalu, haruskah aku menerima ini dengan senang hati?”Fandy menghela napas, kesal karena merasa tak punya pilihan lain. “Maksudmu apa, bicara seperti itu?”Riana menatap tajam pada Fandy, tatapan datarnya bagai mengiris lapisan harga diri lelaki di depannya. Ia merasa aneh dengan permintaan tiba-tiba itu, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan kekalutannya.“Kenapa memilih tanggung jawab? Kamu sendiri yang sudah bilang akan menikah lima hari lagi. Kenapa harus menikahiku?”Seolah mempertahankan sisa harga diri yang mulai meluruh, Fandy menghela napas dalam-dalam, menelan rasa malu yang berusaha disembunyikannya. “Pernikahan itu dibatalkan,” ucapnya, suaranya lirih namun tetap memancarkan kete
Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya. Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana.“Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya.Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan.Fandy tak s
Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucap