“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.
Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria. ‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’ Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani. Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar ini. Aku tidak ingin kejadian malam itu terjadi lagi,” bisiknya pada diri sendiri sambil memutar kunci pintu, memastikan tak ada yang mengganggunya saat bekerja. Sekarang, dalam keheningan kamar yang tertutup rapat, Riana bisa merasakan ketenangan sejenak. Tak ada suara ketukan di pintu, tak ada kehadiran Fandy yang membuat jantungnya berdegup tak nyaman. Di ruangan ini, dia bebas untuk sesaat, tanpa harus mempertimbangkan perasaan orang lain atau mengikuti tuntutan seorang suami yang tak pernah benar-benar mencintainya. Meski ia tahu, kedamaian ini hanya sementara. Riana duduk di sudut ruangan, sendirian, dengan pikiran yang terserak seperti pecahan kaca yang berkilau namun tak bisa disatukan. Dia memandangi jari manisnya, cincin itu berkilau di bawah cahaya lampu yang redup. Cincin yang seharusnya menjadi lambang cinta dan janji, tapi baginya hanya menjadi pengingat luka. “Kenapa,” gumamnya lirih, “kenapa, setelah pernikahan ini terjadi, aku malah seperti menyesal karena sudah meminta Fandy bertanggung jawab. Apakah ini yang dinamakan penyesalan datangnya di akhir?” Ia menarik napas panjang, mencoba menghela beban yang begitu berat di dadanya. Pernikahan ini, yang seharusnya mengukir kebahagiaan, berubah menjadi jerat yang mengekang jiwanya dalam ikatan yang dingin dan kosong. Tiba-tiba, dering ponsel mengusik keheningan. Riana tersentak, jantungnya seolah melompat sesaat. Ketika ia melihat nama di layar, senyumnya lenyap seketika. Fandy. Suaminya—namun, kata itu terasa hambar ketika ditujukan pada sosok yang lebih mirip orang asing. Ia mengangkat panggilan itu, menyapa dengan nada datar, tanpa emosi. “Ada apa?” Fandy di seberang sana membalas dengan nada yang bahkan lebih dingin. “Di mana kamu?” “Sedang bekerja. To the point saja. Aku sedang sibuk,” jawabnya dengan nada ketus, tak ingin membuang waktu berbasa-basi dengan lelaki yang jarang peduli. Terdengar helaan napas kasar dari Fandy. “Ke ruanganku sekarang juga! Ada yang ingin aku bicarakan padamu.” Riana memutar matanya dengan malas, tetapi akhirnya menjawab singkat, “Baiklah.” Lalu, ia menutup panggilan tanpa menunggu jawaban. Dia mendesah panjang, menghela segala perasaan yang berkelindan di dada. “Entah statusku apa, bila sedang bekerja. Apakah seorang istri, atau hanya karyawan biasa?” bisiknya lirih.Perlahan, ia menyelesaikan tugasnya, mengganti seprai dengan yang baru, membereskan kamar, sebelum akhirnya melangkah menuju ruangan Fandy dengan langkah yang berat.
Sesampainya di depan pintu, Riana mengetuk, tiga kali, dengan ketukan yang enggan. “Masuk!” Suara Fandy terdengar dari dalam. Riana mendorong pintu, masuk ke dalam ruangan itu. Ia terkejut, sekilas mengamati sekeliling. Ruangan itu rapi dan luas, tak seperti gambaran kasar yang ia bayangkan tentang sosok Fandy. ‘Rapi. Rupanya dia hanya sembrono dalam sikapnya saja. Bila soal kerajinan, patut diacungi jempol,’ pikirnya dalam hati, sembari mendekat ke meja Fandy. “Ada apa?” tanyanya, langsung, tak berusaha menyembunyikan nada ketidaksukaan. Fandy menatapnya tajam, matanya berkilat, penuh teguran. “Di sini, statusmu hanya sebagai karyawan biasa! Di rumah pun, statusmu tidak lebih dari istri pengganti. Jangan sok kenal dengan cara kamu bersikap masa bodoh kepadaku, Riana!” Setiap kata yang keluar dari mulut Fandy terasa seperti duri yang menancap dalam keangkuhan. Emosinya memuncak, suaranya tajam, tak menyisakan sedikit pun ruang untuk kelembutan. Riana menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah yang muncul. Ia mengangguk kecil, tanpa gairah. “Maafkan saya, Pak. Saya akan bersikap sopan kepada atasan saya,” ucapnya dengan suara dingin, nyaris tanpa ekspresi. Matanya kembali menatap Fandy, tak ada kehangatan di dalamnya. Hanya pandangan kosong dan acuh yang memperlihatkan perasaan yang sudah beku. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Fandy?” Fandy menatapnya dengan sinis. “Jaga nada bicaramu,” desisnya. “Ingat, aku atasanmu di sini.” Riana tidak menjawab, hanya diam, menunggu perkataan selanjutnya. Tetapi, saat Fandy hendak membuka mulut, dering ponselnya menginterupsi. Nama yang muncul di layar membuat ekspresinya berubah sedikit lebih lunak. “Iya, Ma?” jawabnya pada panggilan itu, suaranya sedikit lebih lembut daripada saat berbicara dengan Riana. Suara ibunya terdengar jelas di seberang sana. “Jam tujuh malam, temui Mama. Ada yang ingin Mama bicarakan denganmu!”“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
“Lepaskan! Aku mohon jangan sentuh aku!”Pekikan dari seorang wanita bernama Riana Anggraini—perempuan cantik berusia dua puluh enam tahun itu tengah direnggut paksa mahkota sucinya oleh seorang pria mabuk yang rupanya salah memasuki kamar.“Diam, Sayang. Biasanya kamu tidak pernah menolakku seperti ini.” Fandy Pramudia—pria berusia tiga puluh tahun yang tak lain adalah putra pemilik hotel tersebut tidak sadar, siapa yang tengah dia gauli itu.“Kenapa sempit sekali,” ucapnya dengan suara paraunya. Namun, lelaki itu terus memaksanya agar masuk. Hingga akhirnya kesucian Riana direnggut oleh pria yang tidak dia kenali itu.Hanya bisa menjerit, menangis, meraung dan segala kekesalan bersatu dalam dirinya. Riana harus kehilangan mahkota yang selalu ia jaga, yang hanya akan dia berikan kepada suaminya itu rupanya harus hilang di malam itu.**Pagi telah menyusup dengan sinarnya yang lembut, namun bagi Riana, sinar itu seolah menyayat, mempertegas jejak kelam yang baru ia lalui.Udara pagi s
Ancaman itu seketika menghapus harapan terakhir Riana. Ia terdiam, membeku dalam luka yang lebih dalam. Fandy lalu mengangkat bahunya, melempar senyum penuh kemenangan.“Ambil uang itu dan simpan cerita ini baik-baik. Kamu masih ingin bekerja di sini, bukan?” Dengan santai, ia berbalik dan meninggalkan Riana.Kini Riana sendiri, di kamar penuh luka dan kepahitan. Tangannya yang gemetar meraih pakaiannya, mengenakan satu per satu dengan pelan, tiap helai terasa menyakitkan. Air mata masih mengalir, jatuh ke tangan yang berusaha meraih kekuatan.“Ini mungkin nasibku,” bisiknya, penuh kepedihan.Waktu telah merangkak menuju pukul sepuluh pagi, menjemput Fandy yang baru saja pulang setelah semalaman terjerat di pusaran mabuk.Wajahnya masih menyiratkan letih, matanya nyaris tertutup sepenuhnya, seakan memprotes dunia yang terlalu terang. Dia menatap kamar dengan pandangan buram sebelum akhirnya melepaskan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa memulihkan diri dari pening di kepalanya.Se
“Tapi, jangan pernah berharap apa-apa. Kamu hanya akan menjadi pengantin pengganti saja. Dan satu lagi, jangan berharap cinta dariku, karena itu tidak akan pernah terjadi.”Riana memandang Fandy dengan tatapan nanar, kepahitan yang terpancar dari mata perempuan itu menggoreskan luka yang tak terucap. “Lalu, haruskah aku menerima ini dengan senang hati?”Fandy menghela napas, kesal karena merasa tak punya pilihan lain. “Maksudmu apa, bicara seperti itu?”Riana menatap tajam pada Fandy, tatapan datarnya bagai mengiris lapisan harga diri lelaki di depannya. Ia merasa aneh dengan permintaan tiba-tiba itu, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan kekalutannya.“Kenapa memilih tanggung jawab? Kamu sendiri yang sudah bilang akan menikah lima hari lagi. Kenapa harus menikahiku?”Seolah mempertahankan sisa harga diri yang mulai meluruh, Fandy menghela napas dalam-dalam, menelan rasa malu yang berusaha disembunyikannya. “Pernikahan itu dibatalkan,” ucapnya, suaranya lirih namun tetap memancarkan kete
Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya. Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana.“Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya.Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan.Fandy tak s