Share

Bab 8: Statusmu tak Lebih dari Sekadar Istri Pengganti

“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.

Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.

‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’

Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. 

Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.

Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar ini. Aku tidak ingin kejadian malam itu terjadi lagi,” bisiknya pada diri sendiri sambil memutar kunci pintu, memastikan tak ada yang mengganggunya saat bekerja.

Sekarang, dalam keheningan kamar yang tertutup rapat, Riana bisa merasakan ketenangan sejenak. Tak ada suara ketukan di pintu, tak ada kehadiran Fandy yang membuat jantungnya berdegup tak nyaman. 

Di ruangan ini, dia bebas untuk sesaat, tanpa harus mempertimbangkan perasaan orang lain atau mengikuti tuntutan seorang suami yang tak pernah benar-benar mencintainya.

Meski ia tahu, kedamaian ini hanya sementara.

Riana duduk di sudut ruangan, sendirian, dengan pikiran yang terserak seperti pecahan kaca yang berkilau namun tak bisa disatukan. 

Dia memandangi jari manisnya, cincin itu berkilau di bawah cahaya lampu yang redup. Cincin yang seharusnya menjadi lambang cinta dan janji, tapi baginya hanya menjadi pengingat luka.

“Kenapa,” gumamnya lirih, “kenapa, setelah pernikahan ini terjadi, aku malah seperti menyesal karena sudah meminta Fandy bertanggung jawab. Apakah ini yang dinamakan penyesalan datangnya di akhir?”

Ia menarik napas panjang, mencoba menghela beban yang begitu berat di dadanya. Pernikahan ini, yang seharusnya mengukir kebahagiaan, berubah menjadi jerat yang mengekang jiwanya dalam ikatan yang dingin dan kosong.

Tiba-tiba, dering ponsel mengusik keheningan. Riana tersentak, jantungnya seolah melompat sesaat. 

Ketika ia melihat nama di layar, senyumnya lenyap seketika. Fandy. Suaminya—namun, kata itu terasa hambar ketika ditujukan pada sosok yang lebih mirip orang asing.

Ia mengangkat panggilan itu, menyapa dengan nada datar, tanpa emosi. “Ada apa?”

Fandy di seberang sana membalas dengan nada yang bahkan lebih dingin. “Di mana kamu?”

“Sedang bekerja. To the point saja. Aku sedang sibuk,” jawabnya dengan nada ketus, tak ingin membuang waktu berbasa-basi dengan lelaki yang jarang peduli.

Terdengar helaan napas kasar dari Fandy. “Ke ruanganku sekarang juga! Ada yang ingin aku bicarakan padamu.”

Riana memutar matanya dengan malas, tetapi akhirnya menjawab singkat, “Baiklah.” Lalu, ia menutup panggilan tanpa menunggu jawaban.

Dia mendesah panjang, menghela segala perasaan yang berkelindan di dada. “Entah statusku apa, bila sedang bekerja. Apakah seorang istri, atau hanya karyawan biasa?” bisiknya lirih.

Perlahan, ia menyelesaikan tugasnya, mengganti seprai dengan yang baru, membereskan kamar, sebelum akhirnya melangkah menuju ruangan Fandy dengan langkah yang berat.

Sesampainya di depan pintu, Riana mengetuk, tiga kali, dengan ketukan yang enggan.

“Masuk!” Suara Fandy terdengar dari dalam.

Riana mendorong pintu, masuk ke dalam ruangan itu. Ia terkejut, sekilas mengamati sekeliling. Ruangan itu rapi dan luas, tak seperti gambaran kasar yang ia bayangkan tentang sosok Fandy.

‘Rapi. Rupanya dia hanya sembrono dalam sikapnya saja. Bila soal kerajinan, patut diacungi jempol,’ pikirnya dalam hati, sembari mendekat ke meja Fandy.

“Ada apa?” tanyanya, langsung, tak berusaha menyembunyikan nada ketidaksukaan.

Fandy menatapnya tajam, matanya berkilat, penuh teguran. “Di sini, statusmu hanya sebagai karyawan biasa! Di rumah pun, statusmu tidak lebih dari istri pengganti. Jangan sok kenal dengan cara kamu bersikap masa bodoh kepadaku, Riana!”

Setiap kata yang keluar dari mulut Fandy terasa seperti duri yang menancap dalam keangkuhan. Emosinya memuncak, suaranya tajam, tak menyisakan sedikit pun ruang untuk kelembutan.

Riana menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak amarah yang muncul. Ia mengangguk kecil, tanpa gairah. “Maafkan saya, Pak. Saya akan bersikap sopan kepada atasan saya,” ucapnya dengan suara dingin, nyaris tanpa ekspresi.

Matanya kembali menatap Fandy, tak ada kehangatan di dalamnya. Hanya pandangan kosong dan acuh yang memperlihatkan perasaan yang sudah beku. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Fandy?”

Fandy menatapnya dengan sinis. “Jaga nada bicaramu,” desisnya. “Ingat, aku atasanmu di sini.”

Riana tidak menjawab, hanya diam, menunggu perkataan selanjutnya. Tetapi, saat Fandy hendak membuka mulut, dering ponselnya menginterupsi. Nama yang muncul di layar membuat ekspresinya berubah sedikit lebih lunak.

“Iya, Ma?” jawabnya pada panggilan itu, suaranya sedikit lebih lembut daripada saat berbicara dengan Riana.

Suara ibunya terdengar jelas di seberang sana. “Jam tujuh malam, temui Mama. Ada yang ingin Mama bicarakan denganmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status