Share

Bab 6: Memberitahu sang Mertua

Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.

Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. 

Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.

“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.

Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.

Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. 

Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk, meski di dalam hatinya, ia hanya bisa mengutuk kesewenang-wenangan Fandy.

“Kamu harus tetap bekerja. Supaya aku tidak perlu memberimu uang untuk keperluanmu sendiri!” Fandy menekankan, nadanya penuh penghinaan. Di matanya, Riana bukanlah pasangan, melainkan beban yang tak ingin dia tanggung.

Riana tersenyum miris. Kalimat itu terasa seperti peluru tajam, namun ia tak hendak mundur. “Tidak perlu diingatkan. Karena memang pada dasarnya aku akan tetap bekerja walau sudah menikah dengan pemilik hotel itu!” ujarnya, mengacuhkan tuntutan Fandy.

Perkataan Riana menyentak Fandy, membakar egonya. Ia menatap Riana dengan sorot mata tak percaya, seperti seorang raja yang mendapati hambanya memberontak. Fandy, yang mengira Riana hanya seorang wanita lemah, kini merasa terpukul oleh keteguhan istrinya yang selama ini ia remehkan.

Tanpa sepatah kata, Fandy menghabiskan sarapannya lalu berdiri, meraih kunci mobil di atas meja. “Aku akan keluar,” katanya dingin, langkahnya tergesa, meninggalkan ruang makan yang kini penuh dengan keheningan yang membekas.

Riana menatap piring-piring kotor di hadapannya, kemudian mendengar dering ponselnya dari kantung apron yang ia kenakan. 

Nama Yuni, ibu mertuanya, tertera di layar. Riana mendesah, lalu menekan tombol hijau.

“Iya, Ma?” sahutnya.

Suara Yuni terdengar lembut namun serius. “Kamu lagi di rumah?”

“Iya, Ma. Ada apa?” tanya Riana, sedikit ragu.

“Aku mau ke sana sekarang juga. Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu.”

Riana menggigit bibirnya, merasa gelisah. “Iya, Ma. Saya tunggu,” jawabnya dengan nada halus.

Tak lama setelah panggilan berakhir, Riana kembali pada rutinitasnya, mencuci piring dengan gerakan lamban. 

Air mengalir deras, tetapi pikirannya jauh melayang. Apa yang akan dibicarakan Yuni? Mungkin ini tentang pernikahan mereka, atau mungkin—entah kenapa, perasaannya tak menentu.

Sekitar lima belas menit kemudian, suara bel terdengar. Riana menanggalkan apron, membuka pintu untuk ibu mertuanya yang telah tiba. Yuni berjalan masuk dengan raut wajah serius, duduk di sofa ruang tengah.

Riana mengikuti dengan perlahan, menyiapkan dirinya untuk percakapan yang mungkin akan membawa perasaannya pada kenangan pahit.

“Ada apa, Ma?” Riana bertanya, duduk di hadapan Yuni.

Yuni menghela napas, menatap menantunya dengan pandangan yang tajam namun lembut. “Riana… kamu… mencintai Fandy?”

Pertanyaan itu menggema di ruangan, dan Riana merasakan jantungnya berdentum kencang. Jawabannya terasa berat, seperti memanggil kenangan yang ia tak ingin ingat.

Namun Yuni sudah menduga jawabannya. “Mama sudah tahu, Riana,” katanya dengan suara pelan. “Tapi Mama penasaran, kenapa kamu mau menikah dengannya? Dia memang Mama minta mencari pengganti Citra, tapi… ada sesuatu yang mengganjal hati Mama.”

Kata-kata Yuni terasa seperti tanya yang menekan, namun penuh kasih. Riana mengangkat kepalanya perlahan, menatap mata ibu mertuanya dengan penuh luka. Kata-kata itu terasa terikat dalam dadanya, namun sudah terlalu lama ia pendam.

Riana menelan ludahnya. “Haruskah saya menceritakan semuanya?” gumamnya.

Yuni mengangguk, wajahnya penuh kesabaran. “Ya, Riana. Ceritakan semuanya. Mama ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Riana menundukkan kepalanya sejenak, mengumpulkan keberanian. “Ini bukan keinginan saya untuk menikah dengan Fandy, Ma…” suaranya parau, tetapi dia memaksa diri untuk melanjutkan. “Dia… dia memperkosa saya, di malam setelah dia meminta saya menjadi istrinya.”

Yuni mengangkat alisnya, terperangah, menatap Riana dengan mata membesar. “Memperkosa…? Apa maksudmu, Riana?” tanyanya, bergetar tak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status