Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.
Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas. “Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk. Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah. Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk, meski di dalam hatinya, ia hanya bisa mengutuk kesewenang-wenangan Fandy. “Kamu harus tetap bekerja. Supaya aku tidak perlu memberimu uang untuk keperluanmu sendiri!” Fandy menekankan, nadanya penuh penghinaan. Di matanya, Riana bukanlah pasangan, melainkan beban yang tak ingin dia tanggung. Riana tersenyum miris. Kalimat itu terasa seperti peluru tajam, namun ia tak hendak mundur. “Tidak perlu diingatkan. Karena memang pada dasarnya aku akan tetap bekerja walau sudah menikah dengan pemilik hotel itu!” ujarnya, mengacuhkan tuntutan Fandy. Perkataan Riana menyentak Fandy, membakar egonya. Ia menatap Riana dengan sorot mata tak percaya, seperti seorang raja yang mendapati hambanya memberontak. Fandy, yang mengira Riana hanya seorang wanita lemah, kini merasa terpukul oleh keteguhan istrinya yang selama ini ia remehkan. Tanpa sepatah kata, Fandy menghabiskan sarapannya lalu berdiri, meraih kunci mobil di atas meja. “Aku akan keluar,” katanya dingin, langkahnya tergesa, meninggalkan ruang makan yang kini penuh dengan keheningan yang membekas. Riana menatap piring-piring kotor di hadapannya, kemudian mendengar dering ponselnya dari kantung apron yang ia kenakan. Nama Yuni, ibu mertuanya, tertera di layar. Riana mendesah, lalu menekan tombol hijau. “Iya, Ma?” sahutnya. Suara Yuni terdengar lembut namun serius. “Kamu lagi di rumah?” “Iya, Ma. Ada apa?” tanya Riana, sedikit ragu. “Aku mau ke sana sekarang juga. Ada yang ingin Mama bicarakan sama kamu.” Riana menggigit bibirnya, merasa gelisah. “Iya, Ma. Saya tunggu,” jawabnya dengan nada halus. Tak lama setelah panggilan berakhir, Riana kembali pada rutinitasnya, mencuci piring dengan gerakan lamban. Air mengalir deras, tetapi pikirannya jauh melayang. Apa yang akan dibicarakan Yuni? Mungkin ini tentang pernikahan mereka, atau mungkin—entah kenapa, perasaannya tak menentu. Sekitar lima belas menit kemudian, suara bel terdengar. Riana menanggalkan apron, membuka pintu untuk ibu mertuanya yang telah tiba. Yuni berjalan masuk dengan raut wajah serius, duduk di sofa ruang tengah. Riana mengikuti dengan perlahan, menyiapkan dirinya untuk percakapan yang mungkin akan membawa perasaannya pada kenangan pahit. “Ada apa, Ma?” Riana bertanya, duduk di hadapan Yuni. Yuni menghela napas, menatap menantunya dengan pandangan yang tajam namun lembut. “Riana… kamu… mencintai Fandy?” Pertanyaan itu menggema di ruangan, dan Riana merasakan jantungnya berdentum kencang. Jawabannya terasa berat, seperti memanggil kenangan yang ia tak ingin ingat. Namun Yuni sudah menduga jawabannya. “Mama sudah tahu, Riana,” katanya dengan suara pelan. “Tapi Mama penasaran, kenapa kamu mau menikah dengannya? Dia memang Mama minta mencari pengganti Citra, tapi… ada sesuatu yang mengganjal hati Mama.” Kata-kata Yuni terasa seperti tanya yang menekan, namun penuh kasih. Riana mengangkat kepalanya perlahan, menatap mata ibu mertuanya dengan penuh luka. Kata-kata itu terasa terikat dalam dadanya, namun sudah terlalu lama ia pendam. Riana menelan ludahnya. “Haruskah saya menceritakan semuanya?” gumamnya. Yuni mengangguk, wajahnya penuh kesabaran. “Ya, Riana. Ceritakan semuanya. Mama ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Riana menundukkan kepalanya sejenak, mengumpulkan keberanian. “Ini bukan keinginan saya untuk menikah dengan Fandy, Ma…” suaranya parau, tetapi dia memaksa diri untuk melanjutkan. “Dia… dia memperkosa saya, di malam setelah dia meminta saya menjadi istrinya.” Yuni mengangkat alisnya, terperangah, menatap Riana dengan mata membesar. “Memperkosa…? Apa maksudmu, Riana?” tanyanya, bergetar tak percaya.Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”Yuni memandang Rian
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
“Lepaskan! Aku mohon jangan sentuh aku!”Pekikan dari seorang wanita bernama Riana Anggraini—perempuan cantik berusia dua puluh enam tahun itu tengah direnggut paksa mahkota sucinya oleh seorang pria mabuk yang rupanya salah memasuki kamar.“Diam, Sayang. Biasanya kamu tidak pernah menolakku seperti ini.” Fandy Pramudia—pria berusia tiga puluh tahun yang tak lain adalah putra pemilik hotel tersebut tidak sadar, siapa yang tengah dia gauli itu.“Kenapa sempit sekali,” ucapnya dengan suara paraunya. Namun, lelaki itu terus memaksanya agar masuk. Hingga akhirnya kesucian Riana direnggut oleh pria yang tidak dia kenali itu.Hanya bisa menjerit, menangis, meraung dan segala kekesalan bersatu dalam dirinya. Riana harus kehilangan mahkota yang selalu ia jaga, yang hanya akan dia berikan kepada suaminya itu rupanya harus hilang di malam itu.**Pagi telah menyusup dengan sinarnya yang lembut, namun bagi Riana, sinar itu seolah menyayat, mempertegas jejak kelam yang baru ia lalui.Udara pagi s
Ancaman itu seketika menghapus harapan terakhir Riana. Ia terdiam, membeku dalam luka yang lebih dalam. Fandy lalu mengangkat bahunya, melempar senyum penuh kemenangan.“Ambil uang itu dan simpan cerita ini baik-baik. Kamu masih ingin bekerja di sini, bukan?” Dengan santai, ia berbalik dan meninggalkan Riana.Kini Riana sendiri, di kamar penuh luka dan kepahitan. Tangannya yang gemetar meraih pakaiannya, mengenakan satu per satu dengan pelan, tiap helai terasa menyakitkan. Air mata masih mengalir, jatuh ke tangan yang berusaha meraih kekuatan.“Ini mungkin nasibku,” bisiknya, penuh kepedihan.Waktu telah merangkak menuju pukul sepuluh pagi, menjemput Fandy yang baru saja pulang setelah semalaman terjerat di pusaran mabuk.Wajahnya masih menyiratkan letih, matanya nyaris tertutup sepenuhnya, seakan memprotes dunia yang terlalu terang. Dia menatap kamar dengan pandangan buram sebelum akhirnya melepaskan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa memulihkan diri dari pening di kepalanya.Se