Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.
Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.
“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.
“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.
Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucapnya, suaranya dingin, seolah-olah Riana adalah miliknya semata.
Riana hanya terdiam, menahan napas dalam-dalam, tubuhnya gemetar menahan ketakutan yang mendalam.
Kenangan akan malam sebelumnya berputar di pikirannya. Malam itu, kesuciannya direnggut dengan paksa, meninggalkan luka yang belum pudar dari batinnya.
Riana hanya bisa menelan kembali ketakutannya, berharap semua ini segera berakhir, namun sadar bahwa kehadiran Fandy tak akan mudah terelakkan.
“Kamu tidak berhak—” Riana berusaha berkata, namun Fandy menyela, nadanya tak terbantahkan.
“Jangan menolak, Riana. Aku akan menggaulimu sekarang juga,” ujarnya seraya membuka bathrobe yang dikenakan Riana dengan kasar, seolah-olah tidak ada rasa hormat atau penghargaan pada dirinya.
Riana terbelalak, rasa takut dan perlawanan berperang di dalam hatinya. Namun, Fandy tak peduli, ia tak memberinya pilihan, menjadikan malam itu saksi bagi kesewenang-wenangan yang diabadikan dalam luka.
**
Pagi datang seperti tamu tak diundang. Cahaya matahari yang menyelinap di balik tirai membawa sinar yang terasa pedih, menerangi wajah Riana yang masih terbaring dengan lemah.
Tubuhnya terasa berat, pegal di setiap persendiannya seakan seluruh tenaganya terkuras. Saat ia mencoba bergerak, rasa nyeri menusuk di pangkal pahanya, seolah mengingatkannya pada malam kelam yang baru saja berlalu.
“Aaaww…” keluhnya, suaranya pelan tapi penuh rasa sakit. Pandangannya terpaku pada tanda-tanda merah yang menghiasi dadanya, bekas perlakuan Fandy yang kasar. Ia menarik napas panjang, perasaan jijik menjalar di dalam dirinya.
“Menjijikkan,” gumamnya lirih, menyesali setiap keputusan yang membawanya pada pernikahan ini.
“Kalau saja aku tahu seperti apa sifat aslimu…” ucapnya sambil mengusap wajahnya dengan lelah.
Baginya, ini adalah penyesalan pahit yang harus ditelan. Pernikahan yang terjalin bukan atas dasar cinta atau kasih sayang, melainkan rasa tanggung jawab yang akhirnya menjadikannya terjebak dalam permainan yang ia sendiri tak tahu caranya berhenti.
Pikiran Riana melayang, menyesali saat di mana ia memutuskan untuk meminta Fandy bertanggung jawab.
Bila ia tahu semua ini akan membuat tubuhnya terasa remuk seperti sekarang, mungkin ia takkan membiarkan Fandy merenggut kesuciannya.
Namun kini, yang tersisa hanyalah kebencian dan penyesalan yang terus berputar di benaknya.
Tiba-tiba, suara teriakan Fandy memecah keheningan. “Riana!” panggilnya, suara beratnya menggema hingga ke seluruh ruangan.
Riana terkesiap, seolah mendengar suara itu saja sudah cukup membuatnya kembali ke dalam rasa takut yang belum sempat hilang.
Ia segera melangkah ke kamar mandi, mengunci pintunya erat-erat. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Tak ada keinginan sedikit pun baginya untuk menuruti kemauan Fandy lagi. Tubuhnya masih terasa sakit, ia tak sanggup lagi meladeni lelaki yang sama sekali tak peduli pada perasaannya.
Dari balik pintu, suara Fandy masih terdengar. “Selesai mandi, siapkan sarapan untukku! Aku harus ke kantor pagi ini juga,” perintahnya dengan nada yang tak mau ditawar.
Riana hanya memejamkan mata, menghela napas panjang. “Semoga saja kamu cepat pergi, Fandy,” gumamnya dengan suara hampir tak terdengar.
“Jauh lebih baik kalau kamu tidak ada. Aku bisa beristirahat tanpa harus merasa takut.” Dalam hatinya, ia hanya berharap Fandy akan segera meninggalkan rumah itu, setidaknya untuk sementara.
Selesai mandi, Riana melilitkan handuk di tubuhnya, mengunci pintu kamar, dan segera berganti pakaian. Hanya dengan mengunci diri seperti ini ia merasa sedikit terlindungi, setidaknya dari ancaman yang kini selalu ada di dekatnya.
Setelah selesai berpakaian, ia pun keluar dari kamar. Fandy sudah duduk di ruang tamu, sibuk dengan ponselnya, wajahnya tampak tersenyum samar saat ia menatap layar yang menampilkan wajah seorang wanita.
Wajah itu tak asing baginya; Citra, wanita yang selalu menjadi bayang-bayang dalam pernikahan ini, cinta Fandy yang tak pernah tergantikan.
Riana menghela napas, perasaan getir menelusup di hatinya. “Mau dibuatkan apa untuk sarapan?” tanyanya datar, berusaha menjaga sikap netral.
“Yang simple saja, nasi goreng,” jawab Fandy tanpa menoleh. Tatapan matanya tak pernah lepas dari ponselnya, seolah keberadaan Riana tak lebih dari sekadar bayangan di rumah ini.
Riana mengangguk tanpa bicara lagi. Langkahnya membawa dirinya ke dapur, hatinya terasa sepi meskipun ia tahu kehadiran Fandy di dekatnya.
Setiap gerakan tangannya saat menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan terasa lambat, kosong, seolah-olah jiwanya terjebak dalam rutinitas tanpa makna.
“Haruskah kuberi racun, ke dalam makanannya?” gumam Riana dengan nada yang tak terdengar seperti dirinya. Jarinya bergerak-gerak lamban, mengaduk nasi goreng dengan pandangan kosong.
Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk
Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”Yuni memandang Rian
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
Malam sudah larut, jam berdentang dua belas, dan angin terasa dingin menusuk hingga ke sumsum. Di sudut gelap parkiran hotel, Riana duduk di atas jok motornya, bersiap pulang setelah jam kerjanya yang panjang.Pandangannya sejenak tertuju ke jalanan yang lengang, seolah mencari sesuatu di kejauhan, sebelum suara pelan memanggil namanya.“Riana?”Dimas muncul dari kegelapan, menghampirinya dengan langkah perlahan yang seperti menembus kabut malam. Wajahnya setengah tersenyum di bawah cahaya temaram.“Iya, Dimas?” Riana menoleh, memasang helmnya dengan gerakan anggun namun terburu.“HP kamu ketinggalan.” Dimas mengulurkan benda kecil itu, ponselnya, yang bersinar redup seperti memberi tahu hal penting yang tertunda.“Oh, astaga. Thanks, Dim,” sahutnya sambil meraih ponsel dari tangan Dimas. Jemari mereka hampir bersentuhan, dan ada jeda yang terasa lama—atau mungkin itu hanya di benak Dimas
"Kenapa, Viona? Tidak senang kalau Kak Satya mau kembali mencari pasangan?" suara Fandy tiba-tiba memecah lamunannya, nadanya terdengar ringan namun menyentuh tepat di inti pikirannya.Viona menggeleng cepat, hampir seperti gerakan otomatis untuk menyembunyikan kegundahannya. "Nggak," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Aku sangat senang sekali karena akhirnya Kak Satya mau membuka hatinya dan mau jatuh cinta lagi.Itu akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku," tambahnya, berusaha meyakinkan bukan hanya Fandy, tapi juga dirinya sendiri.Fandy menyunggingkan senyum tipis, seperti seseorang yang tengah menikmati ironi kehidupan. "Itu sudah menjadi momen paling ditunggu oleh Mama dan Papa. Aku pun tidak tahu siapa orang yang sedang ia usahakan untuk menjadi kekasihnya."Viona menelan salivanya perlahan, matanya melirik ke arah Fandy, mencari petunjuk apakah ada yang dia sembunyikan."Semoga Kak Satya segera menemukan tambatan hatinya," ucapnya lirih, suara itu terdeng
Fandy melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu terasa seperti pasir halus yang terus meluncur di dalam jam pasir, tak pernah berhenti, tak pernah kembali. "Sudah sampai kayaknya. Kamu mau ikut atau mau di sini saja?" tanyanya lagi, nadanya datar tapi penuh perhatian."Ikut," jawab Viona dengan cepat, suaranya terdengar seperti bisikan angin yang melintasi celah sunyi."Sudah satu minggu ini aku tidak melihat Mama. Bahkan semenjak menemani Kak Satya di sana pun dia nggak menghubungiku." Matanya menunduk, dan ada bayang kesedihan yang mengintip di balik bulu matanya.Rasanya seperti kehilangan sosok ibu kandung sendiri, Yuni yang biasanya hangat kini terasa jauh, dingin seperti musim dingin di Amerika.Fandy, seolah merasakan getar emosi itu, mengulurkan tangannya dan mengusap lembut lengan istrinya. Sentuhannya seperti sinar matahari pagi, hangat dan menenangkan."Ya sudah, sekarang kita jemput Mama di bandara. Yuk!" katanya dengan senyum kecil yang mencoba mencairka
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam, dan gelap malam seperti kain beludru hitam mulai merangkul langit.Angin dingin mengelus lembut kaca jendela, menciptakan alunan samar yang hampir seperti bisikan. Viona dan Fandy baru saja melangkah melewati pintu rumah, membawa aroma samar obat-obatan dari kunjungan mereka ke rumah sakit."Aku buatkan makan malam dulu. Kamu pasti lapar," ucap Fandy seraya membantu Viona duduk di ranjang yang kini terasa seperti singgasana rapuh.Viona menatapnya dengan alis yang terangkat setengah. "Emang bisa masak?" tanyanya, nada skeptisnya seperti jarum yang menusuk kepercayaan diri Fandy."Kamu meremehkan aku?" Fandy mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menyusuri wajah Viona seperti seorang pemburu yang menantikan reaksi mangsanya.Dengan cepat, Viona memundurkan wajahnya, seolah hawa panas dari keberadaan Fandy terlalu membakar. "Jangan dekat-dekat, bisa?" katanya, tatapan matanya dingin dan tajam seperti ujung pedang yang baru diasah.Fandy mundu
Perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Baru-baru ini juga, aku tahu kalau Pak Fandy suaminya Viona," ucapnya menjelaskan.Dimas menghela napas kasar seraya menatap Viona yang tampak biasa saja kala Dimas tahu bila dirinya adalah istrinya Fandy. Tentu saja seperti itu sementara dirinya tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Dimas.Pria itu lantas tersenyum tipis. Ia hanya bisa pasrah dan menata kembali pikirannya tentang Fandy dan juga Satya yang memang seringkali memanggil Viona."Semoga langgeng, yaa. Dan untuk saat ini, semoga cepat sembuh," ucapnya dengan pelan.Viona menganggukkan kepalanya. "Terima kasih sudah menjenguk.""Sama-sama. Aku pamit ke toilet sebentar, yaa."Maya menganggukkan kepalanya kemudian duduk di samping Viona dan mengulas senyumnya."Dimas, menyukai Viona?" tanya Fandy kepada Maya.Perempuan itu kemudian menolehkan kepalanya dengan pelan kepada Fandy, lalu menganggukkan kepalanya. "Iya,
Pria itu menganggukkan kepalanya. “Dia hanya punya teman yang mendirikan hotel di sana. Sekadar membantunya. Yang dia lakukan di sana adalah berobat. Satu tahun menjalani terapy dengan dokter di sini, tidak ada hasil. Akhirnya dokter yang merawat Kak Satya merekomendasikan agar menjalani terapy di Amerika.”Viona menghela napas panjang. “Separah itu rupanya, trauma yang dirasakan oleh Kak Satya,” ucapnya pelan.“Bukan hanya itu, Viona.”Viona menolehkan kepalanya dengan pelan kepada suaminya itu. “Ada lagi?” tanyanya kemudian.“Ya. Pria itu … pria yang berhubungan badan dengan Arumi melakukannya juga pada Kak Satya.”Viona membolakan matanya dengan mulut menganga. “A—apa? Maksud kamu ….”Fandy menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Dia tidak ingin disentuh oleh siapa pun setelah kejadian itu. Hampir satu bulan lamanya mengurung di kamarnya. Samp
Sayup-sayup Viona membuka matanya. Ruangan itu terasa asing baginya. Tidak ada siapa pun di sana yang menemaninya. Sembari memegang kepalanya yang terasa pening, perempuan itu mengedarkan pandangannya di sekitaran ruangan tersebut.“Ssst ….” Viona merintih pelan kemudian memegang keningnya yang sudah diperban. “Di mana ini?” tanyanya seraya mengedarkan pandangannya di sekitaran ruangan tersebut.Cklek!Fandy datang menghampiri Viona kemudian dengan cepat duduk di samping perempuan itu. “Sudah siuman, Viona. Bagaimana perasaanmu?” tanyanya dengan pelan.“Kamu habis dari mana?” tanyanya ingin tahu.Fandy menelan salivanya dengan pelan. “Mengurus penerbangan Kak Satya ke Amerika. Kejadian semalam, kamu masih ingat?” tanyanya kemudian.Viona membolakan matanya. “Heuh? Hari ini juga? Memangnya kondisinya sudah baik?” tanyanya kemudian. Ia menganggukkan kepalanya dengan
Di sisi lain ruangan, Satya tetap sibuk dengan rekaman yang terus diputar. Satu demi satu wajah muncul di layar, menjadi saksi atas rahasia gelap yang tersembunyi di balik tirai tebal hotel ini. Satya menghela napas kasar, jemarinya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.“Kebanyakan pada shift malam,” gumamnya lirih. Tatapannya kembali tertuju pada Viona, yang tak sadar dirinya menjadi pusat kekacauan ini.“Viona, perempuan baik-baik seperti kamu, ikut tercoreng namanya hanya karena ulah segelintir karyawan yang rela memberikan tubuhnya pada pria haus birahi.”Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, merasakan campuran lelah, marah, dan getir yang tak kunjung sirna. Saat ia menghela napas panjang, senyum lirih muncul di sudut bibirnya—bukan senyum kebahagiaan, melainkan semacam harapan samar yang ia tujukan untuk perempuan itu.‘Semoga kejadian ini tidak pernah terulang lagi, Viona.’ Kalimat itu menggema dalam hatinya, sebuah janji tak terucap yang ia titipkan pada dirinya sendiri
Maya menelan salivanya pelan, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran Dimas. Setelah beberapa detik terdiam, ia berkata dengan nada yang lebih serius, “Tidak mungkin, Dimas.” Suaranya tegas namun tetap lembut.“Pak Satya hanya membela mana yang benar. Kalau bukan Viona yang difitnah, siapa pun yang ada di posisi itu pasti akan dibelanya. Dia punya hati dan perasaan, Dimas. Dia tidak pernah membiarkan ketidakadilan terjadi di depan matanya.”Dimas mendesah panjang, seolah membiarkan kata-kata Maya meresap ke dalam benaknya. “Tapi di hotel lain, biasanya karyawan yang seperti Viona sudah pasti dipecat, apalagi kalau ada masalah dengan tamu. Pak Satya malah turun tangan sendiri. Itu yang bikin aku heran,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh desau pendingin ruangan.“Itu karena Pak Satya bukan bos biasa,” sahut Maya dengan mata yang berbinar penuh keyakinan. “Dia tahu betul apa yang terjadi, Dimas. Dia membela Viona karena dia tahu gadis itu hampir diperkosa. Apa kamu k
Satya hanya menghela napas panjang, tangannya terangkat untuk menggaruk alis. Ia tidak terpengaruh oleh provokasi murah itu, tetapi kejengahan jelas terlihat di wajahnya.Dalam hatinya, ia sempat merenung. Fandy mungkin seperti itu. Tapi aku? Tidak. Bahkan menyentuh perempuan saja aku sudah tidak sanggup.Pandangan Satya melirik Viona yang duduk diam di sudut ruangan, matanya penuh luka yang tersembunyi. Tapi kenapa dengan Viona semuanya terasa baik-baik saja? Apakah aku sudah sembuh? Pikirannya berputar, mencari jawaban atas perasaan yang tiba-tiba muncul.Namun ia segera membuang jauh pikiran itu. Viona adalah adik iparnya, dan Fandy sudah berjanji akan menjadi suami yang baik untuknya—meski semua itu sekarang tampak seperti janji kosong.Lima belas menit berlalu, sirine polisi terdengar dari luar. Orang-orang di hotel mulai berkerumun, bisik-bisik memenuhi lorong. Banyak yang mengira bahwa Viona-lah yang akan dibawa ke kantor polisi.“Selamat malam,” sapa seorang petugas, suaranya