Share

Bab 5: Beri Racun saja?

Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.

Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.

“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.

“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.

Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucapnya, suaranya dingin, seolah-olah Riana adalah miliknya semata.

Riana hanya terdiam, menahan napas dalam-dalam, tubuhnya gemetar menahan ketakutan yang mendalam.

Kenangan akan malam sebelumnya berputar di pikirannya. Malam itu, kesuciannya direnggut dengan paksa, meninggalkan luka yang belum pudar dari batinnya.

Riana hanya bisa menelan kembali ketakutannya, berharap semua ini segera berakhir, namun sadar bahwa kehadiran Fandy tak akan mudah terelakkan.

“Kamu tidak berhak—” Riana berusaha berkata, namun Fandy menyela, nadanya tak terbantahkan.

“Jangan menolak, Riana. Aku akan menggaulimu sekarang juga,” ujarnya seraya membuka bathrobe yang dikenakan Riana dengan kasar, seolah-olah tidak ada rasa hormat atau penghargaan pada dirinya.

Riana terbelalak, rasa takut dan perlawanan berperang di dalam hatinya. Namun, Fandy tak peduli, ia tak memberinya pilihan, menjadikan malam itu saksi bagi kesewenang-wenangan yang diabadikan dalam luka.

**

Pagi datang seperti tamu tak diundang. Cahaya matahari yang menyelinap di balik tirai membawa sinar yang terasa pedih, menerangi wajah Riana yang masih terbaring dengan lemah.

Tubuhnya terasa berat, pegal di setiap persendiannya seakan seluruh tenaganya terkuras. Saat ia mencoba bergerak, rasa nyeri menusuk di pangkal pahanya, seolah mengingatkannya pada malam kelam yang baru saja berlalu.

“Aaaww…” keluhnya, suaranya pelan tapi penuh rasa sakit. Pandangannya terpaku pada tanda-tanda merah yang menghiasi dadanya, bekas perlakuan Fandy yang kasar. Ia menarik napas panjang, perasaan jijik menjalar di dalam dirinya.

“Menjijikkan,” gumamnya lirih, menyesali setiap keputusan yang membawanya pada pernikahan ini.

“Kalau saja aku tahu seperti apa sifat aslimu…” ucapnya sambil mengusap wajahnya dengan lelah.

Baginya, ini adalah penyesalan pahit yang harus ditelan. Pernikahan yang terjalin bukan atas dasar cinta atau kasih sayang, melainkan rasa tanggung jawab yang akhirnya menjadikannya terjebak dalam permainan yang ia sendiri tak tahu caranya berhenti.

Pikiran Riana melayang, menyesali saat di mana ia memutuskan untuk meminta Fandy bertanggung jawab.

Bila ia tahu semua ini akan membuat tubuhnya terasa remuk seperti sekarang, mungkin ia takkan membiarkan Fandy merenggut kesuciannya.

Namun kini, yang tersisa hanyalah kebencian dan penyesalan yang terus berputar di benaknya.

Tiba-tiba, suara teriakan Fandy memecah keheningan. “Riana!” panggilnya, suara beratnya menggema hingga ke seluruh ruangan.

Riana terkesiap, seolah mendengar suara itu saja sudah cukup membuatnya kembali ke dalam rasa takut yang belum sempat hilang.

Ia segera melangkah ke kamar mandi, mengunci pintunya erat-erat. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Tak ada keinginan sedikit pun baginya untuk menuruti kemauan Fandy lagi. Tubuhnya masih terasa sakit, ia tak sanggup lagi meladeni lelaki yang sama sekali tak peduli pada perasaannya.

Dari balik pintu, suara Fandy masih terdengar. “Selesai mandi, siapkan sarapan untukku! Aku harus ke kantor pagi ini juga,” perintahnya dengan nada yang tak mau ditawar.

Riana hanya memejamkan mata, menghela napas panjang. “Semoga saja kamu cepat pergi, Fandy,” gumamnya dengan suara hampir tak terdengar.

“Jauh lebih baik kalau kamu tidak ada. Aku bisa beristirahat tanpa harus merasa takut.” Dalam hatinya, ia hanya berharap Fandy akan segera meninggalkan rumah itu, setidaknya untuk sementara.

Selesai mandi, Riana melilitkan handuk di tubuhnya, mengunci pintu kamar, dan segera berganti pakaian. Hanya dengan mengunci diri seperti ini ia merasa sedikit terlindungi, setidaknya dari ancaman yang kini selalu ada di dekatnya.

Setelah selesai berpakaian, ia pun keluar dari kamar. Fandy sudah duduk di ruang tamu, sibuk dengan ponselnya, wajahnya tampak tersenyum samar saat ia menatap layar yang menampilkan wajah seorang wanita.

Wajah itu tak asing baginya; Citra, wanita yang selalu menjadi bayang-bayang dalam pernikahan ini, cinta Fandy yang tak pernah tergantikan.

Riana menghela napas, perasaan getir menelusup di hatinya. “Mau dibuatkan apa untuk sarapan?” tanyanya datar, berusaha menjaga sikap netral.

“Yang simple saja, nasi goreng,” jawab Fandy tanpa menoleh. Tatapan matanya tak pernah lepas dari ponselnya, seolah keberadaan Riana tak lebih dari sekadar bayangan di rumah ini.

Riana mengangguk tanpa bicara lagi. Langkahnya membawa dirinya ke dapur, hatinya terasa sepi meskipun ia tahu kehadiran Fandy di dekatnya.

Setiap gerakan tangannya saat menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan terasa lambat, kosong, seolah-olah jiwanya terjebak dalam rutinitas tanpa makna.

“Haruskah kuberi racun, ke dalam makanannya?” gumam Riana dengan nada yang tak terdengar seperti dirinya. Jarinya bergerak-gerak lamban, mengaduk nasi goreng dengan pandangan kosong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status