Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.
Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.
“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.
“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.
Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucapnya, suaranya dingin, seolah-olah Riana adalah miliknya semata.
Riana hanya terdiam, menahan napas dalam-dalam, tubuhnya gemetar menahan ketakutan yang mendalam.
Kenangan akan malam sebelumnya berputar di pikirannya. Malam itu, kesuciannya direnggut dengan paksa, meninggalkan luka yang belum pudar dari batinnya.
Riana hanya bisa menelan kembali ketakutannya, berharap semua ini segera berakhir, namun sadar bahwa kehadiran Fandy tak akan mudah terelakkan.
“Kamu tidak berhak—” Riana berusaha berkata, namun Fandy menyela, nadanya tak terbantahkan.
“Jangan menolak, Riana. Aku akan menggaulimu sekarang juga,” ujarnya seraya membuka bathrobe yang dikenakan Riana dengan kasar, seolah-olah tidak ada rasa hormat atau penghargaan pada dirinya.
Riana terbelalak, rasa takut dan perlawanan berperang di dalam hatinya. Namun, Fandy tak peduli, ia tak memberinya pilihan, menjadikan malam itu saksi bagi kesewenang-wenangan yang diabadikan dalam luka.
**
Pagi datang seperti tamu tak diundang. Cahaya matahari yang menyelinap di balik tirai membawa sinar yang terasa pedih, menerangi wajah Riana yang masih terbaring dengan lemah.
Tubuhnya terasa berat, pegal di setiap persendiannya seakan seluruh tenaganya terkuras. Saat ia mencoba bergerak, rasa nyeri menusuk di pangkal pahanya, seolah mengingatkannya pada malam kelam yang baru saja berlalu.
“Aaaww…” keluhnya, suaranya pelan tapi penuh rasa sakit. Pandangannya terpaku pada tanda-tanda merah yang menghiasi dadanya, bekas perlakuan Fandy yang kasar. Ia menarik napas panjang, perasaan jijik menjalar di dalam dirinya.
“Menjijikkan,” gumamnya lirih, menyesali setiap keputusan yang membawanya pada pernikahan ini.
“Kalau saja aku tahu seperti apa sifat aslimu…” ucapnya sambil mengusap wajahnya dengan lelah.
Baginya, ini adalah penyesalan pahit yang harus ditelan. Pernikahan yang terjalin bukan atas dasar cinta atau kasih sayang, melainkan rasa tanggung jawab yang akhirnya menjadikannya terjebak dalam permainan yang ia sendiri tak tahu caranya berhenti.
Pikiran Riana melayang, menyesali saat di mana ia memutuskan untuk meminta Fandy bertanggung jawab.
Bila ia tahu semua ini akan membuat tubuhnya terasa remuk seperti sekarang, mungkin ia takkan membiarkan Fandy merenggut kesuciannya.
Namun kini, yang tersisa hanyalah kebencian dan penyesalan yang terus berputar di benaknya.
Tiba-tiba, suara teriakan Fandy memecah keheningan. “Riana!” panggilnya, suara beratnya menggema hingga ke seluruh ruangan.
Riana terkesiap, seolah mendengar suara itu saja sudah cukup membuatnya kembali ke dalam rasa takut yang belum sempat hilang.
Ia segera melangkah ke kamar mandi, mengunci pintunya erat-erat. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Tak ada keinginan sedikit pun baginya untuk menuruti kemauan Fandy lagi. Tubuhnya masih terasa sakit, ia tak sanggup lagi meladeni lelaki yang sama sekali tak peduli pada perasaannya.
Dari balik pintu, suara Fandy masih terdengar. “Selesai mandi, siapkan sarapan untukku! Aku harus ke kantor pagi ini juga,” perintahnya dengan nada yang tak mau ditawar.
Riana hanya memejamkan mata, menghela napas panjang. “Semoga saja kamu cepat pergi, Fandy,” gumamnya dengan suara hampir tak terdengar.
“Jauh lebih baik kalau kamu tidak ada. Aku bisa beristirahat tanpa harus merasa takut.” Dalam hatinya, ia hanya berharap Fandy akan segera meninggalkan rumah itu, setidaknya untuk sementara.
Selesai mandi, Riana melilitkan handuk di tubuhnya, mengunci pintu kamar, dan segera berganti pakaian. Hanya dengan mengunci diri seperti ini ia merasa sedikit terlindungi, setidaknya dari ancaman yang kini selalu ada di dekatnya.
Setelah selesai berpakaian, ia pun keluar dari kamar. Fandy sudah duduk di ruang tamu, sibuk dengan ponselnya, wajahnya tampak tersenyum samar saat ia menatap layar yang menampilkan wajah seorang wanita.
Wajah itu tak asing baginya; Citra, wanita yang selalu menjadi bayang-bayang dalam pernikahan ini, cinta Fandy yang tak pernah tergantikan.
Riana menghela napas, perasaan getir menelusup di hatinya. “Mau dibuatkan apa untuk sarapan?” tanyanya datar, berusaha menjaga sikap netral.
“Yang simple saja, nasi goreng,” jawab Fandy tanpa menoleh. Tatapan matanya tak pernah lepas dari ponselnya, seolah keberadaan Riana tak lebih dari sekadar bayangan di rumah ini.
Riana mengangguk tanpa bicara lagi. Langkahnya membawa dirinya ke dapur, hatinya terasa sepi meskipun ia tahu kehadiran Fandy di dekatnya.
Setiap gerakan tangannya saat menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan terasa lambat, kosong, seolah-olah jiwanya terjebak dalam rutinitas tanpa makna.
“Haruskah kuberi racun, ke dalam makanannya?” gumam Riana dengan nada yang tak terdengar seperti dirinya. Jarinya bergerak-gerak lamban, mengaduk nasi goreng dengan pandangan kosong.
Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk
Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.” Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…” Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.” Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?” Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.” Yuni mem
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang
Dengan hati-hati, Riana mendorong meja berisi hidangan menuju ruang VIP. Ia melangkah masuk setelah mengetuk pelan, mencoba menyembunyikan gugup yang merayap di dalam hatinya.Ruangan itu terasa hangat dan dipenuhi dengan tawa kecil dan percakapan akrab di antara para pria yang sedang duduk di sana.“Permisi,” ucap Riana pelan, sebelum mendorong meja ke dalam ruangan. Senyum kecil ia bentangkan saat menyusun hidangan di atas meja untuk Satya."Terima kasih," Satya menatapnya dengan senyum lembut yang menenangkan, membuat Riana sedikit mengendurkan ketegangan dalam dirinya."Sama-sama," balas Riana dengan sopan.Herman, ayah dari Satya dan Fandy, menatapnya dengan senyum penuh kebapakan. "Riana, tetap di sini sebentar. Ini Satya, kakak iparmu," ucapnya memperkenalkan dengan nada penuh kehormatan.Satya menatap Riana dengan alis terangkat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit bingung. "Kok dia? Bukannya Citra? Aku baru lihat wajahnya sekarang. Namanya siapa tadi?" tanyanya s
Malam sudah larut, jam berdentang dua belas, dan angin terasa dingin menusuk hingga ke sumsum. Di sudut gelap parkiran hotel, Riana duduk di atas jok motornya, bersiap pulang setelah jam kerjanya yang panjang.Pandangannya sejenak tertuju ke jalanan yang lengang, seolah mencari sesuatu di kejauhan, sebelum suara pelan memanggil namanya.“Riana?”Dimas muncul dari kegelapan, menghampirinya dengan langkah perlahan yang seperti menembus kabut malam. Wajahnya setengah tersenyum di bawah cahaya temaram.“Iya, Dimas?” Riana menoleh, memasang helmnya dengan gerakan anggun namun terburu.“HP kamu ketinggalan.” Dimas mengulurkan benda kecil itu, ponselnya, yang bersinar redup seperti memberi tahu hal penting yang tertunda.“Oh, astaga. Thanks, Dim,” sahutnya sambil meraih ponsel dari tangan Dimas. Jemari mereka hampir bersentuhan, dan ada jeda yang terasa lama—atau mungkin itu hanya di benak Dimas
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak
Riana meringis pelan. "Yaa maksudnya banyak banget ini, Kak. Aku nggak sanggup nih, buka sendirian hadiahnya.""Nanti aku bantu. Mama sama Papa juga nanti ke sini buat bantu kita bukain kadonya Fabian.""Okelah kalau begitu. Kamu masih cuti, Kak?" tanyanya kemudian."Sampai besok. Kenapa memangnya?""Nggak sih. Cuma nanya aja."Satya menaikan alisnya sebelah. "Nggak biasanya kamu nanya tapi nggak ada alasan. Ada apa, hem?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah istrinya itu."Nggak, kok. Beneran cuma nanya aja.""Oh, begitu. Baiklah." Satya kemudian mengulas senyumnya. "Eum. Ada yang ingin aku tanyakan pada kamu, Sayang."Satya menggenggam kedua tangan Riana seraya menatapnya dengan lekat kemudian menghela napasnya dengan panjang."Maaf, kalau aku terkesan buru-buru. Tapi, aku hanya ingin tahu adakah niat di hati kamu atau tidak."Riana menaikan alisnya sebelah. "Maksud kamu?" tanyanyak masih bingung dengan ucapan dari suaminya itu.Satya menelan saliva dengan pelan. "Eum! Aku ingin
Satu tahun berlalu.Usia Fabian kini sudah satu tahun. Tepat di hari ini, Fabian merayakan ulang tahunnya yang pertama. Di hotel miliknya di sebuah aula yang sangat luas, kedua orang tuanya merayakan ulang tahun anak satu-satunya mereka dengan meriah."Selamat ulang tahun cucuku. Oma doakan kamu akan menjadi anak yang baik dan sayang pada kedua orang tuamu." Yuni memberikan selamat kepada sang cucu sembari mencium pipinya."Makasih ya, Oma. Hadiahnya banyak banget." Riana mengusapi pucuk kepala sang anak sembari berbicara kepada mertuanya."Sama-sama. Ini nggak seberapa sama hadiah yang dikasih Satya."Riana mengulas senyumnya. "Kalian memang sangat luar biasa. Aku sayang kalian semua. Fabian juga pasti menyayangi papa, oma dan opanya."Yuni kemudian mengusapi lengan menantunya itu sembari mengulas senyumnya. "Banyak, yang menyayangi kamu dan Fabian, Sayang. Lihatlah! Betapa banyak tamu undangan yang menghadiri acara ulang tahun Fabian."Riana mengulas senyum lagi seraya menganggukkan
Lima belas menit setelah mandi, Satya keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang hanya dililit oleh handuk membuatnya malu sendiri."Kamu kenapa sih, Kak? Gugup?" tanya Riana kemudian mengatup bibirnya menahan tawa melihat wajah Satya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu lucu ia lihat.Satya menghela napasnya dengan panjang kemudian menghampiri Riana dan menatapnya dengan lekat."Aku memang sedikit gugup, tapi aku juga pengen.""Ya udah, nggak usah gugup. Kamu berhak minta kapan pun selagi aku sempat dan mau juga. Walau sebenarnya menolak itu dosa."Satya menerbitkan senyumnya. "Baiklah. Maaf ya, kalau aku terkesan norak."Riana mengusapi lengan suaminya itu. "Nggak apa-apa. Aku maklumi kok. Nanti juga terbiasa. Lagi pula, kita nikah juga baru satu minggu. Belum satu tahun."Satya menerbitkan cengiran. "Ya sudah kalau begitu, kita mulai saja."Riana mengangguk seraya mengulas senyumnya kepada suaminya itu. Satya kemudian melangkah lebih mendekat kepada Riana.Meraup bibir itu dengan lembu
Tak lama setelahnya, Satya mengakhiri panggilan tersebut dan menghampiri Riana yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya."Masak apa hari ini?" tanyanya sembari membuka kotak nasi tersebut."Cumi saus padang sama tumis kangkung pakai udang. Nggak ada alergi udang, kan?"Satya menggeleng. "Nggak kok. Terima kasih, sudah membawakan aku makan siang masakan kamu.""Sama-sama. Dihabisin ya, jangan sampai nggak.""Pasti. Masakan kamu enak, nggak pernah gagal."Riana lantas menerbitkan senyumnya mendengar pujian dari sang suami. "Bisa aja. Padahal aku sering lho, gagal bikin masakan.""Nggak apa-apa. Aku maklumi. Namanya manusia tidak ada yang sempurna."Riana kembali tersenyum mendengar ucapan dari suaminya itu. "Manis banget sih. Suami siapa sih ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan. "Dihabisin nasinya. Nanti yang udah buatnya nangis.""Nanti aku peluk kalau nangis."Riana lantas mengerucutkan bibirnya. "Bisa-bisanya ngegombal. Saya ini udah jadi istri Bapak. Nggak butuh