“Tapi, jangan pernah berharap apa-apa. Kamu hanya akan menjadi pengantin pengganti saja. Dan satu lagi, jangan berharap cinta dariku, karena itu tidak akan pernah terjadi.”
Riana memandang Fandy dengan tatapan nanar, kepahitan yang terpancar dari mata perempuan itu menggoreskan luka yang tak terucap. “Lalu, haruskah aku menerima ini dengan senang hati?”
Fandy menghela napas, kesal karena merasa tak punya pilihan lain. “Maksudmu apa, bicara seperti itu?”
Riana menatap tajam pada Fandy, tatapan datarnya bagai mengiris lapisan harga diri lelaki di depannya. Ia merasa aneh dengan permintaan tiba-tiba itu, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan kekalutannya.
“Kenapa memilih tanggung jawab? Kamu sendiri yang sudah bilang akan menikah lima hari lagi. Kenapa harus menikahiku?”
Seolah mempertahankan sisa harga diri yang mulai meluruh, Fandy menghela napas dalam-dalam, menelan rasa malu yang berusaha disembunyikannya. “Pernikahan itu dibatalkan,” ucapnya, suaranya lirih namun tetap memancarkan ketegasan.
Riana mengangkat sebelah alis, bibirnya menorehkan senyum miring yang nyaris menjelma tawa sinis. Ingin sekali ia melontarkan ledekan, tetapi menahan diri, karena tahu betul bahwa Fandy adalah pria yang penuh kuasa di tempat ini. Sedikit saja ia melakukan kesalahan, hidupnya bisa semakin tergantung padanya.
Di tengah rasa bingung dan amarah yang mulai merayap, Fandy melanjutkan, “Jangan menolak, apalagi membangkang! Aku sudah berbaik hati karena ingin bertanggung jawab dan menikahimu,” suaranya kian meninggi, terdengar konyol, seolah ucapan itu hanyalah pembelaan ego yang goyah.
Riana menghela napas, kebingungan mencuat. “Kamu sendiri yang salah, kenapa terlihat marah seperti ini padaku? Kamu adalah pria paling aneh di muka bumi ini, Fandy!”
Fandy mendengus kesal, tangannya mengibaskan udara, menunjukkan ketidaksabarannya. Ia tak ingin mendengar ocehan panjang dari Riana. Tanpa sepatah kata lagi, ia menggenggam tangan perempuan itu dengan kuat dan kasar.
“Ayo! Ke rumahku sekarang juga. Mama tidak akan memandang latar belakang kamu. Dia hanya ingin mencari pengantin pengganti!” Suaranya tegas, nyaris tanpa emosi, namun perintahnya jelas tak bisa dibantah.
Tanpa memberi kesempatan bagi Riana untuk melawan, Fandy menyeretnya ke arah mobil, membawa paksa perempuan itu seolah dirinya hanyalah sekadar objek.
Sepanjang perjalanan, mobil itu melaju cepat, seolah terhisap ke dalam bayangan kelam yang penuh ketidakpastian.
Riana hanya diam, wajahnya menyiratkan amarah dan ketidakberdayaan. Dia sadar, dengan segala keterbatasannya, menolak pria ini sama saja dengan menghancurkan hidupnya sendiri.
Sesampainya di rumah keluarga Fandy, lelaki itu kembali menariknya, kali ini langsung ke ruang tamu tempat ibunya, Yuni, tengah duduk menanti dengan penuh harap dan kegelisahan.
Setibanya di hadapan Yuni, Fandy segera membuka suara, suaranya terdengar hambar, seolah memperkenalkan sekadar formalitas. “Ini, perempuan yang akan menjadi pengantin pengganti kita,” ucapnya, memperkenalkan Riana sekenanya tanpa ekspresi.
Mata Yuni menatap tajam pada perempuan di depannya, memperhatikan Riana dari ujung kepala hingga kaki. “Namanya Riana,” Fandy menambahkan, menoleh sekilas pada Riana yang berdiri di sampingnya, “Dia karyawan di hotel kita.”
Yuni menanggapi dengan anggukan kecil, matanya memancarkan kesan puas, seolah Riana adalah sekadar potongan teka-teki yang akhirnya melengkapi rencananya.
“Baiklah. Orangnya cantik, dan sepertinya baik. Di mana orang tuamu, Riana? Saya ingin bicara dengan mereka,” Yuni bertanya, nada suaranya terdengar sopan namun tegas.
Riana menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab, “Saya tidak punya keluarga, Bu. Saya seorang yatim piatu sejak SMP,” jawabnya singkat namun penuh kepedihan yang terpendam.
Mendengar itu, Yuni hanya mengangguk ringan, seolah beban dalam dirinya mendadak sirna. “Baguslah. Setidaknya kami tidak perlu mengenal kamu lebih jauh,” Yuni melontarkan kalimat itu dengan kejam tanpa sengaja, sebelum melanjutkan, “Lima hari lagi, kita akan melaksanakan pernikahan. Kamu tinggal di rumah ini saja. Biar Fandy yang keluar, tinggal di apartemennya.”
Yuni lalu mengulurkan tangannya dengan tatapan bersahabat yang terkesan palsu. “Nama saya Yuni, dan ini suami saya, Herman,” katanya, memperkenalkan diri dengan nada formal. Di sebelahnya, Herman tersenyum kecil, wajahnya tampak ramah dan penuh penerimaan.
“Terima kasih karena sudah mau menjadi istrinya Fandy,” ucap Herman dengan nada penuh kelembutan, “Kami akan menyayangi kamu dengan sepenuh hati kami. Jangan takut. Anggap saja kami seperti orang tua kandungmu.”
Kata-kata Herman memberikan sedikit rasa hangat di hati Riana, namun senyumnya tetap lirih. “Terima kasih, Pak,” balasnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang berkecamuk dalam dadanya.
“Jangan sungkan untuk datang ke sini setelah menikah nanti, Riana,” Yuni menambahkan, “karena setelah menikah, kalian tidak akan tinggal di sini. Kami sudah menyediakan rumah untuk kalian berdua. Tentu saja, rumah itu akan nyaman bagimu.”
Riana mengangguk, meski di hatinya bergolak umpatan penuh kejengkelan. 'Bagaimana bisa nyaman, sementara aku harus tinggal bersama pria yang tak tahu diuntung!' pikirnya sambil menahan diri dari mencibir di depan keluarga itu.
'Kalau bukan karena ketakutan bahwa benih itu tumbuh, mana mau aku menikah dengan pria arogan seperti Fandy. Sombong, tak tahu malu!' Keluhannya hanya bisa terpendam, tersimpan rapi dalam hati yang membatu.
Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya. Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana.“Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya.Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan.Fandy tak s
Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucap
Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk
Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”Yuni memandang Rian
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel
“Fandy!” pekik Riana, meronta mencoba menjauh dari Fandy, meskipun di lubuk hatinya ia tahu sekeras apa pun ia melawan, sia-sia.Meski status istri melekat padanya, Riana tak pernah menginginkan diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang mengaku suaminya itu.“Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, Riana!” ucap Fandy penuh penekanan, dengan nada serak yang terdengar beringas.“Dan ingat! Aku tidak takut dengan ancaman Mama. Aku akan tetap kembali pada Citra setelah dia sudah kembali ke Indonesia. Aku hanya mencintainya!” Fandy melanjutkan dengan suara yang berbisik dingin, sebelum akhirnya menyatukan dirinya pada Riana tanpa peduli akan protes dan rasa sakit yang terlukis di wajah wanita itu.Riana menggigit bibir, menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, namun Fandy tetap tak bergeming, memperlakukannya dengan kejam tanpa mempedulikan tangisan yang samar-samar terdengar di telinganya."Bedebah gila!" pekiknya, merasakan tubuhnya diguncang