Share

Bab 3: Akan Tinggal dengan Pria tidak Tahu Diuntung!

“Tapi, jangan pernah berharap apa-apa. Kamu hanya akan menjadi pengantin pengganti saja. Dan satu lagi, jangan berharap cinta dariku, karena itu tidak akan pernah terjadi.”

Riana memandang Fandy dengan tatapan nanar, kepahitan yang terpancar dari mata perempuan itu menggoreskan luka yang tak terucap. “Lalu, haruskah aku menerima ini dengan senang hati?”

Fandy menghela napas, kesal karena merasa tak punya pilihan lain. “Maksudmu apa, bicara seperti itu?”

Riana menatap tajam pada Fandy, tatapan datarnya bagai mengiris lapisan harga diri lelaki di depannya. Ia merasa aneh dengan permintaan tiba-tiba itu, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan kekalutannya.

“Kenapa memilih tanggung jawab? Kamu sendiri yang sudah bilang akan menikah lima hari lagi. Kenapa harus menikahiku?”

Seolah mempertahankan sisa harga diri yang mulai meluruh, Fandy menghela napas dalam-dalam, menelan rasa malu yang berusaha disembunyikannya. “Pernikahan itu dibatalkan,” ucapnya, suaranya lirih namun tetap memancarkan ketegasan.

Riana mengangkat sebelah alis, bibirnya menorehkan senyum miring yang nyaris menjelma tawa sinis. Ingin sekali ia melontarkan ledekan, tetapi menahan diri, karena tahu betul bahwa Fandy adalah pria yang penuh kuasa di tempat ini. Sedikit saja ia melakukan kesalahan, hidupnya bisa semakin tergantung padanya.

Di tengah rasa bingung dan amarah yang mulai merayap, Fandy melanjutkan, “Jangan menolak, apalagi membangkang! Aku sudah berbaik hati karena ingin bertanggung jawab dan menikahimu,” suaranya kian meninggi, terdengar konyol, seolah ucapan itu hanyalah pembelaan ego yang goyah.

Riana menghela napas, kebingungan mencuat. “Kamu sendiri yang salah, kenapa terlihat marah seperti ini padaku? Kamu adalah pria paling aneh di muka bumi ini, Fandy!”

Fandy mendengus kesal, tangannya mengibaskan udara, menunjukkan ketidaksabarannya. Ia tak ingin mendengar ocehan panjang dari Riana. Tanpa sepatah kata lagi, ia menggenggam tangan perempuan itu dengan kuat dan kasar.

“Ayo! Ke rumahku sekarang juga. Mama tidak akan memandang latar belakang kamu. Dia hanya ingin mencari pengantin pengganti!” Suaranya tegas, nyaris tanpa emosi, namun perintahnya jelas tak bisa dibantah.

Tanpa memberi kesempatan bagi Riana untuk melawan, Fandy menyeretnya ke arah mobil, membawa paksa perempuan itu seolah dirinya hanyalah sekadar objek.

Sepanjang perjalanan, mobil itu melaju cepat, seolah terhisap ke dalam bayangan kelam yang penuh ketidakpastian.

Riana hanya diam, wajahnya menyiratkan amarah dan ketidakberdayaan. Dia sadar, dengan segala keterbatasannya, menolak pria ini sama saja dengan menghancurkan hidupnya sendiri.

Sesampainya di rumah keluarga Fandy, lelaki itu kembali menariknya, kali ini langsung ke ruang tamu tempat ibunya, Yuni, tengah duduk menanti dengan penuh harap dan kegelisahan.

Setibanya di hadapan Yuni, Fandy segera membuka suara, suaranya terdengar hambar, seolah memperkenalkan sekadar formalitas. “Ini, perempuan yang akan menjadi pengantin pengganti kita,” ucapnya, memperkenalkan Riana sekenanya tanpa ekspresi.

Mata Yuni menatap tajam pada perempuan di depannya, memperhatikan Riana dari ujung kepala hingga kaki. “Namanya Riana,” Fandy menambahkan, menoleh sekilas pada Riana yang berdiri di sampingnya, “Dia karyawan di hotel kita.”

Yuni menanggapi dengan anggukan kecil, matanya memancarkan kesan puas, seolah Riana adalah sekadar potongan teka-teki yang akhirnya melengkapi rencananya.

“Baiklah. Orangnya cantik, dan sepertinya baik. Di mana orang tuamu, Riana? Saya ingin bicara dengan mereka,” Yuni bertanya, nada suaranya terdengar sopan namun tegas.

Riana menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab, “Saya tidak punya keluarga, Bu. Saya seorang yatim piatu sejak SMP,” jawabnya singkat namun penuh kepedihan yang terpendam.

Mendengar itu, Yuni hanya mengangguk ringan, seolah beban dalam dirinya mendadak sirna. “Baguslah. Setidaknya kami tidak perlu mengenal kamu lebih jauh,” Yuni melontarkan kalimat itu dengan kejam tanpa sengaja, sebelum melanjutkan, “Lima hari lagi, kita akan melaksanakan pernikahan. Kamu tinggal di rumah ini saja. Biar Fandy yang keluar, tinggal di apartemennya.”

Yuni lalu mengulurkan tangannya dengan tatapan bersahabat yang terkesan palsu. “Nama saya Yuni, dan ini suami saya, Herman,” katanya, memperkenalkan diri dengan nada formal. Di sebelahnya, Herman tersenyum kecil, wajahnya tampak ramah dan penuh penerimaan.

“Terima kasih karena sudah mau menjadi istrinya Fandy,” ucap Herman dengan nada penuh kelembutan, “Kami akan menyayangi kamu dengan sepenuh hati kami. Jangan takut. Anggap saja kami seperti orang tua kandungmu.”

Kata-kata Herman memberikan sedikit rasa hangat di hati Riana, namun senyumnya tetap lirih. “Terima kasih, Pak,” balasnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang berkecamuk dalam dadanya.

“Jangan sungkan untuk datang ke sini setelah menikah nanti, Riana,” Yuni menambahkan, “karena setelah menikah, kalian tidak akan tinggal di sini. Kami sudah menyediakan rumah untuk kalian berdua. Tentu saja, rumah itu akan nyaman bagimu.”

Riana mengangguk, meski di hatinya bergolak umpatan penuh kejengkelan. 'Bagaimana bisa nyaman, sementara aku harus tinggal bersama pria yang tak tahu diuntung!' pikirnya sambil menahan diri dari mencibir di depan keluarga itu.

'Kalau bukan karena ketakutan bahwa benih itu tumbuh, mana mau aku menikah dengan pria arogan seperti Fandy. Sombong, tak tahu malu!' Keluhannya hanya bisa terpendam, tersimpan rapi dalam hati yang membatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status