Share

Bab 2: Menikah denganku!

Ancaman itu seketika menghapus harapan terakhir Riana. Ia terdiam, membeku dalam luka yang lebih dalam. Fandy lalu mengangkat bahunya, melempar senyum penuh kemenangan.

“Ambil uang itu dan simpan cerita ini baik-baik. Kamu masih ingin bekerja di sini, bukan?” Dengan santai, ia berbalik dan meninggalkan Riana.

Kini Riana sendiri, di kamar penuh luka dan kepahitan. Tangannya yang gemetar meraih pakaiannya, mengenakan satu per satu dengan pelan, tiap helai terasa menyakitkan. Air mata masih mengalir, jatuh ke tangan yang berusaha meraih kekuatan.

“Ini mungkin nasibku,” bisiknya, penuh kepedihan.

Waktu telah merangkak menuju pukul sepuluh pagi, menjemput Fandy yang baru saja pulang setelah semalaman terjerat di pusaran mabuk.

Wajahnya masih menyiratkan letih, matanya nyaris tertutup sepenuhnya, seakan memprotes dunia yang terlalu terang. Dia menatap kamar dengan pandangan buram sebelum akhirnya melepaskan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa memulihkan diri dari pening di kepalanya.

Sementara itu, di ruang tamu, Yuni, ibunda Fandy, tengah menyambut seorang tamu tak terduga. Ibu Irma, calon besannya, berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat lelah dan sedih, sebuah ekspresi yang jarang ia tunjukkan di hadapan Yuni.

“Bu Irma, tumben ke sini. Ada apa?” Yuni menghampiri Irma dengan senyum yang segera tergantikan oleh tatapan penuh tanda tanya.

“Fandy-nya ada, Bu Yuni?” Suara Irma terdengar parau, hampir berbisik, seolah butuh kekuatan untuk mengeluarkan kata-kata.

Yuni mengangguk pelan, membalas tatapan Irma yang penuh kesedihan. “Sebentar, saya panggilkan Fandy.”

Yuni berjalan dengan langkah cepat menuju kamar Fandy, yang masih terbaring lemas di ranjang. “Fandy, bangun. Calon mertuamu ada di luar. Kelihatannya dia ingin bicara sama kamu.”

Fandy mendesah berat, enggan untuk bangkit, tapi akhirnya berdiri dan mengikutinya. Langkahnya terhuyung menuju ruang tengah, dan di sana, ia menemukan Irma duduk dengan wajah yang sama sekali tak ia duga.

“Ma, nggak sama Citra?” tanyanya, mencoba mengusir kecanggungan. Raut wajah calon mertuanya itu membuat perasaan tidak enak menyergap hatinya.

Irma menggeleng, menatap Fandy dengan tatapan muram. “Sepertinya pernikahan ini harus dibatalkan, Fandy.”

Kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. Fandy dan Yuni serentak menoleh, terkejut tak percaya.

“Apa?! Kenapa, Ma?” Fandy panik, matanya melotot menatap Irma. “Lima hari lagi, Ma! Kenapa tiba-tiba harus dibatalkan?”

Dalam hati, ia mengutuk, merasa kemarahan mendidih karena takut Riana telah mengungkap semuanya kepada keluarga Citra. 'Awas saja kalau ini gara-gara kamu, Riana!' gerutunya dalam hati.

Irma menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam emosi. “Kami baru saja memeriksa Citra. Sudah enam bulan ini dia sering mengeluhkan sakit di ulu hatinya. Setelah diperiksa, ternyata ia divonis mengidap kanker hati.”

Sejenak, ruang tamu itu diselimuti keheningan. Fandy termangu, sulit menerima kenyataan yang baru saja disampaikan. “Tidak mungkin… Citra… mana mungkin dia punya penyakit seperti itu!” Kepalanya berguncang perlahan, menolak realitas yang baru saja mendarat.

Irma menatap Fandy dengan penuh simpati, menyadari beratnya pukulan yang harus diterima pemuda itu. “Maaf, Fandy, tapi ini sudah keputusan keluarga kami. Citra harus dibawa ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Kami tidak punya pilihan selain membatalkan pernikahan.”

Setelah mengatakan itu, Irma meminta diri dan pergi, meninggalkan ruangan yang mendadak penuh oleh kecamuk emosi. Fandy termangu, mencoba mencerna kabar yang tak terbayangkan ini.

Tak lama, suara Yuni pecah, menembus sunyi. “Bagaimana ini, Fandy? Undangan sudah disebar, dekorasi dan tempat resepsi sudah seratus persen siap! Mama tidak akan menanggung malu ini! Kamu sendiri yang ingin pesta besar seperti ini! Sekarang Mama harus bilang apa pada semua orang?!”

Fandy mengerutkan alisnya, berusaha menenangkan ibunya yang terlihat kalut.

“Pokoknya Mama tidak mau tahu, kamu harus cari pengantin pengganti sekarang juga!” Yuni menuntut dengan nada tak sabar, matanya berkobar dengan rasa kecewa dan malu yang menumpuk.

Fandy memandang ibunya penuh kebingungan. “Ma, aku hanya ingin menikah dengan Citra. Kalau kita tunggu—”

“Tidak!” potong Yuni tegas. “Keluarga itu sudah mempermalukan kita! Mama tidak peduli dengan penyakitnya! Enak saja, pesta sudah di depan mata, dan mereka malah membatalkan? Ini keterlaluan!”

Yuni langsung menghubungi suaminya, memberitahukan bahwa pernikahan itu batal. Ia menggertakkan gigi, masih tak terima dengan kenyataan ini.

“Papa kamu juga setuju. Kamu harus mencari pengantin pengganti. Cepat, Fandy! Mama tidak mau wajah keluarga ini dipermalukan!”

Kata-kata itu terngiang di benak Fandy, menciptakan konflik batin yang semakin menyiksa. Dalam kekalutannya, tiba-tiba bayangan Riana muncul di pikirannya, wanita yang malam sebelumnya ia tinggalkan di kamar hotel tanpa rasa peduli. Dengan terpaksa, ide itu perlahan-lahan mencuat. Mungkin, ia bisa membuatnya menjadi pengantin pengganti, jika memang ibunya tidak memberi pilihan lain.

Tak menunggu lama, Fandy bergegas kembali ke hotel, berusaha menemukan Riana yang semalam ia tinggalkan dalam kesendirian. Sesampainya di hotel, ia melihat sosok perempuan itu tengah berdiri di lobi, tampak ingin meninggalkan tempat itu, wajahnya masih menyiratkan luka dari peristiwa malam lalu.

Dengan dingin, Fandy menghampirinya. “Menikah denganku,” katanya tanpa basa-basi, tatapan matanya datar dan tak kenal kompromi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status