Ancaman itu seketika menghapus harapan terakhir Riana. Ia terdiam, membeku dalam luka yang lebih dalam. Fandy lalu mengangkat bahunya, melempar senyum penuh kemenangan.
“Ambil uang itu dan simpan cerita ini baik-baik. Kamu masih ingin bekerja di sini, bukan?” Dengan santai, ia berbalik dan meninggalkan Riana.
Kini Riana sendiri, di kamar penuh luka dan kepahitan. Tangannya yang gemetar meraih pakaiannya, mengenakan satu per satu dengan pelan, tiap helai terasa menyakitkan. Air mata masih mengalir, jatuh ke tangan yang berusaha meraih kekuatan.
“Ini mungkin nasibku,” bisiknya, penuh kepedihan.
Waktu telah merangkak menuju pukul sepuluh pagi, menjemput Fandy yang baru saja pulang setelah semalaman terjerat di pusaran mabuk.
Wajahnya masih menyiratkan letih, matanya nyaris tertutup sepenuhnya, seakan memprotes dunia yang terlalu terang. Dia menatap kamar dengan pandangan buram sebelum akhirnya melepaskan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa memulihkan diri dari pening di kepalanya.
Sementara itu, di ruang tamu, Yuni, ibunda Fandy, tengah menyambut seorang tamu tak terduga. Ibu Irma, calon besannya, berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat lelah dan sedih, sebuah ekspresi yang jarang ia tunjukkan di hadapan Yuni.
“Bu Irma, tumben ke sini. Ada apa?” Yuni menghampiri Irma dengan senyum yang segera tergantikan oleh tatapan penuh tanda tanya.
“Fandy-nya ada, Bu Yuni?” Suara Irma terdengar parau, hampir berbisik, seolah butuh kekuatan untuk mengeluarkan kata-kata.
Yuni mengangguk pelan, membalas tatapan Irma yang penuh kesedihan. “Sebentar, saya panggilkan Fandy.”
Yuni berjalan dengan langkah cepat menuju kamar Fandy, yang masih terbaring lemas di ranjang. “Fandy, bangun. Calon mertuamu ada di luar. Kelihatannya dia ingin bicara sama kamu.”
Fandy mendesah berat, enggan untuk bangkit, tapi akhirnya berdiri dan mengikutinya. Langkahnya terhuyung menuju ruang tengah, dan di sana, ia menemukan Irma duduk dengan wajah yang sama sekali tak ia duga.
“Ma, nggak sama Citra?” tanyanya, mencoba mengusir kecanggungan. Raut wajah calon mertuanya itu membuat perasaan tidak enak menyergap hatinya.
Irma menggeleng, menatap Fandy dengan tatapan muram. “Sepertinya pernikahan ini harus dibatalkan, Fandy.”
Kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. Fandy dan Yuni serentak menoleh, terkejut tak percaya.
“Apa?! Kenapa, Ma?” Fandy panik, matanya melotot menatap Irma. “Lima hari lagi, Ma! Kenapa tiba-tiba harus dibatalkan?”
Dalam hati, ia mengutuk, merasa kemarahan mendidih karena takut Riana telah mengungkap semuanya kepada keluarga Citra. 'Awas saja kalau ini gara-gara kamu, Riana!' gerutunya dalam hati.
Irma menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam emosi. “Kami baru saja memeriksa Citra. Sudah enam bulan ini dia sering mengeluhkan sakit di ulu hatinya. Setelah diperiksa, ternyata ia divonis mengidap kanker hati.”
Sejenak, ruang tamu itu diselimuti keheningan. Fandy termangu, sulit menerima kenyataan yang baru saja disampaikan. “Tidak mungkin… Citra… mana mungkin dia punya penyakit seperti itu!” Kepalanya berguncang perlahan, menolak realitas yang baru saja mendarat.
Irma menatap Fandy dengan penuh simpati, menyadari beratnya pukulan yang harus diterima pemuda itu. “Maaf, Fandy, tapi ini sudah keputusan keluarga kami. Citra harus dibawa ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Kami tidak punya pilihan selain membatalkan pernikahan.”
Setelah mengatakan itu, Irma meminta diri dan pergi, meninggalkan ruangan yang mendadak penuh oleh kecamuk emosi. Fandy termangu, mencoba mencerna kabar yang tak terbayangkan ini.
Tak lama, suara Yuni pecah, menembus sunyi. “Bagaimana ini, Fandy? Undangan sudah disebar, dekorasi dan tempat resepsi sudah seratus persen siap! Mama tidak akan menanggung malu ini! Kamu sendiri yang ingin pesta besar seperti ini! Sekarang Mama harus bilang apa pada semua orang?!”
Fandy mengerutkan alisnya, berusaha menenangkan ibunya yang terlihat kalut.
“Pokoknya Mama tidak mau tahu, kamu harus cari pengantin pengganti sekarang juga!” Yuni menuntut dengan nada tak sabar, matanya berkobar dengan rasa kecewa dan malu yang menumpuk.
Fandy memandang ibunya penuh kebingungan. “Ma, aku hanya ingin menikah dengan Citra. Kalau kita tunggu—”
“Tidak!” potong Yuni tegas. “Keluarga itu sudah mempermalukan kita! Mama tidak peduli dengan penyakitnya! Enak saja, pesta sudah di depan mata, dan mereka malah membatalkan? Ini keterlaluan!”
Yuni langsung menghubungi suaminya, memberitahukan bahwa pernikahan itu batal. Ia menggertakkan gigi, masih tak terima dengan kenyataan ini.
“Papa kamu juga setuju. Kamu harus mencari pengantin pengganti. Cepat, Fandy! Mama tidak mau wajah keluarga ini dipermalukan!”
Kata-kata itu terngiang di benak Fandy, menciptakan konflik batin yang semakin menyiksa. Dalam kekalutannya, tiba-tiba bayangan Riana muncul di pikirannya, wanita yang malam sebelumnya ia tinggalkan di kamar hotel tanpa rasa peduli. Dengan terpaksa, ide itu perlahan-lahan mencuat. Mungkin, ia bisa membuatnya menjadi pengantin pengganti, jika memang ibunya tidak memberi pilihan lain.
Tak menunggu lama, Fandy bergegas kembali ke hotel, berusaha menemukan Riana yang semalam ia tinggalkan dalam kesendirian. Sesampainya di hotel, ia melihat sosok perempuan itu tengah berdiri di lobi, tampak ingin meninggalkan tempat itu, wajahnya masih menyiratkan luka dari peristiwa malam lalu.
Dengan dingin, Fandy menghampirinya. “Menikah denganku,” katanya tanpa basa-basi, tatapan matanya datar dan tak kenal kompromi.
“Tapi, jangan pernah berharap apa-apa. Kamu hanya akan menjadi pengantin pengganti saja. Dan satu lagi, jangan berharap cinta dariku, karena itu tidak akan pernah terjadi.”Riana memandang Fandy dengan tatapan nanar, kepahitan yang terpancar dari mata perempuan itu menggoreskan luka yang tak terucap. “Lalu, haruskah aku menerima ini dengan senang hati?”Fandy menghela napas, kesal karena merasa tak punya pilihan lain. “Maksudmu apa, bicara seperti itu?”Riana menatap tajam pada Fandy, tatapan datarnya bagai mengiris lapisan harga diri lelaki di depannya. Ia merasa aneh dengan permintaan tiba-tiba itu, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan kekalutannya.“Kenapa memilih tanggung jawab? Kamu sendiri yang sudah bilang akan menikah lima hari lagi. Kenapa harus menikahiku?”Seolah mempertahankan sisa harga diri yang mulai meluruh, Fandy menghela napas dalam-dalam, menelan rasa malu yang berusaha disembunyikannya. “Pernikahan itu dibatalkan,” ucapnya, suaranya lirih namun tetap memancarkan kete
Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya. Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana.“Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya.Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan.Fandy tak s
Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucap
Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk
Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”Yuni memandang Rian
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.
Fandy mendesah. Ia tahu tuntutan ini bukan hanya tentang keinginan Yuni untuk memiliki cucu, tetapi juga usaha sang ibu untuk memaksanya menjauh dari Citra. Yuni ingin ia berhenti mencintai Citra dan fokus pada keluarga baru yang kini ia miliki bersama Riana.“Belajar mencintainya, Fandy. Jangan hanya ingin tidur dengannya saja. Kamu punya hati, gunakan hati itu untuk mencintai istri kamu sendiri,” ucap Yuni dengan nada tajam.“Pernikahan ini memang awalnya hanya untuk mencari pengganti Citra. Tapi, Mama lihat kalau Riana ini jauh lebih baik dari Citra. Dia pun rela menikah denganmu hanya karena tidak punya tempat tinggal.“Lebih baik kamu belajar mencintai istrimu sendiri, Fandy. Karena Mama yakin, kamu masih mencintai perempuan tidak bertanggung jawab itu. Alasan berobat, padahal memang ingin membatalkan pernikahan itu!”Fandy menggeleng tak terima, menatap ibunya dengan wajah terluka. “Kenapa Mama begitu membencinya? Dia lagi sakit, Ma. Harusnya Mama paham dong!” sergahnya, tak rel