“Lepaskan! Aku mohon jangan sentuh aku!”
Pekikan dari seorang wanita bernama Riana Anggraini—perempuan cantik berusia dua puluh enam tahun itu tengah direnggut paksa mahkota sucinya oleh seorang pria mabuk yang rupanya salah memasuki kamar.
“Diam, Sayang. Biasanya kamu tidak pernah menolakku seperti ini.” Fandy Pramudia—pria berusia tiga puluh tahun yang tak lain adalah putra pemilik hotel tersebut tidak sadar, siapa yang tengah dia gauli itu.
“Kenapa sempit sekali,” ucapnya dengan suara paraunya. Namun, lelaki itu terus memaksanya agar masuk. Hingga akhirnya kesucian Riana direnggut oleh pria yang tidak dia kenali itu.
Hanya bisa menjerit, menangis, meraung dan segala kekesalan bersatu dalam dirinya. Riana harus kehilangan mahkota yang selalu ia jaga, yang hanya akan dia berikan kepada suaminya itu rupanya harus hilang di malam itu.
**
Pagi telah menyusup dengan sinarnya yang lembut, namun bagi Riana, sinar itu seolah menyayat, mempertegas jejak kelam yang baru ia lalui.
Udara pagi serasa berat, membungkus tubuhnya yang remuk oleh pergulatan yang hampir dua jam tanpa belas kasih. Tubuhnya bergetar, bukan karena dinginnya pagi, melainkan akibat trauma yang merayap tanpa ampun.
Di sampingnya, terdengar gerakan samar. Fandy, lelaki yang masih tenggelam dalam efek mabuknya, mulai membuka mata, kelopak beratnya mengerjap sebelum akhirnya menatap perempuan yang duduk sambil memeluk lutut, memeluk luka.
“Siapa kamu?” suaranya berat dan rendah, nada keacuhannya mengiris lebih dalam dari apa pun.
Riana menoleh, matanya tajam dan penuh kebencian. Tanpa peringatan, tangan kecilnya melayang, menampar pipi Fandy dengan keras.
Plak! Suara tamparan itu menggema, seolah mengirimkan pesan tentang kehormatan yang telah terkoyak.
“Apa-apaan kamu menamparku?” tanya Fandy, kebingungan bercampur kemarahan. “Siapa kamu, dan kenapa kamu ada di sini?”
Riana menghapus air mata dengan kasar. “Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan! Kamu telah menghancurkan hidupku, merenggut yang bukan milikmu!” suaranya bergetar, tetapi nadanya penuh keberanian.
Fandy hanya tersenyum miring, senyuman yang dingin dan meremehkan. “Mana mungkin aku menyentuh orang yang bahkan tidak kukenal! Jangan buat cerita yang tidak-tidak!”
Riana, dengan napas terengah-engah, menatap Fandy dengan mata penuh kepedihan. “Kamu masuk ke kamarku dalam keadaan mabuk, merusak hidupku. Aku tahu siapa kamu, Fandy!” Dia mengangkat sebuah kartu identitas milik lelaki itu sebagai bukti.
Fandy memandangi sekeliling kamar, kemudian menghela napas seakan mengerti bahwa ini memang salahnya, walau pengakuannya penuh keangkuhan.
“Baiklah, aku minta maaf. Aku salah kamar, aku mabuk. Tapi soal tanggung jawab, maaf, itu tidak bisa kuterima.”
Dengan mudahnya Fandy menolak, menyembunyikan hati yang dingin di balik senyuman miringnya. Sambil mengenakan pakaiannya, ia melirik Riana.
“Anggap saja malam ini kamu telah memuaskan kebutuhanku,” ucapnya sambil melempar beberapa lembar uang di hadapannya. “Sebagai tebusan, terimalah ini. Tanganku sudah terikat, lima hari lagi aku menikah.”
Riana melihat uang itu dengan jijik, kemarahannya berkobar, membuat seluruh tubuhnya bergetar. “Aku bukan perempuan murahan yang akan mengambil uang sebagai tebusan tubuhku!” suaranya pecah, namun setiap katanya penuh ketegasan.
Fandy menatapnya dengan tatapan dingin. “Itu hanya permintaan maaf. Sekarang siapa namamu? Sepertinya kau hanya karyawan di sini.”
Riana mengangkat dagunya. “Ya, aku karyawan di sini, dan aku akan melaporkan ini pada atasan!”
Fandy tertawa rendah, nada tawa yang penuh ejekan. “Kamu akan melapor pada siapa? Pemilik hotel ini?” ia mendekat, tatapannya mencemooh.
“Sayangnya, akulah pemilik hotel ini. Laporkan, jika kau ingin menghabiskan sisa hidupmu melawan kekuatan uang.”
Ancaman itu seketika menghapus harapan terakhir Riana. Ia terdiam, membeku dalam luka yang lebih dalam. Fandy lalu mengangkat bahunya, melempar senyum penuh kemenangan.“Ambil uang itu dan simpan cerita ini baik-baik. Kamu masih ingin bekerja di sini, bukan?” Dengan santai, ia berbalik dan meninggalkan Riana.Kini Riana sendiri, di kamar penuh luka dan kepahitan. Tangannya yang gemetar meraih pakaiannya, mengenakan satu per satu dengan pelan, tiap helai terasa menyakitkan. Air mata masih mengalir, jatuh ke tangan yang berusaha meraih kekuatan.“Ini mungkin nasibku,” bisiknya, penuh kepedihan.Waktu telah merangkak menuju pukul sepuluh pagi, menjemput Fandy yang baru saja pulang setelah semalaman terjerat di pusaran mabuk.Wajahnya masih menyiratkan letih, matanya nyaris tertutup sepenuhnya, seakan memprotes dunia yang terlalu terang. Dia menatap kamar dengan pandangan buram sebelum akhirnya melepaskan tubuhnya di atas ranjang, berharap bisa memulihkan diri dari pening di kepalanya.Se
“Tapi, jangan pernah berharap apa-apa. Kamu hanya akan menjadi pengantin pengganti saja. Dan satu lagi, jangan berharap cinta dariku, karena itu tidak akan pernah terjadi.”Riana memandang Fandy dengan tatapan nanar, kepahitan yang terpancar dari mata perempuan itu menggoreskan luka yang tak terucap. “Lalu, haruskah aku menerima ini dengan senang hati?”Fandy menghela napas, kesal karena merasa tak punya pilihan lain. “Maksudmu apa, bicara seperti itu?”Riana menatap tajam pada Fandy, tatapan datarnya bagai mengiris lapisan harga diri lelaki di depannya. Ia merasa aneh dengan permintaan tiba-tiba itu, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan kekalutannya.“Kenapa memilih tanggung jawab? Kamu sendiri yang sudah bilang akan menikah lima hari lagi. Kenapa harus menikahiku?”Seolah mempertahankan sisa harga diri yang mulai meluruh, Fandy menghela napas dalam-dalam, menelan rasa malu yang berusaha disembunyikannya. “Pernikahan itu dibatalkan,” ucapnya, suaranya lirih namun tetap memancarkan kete
Lima hari berlalu begitu cepat, membawa Riana pada momen yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dari hidupnya. Ruangan itu dipenuhi suasana khidmat, dengan saksi-saksi yang mengucapkan kata sakral yang menjadi pengesahan bagi apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Namun, ketegangan dalam diri Riana tak mampu meredakan kecanggungan yang membalut suasana.“Saya terima nikah dan kawin, Riana Anggraini binti Padma, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Suara lantang Fandy menggema, tegas namun tak mampu menyembunyikan nada malas yang tertahan dalam tiap kata. Mungkin baginya ini hanya formalitas, hanya tanggung jawab yang terpaksa ia emban demi menjaga kehormatan keluarganya.Para saksi pun mengucap “sah” tanpa ragu, tak ada satu pun kesalahan dalam pengucapan yang harus diulang. Dalam sekejap, Riana telah sah menjadi istri Fandy, walau hanya sebagai pengantin pengganti—sekadar pelengkap untuk kebahagiaan orang tua Fandy agar acara pernikahan ini tak perlu dibatalkan.Fandy tak s
Fandy melangkah dengan tatapan dingin, mendekati Riana yang kini berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya merapat ke dinding seolah mencari perlindungan dari ancaman yang membayangi.Bayangannya menjulang, menyelimuti ruang di sekelilingnya dengan ketakutan yang pekat. Sorot matanya tajam, penuh kendali yang tak berbelas kasihan. Riana, yang biasa tampak tegar, kini tak kuasa menahan rasa takutnya.“Apakah kamu lupa kalau kamu sudah menjadi istriku?” tanya Fandy, tangannya bergerak menyentuh dagu Riana, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bertemu.“Jangan pernah sentuh aku lagi, Fandy! Kamu tidak pernah menginginkanku jadi istrimu,” desis Riana, suaranya gemetar, namun ada keberanian yang terpendam dalam tatapannya.Namun, tatapan Fandy tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sinis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada kasih sayang. “Kamu lupa, Riana? Mahar yang kuberikan bukan sekadar untuk menyenangkan orang tuaku. Aku juga punya hak untuk mendapatkan kesenangan itu,” ucap
Pikiran itu menggelitik benaknya, meluncur seperti bayangan gelap, lahir dari kemarahan yang bergejolak di dadanya terhadap lelaki yang duduk tak sabar di ruang makan.Dengan penuh perasaan bercampur, akhirnya nasi goreng itu selesai. Butuh lima belas menit, waktu yang terasa berjalan lambat. Fandy sudah memasang wajah kesal ketika Riana menyodorkan piring di hadapannya. Tanpa ucapan terima kasih, Fandy mendelik, seperti biasa, tak pernah puas.“Untuk hari ini saja, kamu harus aku suruh dulu. Besok dan seterusnya, tanpa harus aku suruh, sarapan harus sudah tersedia di atas meja makan!” suaranya memerintah, tajam seperti cambuk.Riana mengangguk, kepalanya menunduk. “Ya,” jawabnya, suaranya dingin namun lelah.Tapi, bahkan jawaban singkatnya itu malah memancing emosi Fandy. Wajahnya menegang, seolah selalu ada yang kurang, selalu ada sesuatu dari Riana yang membuatnya murka. Riana merasa seperti menjawab dengan kata yang salah di hadapan penguasa. Namun ia tak gentar, tak lagi tunduk
Riana mengangguk pelan, suaranya mulai pecah. “Dia… salah masuk kamar, Ma. Waktu itu dia mabuk, dan dia… dia tidak peduli dengan keberadaan saya… Saya merasa tak punya pilihan.”Yuni menggenggam tangan Riana, mencoba memahami luka yang baru saja tersingkap. “Oh, Riana… Maafkan Mama karena harus bertanya…”Riana menghela napas kasar, menguatkan diri. “Kalau bukan karena Fandy yang sudah merenggut semuanya dari saya, saya tidak akan menerima pernikahan ini, Ma. “Dengan menikah, setidaknya, kalau suatu hari Fandy kembali pada Citra dan menceraikan saya, status saya jelas. Saya sudah tidak perawan, tapi saya… punya status sebagai wanita yang pernah menikah.”Yuni menarik napas dalam-dalam, memandang Riana dengan raut penuh simpati. “Apa maksudmu bicara begitu, Riana?”Riana menatap Yuni, matanya penuh kepahitan. “Dia akan menceraikan saya, Ma, setelah Citra sembuh dari sakitnya. Saya hanya menjadi bayangan, pengganti sementara di dalam hidupnya. Saya tahu sejak awal.”Yuni memandang Rian
“Siapa lagi, kalau bukan Pak Fandy. Kemarin kan dia menikah sama pujaan hatinya,” jawab Vivi tanpa sadar, tak tahu bahwa Riana adalah orang yang dimaksud.Riana hampir ingin tertawa mendengar ucapan Vivi yang polos itu, namun rasa getir dalam hatinya membuatnya hanya tersenyum lemah. “Baiklah, silakan, Vivi,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.‘Rupanya tidak semua orang tahu kalau pengantinnya adalah aku,’ pikir Riana dalam hati. ‘Pengantin pengganti yang terpaksa menerima pernikahan itu karena dia sudah merenggut kesucianku.’Dalam hati, Riana masih merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Sekalipun kini menyandang status sebagai istri Fandy, hatinya terasa hampa, seperti jiwanya tak pernah benar-benar menyatu dengan lelaki itu. Dia tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dalam ikatan tanpa cinta, namun itulah takdir yang kini ia jalani.Riana berjalan menuju kamar yang harus ia bersihkan. “Aku harus mengunci kamar ini supaya tidak ada yang masuk ke dalam kamar
“Apa yang ingin Mama bicarakan?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tertahan.“Datang saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Tentunya sangat penting. Mama tunggu jam tujuh malam ini,” jawab Yuni sebelum menutup telepon, meninggalkan kesan misterius yang mencekam.Fandy menghela napas berat dan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya kosong, berpikir keras tentang topik apa yang akan dibahas malam ini. Mengalihkan perhatian, ia berbalik ke arah Riana yang berada di ruangan yang sama dengannya.“Kita bicara soal masalah pribadi. Kamu, baru saja bertemu dengan Mama?” tanyanya curiga.Riana, yang sedari tadi terlihat tenang, menggeleng pelan. “Tidak. Memangnya kenapa? Untuk apa aku bertemu dengan Mama kamu? Ada hal yang harus aku lakukan?” tanyanya sambil menatapnya lurus, seolah mempertanyakan kecurigaan Fandy.Fandy mempersempit pandangan matanya, mencoba membaca ekspresi Riana yang terlihat tenang. “Lalu, kenapa Mama ingin bertemu denganku dan ada yang ingin dia bicarakan.