"Apa yang kau lakuka, Grace?" tanya Leigh heran melihat sang istri yang ada di ruang rahasia yang bahkan tak pernah di masuki oleh orang lain, selain dirinya dan almarhum sang istri. "Tidak apa-apa," kilah Grace terlihat gugup. Wajah wanita tua itu tampak pucat fasih. Leigh memasukan kedua tangannya di saku celana. Dia berjalan menghampiri wanita itu dengan tatapan licik. "Kau tahu, bukan? Tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruangan ini tanpa seizinku?" ujarnya dengan nyalang dan tatapan yang begitu tajam. "Aku... aku..." Wajah wanita itu semakin tampak gugup dan juga takut. Apalagi tatapan Leigh yang begitu tajam, seolah mampu menembus indera penglihatannya. "Apa yang kau cari di sini? Katakan padaku!" Pria paruh baya itu mencengkeram kuat dagu istrinya. Sedikitpun tak ada rasa cinta di hati pria yang masih gagah tersebut. "Sakit, Leigh!" jerit Grace memegang tangan Leigh yang berada di dagunya. "Cepat katakan!" sentak Leigh dengan mata memerah. Ruangan privasi ini memang dia
Zayyan keluar dari mobil, ketika Leo membuka pintu untuknya. Mereka sudah sampai di apartemen mewah milik Zayyan. Selama enam tahun belakangan ini, Zayyan memang memilih pindah. Hal itu dia lakukan adalah untuk melupakan semua hal tentang Zea. Kaki jenjangnya membawa dia masuk ke dalam apartemen tersebut. Zayyan hanya hidup bersama Ar dan Leo serta beberapa pelayan pribadi dan pengawal yang dia bawa dari mansion. Tujuan dia pindah bukan semata ingin melupakan Zea, tetapi ingin menghindari sang ayah. Rasa kecewa di dalam hati Zayyan telah membuatnya membenci pria paruh baya tersebut."Son," panggilnya melihat Ar yang sudah duduk dengan laptop di atas pangkuannya. "Daddy," balas Ar tersenyum manis. Pria kecil yang sudah berusia sepuluh tahun itu tumbuh menjadi sangat pintar, cerdas dan juga tampan. Sekarang dia sudah duduk di kelas menengah pertama. Dia memiliki keahlian di bidang IT dan menyukai olah raga e-sport. "Kau sedang apa, Son?" Zayyan duduk di sofa samping putra kesayanga
"Ayah!" Zea berhambur masuk ke dalam ruangan rawat inap Miko. Miko yang tampak terkejut dan tak bisa bergerak hanya bisa mengerjabkan matanya berulang kali. Apakah dia bermimpi? Atau salah lihat? Apakah itu benar-benar anaknya Zea yang dia pergi dan hilang selama beberapa tahun terakhir?"Ayah, apa yang terjadi?" Tangis Zea tumpah ruah. Wanita itu memeluk sang ayah dengan erat sembari meluapkan. "Ayah maafkan aku. Maafkan aku, Ayah," ucapnya dengan penuh rasa penyesalan.Ada rasa bersalah yang terselip di antara rongga dada Zea melihat kondisi sang ayah. Andai saja waktu itu dia tidak pergi meninggalkan ayahnya. Pastilah Miko takkan mengalami ini semua. Ayahnya itu pasti masih sehat seperti biasa. Zea melepaskan pelukannya. Hatinya bagai ditumpahi cuka asam saat melihat tubuh ayahnya yang kurus dan terurus, apalagi dengan banyak selang yang mengalir di tubuh ayahnya itu. "Ayah!" Zea mengenggam tangan kurus Miko yang tinggal tulang. "Apa yang terjadi? Kenapa Ayah bisa seperti ini?"
Zayyan terkejut mendengar ucapan putranya itu. Apakah ini anak kembarnya yang dibicarakan oleh ketiga anak buahnya? Seketika jantung Zayyan berdegup kencang, ada rasa panas yang menjalar dari telinga hingga ke mata. "Dad, kenapa diam?" tanya Ar melihat sang ayah yang hanya diam dengan tatapan kosong. "Kenapa mata Daddy memerah?" sambungnya kemudian. "Hem, tidak apa-apa, Son. Hanya kelilipan," jawab Zayyan asal. "Iya sudah ayo kita makan!" ajaknya."Iya, Dad." Ayah dan anak itu berjalan menuju meja makan. Zayyan masih memakai kemeja putih yang dia gulung sampai siku. Keduanya duduk dan Zayyan mengambilkan makanan untuk putranya seperti dulu. Sesibuk apapun urusan kantor, dia tidak pernah lalai dengan waktunya bersama Ar. Bagi Zayyan, waktu bersama putranya itu adalah yang terbaik. Apalagi mereka memang hanya berdua saja dan tak memiliki siapa-siapa lagi. "Dad," panggil Ar di tengah-tengah makannya. "Iya, Son? Kenapa?" tanya Zayyan dengan nada yang begitu lembut. "Ar merindukan m
Saat kehilangan seseorang yang dicintai, air mata tak boleh benar-benar kering. Menangis boleh, malah harus, tetapi ingatlah jangan sampai meratap. Sebab, tak ada orang yang bisa menghindari hal tersebut.Begitu juga dengan Zea, kehilangan sang ayah membuat dia juga hidup tanpa arah dan tujuan. Sekearang, tempatnya untuk bersandar atau sekedar bercerita segala penat juga luka, tak ada lagi di dunia ini. "Mommy!" Ketiga anak kembar itu berhambur ke arah Zea. Zea langsung menoleh dan mengusap pipinya dengan kasar. Dia langsung berjongkok dan menyamakan tingginya dengan ketiga anak kembarnya itu. "Mommy yang kuat!" seu Zayn menyemangati. "Mommy tidak pernah sendirian," sambung Zaen yang juga ikut memberi semangat. "Ada kami, Mommy," ujar Ziva. Zea memaksakan senyumnya. Di titik rapuh dalam hidupnya, dia bersyukur karena memiliki ketiga anak yang hebat dan selalu bisa menghibur dirinya. Setidaknya, luka yang ada dalam dada Zea, sedikit terobati melihat senyum ketiga anaknya itu. "T
"Kak, sebenarnya kita mau apa ke sini?" tanya Shania sambil turun dari mobil. "Hem, ikuti saja. Jangan banyak tanya," jawab Zavier ketus. Shania dari tadi terus saja bertanya. Shania mengangguk. Dia menatap apartemen mewah di depannya. Walapun dia masih belum tahu, kenapa Zavier mengajaknya ke sini? Benarkah mereka mau bertemu Zayyan? Namun, untuk apa? "Ayo masuk!" ajak Zavier. Kedua orang itu masuk ke dalam apartemen mewah Zayyan. Kedatangan mereka sudah disambut oleh para pengawal yang berjaga di sana. Sepertinya memang Zayyan sudah memberitahu orang-orangnya, jika sang adik akan datang. Zavier menarik napas sedalam mungkin. Tak bisa dia pungkiri bahwa ada rasa bersalah yang terselip di antara rongga dadanya karena sudah menyembunyikan Zea dan turut memisahkan wanita itu dari Zayyan. "Kau gugup, Kak?" bisik Shania. "Tidak!" kilah Zavier. "Hem, jujur saja!" Gadis itu mengenggam tangan Zavier. Hal itu membuat Zavier terkejut dan menatap Shania tajam. "Supaya Kakak tidak gugup,
Hati Zea bagai diremas-remas mendengar ucapan Zevanya. Seharusnya dia senang, jika Zayyan dan Ar membenci dirinya karena memang itu yang dia mau. Namun, kenapa rasanya begitu sakit dan menusuk? "Makanya, jadi wanita itu jangan terlalu percaya diri, Zea. Kau lihat 'kan sekarang? Akibat menjadi pelakor, kau berada dalam ambang kehancuran!" tekan Zevanya yang sengaja memanas-manasi adiknya itu. "Kedua orang tua kita meninggal, semua karena ulahmu," sambungnya kemudian. Zea menunduk dengan air mata berderai. Jari-jemarinya meremas ujung gaun yang dia pakai. Rasanya sangat perih dan luka mendengar ucapan tersebut. Apakah benar dia penyebab kematian kedua orang tuanya? Zevanya tersenyum penuh kemenangan ketika melihat adiknya menangis. Memang ini yang dia mau. Melihat kehancuran Zea dan membuat wanita itu menderita hingga mendarah daging. Zevanya melenggang masuk ke dalam mobil setelah membuat adiknya seperti mati berdiri. Dalam hidup dan hatinya berjanji, tidak akan membiarkan Zea hidu
"Kau serius ingin mengambil anak-anak Zea?" tanya Samuel yang masih setengah tak percaya dengan jalan pikiran Zayyan. "Apa aku pernah bercanda dengan ucapanku?" Lelaki itu masih terlihat tenang dengan wajah yang datar, nyaris tak berekspresi. "Tapi untuk apa? Kau ingin membuat Zea menderita?" tanya Samuel lagi. Zayyan tersenyum sinis, memang itu yang dia inginkan. Agar Zea merasakan apa sebenarnya kehilangan itu? Awalnya, dia hanya sebatas benci dan tidak ada niat balas dendam, tetapi tidak ada salahnya untuk membalaskan semua rasa sakitnya. Agar Zea memahami, bagaimana rasanya ditinggal pergi oleh orang yang dicintai. "Itu tujuanku. Agar dia merasakan rasa sakitku, selama enam tahun ini," sahut Zayyan. Samuel menggelengkan kepalanya salut. Dia memang tahu bahwa Zayyan ini pria kejam yang tak memiliki perasaan sama sekali. Namun, apakah dia tega menyakiti wanita yang dia cintai selama ini. "Bukankah kau mencintainya?" tanya Samuel lagi. "Itu dulu dan sekarang, dia bukan lagi or