Zea membuka matanya perlahan. Dia merasa ada sesuatu yang menimpa tubuhnya dengan berat. Wanita itu terkejut ketika melihat sang kakak ipar yang masih berada di atasnya. Air mata Zea menetes mengalir membasahi pipi cantiknya. Dadanya seketika sesak mengingat pergulatan panas mereka tadi malam. Zea berusaha menyingkirkan tangan Zayyan dari perutnya. Wanita itu perlahan menurunkan kakinya. Dia meringgis kesakitan merasakan perih di area sensitifnya. "Aku hancur," gumamnya berlinang air mata. "Apa yang bisa aku banggakan pada calon suamiku nanti, sementara mahkota yang selama ini aku jaga dengan susah payah malah direnggut oleh kakak iparku sendiri!" Gadis yang sudah menjadi wanita itu memungut pakaiannya yang ada di atas lantai. Dia berjalan menuju kamar mandi dengan kaki yang diseret, sebab area sensitifnya terasa benar-benar sakit. Apalagi ini pengalaman pertama bagi Zea berhubungan badan dengan pria. Zea menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin. Tanda kepemilikan bekas Zay
Zayyan mengeliat di balik selimut tebalnya. Pantulan cahaya matahari menyinari wajah tampan lelaki itu. Dia mengumpulkan nyawanya yang serasa terbang ke alam mimpi. Sejenak lelaki itu terduduk sambil menguap beberapa kali. Kepalanya masih berdenyut sakit karena pengaruh obat alkohol semalam. "Tunggu! Kenapa dingin?" gumamnya. Segera lelaki itu menyimak selimut yang menutupi tubuhnya. Pupil mata Zayyan seolah hendak keluar dari tempatnya, ketika menyadari bahwa dirinya tak memakai sehelai benang pun. "Ya, Tuhan! Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidak memakai baju?" Lelaki itu panik, apalagi melihat pakaiannya berserakan di dekat ranjang. Zayyan turun dari ranjang mengambil pakaiannya. Sekilas lelaki itu melirik ke atas ranjang, tampak bercak merah di sprei warna putih yang membungkus kasur. "Kesucian siapa yang sudah aku ambil?" Dia mengusar kepala dengan kesal. Sialnya dia sama sekali tidak ingat, siapa yang sudah tidur dengannya semalam. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.
Zayyan keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Dia masuk ke dalam mansion mewah tersebut, lalu mencari keberadaan Zea. Saat Zayyan ingin masuk ke dalam kamar mereka. Seketika langkah kakinya terhenti ketika melihat Zea, Ar dan Zavier yang sudah ada di meja makan. Tidak ada Leigh, Ruth dan Grace di sana karena pagi-pagi tadi mereka sudah berangkat melaksanakan aktifitas masing-masing. "Daddy!" panggil Ar. Sontak Zavier dan Zea ikut melihat ke arah pria itu. Raut wajah Zea langsung berubah, tetapi dia berusaha tenang dan mencoba tak gugup. Zayyan berjalan ke arah tiga orang itu. Tatapannya tampak sendu dan merasa bersalah. "Daddy, ayo salapan. Mommy sudah memasak untuk kita!" seru Ar menghampiri Zayyan lalu menggandeng tangan ayahnya itu. Lidah Zayyan masih berkelut. Tatapan matanya tertuju pada Zea yang malah yang malah tersenyum manis padanya, seolah tak terjadi sesuatu pada mereka. "Ayo, Kak. Makan!" ajak Zea menarik kursi untuk lelaki itu. Zayyan menurut, apalagi tang
"Zea!" "Aw, Kak! Sakit!" rintih Zea ketika Zevanya menarik tangannya dengan kasar. "Mana uang yang aku minta?" tanya Zevanya dengan mata tajamnya melihat sang adik. "Uang apa sih, Kak?" Zea mengusap lengannya yang terasa sakit akibat cengkraman tangan Zevanya. "Kau lupa atau pura-pura lupa?" ketus Zevanya. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa!" tolak Zea. "Apa susahnya sih, Zea? Kau tinggal meminta saja uang pada Zayyan!" sentak Zevanya yang geram pada adiknya itu. Tok tok tok!"Nona." Terdengar Lewi memangil nama Zevanya. "Apakah Anda sudah selesai berganti pakaian? Sebentar lagi kita pemotretan tuan Zayyan dan tuan Morgan sudah menunggu Anda!" lapor Lewi."Kak, aku harus keluar!" Zea berusaha melepaskan diri dari sang kakak. "Enak saja. Hari ini aku akan kembali menjadi Zevanya!" Zevanya mendorong tubuh adiknya tinggal terjerembab di atas lantai. Lalu wanita itu keluar dan mengunci pintu mengurung sang adik. "Apakah Anda sudah berganti pakaian, Nona?" tanya Lewi. "Kau tidak lihat,
Zayyan mengusap wajahnya dengan kasar ketika tak menemukan Zea. Lelaki itu tampak duduk dengan tak tenang. Beberapa kali dia mengumpat kasar dan memaki benda-benda di dekatnya. "Kau tidak bisa pergi dariku, Zea!" tekan Zayyan. Tiba-tiba pintu ruangan Zayyan terbuka. Tampak Zevanya berjalan masuk ke dalam ruangan suaminya itu. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Zevanya tersenyum licik. Zayyan yang baru menyadari kehadiran sang istri. Dia menatap wanita itu tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, Zevanya?!" tanyanya dengan nada dingin dan juga tajam. "Apa yang salah jika aku menemui suamiku?" Zayyan tak menanggapi. Jika istrinya itu sudah kembali padanya pasti hanya ada satu yaitu, uang. Zevanya duduk di pangkuan sang suami. Lalu dia mengelus dada lelaki itu dengan lembut. "Jangan sentuh-sentuh, Jalang!" sentak Zayyan mendorong wanita itu hingga jatuh. "Zayyan!" Zevanya merengut kesal. Dia berdiri sudah payah karena gaunnya yang sangat pendek. "Apa yang kau inginkan?" tanya Zayyan taj
Zea mengusap punggung Zayyan, walau dia tidak tahu kenapa lelaki ini memeluknya kian erat? "Kak.""Biarkan sebentar saja! Aku hanya ingin memelukmu," pinta Zayyan mengeratkan pelukannya. Ar kecil melihat sang ayah yang tak seperti biasa. Dalam hati anak kecil itu bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa ayahnya itu tampak gelisah. "Jangan membuatku takut lagi," ungkap Zayyan tanpa sadar. Zea terdiam lalu menghela napas panjang. Tadi saat dia berada di rumah ayahnya, Samuel datang dan mengatakan bahwa terjadi sesuatu pada Ar. Hal itulah yang membuat Zea segera pulang, tetapi saat sampai di mansion Ar malah baik-baik saja dan bermain dengan para pelayan. "Iya, Kak. Aku minta maaf ya!" Zea melepaskan pelukan sang kakak ipar. Dia usap dengan lembut pipi suami kakaknya itu. "Aku tidak ke mana-mana, aku di sini bersama kalian," sambungnya kemudian. Zayyan mengangguk seperti anak kecil. Biarlah seperti ini terus, berpura-pura tidak tahu jika wanita yang di depannya ini bukan
"Mommy, ayo naik!" ajak Ar. Zea menghembuskan napasnya kasar. Walaupun selama ini tidur seranjang dengan Zayyan, tetapi dia tidak pernah merasa secangung ini. Apa karena kejadian panas yang pernah dia lewati bersama sang kakak ipar? "Apa kau akan terus berdiri di situ?" sindir Zayyan kesal. "Memangnya aku harus berdiri di mana, Kak?" tanya Zea polos. "Mommy, cepat naik ke atas ranjang. Ar sudah mengantuk!" desak Ar menguap beberapa kali. Melihat Zea yang diam saja. Zayyan sontak turun dari ranjang, lalu mengangkat tubuh gadis itu akan berbaring di atas ranjang. "Kakak." Sejenak tatapan keduanya bertemu dengan jantung saling berpacu. Wajah Zea merah merona beriringan dengan irama jantung Zayyan. "Maaf, Kak." Segera Zea memalingkan wajahnya. "Setidaknya di depan Ar bersikap baik sedikit lah," bisik Zayyan sebelum akhirnya bangkit dari tubuh wanita itu. Zea memaksa senyum. Lalu bangun dan duduk di samping Ar. "Ar sudah mengantuk?" tanyanya lembut. "Iya, Mommy," jawab Ar terse
Zea membuka mata perlahan. Wanita itu terkejut ketika sudah berada di tengah dua pria tampan sekaligus. Tangan Zayyan dan Ar memeluk petit Zea dengan posesif. "Aduh, kenapa aku bisa tiba-tiba di tengah? Bukannya semalam aku di dekat Ar?" Zea mendengus kesal ketika sudah bergerak. Apalagi tangan Zayyan yang besar itu semakin erat memeluknya. Ditambah tangan mungil Ar yang juga melingkar di sana. "Kak," panggilnya. "Kak, bangun! Aku susah gerak." Bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk wanita yang berada di sampingnya ini. Tubuh Zea begitu hangat dan nyaman. Dia tak mau kehilangan pelukan ini sampai kapanpun. Bolehkah Zayyan berharap jika Zea akan berdiri di sampingnya setiap waktu? "Kakak!" Zea sedikit gerah, apalagi sudah pagi. Sontak kedua pria berbeda usia dan generasi itu mengeliat di dekat Zea. Wajah bantal keduanya justru terlihat menggemaskan di mata Zea. "Pagi, Son," sapa Zea pada Ar. Ar perlahan membuka matanya. Wajah pertama yang dia lihat adalah Zea. S