"Mommy, ayo naik!" ajak Ar. Zea menghembuskan napasnya kasar. Walaupun selama ini tidur seranjang dengan Zayyan, tetapi dia tidak pernah merasa secangung ini. Apa karena kejadian panas yang pernah dia lewati bersama sang kakak ipar? "Apa kau akan terus berdiri di situ?" sindir Zayyan kesal. "Memangnya aku harus berdiri di mana, Kak?" tanya Zea polos. "Mommy, cepat naik ke atas ranjang. Ar sudah mengantuk!" desak Ar menguap beberapa kali. Melihat Zea yang diam saja. Zayyan sontak turun dari ranjang, lalu mengangkat tubuh gadis itu akan berbaring di atas ranjang. "Kakak." Sejenak tatapan keduanya bertemu dengan jantung saling berpacu. Wajah Zea merah merona beriringan dengan irama jantung Zayyan. "Maaf, Kak." Segera Zea memalingkan wajahnya. "Setidaknya di depan Ar bersikap baik sedikit lah," bisik Zayyan sebelum akhirnya bangkit dari tubuh wanita itu. Zea memaksa senyum. Lalu bangun dan duduk di samping Ar. "Ar sudah mengantuk?" tanyanya lembut. "Iya, Mommy," jawab Ar terse
Zea membuka mata perlahan. Wanita itu terkejut ketika sudah berada di tengah dua pria tampan sekaligus. Tangan Zayyan dan Ar memeluk petit Zea dengan posesif. "Aduh, kenapa aku bisa tiba-tiba di tengah? Bukannya semalam aku di dekat Ar?" Zea mendengus kesal ketika sudah bergerak. Apalagi tangan Zayyan yang besar itu semakin erat memeluknya. Ditambah tangan mungil Ar yang juga melingkar di sana. "Kak," panggilnya. "Kak, bangun! Aku susah gerak." Bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk wanita yang berada di sampingnya ini. Tubuh Zea begitu hangat dan nyaman. Dia tak mau kehilangan pelukan ini sampai kapanpun. Bolehkah Zayyan berharap jika Zea akan berdiri di sampingnya setiap waktu? "Kakak!" Zea sedikit gerah, apalagi sudah pagi. Sontak kedua pria berbeda usia dan generasi itu mengeliat di dekat Zea. Wajah bantal keduanya justru terlihat menggemaskan di mata Zea. "Pagi, Son," sapa Zea pada Ar. Ar perlahan membuka matanya. Wajah pertama yang dia lihat adalah Zea. S
"Kak, besok aku ada pemotretan di vila tuan Morgan!" ucap Zea meletakan secangkir kopi kental di atas meja Zayyan. "Vila?" Kening Zayyan mengerut. "Iya, Kak. Soalnya kontrak yang bulan lalu belum selesai," jawab Zea. Sebenarnya dia tidak paham sekali masalah dunia modeling. Namun, demi perannya sebagai Zevanya, perlahan Zea mulai mempelajari kehidupan sang kakak. "Batalkan!" tegas Zayyan. "Tapi, Kak–""Aku akan bayar semua denda kontrak itu. Mulai sekarang, kau fokus saja menjadi istriku, melayani aku dan Ar!" tekan Zayyan menutup berkas di atas mejanya.Zea menghela napas panjang. Dia benar-benar tak bisa lepas sedikitpun dari jeratan Zayyan yang terus mengikatnya. Padahal lelaki ini sudah tahu kalau dirinya bukanlah Zevanya, tetapi Zayyan masih keukeh menahannya. "Kenapa diam? Kau tidak suka dengan keputusanku?" Zayyan menatap wanita itu dengan tajam. Jelas dia tidak mau istri palsunya itu berduaan saja dengan laki-laki lain. "Bukan begitu, Kak. Aku bosan saja tinggal di rumah
"Kak, kenapa sih mukanya kusut amat?" Shania terus saja menggoda Sean yang enggan peduli padanya. "Pulang sana!" usir Sean malas. "Dih, jahat amat sih, Kak, sama adik sendiri," sindir Shania. "Eh, Kak. Di mana Kak Zea, tumben tidak ada di sini? Atau Kakak sudah ungkapin perasaan Kakak ke dia?" Sean terdiam. Shania memang menjadi teman curhatnya, ketika dia galau jika berhubungan dengan Zea. Sean menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. "Lho, kenapa, Kak?" tanya Shania heran. "Zea sudah tidak bekerja di sini," jawabnya dengan nada berat. Shania terkejut, gadis yang masih berstatus mahasiswa kedokteran semester tujuh itu menatap sang kakak dengan penuh tanda tanya. Tak heran jika Sean terlihat murung seperti ini karena memang Zea satu-satunya wanita yang bisa membuat seorang Sean tersenyum. "Kak Zea ke mana, Kak?" tanya Shania penasaran. "Shan!" Mata Sean berkaca-kaca. Kadang dia tak malu menangis di depan adiknya itu jika sudah merasa benar-benar hancur. "Iya, Kak
"Haduh, habislah aku!" teriak Zea dalam hati. Wanita itu tersenyum kikuk sembari menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus jawab apa? Apalagi melihat tatapan mata Zayyan yang seperti siap mengulitinya hidup-hidup. "Hem, tadi aku mencari angin segar di taman, Kak," sangkal Zea. "Bawa tas dan memakai pakaian seperti ini?" Zayyan menatap Zea dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Di luar dingin, Kak. Jadi aku pakai jacket," jawabnya lagi. Zayyan berjalan mendekat ke arah Zea. Sebenarnya dia benar-benar ingin mengekang Zea agar tak ke mana-mana. Namun, dia takut jika wanita itu merasa tak nyaman dan nanti malah pergi meninggalkan dirinya. "Kenapa keluar dingin-dingin? Kau meninggalkan Ar sendirian!" Zea melirik ke arah keponakannya yang tertidur, wanita merasa bersalah karena tadi pergi tanpa izin pada Ar. "Maaf, Kak!" Zea lagi-lagi menunduk. Wanita itu berjalan mundur, saat Zayyan mendekatinya. Lalu Zayyan mendekati telinga Zea hingga membuat wanita itu bergi
"Kenapa diam?" tanya Zayyan yang melihat Zea bungkam ketika dia meminta menggandung anaknya. "Apa kau tidak ingin menggandung anakku lagi?" Zayyan benar-benar ingin mengikat Zea, agar wanita itu selalu ada di sisinya. "Bukan aku tidak mau, tapi..." Zea terdiam sejenak. Ingin rasanya dia jujur bahwa dirinya adalah Zea bukan Zevanya. Namun, entah kenapa hatinya malah ragu. "Tapi kenapa?" tanya Zayyan menatap netra coklat milik Zea. Tatapan wanita ini selalu mampu memberikan sentuhan hangat di relung hati terdalamnya. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya belum siap hamil lagi," sangkal Zea. "Kenapa belum siap? Bukankah aku sudah memintamu berhenti menjadi model serta fokus mengurus aku dan Ar? Apa lagi yang kau takutkan?" Zayyan masih memaksa. Dia ingin menyentuh Zea atas cinta bukan karena paksaan. "Maafkan aku, Kak. Bukan aku tidak mau. Tapi aku bukan istrimu. Aku tidak bisa menggandung anakmu. Kita bahkan sudah melakukan hubungan terlarang tanpa ikatan pernikahan," batin Zea. "Umph!"
"Wanita yang mirip Zevanya atau memang itu Zevanya?" tanya Zavier menatap anak buahnya. "Kami belum memastikan, Tuan. Karena saat kami melihat non bersama tuan Marvin, saat itu nona juga sedang makan siang bersama tuan Zayyan dan tuan Ar," jelas salah satunya. Zavier terkejut mendengar laporan anak buahnya. Lelaki itu duduk dan berusaha tenang. Dalam waktu yang bersamaan, Zevanya menjadi dua wanita. Apa memang keduanya adalah Zevanya? Atau ada wanita lain yang mirip dengan wanita itu? "Tidak mungkin Zevanya mampu memainkan dua peran sekaligus, atau..." Zavier tampak berpikir sejenak. "Ada wanita yang benar-benar mirip Zevanya. Tapi bukan kebetulan mirip, lebih tepatnya kembar!" tebak Zavier. "Ini sedang dalam penyelidikan kami, Tuan. Riwayat keluarga nona Zevanya tidak ada yang menunjukkan bahwa nona memiliki saudara kembar," jelas sang asisten. Padahal semua itu memang sengaja disembunyikan oleh Zayyan karena dia mulai curiga jika Zavier berusaha mengorek latar belakang Zea. "Ba
"Hamil?" ulang Zayyan memastikan. "Iya, Tuan," jawab sang dokter. Zayyan terdiam. Seharusnya dia senang karena memang itu yang lelaki tersebut inginkan, Zea hamil dan menggandung anaknya agar bisa mengikat sang istri palsu. Namun, entah kenapa ada rasa bersalah yang terselip di antara rongga dadanya? "Iya, kau boleh keluar!" usir Zayyan. "Saya permisi, Tuan." Dokter itu keluar dari kamar Zayyan dan Zea. Zea duduk di bibir ranjang. Lelaki itu menatap Zea yang masih terlelap. Dia tak menyangka jika wanita yang sudah masuk di kehidupannya ini, ternyata sudah menggandung anak yang dia harapkan. "Terima kasih. Aku bahagia, akhirnya tanpa diminta kau akan tetap berada di sisiku karena anak itu." Zayyan mengusap perut rata Zea. "Maaf, mungkin terkesan memaksa. Tapi, sungguh aku tidak kehilanganmu, Zea. Aku tidak mau kau pergi. Aku tidak kau meninggalkan aku dan Ar. Kami sudah ketergantungan padamu!" Zayyan mengenggam tangan istri palsunya. Dia kecup punggung tangan wanita yang entah k