"Haduh, habislah aku!" teriak Zea dalam hati. Wanita itu tersenyum kikuk sembari menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus jawab apa? Apalagi melihat tatapan mata Zayyan yang seperti siap mengulitinya hidup-hidup. "Hem, tadi aku mencari angin segar di taman, Kak," sangkal Zea. "Bawa tas dan memakai pakaian seperti ini?" Zayyan menatap Zea dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Di luar dingin, Kak. Jadi aku pakai jacket," jawabnya lagi. Zayyan berjalan mendekat ke arah Zea. Sebenarnya dia benar-benar ingin mengekang Zea agar tak ke mana-mana. Namun, dia takut jika wanita itu merasa tak nyaman dan nanti malah pergi meninggalkan dirinya. "Kenapa keluar dingin-dingin? Kau meninggalkan Ar sendirian!" Zea melirik ke arah keponakannya yang tertidur, wanita merasa bersalah karena tadi pergi tanpa izin pada Ar. "Maaf, Kak!" Zea lagi-lagi menunduk. Wanita itu berjalan mundur, saat Zayyan mendekatinya. Lalu Zayyan mendekati telinga Zea hingga membuat wanita itu bergi
"Kenapa diam?" tanya Zayyan yang melihat Zea bungkam ketika dia meminta menggandung anaknya. "Apa kau tidak ingin menggandung anakku lagi?" Zayyan benar-benar ingin mengikat Zea, agar wanita itu selalu ada di sisinya. "Bukan aku tidak mau, tapi..." Zea terdiam sejenak. Ingin rasanya dia jujur bahwa dirinya adalah Zea bukan Zevanya. Namun, entah kenapa hatinya malah ragu. "Tapi kenapa?" tanya Zayyan menatap netra coklat milik Zea. Tatapan wanita ini selalu mampu memberikan sentuhan hangat di relung hati terdalamnya. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya belum siap hamil lagi," sangkal Zea. "Kenapa belum siap? Bukankah aku sudah memintamu berhenti menjadi model serta fokus mengurus aku dan Ar? Apa lagi yang kau takutkan?" Zayyan masih memaksa. Dia ingin menyentuh Zea atas cinta bukan karena paksaan. "Maafkan aku, Kak. Bukan aku tidak mau. Tapi aku bukan istrimu. Aku tidak bisa menggandung anakmu. Kita bahkan sudah melakukan hubungan terlarang tanpa ikatan pernikahan," batin Zea. "Umph!"
"Wanita yang mirip Zevanya atau memang itu Zevanya?" tanya Zavier menatap anak buahnya. "Kami belum memastikan, Tuan. Karena saat kami melihat non bersama tuan Marvin, saat itu nona juga sedang makan siang bersama tuan Zayyan dan tuan Ar," jelas salah satunya. Zavier terkejut mendengar laporan anak buahnya. Lelaki itu duduk dan berusaha tenang. Dalam waktu yang bersamaan, Zevanya menjadi dua wanita. Apa memang keduanya adalah Zevanya? Atau ada wanita lain yang mirip dengan wanita itu? "Tidak mungkin Zevanya mampu memainkan dua peran sekaligus, atau..." Zavier tampak berpikir sejenak. "Ada wanita yang benar-benar mirip Zevanya. Tapi bukan kebetulan mirip, lebih tepatnya kembar!" tebak Zavier. "Ini sedang dalam penyelidikan kami, Tuan. Riwayat keluarga nona Zevanya tidak ada yang menunjukkan bahwa nona memiliki saudara kembar," jelas sang asisten. Padahal semua itu memang sengaja disembunyikan oleh Zayyan karena dia mulai curiga jika Zavier berusaha mengorek latar belakang Zea. "Ba
"Hamil?" ulang Zayyan memastikan. "Iya, Tuan," jawab sang dokter. Zayyan terdiam. Seharusnya dia senang karena memang itu yang lelaki tersebut inginkan, Zea hamil dan menggandung anaknya agar bisa mengikat sang istri palsu. Namun, entah kenapa ada rasa bersalah yang terselip di antara rongga dadanya? "Iya, kau boleh keluar!" usir Zayyan. "Saya permisi, Tuan." Dokter itu keluar dari kamar Zayyan dan Zea. Zea duduk di bibir ranjang. Lelaki itu menatap Zea yang masih terlelap. Dia tak menyangka jika wanita yang sudah masuk di kehidupannya ini, ternyata sudah menggandung anak yang dia harapkan. "Terima kasih. Aku bahagia, akhirnya tanpa diminta kau akan tetap berada di sisiku karena anak itu." Zayyan mengusap perut rata Zea. "Maaf, mungkin terkesan memaksa. Tapi, sungguh aku tidak kehilanganmu, Zea. Aku tidak mau kau pergi. Aku tidak kau meninggalkan aku dan Ar. Kami sudah ketergantungan padamu!" Zayyan mengenggam tangan istri palsunya. Dia kecup punggung tangan wanita yang entah k
Zayyan keluar dari kamarnya. Tatapan mata lelaki itu seketika menajam, merasakan ada aura aneh yang tak biasa. "Jaga istriku! Jangan ke mana-mana!" perintahnya pada sang anak buah. "Baik, Tuan Muda," sahut mereka bersamaan. Zayyan berjalan ke arah ruang tamu. Tampak para penghuni mansion sepi karena memang sudah tengah malam. Tatapan mata lelaki itu seperti siap menghunus siapa saja yang ada di depannya. "Leo!" teriaknya. Segera Leo keluar dari kamar dan berjalan tergesa-gesa menghampiri sang tuan muda. "Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Leo membungkuk hormat. "Perintahkan para pengawal untuk memperketat penjagaan di seluruh mansion. Aktif CCTV dan pastikan bisa merekam semua sudut ruangan!" titahnya. "Baik, Tuan," sahut Leo membungkuk hormat. Zayyan berjalan ke arah pintu mansion. Seketika pintu terbuka lebar. Tangannya mengepal kuat erat. Netra matanya menatap hal-hal mencurigakan di sekitar mansion. Dia tidak akan biarkan orang luar masuk ke dalam mansi
Zea menatap kosong ke arah taman belakang mansion Zayyan. Sejak hamil, lelaki itu tidak memperbolehkan Zea ke mana-mana, selain di rumah dan mengurus Ar. "Nak!" Dia usap perut ratanya. "Maafkan Mommy, kau harus hadir tanpa ikatan pernikahan," ungkap Zea. Air mata menganak memenuhi bola matanya. Zea benar-benar hancur ketika tahu bahwa dirinya hamil. Padahal setengah mati dia menolak menggandung anak Zayyan, tetapi siapa sangka takdir justru berani mempermainkan hati dan perasaannya. "Apa aku jujur saja, jika aku bukan Kak Zeva?" gumam Zea. "Tapi bagaimana dengan ayah? Aku takut ayah disakiti oleh kak Zayyan!" Zea memejamkan matanya. Duri-duri terasa menusuk di rongga, hingga menciptakan rasa sakit yang tiada tara. Ada perasaan bersalah yang dia rasakan. Zayyan adalah suami kakaknya. Sementara Zea menggandung anak dari pria itu. Walaupun memang salahnya karena sudah berani mengambil resiko menggantikan Zevanya, tetapi tetap saja perasaan sakit itu kian mengusik. "Zevanya!" Zea me
"Sayang!" Zea terkejut ketika Zayyan memeluknya dari belakang. Wanita itu sejenak terdiam dan berusaha mengontrol detak jantungnya yang tak karuan. "Aku merindukanmu sepanjang hari ini, Sayang!" Zayyan memejamkan mata, mencoba menyesap harum tubuh Zea yang selalu menjadi candu bagi lelaki itu. Zea membalas dengan senyuman. Dia menikmati pelukan hangat Zayyan di tubuhnya. Jujur saja beberapa hari ini setelah tahu dirinya hamil, Zea sedikit sensitif dan ingin selalu bertemu dan bersama dengan Zayyan. Wanita itu berbalik dan menatap Zayyan sambil tersenyum hangat. Dia memberanikan diri mengangkat tangannya agar dapat menggapai wajah tampan lelaki itu. "Aku juga merindukan Kakak!" Zea tak bisa bohong, jika kini perasaannya mulai menggebu dan memecahkan dada. Zayyan tersenyum senang saat Zea mengaku merindukannya. Jantung pria itu berdebar kencang, ada rasa bahagia yang menjalar. Apakah begini rasanya ketika mendapatkan ucapan rindu dari seseorang yang disayang? "Bagaimana kabar ana
"Ada apa Anda meminta saya datang ke sini, Tuan?" tanya Miko membungkuk hormat. Leigh berbalik menatap pria paruh baya itu. Miko adalah mantan bodyguard yang bekerja dengannya beberapa puluh tahun yang lalu. Setelah menikah Miko berhenti dan membangun perusahaannya sendiri atas bantuan dari Leigh. Sebelumnya mereka berdua memiliki kesepakatan bahwa akan menjodohkan anak-anak mereka jika lahir berbeda kelamin. Namun, tetap unsur bisnis di dalam yang melibatkan keuntungan pribadi. Akhirnya Miko meminta anaknya — Zevanya agar menikah dengan Zayyan dan tentunya demi menyelematkan perusahaan yang sedang dalam ajang kebangkrutan. "Aku kecewa padamu, Miko!" ungkap Leigh dengan tatapan mata sendu. "Maaf, Tuan." Miko hanya bisa menunduk sembari meremas kedua jarinya. "Kau sudah menipuku dan Zayyan," sambung Leigh lagi, tatapan matanya tampak kecewa. "Dengan mengirimkan Zevanya palsu!" DegMiko terkejut ketika Leigh mengatakan Zevanya palsu. Apa selama ini Leigh menyadari bahwa Zea bukanla
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur