Zayyan menatap Zevanya penuh kebencian. Apa maksud wanita ini datang dan mengusik kehidupannya lagi. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan ekspresi wajah dingin. "Hem!" Sejenak wanita itu berdehem sambil melipat kedua tangannya di dada. "Tidak ada, hanya ingin kembali pada suamiku," jawabnya dengan senyuman santai. Para tamu masih berbisik-bisik membicarakan dua wanita kembar serta orang pria tampan. Dalam hati mereka bertanya yang mana yang asli. Kenapa kebetulan ada orang mirip dengan begitu identik. Apakah mereka saudara kembar yang terpisah atau memang mereka memiliki ikatan yang begitu sah? "Dan kau adikku..." Zevanya menatap ke arah Zea yang menunduk seraya meremas ujung gaunnya. "Sebegitu terobsesikah dirimu sehingga ingin menggantikan posisiku?" tudingnya. Zea mengangkat kepalanya menatap wajah sang kakak. Apa maksud wanita ini berkata demikian? Bukankah Zea ada di sini karena dia yang kabur. Sementara semua orang yang mendengar ikut tercengang. Apakah kedua wanita it
"Kau tidak semudah itu bisa menceraikan aku, Zayyan! Karena aku tidak akan pernah mau!" tekan Zevanya menolak. Lelaki itu adalah pohon uangnya. "Lagian Ar pasti tidak bisa jauh dari aku. Oh ya, aku tidak sabar ingin melihat ekspresi wajah Ar saat tahu bahwa wanita ini adalah ibu palsunya," ujarnya dengan senyuman mengejek. Zayyan tetap terlihat tenang dengan tangan yang terus saling bergenggaman dengan Zea. Lelaki itu tak gentar sama sekali meski telah menjadi tontonan para tamu undangan. "Dan kau, Zea..." Zevanya menatap adiknya penuh kebencian. "Kau sudah merebut kebahagiaanku. Jika sampai Zayyan menceraikan aku, maka aku tidak akan pernah memaafkanmu!" ancam Zevanya. "Kakak." Zea menggeleng dengan tangis. Hatinya seketika sakit mendengar ucapan sang kakak. Sementara Marvin yang berdiri di belakang Zevanya hanya tersenyum miring. Momen seperti ini memang sudah dia tunggu sejak bertahun-tahun yang lalu, melihat Zayyan hancur agar lelaki itu tak lagi menyombongkan diri. "Ayo, Saya
"Ah, sial!" umpat Zevanya dengan kasar. Marvin menyusul Zevanya lelaki itu tersenyum penuh kemenangan saat melihat pasangan suami istri itu bertengkar. Akhirnya terbongkar jika Zea menyamar menjadi Zevanya. Dalam waktu sekejap berita tersebut menjadi viral di media sosial. "Aku tidak akan melepaskanmu, Zayyan! Kau milikku! Kau tidak boleh mencintai anak pembawa sial itu," ujar Zevanya.Rasa sakit terasa menjalar di hati Zevanya ketika mengingat pengakuan Zayyan yang mencintai Zea. Hatinya perih seperti ditikam kuat oleh benda-benda tajam yang menciptakan luka. "Ayo, Sayang!"Kedua orang itu masuk ke dalam mobil. Zevanya tampak masih mengumpat kesal. Dia tidak terima karena Zayyan memperlakukannya secara tak adil. "Lalu apa rencanamu selanjutnya, Sayang?" tanya Marvin melirik wanita yang duduk di sampingnya ini. "Tentu saja memisahkan Zea dan Zayyan. Aku tidak akan biarkan wanita itu merebut Zayyan dariku!" ungkap Zevanya.Sudut bibir Marvin tertarik. Sebenarnya ada rasa perih di
Mobil yang dikendarai oleh Sean sampai di kediaman mewah Zayyan. Segera dokter tanpan itu keluar dari sana dengan langkah tergesa-gesa. "Selamat malam, Tuan," sapa para pengawal yang berjaga di gerbang mansion."Buka pintunya!" titah Sean tak sabar."Maaf, Tuan. Anda tidak bisa masuk tanpa izin dari tuan muda," sarkas salah satu pengawal menahan Sean. "Dengan atau tidak adanya persetujuan dari dia, aku tidak boleh!" tukas Sean menatap para pengawal itu dengan tajam. "Sekarang cepat buka pintunya!" desak Sean lagi. Para pengawal itu menahan Sean agar tidak masuk ke dalam gerbang. Tidak boleh ada yang keluar masuk ke dalam mansion mewah itu tanpa izin dari yang empunya.Sean berusaha melawan dan tetap keukeh untuk masuk. Namun, dia tak mampu mengalahkan kelima pengawal yang memiliki badan kekarnya."Sebaiknya Anda segera pergi dari sini, Tuan. Sebelum kami benar-benar berlaku kasar pada Anda!" ancam salah satunya menatap Sean dengan soroton mata yang tajam. "Aku tidak akan pergi seb
"Apa yang sudah kau lakukan pada adikmu, Zevanya?!" Miko menatap putrinya itu dengan marah.Zevanya duduk santai dengan kaki saling menyilang satu sama lain. Dia memegang gelas yang berisi anggur manis untuk meredakan amarah dan emosi yang terasa membuncah di dalam dadanya. "Aku hanya memberinya sedikit pelajaran karena sudah berani bermain-main dengaku," sahut Zevanya menempelkan bibirnya pada tepi gelas, lalu menyesap air di dalamnya sehingga menimbulkan perasaan tenang ketika anggur itu menjalar di kerongkongannya. "Bermain-main denganmu? Bukankah selama ini kau yang meninggalkan Zayyan dan Ar, lalu membiarkan Zea menggantikan posisimu?" geram Miko tak habis pikir.Zevanya tersenyum miring. Dia melirik sang ayah yang menatapnya malang. Pria tua itu sama sekali tak memahami apapun yang dirinya rasakan. Bahkan dirinya selalu menjadi korban dan tertuduh karena keegoisan ayahnya tersebut. Wanita itu kembali menyesap anggur dalam gelasnya, sebelum menjawab pertanyaan sang ayah."Apa
"Zevanya menolak untuk berpisah," ucap Josua duduk di sofa sambil melirik Zayyan yang tanmpak frustasi. "Lalu, apa kau sudah membuat surat gugatan cerai?" Zayyan menghembuskan napasnya kasar. "Sudah! Ketika aku mengirimnya, wanita itu malah merobek tanpa sisa," jawab Josua. Terdengar helaan napas panjang dari mulut Zayyan. Beberapa kali lelaki tampan kesayangan sejuta umat manusia itu mengusar rambut dan wajahnya."Lalu bagaimana dengan berita yang sudah tersebar di media?" tanya Zayyan lagi. Pria itu menunggak wine dalamn gelasnya hingga tandas tak bersisa. "Niko sudah membereskannya," jawab Josua. Zayyan menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. Bukan masalah ini yang membuat dirinya terlihat frustasi, tetapi sikap Zea yang mulai dingin dan sama sekali tak mau melihatnya, hal itulah yang membuat hati Zayyan berdenyut sakit. Zea adalah sumber kebahagiaannya, dia sanggup menghadapi apapun di dunia ini selagi Zea selalu ada untuknya. Namun, sekarang dia tidak lebih dari pria yan
"Son!" panggil Zea masuk ke dalam kamar Ar sembari membawa segelas susu."Mommy!" seru Ar teresenyum sumringgah. Lelaki kecil itu sedang menonton kartun kesukaannya. "Ini susunya." Zea duduk di dekat Ar. Sejak hamil, Zea tidak diperbolehkan ke mana-mana. Bahkan dia berhenti menjadi model atas permintaan Zayyan, agar dia fokus mengurus Ar dan bayi dalam kandungannya. "Terima kasih, Mommy!" Ar mengambil susu tersebut. "Pelan-pelan, Son. Masih panas," tegur Zea membantu Ar meminum susunya. "Susu buatan Mommy selalu enak Ar syuka sekali!" serunya dengan mata berbinar-binar. Zea tersenyum melihat wajah bahagia Ar. Hingga kini dia belum berani mengakui pada Ar siapa dirinya? Entah, kenapa dia takut melukai hati keponakannya itu? Zea tak mau Ar sedih mengetahui kebenaran bahwa dia hanya ibu palsu pria kecil itu. Zea juga takut Ar benci padanya karena selama ini sudah berbohong dan tidak mengatakan yang sebenarnya. "Sayang!"Keduanya menoleh ke arah pintu masuk. Tampak Zayyan datang de
"Selamat datang, Tuan," sapa Miko membungkuk hormat meyambut kedatangan Leigh di rumahnya. "Di mana wanita itu?" tanya Leigh tanpa basa-basi."Wanita siapa, Tuan?" tanya Miko yang tidak paham siapa yang dimaksud oleh Leigh."Zevanya," jawab Leigh dingin."Dia sudah kembali ke rumah Marvin, Tuan," jawab Miko. Leigh duduk di sofa ruang tamu. Tidak lama kemudian seorang pelayan meyuguhkan minuman dan cemilan untuknya. "Kau tahu maksud kedatangku ke sini, Miko?" tanya Leigh tanpa melihat wajah besannya itu. Dia tampak menatap kosong ke depan dengan kedua kaki saling menyilang dan kedua tangan berdiam nyaman di dalam saku celananya. Miko menggeleng dengan wajah polosnya karena memang dia tidak tahu maksud kedatangan besannya tersebut. "Aku sudah katakan padamu, jangan biarkan Zevanya kembali," ujar Leigh dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Maaf, Tuan." Miko menunduk malu. Leigh diam sejenak. Entah kenapa bayangan Zea tadi masih saja terngiang di kepalanya. Hal itu membuat dia semak
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur