Menantu Kuli

Menantu Kuli

last updateLast Updated : 2025-02-21
By:  Leva LorichOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
45Chapters
1.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Willy Wanbilien bekerja sebagai kuli di keluarga kaya. Anak bungsu keluarga itu memilih menjalin cinta dan menikah dengan Willy dibawah penentangan keluarga. Willy selalu dihina sebagai menantu lemah dan miskin. Siapa sangka jika Willy adalah ahli beladiri yang akhirnya menjadi kaya karena keahliannya itu.

View More

Chapter 1

I. Prolog

Darr!

Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya.

“Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam.

“Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam.

Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasan. Willy tahu, wanita itu takut dia mengambil alih warisan ayahnya.

“Mulai besok, kau cari kerja!” lanjut Metia.

“Aku tidak peduli di mana. Yang penting kau tidak hanya duduk santai di sini! Jangan lupa, kau juga harus mulai memberikan uang kepadaku. Aku ini ibumu, dan kau punya kewajiban untuk memuliakanku!” sorot mata Metia penuh intimidasi.

Willy kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Ia duduk di atas kasur tua yang kini menjadi saksi hari-harinya yang suram. Tatapannya kosong, terpaku pada dinding kusam yang penuh retakan. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan.

“Kerja apa?” gumamnya lirih.

Sejak lulus SMA dua tahun lalu, Willy sudah ratusan kali melamar pekerjaan. Namun, tidak ada satu pun yang menerima. Sebagian besar perusahaan membutuhkan ijazah sarjana, sesuatu yang tak pernah bisa ia raih. Metia menolak membiayainya kuliah, meskipun Willy tahu pendapatan dari bakery itu cukup untuk membiayai hidup mereka berdua. Ayahnya bahkan pernah berkata, “Usaha ini akan jadi tabunganmu di masa depan, Nak.” Tapi nyatanya, sekarang ia merasa seperti orang luar di rumahnya sendiri.

Willy ingat hari-hari ketika ia masih kecil. Alden adalah ayah yang penuh kasih sayang, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Usaha bakery itu bukan sekedar pekerjaan bagi Alden, melainkan impian yang berhasil ia wujudkan. Setiap malam, Alden selalu berkata, “Willy, suatu hari nanti, bakery ini akan menjadi milikmu. Jaga baik-baik, ya.”

Awalnya dulu, usaha bakery itu adalah gagasan bersama antara Alden dengan Prily, ibu kandung Willy. Namun setelah Prily meninggal karena serangan jantung saat Willy masih SMP kelas 1, impian itu tenggelam bersama keterpurukan Alden akibat kehilangan Prily.

Ide itu kembali mencuat saat Alden akan menikahi Metia. Alden butuh sandaran pekerjaan yang jelas agar Metia bersedia menikah dengannya. Saat bakery dirintis Alden, Willy menginjak kelas 3 SMP, beberapa bulan sebelum pernikahan dengan Metia digelar.

Bukan Alden tak setia pada Prily, namun sejak wanita itu meninggal, keadaan rumah tangga menjadi gersang. Rumah itu butuh figur wanita yang bisa mengatur rumah.

Tapi apa mau dikata, Alden meninggal satu tahun kemudian, di usianya yang menginjak 50 tahun, dengan keluhan penyakit yang sama dengan Prily, serangan jantung mendadak. Saat itu Metia berumur 45 tahun, seumuran dengan Prily jika masih hidup.

Wanita itu awalnya terlihat baik, tapi setelah pernikahan, sikap aslinya mulai muncul. Ia mulai mengambil alih segala hal, perlahan-lahan menjauhkan Alden dari Willy. Dan ketika Alden meninggal karena serangan jantung mendadak, Willy merasa benar-benar kehilangan segalanya.

---

Di zaman modern seperti sekarang, mencari pekerjaan tanpa ijazah sarjana bukan hal yang mudah. Bahkan lulusan universitas saja banyak yang menganggur. Willy telah mencoba melamar ke berbagai tempat, dari minimarket hingga restoran cepat saji, tetapi hasilnya selalu sama, yaitu penolakan.

“Apa yang harus kulakukan?” pikirnya.

Ia membuka laci mejanya, mengambil setumpuk kertas lamaran kerja yang belum terkirim. Ada rasa putus asa yang menyelinap di pemuda tampan berumur 20 tahun itu. Willy tidak ingin menyerah, tetapi ia merasa jalan di depannya begitu terjal, beranjak buntu.

“Ayah, kenapa kau tinggalkan aku di situasi seperti ini?” bisiknya lirih.

Willy tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Setiap hari, Metia selalu mengomel, menuntut ini dan itu. Willy merasa seperti penumpang gelap di rumah yang seharusnya menjadi miliknya. Rumah itu adalah peninggalan Alden, dibangun dari jerih payah ayahnya. Tapi sekarang, Willy harus mendengar Metia berkata bahwa ia tak berhak tinggal di sana tanpa memberikan kontribusi. Sangat miris.

Lalu dimana kerabat Alden atau Prily? Apakah Willy tak memiliki sanak keluarga?

Alden adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh sebuah panti asuhan. Sedangkan Prily, adalah anak tunggal. Prily dan kedua orangtuanya adalah pengungsi dari bencana tsunami di pulau Roter, 1000 an kilometer dari kota Arsaka. Kedua orangtua Prily meninggal beberapa tahun setelah Prily menikah dengan Alden.

---

Keesokan paginya, Willy memutuskan untuk mencoba satu kali lagi. Ia mengumpulkan keberanian, membawa tumpukan lamaran kerjanya, dan pergi pusat kota. Ia memasuki berbagai toko, perusahaan kecil, dan bahkan pasar untuk mencari pekerjaan apa pun yang bisa ia lakukan.

“Maaf, kami butuh yang berpengalaman,” kata seorang pemilik toko.

“Kami hanya menerima yang minimal lulusan diploma,” ujar manajer sebuah minimarket.

Penolakan demi penolakan kembali ia terima. Rasanya seperti dunia tidak memberinya tempat untuk bertahan. Kota Arsaka yang merupakan ibukota dari negara Traganza, seperti ingin memuntahkan Willy dari kota itu. Persaingan kerja begitu sengit, apalagi untuk orang-orang yang memiliki pendidikan rendah.

Di tengah perjalanan pulang, Willy berhenti di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku kayu, memandang anak-anak yang bermain ceria. Dunia mereka begitu sederhana, begitu bebas dari beban.

“Kenapa hidup harus seberat ini?” pikirnya.

Willy mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ia tidak bisa menyerah. Alden selalu mengajarkannya untuk tidak mudah putus asa. “Kau hanya kalah kalau kau berhenti mencoba, Nak,” begitu kata ayahnya.

---

Malam itu, Willy kembali ke kamarnya. Ia duduk di depan cermin kecil, menatap bayangannya sendiri.

“Mengapa takdir terasa seperti ini?” bisiknya.

Ia menatap dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban di mata yang penuh kelelahan.

“Apakah semua harus dinilai dari ijasah? Aku tahu aku bukan orang bodoh. Aku punya kemampuan. Tapi kenapa rasanya dunia ini tidak adil? Kalau saja Ayah masih ada... Kalau saja aku punya kesempatan... Aku pasti bisa.”

Willy mengepalkan tangannya. Meski hidup terasa seperti menghimpitnya, ia tahu ia harus bangkit. Ia tidak bisa terus menerus merasa kasihan pada dirinya sendiri.

“Mulai besok, aku akan mencoba lagi,” gumamnya.

Meskipun jalannya gelap dan penuh duri, Willy tahu ia harus terus melangkah. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membuktikan bahwa ia mampu bertahan, meskipun dunia seakan melawannya.

Ia harus menemukan jawaban dari pertanyaan dalam hatinya, "Aku harus kerja apa? Dimana?"

###

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Leva Lorich
MARI KAWAN MAMPIR DAN DIBACA. SEMOGA COCOK
2025-01-08 12:52:36
0
45 Chapters
I. Prolog
Darr! Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasa
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more
II. Yang tak terduga
Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka. Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin. Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mi
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more
III. Golden, 21
Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri. Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghenti
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more
IV. Kekuatan aneh
Pagi masih gelap saat Willy membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, tetapi ia tak mau mengambil risiko terlambat di hari pertama bekerja. Setelah meregangkan tubuh sejenak, Willy segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian sederhana dan membawa tas kecil berisi bekal pakaian seadanya, Willy melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, bunyi langkahnya yang tergesa-gesa mengundang teguran dari Metia, ibu tirinya. “Pagi-pagi sudah bikin kegaduhan saja! Orang mau tidur malah ribut!” suara Metia terdengar dari ruang tengah. “Ini hari pertama kerja, Bu. Saya harus berangkat lebih pagi,” jawab Willy dengan nada pelan, mencoba menahan emosinya. Alih-alih ikut senang atau mendukung, Metia justru melanjutkan kemarahannya. “Kerja? Siapa yang mau urus rumah kalau kamu pergi? Dasar anak nggak tahu diri! Pergi saja bikin susah!” Willy hanya bisa diam. Bukankah Metia sendiri yang memaksa Willy untuk mencari kerja? Tapi kenapa seka
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more
V. Mengenal penghuni rumah
Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din. Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut. Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya. Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur kare
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more
VI. Mengenal Delia
Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc
last updateLast Updated : 2025-01-03
Read more
VII. Mengantar ke kampus
Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari. Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa. "Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan. Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?" "Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke ka
last updateLast Updated : 2025-01-04
Read more
VIII. Serpihan kapas
Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. ---Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambu
last updateLast Updated : 2025-01-04
Read more
IX. Tomey pengganggu
Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te
last updateLast Updated : 2025-01-05
Read more
X. Mira murka
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan
last updateLast Updated : 2025-01-05
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status