Willy Wanbilien bekerja sebagai kuli di keluarga kaya. Anak bungsu keluarga itu memilih menjalin cinta dan menikah dengan Willy dibawah penentangan keluarga. Willy selalu dihina sebagai menantu lemah dan miskin. Siapa sangka jika Willy adalah ahli beladiri yang akhirnya menjadi kaya karena keahliannya itu.
View MoreDarr!
Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasan. Willy tahu, wanita itu takut dia mengambil alih warisan ayahnya. “Mulai besok, kau cari kerja!” lanjut Metia. “Aku tidak peduli di mana. Yang penting kau tidak hanya duduk santai di sini! Jangan lupa, kau juga harus mulai memberikan uang kepadaku. Aku ini ibumu, dan kau punya kewajiban untuk memuliakanku!” sorot mata Metia penuh intimidasi. Willy kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Ia duduk di atas kasur tua yang kini menjadi saksi hari-harinya yang suram. Tatapannya kosong, terpaku pada dinding kusam yang penuh retakan. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. “Kerja apa?” gumamnya lirih. Sejak lulus SMA dua tahun lalu, Willy sudah ratusan kali melamar pekerjaan. Namun, tidak ada satu pun yang menerima. Sebagian besar perusahaan membutuhkan ijazah sarjana, sesuatu yang tak pernah bisa ia raih. Metia menolak membiayainya kuliah, meskipun Willy tahu pendapatan dari bakery itu cukup untuk membiayai hidup mereka berdua. Ayahnya bahkan pernah berkata, “Usaha ini akan jadi tabunganmu di masa depan, Nak.” Tapi nyatanya, sekarang ia merasa seperti orang luar di rumahnya sendiri. Willy ingat hari-hari ketika ia masih kecil. Alden adalah ayah yang penuh kasih sayang, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Usaha bakery itu bukan sekedar pekerjaan bagi Alden, melainkan impian yang berhasil ia wujudkan. Setiap malam, Alden selalu berkata, “Willy, suatu hari nanti, bakery ini akan menjadi milikmu. Jaga baik-baik, ya.” Awalnya dulu, usaha bakery itu adalah gagasan bersama antara Alden dengan Prily, ibu kandung Willy. Namun setelah Prily meninggal karena serangan jantung saat Willy masih SMP kelas 1, impian itu tenggelam bersama keterpurukan Alden akibat kehilangan Prily. Ide itu kembali mencuat saat Alden akan menikahi Metia. Alden butuh sandaran pekerjaan yang jelas agar Metia bersedia menikah dengannya. Saat bakery dirintis Alden, Willy menginjak kelas 3 SMP, beberapa bulan sebelum pernikahan dengan Metia digelar. Bukan Alden tak setia pada Prily, namun sejak wanita itu meninggal, keadaan rumah tangga menjadi gersang. Rumah itu butuh figur wanita yang bisa mengatur rumah. Tapi apa mau dikata, Alden meninggal satu tahun kemudian, di usianya yang menginjak 50 tahun, dengan keluhan penyakit yang sama dengan Prily, serangan jantung mendadak. Saat itu Metia berumur 45 tahun, seumuran dengan Prily jika masih hidup. Wanita itu awalnya terlihat baik, tapi setelah pernikahan, sikap aslinya mulai muncul. Ia mulai mengambil alih segala hal, perlahan-lahan menjauhkan Alden dari Willy. Dan ketika Alden meninggal karena serangan jantung mendadak, Willy merasa benar-benar kehilangan segalanya. --- Di zaman modern seperti sekarang, mencari pekerjaan tanpa ijazah sarjana bukan hal yang mudah. Bahkan lulusan universitas saja banyak yang menganggur. Willy telah mencoba melamar ke berbagai tempat, dari minimarket hingga restoran cepat saji, tetapi hasilnya selalu sama, yaitu penolakan. “Apa yang harus kulakukan?” pikirnya. Ia membuka laci mejanya, mengambil setumpuk kertas lamaran kerja yang belum terkirim. Ada rasa putus asa yang menyelinap di pemuda tampan berumur 20 tahun itu. Willy tidak ingin menyerah, tetapi ia merasa jalan di depannya begitu terjal, beranjak buntu. “Ayah, kenapa kau tinggalkan aku di situasi seperti ini?” bisiknya lirih. Willy tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Setiap hari, Metia selalu mengomel, menuntut ini dan itu. Willy merasa seperti penumpang gelap di rumah yang seharusnya menjadi miliknya. Rumah itu adalah peninggalan Alden, dibangun dari jerih payah ayahnya. Tapi sekarang, Willy harus mendengar Metia berkata bahwa ia tak berhak tinggal di sana tanpa memberikan kontribusi. Sangat miris. Lalu dimana kerabat Alden atau Prily? Apakah Willy tak memiliki sanak keluarga? Alden adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh sebuah panti asuhan. Sedangkan Prily, adalah anak tunggal. Prily dan kedua orangtuanya adalah pengungsi dari bencana tsunami di pulau Roter, 1000 an kilometer dari kota Arsaka. Kedua orangtua Prily meninggal beberapa tahun setelah Prily menikah dengan Alden. --- Keesokan paginya, Willy memutuskan untuk mencoba satu kali lagi. Ia mengumpulkan keberanian, membawa tumpukan lamaran kerjanya, dan pergi pusat kota. Ia memasuki berbagai toko, perusahaan kecil, dan bahkan pasar untuk mencari pekerjaan apa pun yang bisa ia lakukan. “Maaf, kami butuh yang berpengalaman,” kata seorang pemilik toko. “Kami hanya menerima yang minimal lulusan diploma,” ujar manajer sebuah minimarket. Penolakan demi penolakan kembali ia terima. Rasanya seperti dunia tidak memberinya tempat untuk bertahan. Kota Arsaka yang merupakan ibukota dari negara Traganza, seperti ingin memuntahkan Willy dari kota itu. Persaingan kerja begitu sengit, apalagi untuk orang-orang yang memiliki pendidikan rendah. Di tengah perjalanan pulang, Willy berhenti di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku kayu, memandang anak-anak yang bermain ceria. Dunia mereka begitu sederhana, begitu bebas dari beban. “Kenapa hidup harus seberat ini?” pikirnya. Willy mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ia tidak bisa menyerah. Alden selalu mengajarkannya untuk tidak mudah putus asa. “Kau hanya kalah kalau kau berhenti mencoba, Nak,” begitu kata ayahnya. --- Malam itu, Willy kembali ke kamarnya. Ia duduk di depan cermin kecil, menatap bayangannya sendiri. “Mengapa takdir terasa seperti ini?” bisiknya. Ia menatap dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban di mata yang penuh kelelahan. “Apakah semua harus dinilai dari ijasah? Aku tahu aku bukan orang bodoh. Aku punya kemampuan. Tapi kenapa rasanya dunia ini tidak adil? Kalau saja Ayah masih ada... Kalau saja aku punya kesempatan... Aku pasti bisa.” Willy mengepalkan tangannya. Meski hidup terasa seperti menghimpitnya, ia tahu ia harus bangkit. Ia tidak bisa terus menerus merasa kasihan pada dirinya sendiri. “Mulai besok, aku akan mencoba lagi,” gumamnya. Meskipun jalannya gelap dan penuh duri, Willy tahu ia harus terus melangkah. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membuktikan bahwa ia mampu bertahan, meskipun dunia seakan melawannya. Ia harus menemukan jawaban dari pertanyaan dalam hatinya, "Aku harus kerja apa? Dimana?" ###Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s
Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s
Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per
Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu
[Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi
Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be
Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena
Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa
Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments