Beranda / Urban / Menantu Kuli / IX. Tomey pengganggu

Share

IX. Tomey pengganggu

Penulis: Leva Lorich
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-05 09:53:56

Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum.

“Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion.

Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia.

Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat terganggu.

Willy mematikan mesin mobil dan turun dengan cepat. Ia berjalan mendekat untuk memastikan situasi, dan percakapan itu pun terdengar lebih jelas.

"Delia, aku sudah bilang, kamu hanya perlu bilang iya! Aku bisa kasih kamu semua yang kamu mau. Makan di restoran bintang lima, belanja, bahkan uang saku tambahan. Bukankah itu menggiurkan?" Pemuda itu berbicara dengan nada sok yakin, sementara senyum puas terlukis di wajahnya.

Delia, dengan kedua tangannya yang terlipat di dada, menjawab dengan tegas, "Aku sudah bilang, Tomey. Aku tidak tertarik. Tolong berhenti memaksa."

Pemuda itu, yang ternyata bernama Tomey, mendekat lebih dekat ke arah Delia, membuat gadis itu sedikit mundur. "Ayo, Delia. Jangan keras kepala. Kamu tahu, bukan? Aku bisa membuat hidupmu lebih mudah."

Willy berhenti beberapa langkah dari mereka, memperhatikan situasi. Tomey tidak sendirian, ia ditemani oleh dua temannya yang berdiri sedikit di belakangnya, tertawa kecil seolah-olah mendukung setiap kata yang keluar dari mulutnya.

---

Tomey dikenal sebagai anak seorang pengusaha kaya di kota itu. Gayanya selalu sok kaya, dengan pakaian bermerek yang mencolok dan sikap yang seolah-olah semua orang harus tunduk padanya. Sayangnya, Delia tidak terpengaruh sedikit pun oleh rayuannya.

"Tomey," kata Delia lagi, kali ini dengan nada lebih tajam. "Aku tidak membutuhkan apapun darimu. Sekali lagi, tolong berhenti menggangguku."

Namun, bukannya mundur, Tomey malah semakin mendekat. "Apa kamu lupa, Delia? Keluargamu bahkan tidak setara dengan keluargaku. Kamu seharusnya merasa beruntung aku tertarik padamu."

Ucapan itu membuat darah Willy mendidih. Ia tahu Delia bukan tipe orang yang suka bergantung pada kekayaan, dan mendengar seseorang merendahkannya seperti itu membuat Willy ingin segera bertindak. Tapi ia menahan diri, menunggu momen yang tepat.

"Kalau kamu masih memaksa," kata Delia, memotong ucapan Tomey, "aku akan melapor ke pihak kampus."

Tomey tertawa kecil, mengejek. "Silakan saja. Kamu pikir itu akan mengubah apapun? Aku bisa membeli siapa saja di kampus ini."

Pada saat itulah, Willy melangkah maju, berdiri di antara Delia dan Tomey. "Permisi," katanya dengan suara tenang tapi tegas.

Tomey menoleh, alisnya terangkat saat melihat Willy. "Kamu siapa?" tanyanya dengan nada meremehkan.

"Saya hanya karyawan keluarga Haldi," jawab Willy, tetap menjaga nada sopan. "Tapi saya diminta menjemput Nona Delia. Jadi, mohon maaf, kami akan pergi sekarang."

Delia terlihat lega melihat Willy, tetapi ia tetap berdiri tegak di tempatnya. Tomey, di sisi lain, tampak tidak senang dengan kehadiran Willy. Ia melangkah mendekat, menatap Willy dari atas ke bawah.

"Karyawan? Oh, jadi kamu sopirnya?" ejek Tomey. "Kalau begitu, sopir, jangan ikut campur urusan ini."

Willy tetap tenang. "Tugas saya memastikan Nona Delia sampai di rumah dengan selamat. Jika Anda punya urusan lain, silakan selesaikan di waktu yang lain."

Tomey tersenyum sinis, tapi ada nada kesal di balik senyumnya. "Beraninya kamu bicara seperti itu padaku. Kamu tahu siapa aku?"

Willy tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tenang. Tomey, merasa tersudut, menoleh ke teman-temannya. "Lihat ini. Seorang sopir mencoba mengaturku."

Salah satu temannya tertawa kecil. "Mungkin dia pikir dia pahlawan, Tom."

Namun, sebelum situasi semakin memanas, Delia melangkah ke depan. "Cukup, Tomey. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi darimu. Ayo pergi, Willy."

Delia menarik lengan Willy, membawanya ke arah mobil. Tomey tampak terkejut dan berteriak, "Tunggu sebentar!"

Teriakan nyaring Tomey menghentikan langkah Willy dan Delia yang sudah hampir mencapai mobil. Suara itu penuh kemarahan dan ego terluka, memaksa keduanya untuk menoleh ke belakang. Tomey berdiri dengan wajah memerah, matanya menyala penuh emosi.

“Berhenti kalian berdua!” teriaknya, suaranya menggema di area gerbang kampus yang mulai sepi.

Delia menggenggam lengan Willy dengan erat, berbisik pelan, “Kita abaikan saja dia, Willy. Jangan buat masalah.”

Namun, sebelum Willy sempat melangkah lebih jauh, Tomey sudah melangkah maju dengan cepat. Ia tidak bisa menerima perlakuan seperti itu, diabaikan dan ditolak di depan umum. Sebagai anak seorang pengusaha kaya, Tomey terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan. Di kampus, ia adalah sosok yang ditakuti, dihormati bukan karena kepribadiannya, tetapi karena pengaruh keluarganya.

“Apa kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah mempermalukan aku di depan semua orang?” kata Tomey dengan suara bergetar.

Ia melangkah lebih dekat dan, tanpa peringatan, mendorong tubuh Willy dari belakang dengan kasar. Namun, yang ia rasakan bukanlah reaksi yang ia harapkan. Tangannya seperti menabrak tembok yang kokoh, tubuh Willy tidak bergeming sedikit pun. Tomey terhuyung ke belakang, memegangi tangannya yang sedikit kesakitan.

“Apa-apaan ini?” gumamnya, bingung dan marah.

Willy berbalik dengan tenang, menatap Tomey tanpa emosi. Matanya yang dingin membuat Tomey semakin kesal. Delia, di sisi lain, berdiri cemas, khawatir situasi akan semakin memburuk.

Tomey, yang tidak bisa menerima kekalahannya, melirik dua teman yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. “Hajar dia!” perintahnya dengan suara lantang.

Kedua pemuda itu tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya bergerak maju dengan enggan. Mereka tahu Willy adalah sopir keluarga Haldi, tetapi mereka tidak bisa menolak perintah Tomey yang merupakan sumber pengaruh dan uang bagi mereka.

Delia terkejut, wajahnya memucat. “Tomey, hentikan ini! Kau tidak bisa seenaknya!”

Namun, Tomey tidak peduli. Amarahnya sudah menguasai akal sehatnya. Ia hanya ingin memberikan pelajaran kepada Willy, yang ia anggap telah merendahkannya.

Kedua pemuda itu mendekati Willy dengan langkah berat, tangan mereka sudah siap mengepalkan tinju. Willy tetap berdiri tenang, matanya mengamati gerakan mereka dengan penuh perhatian.

Saat keduanya sudah semakin mendekat, terdengar suara tegas Willy, "Kalian ingin mencoba kemampuan bertarung sopir dari keluarga Haldi? Kalian yakin? Mari silahkan, saya akan melayani dengan senang hati,"

###

Bab terkait

  • Menantu Kuli   X. Mira murka

    Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   XI. Zalia yang galak

    Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   XII. Asisten pribadi?

    Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIV. Berjumpa Keenan

    Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XV. Tugas khusus

    Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVI. Figuran

    Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Menantu Kuli   XXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempat

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

  • Menantu Kuli   XXXVI. Dukungan Ben

    "Ini adalah ide besar, Willy,” ujar Sano sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi ini juga bukan langkah yang bisa diambil sembarangan. Aku rasa kita perlu melibatkan Ayah. Dia punya banyak pengalaman dan mungkin bisa memberi pandangan yang lebih luas.” Willy mengangguk setuju. “Baik, Kak Sano. Aku akan mempersiapkan perhitungan untuk kedua bisnis ini. Kita temui Ayah Ben nanti sore.” “Bagus,” ujar Sano sambil bangkit berdiri. “Aku dan Paman Wastin akan melanjutkan persiapan kafe dulu. Kamu fokus dengan hitunganmu. Kalau ada yang kurang jelas, tinggal hubungi.” Setelah Sano dan Wastin meninggalkan ruangan, Willy mengeluarkan laptopnya. Ia mulai membuat perhitungan untuk kedua bisnis yang direncanakan, yaitu beverage dan es krim serta properti berupa hotel. ---Willy memulai dengan bisnis beverage dan es krim. Ia memperkirakan bahwa modal awal yang dibutuhkan akan mencakup pembelian tanah untuk lokasi pabrik seharga 10 miliar dan pembangunan pabrik sebesar 20 miliar. Mesin-mes

  • Menantu Kuli   XXXV. Ide sendiri

    Willy masih merenung di pojok ruangan, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Pikirannya berkecamuk, mencari inspirasi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar membuka kafe. Ia ingin membuktikan kepada semua orang, terutama keluarga Haldi, bahwa ia mampu lebih dari apa yang mereka pikirkan. Tak lama, Sano dan Wastin mendekat. Mereka tampak menyadari kegundahan di wajah Willy. “Kamu kenapa, Willy?” tanya Sano dengan nada tenang sambil menarik kursi dan duduk di dekatnya. Wastin juga ikut duduk di seberang Willy. “Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ada yang bisa kami bantu?” Willy menghela napas, lalu menatap keduanya. “Aku masih punya 100 miliar pemberian Ayah Ben. Tapi aku bingung bagaimana mengelolanya. Aku ingin memulai bisnis lain selain kafe ini, sesuatu yang lebih besar. Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Mendengar itu, Sano dan Wastin saling pandang. Sano tersenyum tipis. “Itu bukan masalah, Willy. Kamu hanya butuh arah yang jelas. Denga

  • Menantu Kuli   XXXIV. Centenario

    Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe. Pagi itu, Willy dan Delia sedang bersiap-siap di rumah keluarga Haldi. Delia mengenakan kemeja putih rapi dipadukan dengan rok biru pastel, rambutnya yang panjang dikepang sederhana, tampak cantik seperti biasa. Sementara Willy, dengan penampilan kasual, mengenakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya. “Sayang, sebelum ke kampus, kita mampir dulu ke rumah Ayah, ya,” ucap Willy sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku. “Kenapa ke sana? Bukannya kita langsung saja pakai Mini Cooper?” tanya Delia. Willy tersenyum kecil. “Aku mau pakai mobilku sendiri kali ini. Mini Cooper-mu biar tetap di sana. Lagipula, sudah lama aku tidak mengeluarkan Centenario-ku.” Delia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan buat heboh di kampus, ya.” “Tenang saja,” jawab Willy sambil menggandeng tangan istrinya. ---Mereka tiba di rumah Ben Dino, ayah angkat Willy, yang terletak di kawasan elit Kota Arsaka. Rumah besa

  • Menantu Kuli   XXXIII. Tak berterimakasih

    Matahari bersinar cerah ketika Willy dan Delia memutuskan untuk makan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu sederhana, namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang dihiasi bunga segar di setiap sudut. Delia terlihat ceria, menggenggam tangan Willy sambil berbincang ringan tentang rencana mereka untuk masa depan. “Willy, kita harus ke toko buku setelah ini, ya?” ujar Delia sambil menyuap potongan waffle ke mulutnya. “Baik, Sayang,” jawab Willy sambil tersenyum. “Kamu ingin beli buku apa kali ini?” Belum sempat Delia menjawab, pandangan Willy tertuju pada dua sosok yang baru saja memasuki butik mewah di seberang jalan. Mira dan Zalia. Keduanya tampak anggun dengan pakaian mahal dan gaya berjalan penuh percaya diri. Willy langsung mengenali mereka dan, tanpa ragu, melambaikan tangan untuk menyapa. “Nyonya Mira! Nona Zalia!” panggil Willy dengan suara cukup keras. Delia, yang menyadari apa yang dilakukan Willy, segera menahan napas. “Willy, jangan...” Namun terlambat, Mir

  • Menantu Kuli   XXXII. Haldi mulai luluh

    Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,

  • Menantu Kuli   XXXI. Pilih Kasih

    Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi

  • Menantu Kuli   XXX. Bapakku

    Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status