Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat.
Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani ini.” “Kasihan, orang tua itu malah dijadikan bahan eksperimen.” Namun, Willy tetap tenang. Ia mengabaikan segala cemoohan dan hinaan itu, fokus pada tugasnya. Tangannya terus bergerak, menekan dan memijat dengan pola tertentu yang bahkan ia sendiri tak sepenuhnya pahami. Delia berdiri di dekatnya, menatap penuh khawatir. Meski ada rasa takut akan reaksi orang-orang, ia juga tak bisa memungkiri rasa penasaran dan kekagumannya terhadap keberanian Willy. Setelah beberapa menit, sesuatu yang luar biasa terjadi. Nafas pria paruh baya itu mulai stabil, dan rona wajahnya yang tadinya pucat perlahan kembali normal. Orang-orang yang tadinya mencemooh mulai terdiam, mengganti tatapan hinaan mereka dengan keterkejutan. “Dia... dia baik-baik saja?” bisik seseorang di antara kerumunan. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, pria itu bangkit dengan wajah penuh kebingungan. “Apa yang terjadi?” tanyanya, menatap Willy dengan mata berkaca-kaca. Willy tersenyum tipis. “Anda hanya mengalami gangguan maag yang cukup parah. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa.” Pria itu memandang Willy seolah tak percaya. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia memeluk Willy erat-erat. “Terima kasih, anak muda. Kamu telah menyelamatkan hidupku!” katanya dengan suara penuh emosi. Kerumunan yang tadinya penuh hinaan kini berubah menjadi bisik-bisik kagum. Delia masih terpaku, hatinya bercampur aduk antara lega, kagum, dan sedikit bangga. Baru kemarin ia melihat Willy bertarung dengan keahlian luar biasa, kini pria itu menunjukkan kemampuan lain yang tak kalah menakjubkan. Setelah beberapa saat, pria itu memperkenalkan dirinya. “Namaku Ben. Dan siapa nama penyelamatku ini?” tanyanya. “Nama saya Willy, Pak,” jawab Willy dengan rendah hati. Ben mengangguk penuh rasa terima kasih. “Willy, aku berhutang nyawa padamu. Kalau bukan karena kamu, aku mungkin sudah tak bernyawa sekarang.” Delia akhirnya ikut angkat bicara. “Pak Ben, apa kami perlu mengantar Anda pulang? Kondisi Anda mungkin belum sepenuhnya pulih.” Ben setuju dengan usul itu. “Kalau kalian tidak keberatan, aku tinggal di Jalan Boga nomor 12.” Willy dan Delia saling pandang sejenak, lalu Willy membantu Ben berjalan menuju mobil. Mereka bertiga naik ke Mini Cooper biru milik Delia. --- Perjalanan menuju rumah Ben berlangsung dalam keheningan. Delia yang duduk di kursi kemudi hanya sesekali melirik Ben melalui kaca spion, memastikan kondisinya baik-baik saja. Willy duduk di samping Ben, memperhatikan pria itu yang kini terlihat jauh lebih segar. Tak lama kemudian, mereka tiba di Jalan Boga nomor 12. Namun, pemandangan yang mereka lihat membuat Willy dan Delia tertegun. Di depan mereka berdiri sebuah rumah megah dengan desain arsitektur modern, dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. “Ini... rumah Anda, Pak Ben?” tanya Delia dengan nada ragu. Ben tersenyum kecil. “Iya, ini rumahku. Silakan masuk sebentar. Aku ingin mengucapkan terima kasih dengan lebih baik.” Mereka mengikuti Ben masuk ke dalam rumah. Interiornya tak kalah megah dari eksteriornya. Lantai marmer berkilau, lampu gantung kristal yang besar, dan dekorasi mewah di setiap sudut ruangan membuat Delia merasa kecil hati meski ia sendiri berasal dari keluarga kaya. Mereka duduk di ruang tamu yang luas. Ben segera menyuruh pelayan untuk menyajikan minuman dan makanan ringan. Setelah semuanya tersedia, Ben kembali menatap Willy. “Willy, aku ingin tahu. Bagaimana kamu tahu penyakitku? Bahkan dokter sekalipun biasanya butuh waktu untuk mendiagnosa.” Willy tersenyum, tapi ia tidak punya jawaban pasti. “Saya hanya mengikuti naluri, Pak Ben. Entah bagaimana, saya merasa tahu apa yang harus dilakukan.” Ben mengangguk pelan. “Naluri atau apapun itu, kamu memiliki sesuatu yang luar biasa. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu hari ini.” “Pak Ben,” Willy melanjutkan, “saya yakin penyakit Anda tidak akan kambuh lagi. Tapi usahakan untuk menjaga pola makan dan gaya hidup Anda.” Ben tertawa kecil. “Baik, Willy. Aku akan menurutimu.” Sementara itu, Delia duduk diam, mengamati interaksi antara Ben dan Willy. Dalam hatinya, ia semakin kagum pada pria muda itu. Willy bukan hanya pekerja keras, tapi juga memiliki kemampuan yang tidak biasa. Setelah beberapa saat berbincang di ruang tamu megah itu, suasana mulai terasa lebih hangat. Namun, Delia yang sedari tadi duduk diam terlihat sedikit gelisah. Dalam pikirannya, nama 'Ben' terus terngiang-ngiang. Nama itu terasa sangat familiar, dan tiba-tiba sesuatu terlintas di benaknya. “Pak Ben,” Delia memulai dengan ragu. “Apakah nama lengkap Anda Ben Dino?” Ben, yang sedang menyeruput teh hangatnya, tersenyum sambil mengangguk. “Iya, benar sekali. Nama saya Ben Dino. Apa kamu pernah mendengar tentang saya?” Mendengar jawaban itu, Delia nyaris menjatuhkan cangkir tehnya. Ia menatap Ben dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Willy, yang duduk di sampingnya, menatap Delia dengan bingung, tidak mengerti apa yang membuatnya begitu terkejut. “Jadi, Anda benar-benar Ben Dino?” Delia mengulang pertanyaannya, seolah masih sulit mempercayai jawabannya. Ben tertawa kecil, senyumnya penuh keramahan. “Iya, Nak. Kenapa? Apakah itu mengejutkanmu?” Delia menelan ludah sebelum menjawab. “Anda adalah salah satu orang paling berpengaruh di Kota Arsaka. Semua orang tahu siapa Ben Dino, pemilik bisnis besar, orang yang sangat kaya, dan juga dihormati oleh banyak kalangan. Saya... saya tidak menyangka bisa bertemu langsung dengan Anda.” Willy menatap Delia, lalu beralih ke Ben. Meski ia tidak mengenal nama Ben Dino, ia bisa merasakan aura kewibawaan yang terpancar dari pria itu. Ben mengangguk pelan, senyumnya tak pernah pudar. “Ah, itu hanya karena usia dan pengalaman, Nak. Tapi, siapa namamu? Dan keluargamu siapa?” Delia segera memperkenalkan dirinya. “Nama saya Delia Haldi. Saya putri bungsu dari keluarga Haldi.” Mendengar itu, tawa Ben semakin lepas. “Oh, keluarga Haldi! Saya cukup mengenal keluarga kalian. Bisnis periklanan yang cukup sukses, bukan? Dan kalau tidak salah, kalian juga memiliki butik pakaian. Keluarga yang dihormati di Arsaka.” Delia hanya tersenyum kecil, merasa sedikit tersanjung tapi juga segan di hadapan Ben. "Tetap saja masih tak sebanding dengan Anda," Delia tersenyum canggung. --- Ben memandang Willy dengan penuh kekaguman. “Willy, kamu benar-benar orang yang luar biasa. Baru kali ini aku bertemu seseorang seperti kamu, tulus, rendah hati, tapi penuh kemampuan.” Willy hanya menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba, Ben berkata dengan nada serius. “Willy, apa kamu keberatan kalau aku menganggapmu seperti anakku angkatku?” Kata-kata itu membuat Willy terkejut. Ia mendongak, menatap Ben dengan bingung. “Pak Ben, saya... saya tidak pantas menerima kehormatan seperti itu.” Namun, Ben menggeleng dengan tegas. “Jangan berkata begitu, Willy. Orang seperti kamu adalah aset berharga. Aku sudah lama tidak bertemu anak muda yang begitu berbakat dan tulus seperti kamu. Kalau kamu setuju, aku ingin menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku.” Delia menatap Willy dengan ekspresi tak percaya, namun dalam hatinya ada rasa bangga yang tak bisa ia abaikan. Ia baru saja berpikir bahwa Willy adalah seseorang yang spesial, dan sekarang pria paling berpengaruh di kota itu ingin menjadikan Willy sebagai anaknya. Willy, di sisi lain, merasa bingung sekaligus terharu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan tak terduga ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Ben melanjutkan perkataannya. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu yang penting,” ujar Ben dengan nada yang lebih serius. Semua perhatian tertuju padanya. Willy dan Delia menunggu dengan penuh antisipasi, sementara Ben tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. “Jadi begini..." ###Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will
Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak
Darr! Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasa
Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka. Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin. Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mi
Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri. Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghenti
Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak
Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan