Home / Urban / Menantu Kuli / XVI. Figuran

Share

XVI. Figuran

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2025-01-07 10:32:39

Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana.

Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.

Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah.

Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.

Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang kaya dan tidak perlu merendahkan diri di hadapanku seperti itu,"

Akhirnya Willy menerima makanan itu dengan berat hati. Sambil menikmati makanan ia berbicara dengan Delia yang juga mengambil duduk di salah satu batu.

"Willy, apakah kamu sudah punya pacar?" pertanyaan Delia hampir membuat Willy tersedak makanan.

Willy menggeleng pelan. "Belum pernah,"

Delia nampak kaget, "Serius? Dengan wajah setampan ini, apakah tidak ada satupun wanita di luar sana yang tertarik padamu?"

Wiri tersenyum getir. "Pertama, saya memang sengaja tidak ingin berpacaran dulu karena melihat kemampuan finansial saya yang begitu rendah. Kedua, karena rendahnya finansial saya tersebut, membuat para wanita di luar sana menjadi berpikir dua kali untuk bersedia menjadi pacar saya."

"Tapi sekarang kalau sudah tidak memiliki masalah dengan finansialmu, bukan?" goda Delia.

Willy lagi-lagi menggeleng. "Biarlah jodoh menjadi misteri untuk masa depan. Saya tidak mau ambisi untuk mengejarnya. Jika sudah jodoh, maka tak akan kemana."

Delia hanya mengangguk tanpa mengatakan hal yang lainnya lagi.

“Willy, pernahkah kau merasa tidak diterima di keluargamu sendiri?”

Pertanyaan itu membuat Willy menoleh dengan dahi berkerut. “Kenapa Nona... maksudku, kenapa Delia bertanya seperti itu?”

Delia menarik napas panjang sebelum menjawab. “Kadang aku merasa Ibu membenciku. Cara dia memperlakukanku dibandingkan Keenan dan Zalia... sangat berbeda.”

Willy menatap Delia dengan hati-hati. Ia bisa melihat ada rasa sakit yang tersirat di wajah gadis itu.

“Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Delia,” katanya, mencoba menenangkan.

Delia menggeleng pelan. “Aku tahu apa yang kurasakan, Willy. Dari kecil, aku selalu merasa seperti beban bagi Ibu. Dia selalu membanding-bandingkan aku dengan Keenan dan Zalia. Katanya aku tidak secantik Zalia, tidak sepintar Keenan. Apa kau tahu betapa sakitnya itu?”

Willy tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya mendengarkan dengan seksama.

“Ibu selalu marah kalau aku membuat kesalahan kecil,” lanjut Delia. “Tapi kalau Keenan atau Zalia yang salah, dia akan mencari alasan untuk membela mereka.”

“Pasti ada alasannya,” gumam Willy pelan.

Delia menatapnya tajam. “Alasan apa, Willy? Kadang aku berpikir... mungkin aku bukan anak kandung Mama.”

Perkataan itu membuat Willy terdiam. Ia tidak menyangka Delia bisa berpikiran sejauh itu.

“Kau tidak boleh berpikir seperti itu, Delia,” katanya akhirnya. “Mungkin sikap Nyonya Mira hanya caranya menunjukkan kasih sayang, meski terlihat keras.”

Delia tertawa pahit. “Kasih sayang? Jika itu caranya, aku lebih baik tidak mendapat kasih sayang sama sekali.”

Willy menghela napas. Ia tahu ini bukan topik yang mudah. “Tapi ayahmu, Pak Haldi, kelihatannya sangat menyayangimu.”

Delia mengangguk kecil. “Ya, Ayah memang lebih perhatian. Tapi dia terlalu sibuk di kantor, jadi tidak banyak waktu untukku. Aku sering merasa sendirian, Willy.”

Willy ingin mengatakan sesuatu, tetapi Delia melanjutkan.

“Aku iri padamu, Willy,” katanya tiba-tiba.

“Iri padaku?” Willy benar-benar bingung.

Delia tersenyum lemah. “Kau mungkin tidak punya banyak keluarga, tapi setidaknya kau bebas. Kau tidak harus berpura-pura bahagia di depan orang-orang yang seharusnya mencintaimu.”

Willy tidak menjawab, hanya menatap Delia dengan penuh empati.

“Maaf jika aku membebanimu dengan ceritaku,” kata Delia akhirnya. “Aku hanya merasa lebih nyaman berbicara denganmu.”

“Kau tidak membebaniku, Delia,” jawab Willy lembut. “Aku senang bisa mendengarkanmu.”

Delia tersenyum kecil, meski matanya masih tampak menyimpan luka. “Terima kasih, Willy. Kadang hanya didengar saja sudah cukup.”

Mereka duduk dalam keheningan, menikmati kebersamaan sederhana yang terasa jauh lebih tulus daripada hubungan keluarga Delia sendiri.

---

Pukul 05.00 pagi, Willy terbangun dari tidurnya karena suara gedoran keras di pintu kamarnya. Matanya masih setengah terbuka saat ia mendengar suara Mira yang berteriak dari luar.

“Willy! Bangun! Cepat buka pintu sekarang juga!”

Dengan langkah cepat dan jantung yang berdebar, Willy membuka pintu. Mira langsung masuk ke kamarnya tanpa memberi ruang untuk bicara. Wajahnya penuh amarah, dan nadanya bagaikan badai yang menghantam pagi yang seharusnya tenang.

“Apa-apaan kamu ini, hah?!” Mira langsung menyerang dengan kata-kata. “Berani-beraninya kamu kurang ajar pada Keenan! Anak kedua saya itu pemilik rumah ini, tahu?! Siapa kamu pikir kamu itu? Cuma seorang kuli rendahan yang tidur di kamar kecil ini!”

Willy mencoba menjelaskan. “Saya tidak bermaksud tidak sopan, Nyonya, saya hanya...”

“Diam!” Mira memotong. “Kamu pikir alasanmu bisa membenarkan sikap kurang ajarmu? Dasar tidak tahu diri! Kalau bukan karena belas kasihan kami, kamu mungkin masih di jalanan, kelaparan!”

Willy menunduk, menahan rasa sakit di hatinya.

“Dengar ya, Willy!” Mira melanjutkan. “Kamu itu cuma pekerja di rumah ini. Tugasmu melayani keluarga kami, bukan bertingkah seenaknya! Jangan harap kamu bisa melawan siapa pun di sini, apalagi Keenan! Anak saya itu jauh lebih berharga dari seorang kuli seperti kamu!”

Mira melangkah mendekat, jari telunjuknya menusuk udara di depan wajah Willy. “Kamu harus tahu tempatmu, Willy. Kamu bukan siapa-siapa! Jangan pernah sekalipun berpikir bahwa kamu bisa menyetarakan dirimu dengan kami!”

Willy tetap diam, menelan semua hinaan itu dalam-dalam. Ia tahu membantah hanya akan memperburuk keadaan.

“Dan satu hal lagi!” Mira berkata dengan nada penuh cemoohan. “Kalau kamu tidak bisa menjaga sikapmu, jangan harap bisa bertahan lama di rumah ini! Banyak orang di luar sana yang lebih layak untuk pekerjaanmu!”

Setelah puas memarahi Willy, Mira keluar dari kamarnya dengan langkah keras, meninggalkan Willy yang berdiri terpaku.

---

Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Willy baru saja selesai mandi dan mencoba menenangkan pikirannya. Namun, suasana hatinya kembali terusik ketika Keenan turun dari lantai atas.

Keenan berjalan dengan santai, senyum sinis terlukis di wajahnya. Ia berhenti sejenak di dekat Willy dan berkata pelan, namun cukup keras untuk menusuk hati.

“Jangan lupa, kuli,” katanya dengan nada penuh ejekan. “Di rumah ini, kamu cuma figuran. Jangan pernah berharap lebih.”

Keenan berlalu sambil tertawa kecil, meninggalkan Willy yang hanya bisa menarik napas panjang untuk meredam emosinya.

Saat Willy masih bergulat dengan perasaannya, tiba-tiba langkah ringan terdengar mendekat. Ia menoleh dan mendapati Delia muncul dengan anggun. Pakaian kuliah Delia hari ini tampak begitu rapi dan mempesona, gaun kasual berwarna pastel yang dipadukan dengan sepatu hak rendah. Rambutnya yang panjang tergerai indah.

“Willy,” kata Delia sambil tersenyum. “Sudah siap? Hari ini kau akan mengantarku ke kampus. Jam 08.00 kita berangkat.”

Willy terkejut. “Setiap hari, Delia?”

Delia mengangguk. “Ayah sudah mengatur semuanya. Mulai sekarang, antar jemputku ke kampus adalah tugas utamamu. Jangan sampai terlambat.”

Meski hatinya masih merasa berat dengan hinaan pagi tadi, Willy tak bisa menolak. Ia mengangguk patuh. “Baik, Delia.”

Jam 08.00, Mini Cooper biru milik Delia melaju mulus meninggalkan rumah keluarga Haldi. Willy yang duduk di kursi kemudi berusaha fokus mengemudi, sementara Delia tampak asyik memeriksa buku catatannya.

Tiba-tiba, suara dering ponsel terdengar dari saku Willy. Dengan satu tangan, ia merogoh saku dan melihat layar ponselnya. Nama yang tertera di layar membuat hatinya kaget, Ben Dino.

Willy menelan ludah. Dalam hati, ia bertanya-tanya. "Ada apa Pak Ben meneleponku pagi-pagi begini?"

###

Related chapters

  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

    Last Updated : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XVIII. Histeris

    Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   I. Prolog

    Darr! Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasa

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   II. Yang tak terduga

    Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka. Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin. Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mi

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   III. Golden, 21

    Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri. Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghenti

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   IV. Kekuatan aneh

    Pagi masih gelap saat Willy membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, tetapi ia tak mau mengambil risiko terlambat di hari pertama bekerja. Setelah meregangkan tubuh sejenak, Willy segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian sederhana dan membawa tas kecil berisi bekal pakaian seadanya, Willy melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, bunyi langkahnya yang tergesa-gesa mengundang teguran dari Metia, ibu tirinya. “Pagi-pagi sudah bikin kegaduhan saja! Orang mau tidur malah ribut!” suara Metia terdengar dari ruang tengah. “Ini hari pertama kerja, Bu. Saya harus berangkat lebih pagi,” jawab Willy dengan nada pelan, mencoba menahan emosinya. Alih-alih ikut senang atau mendukung, Metia justru melanjutkan kemarahannya. “Kerja? Siapa yang mau urus rumah kalau kamu pergi? Dasar anak nggak tahu diri! Pergi saja bikin susah!” Willy hanya bisa diam. Bukankah Metia sendiri yang memaksa Willy untuk mencari kerja? Tapi kenapa seka

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   V. Mengenal penghuni rumah

    Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din. Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut. Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya. Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur kare

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   VI. Mengenal Delia

    Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc

    Last Updated : 2025-01-03

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XVIII. Histeris

    Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak

  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

  • Menantu Kuli   XVI. Figuran

    Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang

  • Menantu Kuli   XV. Tugas khusus

    Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te

  • Menantu Kuli   XIV. Berjumpa Keenan

    Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida

  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

  • Menantu Kuli   XII. Asisten pribadi?

    Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman

  • Menantu Kuli   XI. Zalia yang galak

    Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar

  • Menantu Kuli   X. Mira murka

    Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan

DMCA.com Protection Status