Delia menggenggam ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Tatapannya penuh keraguan, tapi Willy di sebelahnya mengangguk kecil, memberi dukungan. “Jawab saja, Delia. Kau bisa mengatasinya.” Dengan napas yang dalam, Delia akhirnya menggeser tombol hijau. Suara ibunya langsung terdengar, tajam dan penuh emosi. “Delia, kau di mana sekarang? Sudah malam begini belum juga pulang!” Delia menggigit bibirnya, mencoba meredam rasa gugup. Namun, suaranya tetap terdengar tenang ketika ia menjawab, “Aku… sedang di tempat Paman Wastin, Bu. Dia kurang enak badan.” Jawaban itu membuat Willy dan Ben menatap Delia dengan rasa kagum. Keputusan yang cepat, tepat, dan masuk akal. Tapi bagaimana tanggapan Mira? Wastin, yang duduk di seberang meja, menyadari tanggung jawabnya untuk mendukung cerita Delia. Dengan cepat, ia memberi isyarat agar Delia menyalakan mode speaker. “Delia, pasang loudspeaker,” bisik Wastin dengan suara pelan namun tegas. Delia segera menekan tombol, dan kini sua
Wastin mendekati Delia dengan perlahan, mengabaikan semua mata yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ketika ia akhirnya berdiri di hadapan keponakannya, ia meletakkan kedua tangannya di bahu Delia. Matanya penuh dengan ketulusan dan kasih sayang seorang paman yang mengerti betapa beratnya beban di hati gadis muda ini. “Delia,” katanya dengan suara yang lembut namun tegas, “kau jangan berkecil hati meski Haldi dan Mira tidak ada di sini. Aku tahu betapa inginnya kau mendapatkan restu mereka, tapi kau harus tahu bahwa aku ada di sini sebagai pengganti mereka. Anggaplah aku sebagai ayahmu, orangtuamu. Jangan bersedih ya, sayang.” Mata Delia berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tidak mengalir. “Terima kasih, Paman. Itu sangat berarti bagiku.” Willy, yang berdiri beberapa langkah di belakang, merasa hatinya tergetar melihat bagaimana Wastin memberikan dukungannya sepenuh hati. Ia tahu bahwa pernikahan ini adalah awal dari perjalanan panjang, dan Wastin telah memberikan
Semua mata terpaku pada ponsel di tangan Delia, yang terus bergetar dengan panggilan dari Mira. Suasana tegang menguasai ruangan, terutama karena Delia terlihat bingung dan gemetar. Namun, sebelum ia sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, Wastin dengan cekatan merebut ponsel dari tangannya. Dengan tenang namun percaya diri, Wastin menekan tombol hijau dan menjawab panggilan itu. “Ya, kak Mira, ini Wastin,” katanya, suaranya terdengar ramah namun penuh kendali. “Kau tahu ini sudah hampir tengah malam, kan?” suara Mira terdengar di seberang, nada suaranya tajam. “Kenapa Delia belum juga pulang? Apa yang sebenarnya kau lakukan dengannya?” Wastin tertawa kecil, begitu alami hingga semua yang berada di ruangan terkesima melihat aktingnya. “Kak Mira, Delia bersamaku. Apa yang perlu dikhawatirkan? Di akhir pekan, apa salahnya seorang keponakan mengunjungi pamannya dan menghabiskan waktu bersama?” Ada keheningan sejenak di seberang. Mira mendecak pelan, seperti menahan amarah. “A
Delia melangkah menuju lemari pakaian, niatnya hanya untuk mengambil baju tidur. Tapi sebelum tangannya sempat membuka gagang lemari, Willy menghentikannya dengan lembut. “Untuk apa mengambil baju tidur kalau nanti akan dilepaskan lagi?” kata Willy dengan suara yang dalam, namun penuh kelembutan. Delia terdiam. Wajahnya langsung memerah, tak tahu harus merespon bagaimana. Perkataan Willy yang begitu lugas membuatnya canggung. Ia hanya berdiri di sana, menunduk sambil memegang handuk yang melilit tubuhnya erat-erat. Willy mendekat, perlahan tapi pasti. Ia menyentuh bahu Delia dengan lembut dan memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti sejenak. “Bidadariku,” ucap Willy pelan, suaranya seperti bisikan lembut angin malam. “Kau begitu cantik. Aku benar-benar beruntung bisa memperistrimu.” Delia mengerutkan hidung kecilnya sambil mencebik, wajahnya semakin memerah. “Baru beberapa jam menikah sudah bisa membual dan menggombal s
Delia berjalan perlahan menuju jendela kamar, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Dari sini, ia bisa melihat taman rumah Ben Dino yang luas, dengan lampu-lampu taman yang memberikan suasana tenang. Ini adalah malam pertamanya sebagai istri Willy, dan ia berusaha menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi campuran emosi antara malu, bahagia, dan sedikit cemas tentang apa yang akan mereka lakukan. Sambil menyentuh tirai lembut di tepi jendela, Delia memikirkan perjalanannya hingga ke titik ini. Siapa sangka seorang gadis dari keluarga terpandang seperti dirinya akhirnya menikah dengan pria sederhana seperti Willy? Namun, ia merasa pilihan ini benar, meski harus menghadapi tantangan besar. “Delia...” Suara Willy tiba-tiba memecah keheningan. Delia menoleh, terkejut. Willy berdiri di belakangnya dengan rambut basah dan tubuh tanpa sehelai pakaian. Wajah Delia langsung memerah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Willy dengan santai berkata, “Aku lupa membawa handuk ke kamar m
Willy memandang kunci Lamborghini Centenario di tangannya sebelum menyerahkannya kepada Sano. “Tolong simpan mobil ini di rumah, Kak. Aku tak ingin membawa sesuatu yang mencolok ke rumah keluarga Haldi,” ucap Willy dengan nada tegas. Sano mengangguk setuju. “Kau benar, Willy. Itu akan menarik perhatian yang tidak diinginkan. Mobil ini aman di sini.” Setelah berpamitan dengan Ben, Wastin, Sano, dan Sisca, Willy dan Delia melanjutkan perjalanan pulang menggunakan Mini Cooper biru milik Delia. Di sepanjang perjalanan, Willy menyusun rencana. “Delia,” kata Willy sambil melirik istrinya yang sedang menyetir, “untuk sementara waktu, kita harus merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun di rumah. Aku tidak ingin mereka mengetahui hal ini, terutama ibumu.” Delia mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi sampai kapan kita harus merahasiakannya?” “Rahasia ini hanya akan kita buka jika kau benar-benar terpojok dan tidak bisa menghindari tekanan untuk menikah dengan Tomey,” jelas Willy. D
Willy menghampiri dan duduk di tepi ranjang, menatap wajah istrinya yang terlihat letih. Ia menyentuh pipi Delia yang masih memerah. “Apa yang terjadi? Siapa yang melukaimu?” Delia terisak pelan, lalu menceritakan semuanya, bagaimana Mira memaksanya menerima undangan makan malam bersama keluarga Roman, orang tua Tomey, pria yang ingin dijodohkan dengannya. Willy mendengarkan dengan serius. Setelah Delia selesai bercerita, ia menarik napas panjang. “Delia, aku rasa sudah waktunya kita memberitahu mereka. Kita tidak bisa terus merahasiakan pernikahan kita.” Delia memandang Willy dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, Willy, aku takut. Ibu pasti akan mengamuk, dan ayah mungkin akan kecewa.” Willy menggenggam tangan Delia. “Aku akan melindungimu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Besok malam, kita akan mengatakannya.” Delia mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi ketakutan. --- Keesokan malamnya, Delia dan Willy berdiri di depa
Setelah beberapa saat hening, Willy akhirnya berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan. “Saya mengerti kekhawatiran Nyonya Mira dan keluarga Haldi. Tapi saya percaya pada kemampuan saya. Saya akan membuktikan bahwa saya bisa sukses dan memberikan kehidupan yang layak untuk Delia.” Mira menyilangkan tangan di dada, memandang Willy dengan tatapan meremehkan. “Oh, kau yakin bisa sukses? Berapa banyak anak muda seperti kau yang berkata begitu tapi akhirnya tetap miskin? Kau hanya pemuda biasa yang tak punya apa-apa. Lalu kau pikir bisa memenuhi kebutuhan Delia?” Willy mengangguk. “Saya memang tidak punya banyak sekarang, tapi saya punya tekad. Delia adalah istri saya, dan saya akan melakukan apapun untuk membahagiakannya.” Delia yang duduk di sebelah Willy menggenggam tangannya erat. “Aku percaya pada Willy, Bu. Dia bukan orang yang mudah menyerah.” Namun, Mira tampak tidak tergerak oleh keyakinan Willy. Ia justru berdiri dari kursinya, menatap Willy dengan tajam. “Kalau begit
Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s
Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s
Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per
Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu
[Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi
Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be
Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena
Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa
Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat