Delia berjalan perlahan menuju jendela kamar, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Dari sini, ia bisa melihat taman rumah Ben Dino yang luas, dengan lampu-lampu taman yang memberikan suasana tenang. Ini adalah malam pertamanya sebagai istri Willy, dan ia berusaha menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi campuran emosi antara malu, bahagia, dan sedikit cemas tentang apa yang akan mereka lakukan. Sambil menyentuh tirai lembut di tepi jendela, Delia memikirkan perjalanannya hingga ke titik ini. Siapa sangka seorang gadis dari keluarga terpandang seperti dirinya akhirnya menikah dengan pria sederhana seperti Willy? Namun, ia merasa pilihan ini benar, meski harus menghadapi tantangan besar. “Delia...” Suara Willy tiba-tiba memecah keheningan. Delia menoleh, terkejut. Willy berdiri di belakangnya dengan rambut basah dan tubuh tanpa sehelai pakaian. Wajah Delia langsung memerah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Willy dengan santai berkata, “Aku lupa membawa handuk ke kamar m
Willy memandang kunci Lamborghini Centenario di tangannya sebelum menyerahkannya kepada Sano. “Tolong simpan mobil ini di rumah, Kak. Aku tak ingin membawa sesuatu yang mencolok ke rumah keluarga Haldi,” ucap Willy dengan nada tegas. Sano mengangguk setuju. “Kau benar, Willy. Itu akan menarik perhatian yang tidak diinginkan. Mobil ini aman di sini.” Setelah berpamitan dengan Ben, Wastin, Sano, dan Sisca, Willy dan Delia melanjutkan perjalanan pulang menggunakan Mini Cooper biru milik Delia. Di sepanjang perjalanan, Willy menyusun rencana. “Delia,” kata Willy sambil melirik istrinya yang sedang menyetir, “untuk sementara waktu, kita harus merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun di rumah. Aku tidak ingin mereka mengetahui hal ini, terutama ibumu.” Delia mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi sampai kapan kita harus merahasiakannya?” “Rahasia ini hanya akan kita buka jika kau benar-benar terpojok dan tidak bisa menghindari tekanan untuk menikah dengan Tomey,” jelas Willy. D
Willy menghampiri dan duduk di tepi ranjang, menatap wajah istrinya yang terlihat letih. Ia menyentuh pipi Delia yang masih memerah. “Apa yang terjadi? Siapa yang melukaimu?” Delia terisak pelan, lalu menceritakan semuanya, bagaimana Mira memaksanya menerima undangan makan malam bersama keluarga Roman, orang tua Tomey, pria yang ingin dijodohkan dengannya. Willy mendengarkan dengan serius. Setelah Delia selesai bercerita, ia menarik napas panjang. “Delia, aku rasa sudah waktunya kita memberitahu mereka. Kita tidak bisa terus merahasiakan pernikahan kita.” Delia memandang Willy dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, Willy, aku takut. Ibu pasti akan mengamuk, dan ayah mungkin akan kecewa.” Willy menggenggam tangan Delia. “Aku akan melindungimu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Besok malam, kita akan mengatakannya.” Delia mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi ketakutan. --- Keesokan malamnya, Delia dan Willy berdiri di depa
Setelah beberapa saat hening, Willy akhirnya berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan. “Saya mengerti kekhawatiran Nyonya Mira dan keluarga Haldi. Tapi saya percaya pada kemampuan saya. Saya akan membuktikan bahwa saya bisa sukses dan memberikan kehidupan yang layak untuk Delia.” Mira menyilangkan tangan di dada, memandang Willy dengan tatapan meremehkan. “Oh, kau yakin bisa sukses? Berapa banyak anak muda seperti kau yang berkata begitu tapi akhirnya tetap miskin? Kau hanya pemuda biasa yang tak punya apa-apa. Lalu kau pikir bisa memenuhi kebutuhan Delia?” Willy mengangguk. “Saya memang tidak punya banyak sekarang, tapi saya punya tekad. Delia adalah istri saya, dan saya akan melakukan apapun untuk membahagiakannya.” Delia yang duduk di sebelah Willy menggenggam tangannya erat. “Aku percaya pada Willy, Bu. Dia bukan orang yang mudah menyerah.” Namun, Mira tampak tidak tergerak oleh keyakinan Willy. Ia justru berdiri dari kursinya, menatap Willy dengan tajam. “Kalau begit
"Halo, Nyonya Mira?” suara Willy terdengar tenang. Namun, balasan dari Mira langsung menusuk telinga. “Willy, pulang dulu! Aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Perutku sakit sekali. Aku butuh diantar ke rumah sakit.” Willy segera menegakkan tubuhnya. “Baik, Nyonya. Saya segera...” “Tapi ingat, jangan lambat seperti siput. Kau selalu terlihat lelet. Kalau aku sampai mati, itu semua salahmu. Mengerti?” Mira memotong dengan nada tajam, seperti biasa. “Baik, Nyonya. Saya akan segera ke sana,” Willy menjawab dengan nada sabar, lalu menutup telepon. Wastin dan Sano memperhatikan ekspresi Willy yang berubah. “Ada apa lagi?” tanya Wastin. “Nyonya Mira sakit. Saya harus pulang sekarang,” Willy menjelaskan singkat. Sano mengangguk. “Hati-hati di jalan. Semoga bukan hal serius.”Wastin tersenyum miring, "Wanita sadis itu selalu saja membebani orang lain." ---Willy segera masuk ke Mini Cooper biru milik Delia dan memacu kendaraan menuju rumah keluarga Haldi. Sepanjang p
Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata
Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi
Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,
Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempat
Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat
"Ini adalah ide besar, Willy,” ujar Sano sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi ini juga bukan langkah yang bisa diambil sembarangan. Aku rasa kita perlu melibatkan Ayah. Dia punya banyak pengalaman dan mungkin bisa memberi pandangan yang lebih luas.” Willy mengangguk setuju. “Baik, Kak Sano. Aku akan mempersiapkan perhitungan untuk kedua bisnis ini. Kita temui Ayah Ben nanti sore.” “Bagus,” ujar Sano sambil bangkit berdiri. “Aku dan Paman Wastin akan melanjutkan persiapan kafe dulu. Kamu fokus dengan hitunganmu. Kalau ada yang kurang jelas, tinggal hubungi.” Setelah Sano dan Wastin meninggalkan ruangan, Willy mengeluarkan laptopnya. Ia mulai membuat perhitungan untuk kedua bisnis yang direncanakan, yaitu beverage dan es krim serta properti berupa hotel. ---Willy memulai dengan bisnis beverage dan es krim. Ia memperkirakan bahwa modal awal yang dibutuhkan akan mencakup pembelian tanah untuk lokasi pabrik seharga 10 miliar dan pembangunan pabrik sebesar 20 miliar. Mesin-mes
Willy masih merenung di pojok ruangan, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Pikirannya berkecamuk, mencari inspirasi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar membuka kafe. Ia ingin membuktikan kepada semua orang, terutama keluarga Haldi, bahwa ia mampu lebih dari apa yang mereka pikirkan. Tak lama, Sano dan Wastin mendekat. Mereka tampak menyadari kegundahan di wajah Willy. “Kamu kenapa, Willy?” tanya Sano dengan nada tenang sambil menarik kursi dan duduk di dekatnya. Wastin juga ikut duduk di seberang Willy. “Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ada yang bisa kami bantu?” Willy menghela napas, lalu menatap keduanya. “Aku masih punya 100 miliar pemberian Ayah Ben. Tapi aku bingung bagaimana mengelolanya. Aku ingin memulai bisnis lain selain kafe ini, sesuatu yang lebih besar. Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Mendengar itu, Sano dan Wastin saling pandang. Sano tersenyum tipis. “Itu bukan masalah, Willy. Kamu hanya butuh arah yang jelas. Denga
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe. Pagi itu, Willy dan Delia sedang bersiap-siap di rumah keluarga Haldi. Delia mengenakan kemeja putih rapi dipadukan dengan rok biru pastel, rambutnya yang panjang dikepang sederhana, tampak cantik seperti biasa. Sementara Willy, dengan penampilan kasual, mengenakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya. “Sayang, sebelum ke kampus, kita mampir dulu ke rumah Ayah, ya,” ucap Willy sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku. “Kenapa ke sana? Bukannya kita langsung saja pakai Mini Cooper?” tanya Delia. Willy tersenyum kecil. “Aku mau pakai mobilku sendiri kali ini. Mini Cooper-mu biar tetap di sana. Lagipula, sudah lama aku tidak mengeluarkan Centenario-ku.” Delia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan buat heboh di kampus, ya.” “Tenang saja,” jawab Willy sambil menggandeng tangan istrinya. ---Mereka tiba di rumah Ben Dino, ayah angkat Willy, yang terletak di kawasan elit Kota Arsaka. Rumah besa
Matahari bersinar cerah ketika Willy dan Delia memutuskan untuk makan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu sederhana, namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang dihiasi bunga segar di setiap sudut. Delia terlihat ceria, menggenggam tangan Willy sambil berbincang ringan tentang rencana mereka untuk masa depan. “Willy, kita harus ke toko buku setelah ini, ya?” ujar Delia sambil menyuap potongan waffle ke mulutnya. “Baik, Sayang,” jawab Willy sambil tersenyum. “Kamu ingin beli buku apa kali ini?” Belum sempat Delia menjawab, pandangan Willy tertuju pada dua sosok yang baru saja memasuki butik mewah di seberang jalan. Mira dan Zalia. Keduanya tampak anggun dengan pakaian mahal dan gaya berjalan penuh percaya diri. Willy langsung mengenali mereka dan, tanpa ragu, melambaikan tangan untuk menyapa. “Nyonya Mira! Nona Zalia!” panggil Willy dengan suara cukup keras. Delia, yang menyadari apa yang dilakukan Willy, segera menahan napas. “Willy, jangan...” Namun terlambat, Mir
Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,
Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi
Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata