Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya.
Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan memandangnya. “Oh, ya,” katanya sambil memandang Willy dengan penuh perhatian. “Hari ini aku tidak ada kuliah. Tadi aku sudah meminta izin pada Ayah untuk menjadikanmu asisten pribadiku kalau kamu sedang tidak ada pekerjaan di rumah.” Willy tersedak mendengar ucapan itu. Ia menatap Delia dengan mata terbelalak, merasa tidak percaya. “Asisten pribadi?” tanyanya dengan suara bergetar. Delia mengangguk santai. “Iya, kau akan menemaniku kalau aku butuh. Mudah saja, kan?” Willy merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Delia adalah anak majikannya, dan ia tidak ingin terlalu dekat dengannya. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya, dan itu membuatnya takut. “Delia, saya rasa...” “Sudah, tidak perlu banyak alasan,” potong Delia dengan senyum penuh arti. “Sekarang bersiaplah. Aku ingin membeli beberapa alat tulis. Kau harus menemaniku.” --- Menggunakan Mini Cooper biru milik Delia, Willy duduk di kursi kemudi dengan gugup. Sepanjang perjalanan, Delia tampak santai, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Sementara itu, Willy hanya fokus pada jalanan, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantuinya. Suasana di dalam mobil terasa canggung. Willy memegang setir dengan kedua tangan, fokus pada jalan, sementara Delia duduk santai di kursi penumpang. Beberapa kali Delia mencuri pandang ke arah Willy, tetapi ia hanya tersenyum kecil, tidak ingin terlihat terlalu mencolok. “Kamu sudah mulai terbiasa bekerja di rumah?” Delia memecah kesunyian, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Willy menoleh sejenak, lalu kembali fokus ke jalan. “Lumayan, Nona... eh, maksud saya, Delia.” Delia tertawa kecil mendengar kekakuan Willy. “Kamu masih canggung memanggilku Delia, ya?” Willy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf, saya hanya tidak terbiasa. Biasanya saya memanggil orang-orang seperti Nona dengan sebutan yang lebih formal.” “Hmm, itu artinya kamu belum benar-benar nyaman,” kata Delia sambil menopang dagunya dengan tangan. “Aku tidak suka kalau orang-orang terlalu formal. Rasanya ada jarak yang tidak perlu.” Willy tidak segera menjawab. Ia merasa Delia sangat berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa lebih manusiawi dan hangat. Delia kembali berbicara, kali ini dengan nada serius. “Willy, aku ingin tanya. Kenapa kamu memutuskan bekerja di rumah kami? Apa tidak berat menghadapi Mama dan kakakku?” Willy menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Sebenarnya, saya hanya butuh pekerjaan. Kalau soal berat atau tidak, saya anggap sebagai bagian dari tanggung jawab. Lagi pula, saya tidak punya pilihan lain.” Delia menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Tapi kamu kan bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Maksudku, aku lihat kamu pekerja keras dan... kamu punya kelebihan.” Willy tersenyum kecil, meski pandangannya tetap fokus pada jalan. “Kelebihan saya hanya sederhana, Delia. Mungkin saya hanya beruntung bisa bertahan sejauh ini.” Percakapan itu membawa suasana yang lebih ringan. Delia merasa ada sesuatu yang menarik dari Willy, ketulusan dan keteguhan hatinya. Sementara itu, Willy berusaha menenangkan pikirannya yang mulai kacau karena kehadiran Delia. Setelah beberapa saat, Delia kembali berbicara, kali ini dengan nada santai. “Kalau aku ada masalah, kamu akan bantu, kan?” Willy menoleh sejenak, bingung dengan pertanyaan itu. “Tentu, kalau saya bisa.” Delia tersenyum lebar. “Bagus. Aku tahu bisa mengandalkanmu, Willy.” Willy tidak menjawab, tetapi senyuman kecil yang muncul di wajahnya menunjukkan bahwa ia mulai merasa lebih nyaman dengan Delia. Namun, dalam hatinya, ia tahu hubungan ini harus tetap dijaga agar tidak melampaui batas. Setibanya di toko pusat alat tulis, Delia turun dengan anggun, mengenakan gaun sederhana namun tetap memancarkan aura berkelas. Willy memutuskan untuk menunggu di luar, membiarkan Delia berbelanja sendirian. Ia memarkir mobil di sudut parkiran, mengamati sekeliling dengan pikiran yang berkecamuk. Namun, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Di sudut lain parkiran, seorang pria paruh baya tampak terkulai lemas di atas tanah, dikelilingi oleh beberapa orang yang tampak panik. Tanpa berpikir panjang, Willy membuka pintu mobil dan berlari menuju pria itu. Kerumunan orang sudah mulai ramai, beberapa di antaranya mencoba memberikan bantuan seadanya. Saat Willy sampai di tempat kejadian, ia mendapati pria itu tampak kesakitan, tubuhnya gemetar dan napasnya tersengal-sengal. Orang-orang di sekitar hanya bisa berspekulasi tanpa berbuat banyak. “Ini pasti serangan jantung!” seru seseorang. “Bukan, ini asma! Lihat napasnya,” balas yang lain. Willy mencoba mendekat, tetapi langkahnya terhenti oleh tatapan merendahkan dari beberapa orang. Seorang wanita muda dengan tas mahal memandangnya dengan tatapan mata yang menyiratkan ketidaksukaan. “Siapa kau? Apa kau dokter?” tanya wanita itu dengan nada sinis. Willy menggeleng. “Bukan, tapi...” “Kalau bukan dokter, jangan sok tahu!” seru pria berkacamata yang berdiri di dekat wanita itu. “Biarkan orang yang ahli saja yang menangani ini.” Willy mencoba menjelaskan, tetapi suara-suara cemoohan terus menghujaninya. “Lihat bajunya. Apa dia tahu apa-apa tentang kesehatan?” "Iya, bajunya sekelas tukang kebun, atau tukang cuci mobil. Dasar orang miskin yang bergaya." “Orang seperti dia hanya akan memperparah keadaan.” "Sok hebat. Prett!" “Pergilah! Kau hanya menghalangi!” "Jangan biarkan dia mendekat. Yang ada hanya akan memperparah kondisi orang yang sakit itu." Willy merasakan panas di dadanya. Kata-kata itu menusuknya seperti duri, tetapi ia tidak peduli. Ia melihat penderitaan di wajah pria itu, dan entah bagaimana ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. --- Saat Willy menatap pria itu, sesuatu yang aneh terjadi. Pandangannya menjadi lebih tajam, seolah-olah ia bisa melihat lebih dalam ke tubuh pria tersebut. Dalam bayangannya, ia melihat lambung pria itu yang meradang, dengan luka-luka kecil di dindingnya. “Itu maag,” bisik Willy pada dirinya sendiri. Keyakinan itu begitu kuat, meskipun ia tidak tahu dari mana datangnya. Willy berlutut di samping pria itu dan mengulurkan tangannya, berniat menempelkan telapak tangannya ke perut pria tersebut. Namun, cemoohan dari kerumunan tidak berhenti, bahkan semakin memanaskan daun telinga. “Lihat, dia mau main-main dengan perut orang itu!” “Gila! Jangan sentuh dia kalau tidak tahu apa-apa!” “Kau mau membunuhnya?!” Willy mengabaikan semuanya. Ia tahu pria itu tidak sedang mengalami serangan jantung atau asma, seperti yang dikira orang-orang. Maag pria itu sudah dalam tahap kronis, menyebabkan nyeri hebat yang menyerupai gejala bronkitis. Ia hampir menyentuh perut pria itu ketika sebuah suara menghentikan gerakannya. “Willy!” Willy menoleh, dan melihat Delia berdiri tidak jauh darinya, menatapnya dengan ekspresi campuran antara bingung dan panik. Teriakannya membuat semua orang terdiam, dan Willy membeku di tempat. Wajah Willy muram, "Apa aku tidak boleh menolongnya?" ###Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will
Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak
Darr! Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasa
Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka. Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin. Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mi
Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak
Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan