Beranda / Urban / Menantu Kuli / XII. Asisten pribadi?

Share

XII. Asisten pribadi?

Penulis: Leva Lorich
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 09:48:04

Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya.

Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya.

“Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy.

Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.”

Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.”

Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan memandangnya.

“Oh, ya,” katanya sambil memandang Willy dengan penuh perhatian. “Hari ini aku tidak ada kuliah. Tadi aku sudah meminta izin pada Ayah untuk menjadikanmu asisten pribadiku kalau kamu sedang tidak ada pekerjaan di rumah.”

Willy tersedak mendengar ucapan itu. Ia menatap Delia dengan mata terbelalak, merasa tidak percaya. “Asisten pribadi?” tanyanya dengan suara bergetar.

Delia mengangguk santai. “Iya, kau akan menemaniku kalau aku butuh. Mudah saja, kan?”

Willy merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Delia adalah anak majikannya, dan ia tidak ingin terlalu dekat dengannya. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya, dan itu membuatnya takut.

“Delia, saya rasa...”

“Sudah, tidak perlu banyak alasan,” potong Delia dengan senyum penuh arti. “Sekarang bersiaplah. Aku ingin membeli beberapa alat tulis. Kau harus menemaniku.”

---

Menggunakan Mini Cooper biru milik Delia, Willy duduk di kursi kemudi dengan gugup. Sepanjang perjalanan, Delia tampak santai, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Sementara itu, Willy hanya fokus pada jalanan, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantuinya.

Suasana di dalam mobil terasa canggung. Willy memegang setir dengan kedua tangan, fokus pada jalan, sementara Delia duduk santai di kursi penumpang. Beberapa kali Delia mencuri pandang ke arah Willy, tetapi ia hanya tersenyum kecil, tidak ingin terlihat terlalu mencolok.

“Kamu sudah mulai terbiasa bekerja di rumah?” Delia memecah kesunyian, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Willy menoleh sejenak, lalu kembali fokus ke jalan. “Lumayan, Nona... eh, maksud saya, Delia.”

Delia tertawa kecil mendengar kekakuan Willy. “Kamu masih canggung memanggilku Delia, ya?”

Willy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf, saya hanya tidak terbiasa. Biasanya saya memanggil orang-orang seperti Nona dengan sebutan yang lebih formal.”

“Hmm, itu artinya kamu belum benar-benar nyaman,” kata Delia sambil menopang dagunya dengan tangan. “Aku tidak suka kalau orang-orang terlalu formal. Rasanya ada jarak yang tidak perlu.”

Willy tidak segera menjawab. Ia merasa Delia sangat berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa lebih manusiawi dan hangat.

Delia kembali berbicara, kali ini dengan nada serius. “Willy, aku ingin tanya. Kenapa kamu memutuskan bekerja di rumah kami? Apa tidak berat menghadapi Mama dan kakakku?”

Willy menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Sebenarnya, saya hanya butuh pekerjaan. Kalau soal berat atau tidak, saya anggap sebagai bagian dari tanggung jawab. Lagi pula, saya tidak punya pilihan lain.”

Delia menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Tapi kamu kan bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Maksudku, aku lihat kamu pekerja keras dan... kamu punya kelebihan.”

Willy tersenyum kecil, meski pandangannya tetap fokus pada jalan. “Kelebihan saya hanya sederhana, Delia. Mungkin saya hanya beruntung bisa bertahan sejauh ini.”

Percakapan itu membawa suasana yang lebih ringan. Delia merasa ada sesuatu yang menarik dari Willy, ketulusan dan keteguhan hatinya. Sementara itu, Willy berusaha menenangkan pikirannya yang mulai kacau karena kehadiran Delia.

Setelah beberapa saat, Delia kembali berbicara, kali ini dengan nada santai. “Kalau aku ada masalah, kamu akan bantu, kan?”

Willy menoleh sejenak, bingung dengan pertanyaan itu. “Tentu, kalau saya bisa.”

Delia tersenyum lebar. “Bagus. Aku tahu bisa mengandalkanmu, Willy.”

Willy tidak menjawab, tetapi senyuman kecil yang muncul di wajahnya menunjukkan bahwa ia mulai merasa lebih nyaman dengan Delia. Namun, dalam hatinya, ia tahu hubungan ini harus tetap dijaga agar tidak melampaui batas.

Setibanya di toko pusat alat tulis, Delia turun dengan anggun, mengenakan gaun sederhana namun tetap memancarkan aura berkelas. Willy memutuskan untuk menunggu di luar, membiarkan Delia berbelanja sendirian.

Ia memarkir mobil di sudut parkiran, mengamati sekeliling dengan pikiran yang berkecamuk. Namun, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Di sudut lain parkiran, seorang pria paruh baya tampak terkulai lemas di atas tanah, dikelilingi oleh beberapa orang yang tampak panik.

Tanpa berpikir panjang, Willy membuka pintu mobil dan berlari menuju pria itu. Kerumunan orang sudah mulai ramai, beberapa di antaranya mencoba memberikan bantuan seadanya.

Saat Willy sampai di tempat kejadian, ia mendapati pria itu tampak kesakitan, tubuhnya gemetar dan napasnya tersengal-sengal. Orang-orang di sekitar hanya bisa berspekulasi tanpa berbuat banyak.

“Ini pasti serangan jantung!” seru seseorang.

“Bukan, ini asma! Lihat napasnya,” balas yang lain.

Willy mencoba mendekat, tetapi langkahnya terhenti oleh tatapan merendahkan dari beberapa orang. Seorang wanita muda dengan tas mahal memandangnya dengan tatapan mata yang menyiratkan ketidaksukaan.

“Siapa kau? Apa kau dokter?” tanya wanita itu dengan nada sinis.

Willy menggeleng. “Bukan, tapi...”

“Kalau bukan dokter, jangan sok tahu!” seru pria berkacamata yang berdiri di dekat wanita itu. “Biarkan orang yang ahli saja yang menangani ini.”

Willy mencoba menjelaskan, tetapi suara-suara cemoohan terus menghujaninya.

“Lihat bajunya. Apa dia tahu apa-apa tentang kesehatan?”

"Iya, bajunya sekelas tukang kebun, atau tukang cuci mobil. Dasar orang miskin yang bergaya."

“Orang seperti dia hanya akan memperparah keadaan.”

"Sok hebat. Prett!"

“Pergilah! Kau hanya menghalangi!”

"Jangan biarkan dia mendekat. Yang ada hanya akan memperparah kondisi orang yang sakit itu."

Willy merasakan panas di dadanya. Kata-kata itu menusuknya seperti duri, tetapi ia tidak peduli. Ia melihat penderitaan di wajah pria itu, dan entah bagaimana ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.

---

Saat Willy menatap pria itu, sesuatu yang aneh terjadi. Pandangannya menjadi lebih tajam, seolah-olah ia bisa melihat lebih dalam ke tubuh pria tersebut. Dalam bayangannya, ia melihat lambung pria itu yang meradang, dengan luka-luka kecil di dindingnya.

“Itu maag,” bisik Willy pada dirinya sendiri.

Keyakinan itu begitu kuat, meskipun ia tidak tahu dari mana datangnya. Willy berlutut di samping pria itu dan mengulurkan tangannya, berniat menempelkan telapak tangannya ke perut pria tersebut.

Namun, cemoohan dari kerumunan tidak berhenti, bahkan semakin memanaskan daun telinga.

“Lihat, dia mau main-main dengan perut orang itu!”

“Gila! Jangan sentuh dia kalau tidak tahu apa-apa!”

“Kau mau membunuhnya?!”

Willy mengabaikan semuanya. Ia tahu pria itu tidak sedang mengalami serangan jantung atau asma, seperti yang dikira orang-orang. Maag pria itu sudah dalam tahap kronis, menyebabkan nyeri hebat yang menyerupai gejala bronkitis.

Ia hampir menyentuh perut pria itu ketika sebuah suara menghentikan gerakannya.

“Willy!”

Willy menoleh, dan melihat Delia berdiri tidak jauh darinya, menatapnya dengan ekspresi campuran antara bingung dan panik. Teriakannya membuat semua orang terdiam, dan Willy membeku di tempat.

Wajah Willy muram, "Apa aku tidak boleh menolongnya?"

###

Bab terkait

  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIV. Berjumpa Keenan

    Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XV. Tugas khusus

    Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVI. Figuran

    Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XVIII. Histeris

    Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XIX. Nikahi aku

    Setelah lama terdiam, Delia akhirnya membuka suara, suaranya sedikit bergetar, “Masalah ini… tak akan semudah itu selesai.” Ben yang sebelumnya penuh percaya diri mengerutkan kening. “Kenapa? Aku bisa menekan Roman dan keluarganya. Mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatanku.” Delia tersenyum pahit, menatap Ben dengan rasa terima kasih, namun tak dapat menyembunyikan rasa putus asa di wajahnya. “Benar, Pak Ben mungkin bisa menghalangi keluarga Roman. Tapi tidak untuk Ibu saya. Mira Haldi…” Suaranya sedikit tertahan. “…ibu saya akan terus menekan saya setiap hari. Mengintimidasi saya agar saya berubah pikiran. Dia tak peduli bagaimana perasaan saya.” Willy merasa tidak nyaman mendengar nada pahit itu. “Kenapa Ibumu begitu, Delia?” Delia tersenyum getir. “Ibu saya adalah seorang materialistis akut. Dia tidak peduli siapa saya, apa yang saya rasakan, selama dia mendapatkan keuntungan. Dan Ayah… Ayah saya tidak akan bisa berbuat banyak. Dia selalu kalah di hadapan Ibu.”

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Menantu Kuli   XX. Ketegangan Wastin

    Ponsel Willy bergetar pelan di tangannya, menandakan panggilan sudah tersambung. Di ujung sana, suara ramah Wastin terdengar, “Halo, Willy. Ada apa? Tumben sekali kamu menelepon.” Willy tersenyum kecil meskipun tak terlihat. “Selamat sore, Pak Wastin. Saya baik-baik saja. Bagaimana kabar Anda?” “Kabar saya baik, Willy. Ada yang bisa saya bantu?” Suara Wastin terdengar akrab, seperti biasa. “Begini, Pak. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Ini menyangkut Nona Delia, tapi tolong, jangan dulu mengabarkan apa pun pada Pak Haldi,” ujar Willy dengan nada serius. Wastin terdengar terkejut. “Menyangkut Delia? Ada masalah apa, Willy?” Willy mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Saya tidak bisa menjelaskannya lewat telepon. Tapi ini penting, Pak. Saya sudah di rumah seseorang di Jalan Boga 12. Kalau Bapak punya waktu, bisakah datang ke sini? Kita bisa membicarakannya langsung.” Wastin terdiam sejenak. “Baiklah, saya akan segera ke sana. Tunggu saya.” ---Setenga

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09

Bab terbaru

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

  • Menantu Kuli   XXXIX. Kepala berasap

    Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena

  • Menantu Kuli   XXXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status