Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras.
“Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke arah kamarnya dengan jari telunjuk yang gemetar karena emosi. “Kamarku kotor! Dindingnya mengelupas, catnya rontok, dan lantainya penuh serpihan. Kenapa kamu tidak cek itu kemarin-kemarin? Apa kerjaanmu di sini cuma tidur dan makan gratis?” Willy menghela napas, mencoba menjelaskan. “Maaf, Nona Zalia. Saya baru bekerja di sini dua hari. Saya belum sempat mengecek seluruh ruangan.” Namun, Zalia tidak mau mendengarkan. “Alasan saja! Dasar orang miskin dan pemalas. Orang sepertimu memang tidak akan pernah paham tanggung jawab!” Kata-katanya terasa seperti cambukan bagi Willy, tetapi ia memilih untuk tetap diam, meskipun hatinya terasa sakit. Suara gaduh itu memancing seorang pria keluar dari kamar. Dengan tubuh tegap dan pakaian santai yang terlihat mahal, Ricky, suami Zalia, muncul dengan ekspresi bosan. “Ada apa ini?” tanyanya, matanya melirik tajam ke arah Willy. “Orang ini, pekerja baru di rumah ini, tidak becus! Kamar kita kotor, dan dia bilang dia tidak tahu apa-apa,” jawab Zalia, menyulut amarahnya. Ricky melangkah mendekat, dan tanpa peringatan, ia menekan kepala Willy dengan telunjuknya. “Hei, kamu dengar? Orang sepertimu harus tahu tempat! Kamu itu cuma pekerja rendahan, tahu? Jangan cari alasan untuk menghindari kerjaanmu!” Willy hanya bisa menunduk, menahan emosi yang membuncah. Ia tahu bahwa jika ia membalas, posisinya di rumah ini akan semakin sulit. “Dasar tolol! Otakmu itu pasti cuma sebesar kacang!” Ricky terus menghina sambil mendorong kepala Willy beberapa kali dengan jari telunjuknya. Zalia tertawa kecil di belakangnya. “Dia memang begitu, Ricky. Pantas saja dia tidak bisa di andalkan. Miskin dan tolol itu paket komplit bagi pecundang semacam dia.” Willy tetap berdiri di depan pintu kamar Zalia, menunduk dengan luka yang menggores hatinya. Namun, sebelum Zalia atau Ricky bisa melanjutkan hinaan mereka, suara langkah cepat terdengar. Bu Din, kepala asisten rumah tangga, datang dengan wajah khawatir. “Non Zalia, Tuan Ricky, ada apa ini?” tanya Bu Din, mencoba meredakan situasi. Zalia mengibaskan tangan. “Bukan urusanmu, Bu Din. Ini antara kami dengan pekerja baru ini.” Namun, Bu Din tidak menyerah. Ia mendekati Willy dan menepuk bahunya dengan lembut. “Kamu tidak apa-apa, Willy?” bisiknya. Willy mengangguk kecil, meskipun matanya masih terlihat suram. “Saya baik-baik saja, Bu.” Bu Din menatap Zalia dan Ricky dengan sorot mata yang penuh keberanian, meskipun ia tahu posisinya. “Mungkin lebih baik kita semua tenang dulu. Willy hanya melakukan tugasnya sesuai yang diarahkan. Kalau ada masalah di kamar, pasti bisa diperbaiki.” Zalia mendengus, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Setelah situasi mereda sedikit, Willy kembali ke ruang peralatan untuk mengambil semen, kuas, sendok semen dan bahan lain yang diperlukan untuk memperbaiki dinding di kamar Zalia. Ia datang ke kamar tersebut dengan langkah berat, tetapi tetap berusaha menampilkan wajah tenang. Zalia berdiri di pintu dengan tangan bersilang di dada, memandang Willy seperti seorang pengawas yang mencari alasan untuk memarahi. “Kamu tahu apa yang harus dilakukan, kan?” tanyanya dengan nada meremehkan. Willy mengangguk. “Saya akan memperbaiki dindingnya, Nona. Tapi saya sarankan Anda dan Tuan Ricky pindah ke kamar tamu sementara perbaikan dilakukan. Proses ini mungkin akan sedikit mengganggu.” Namun, bukannya menerima saran itu, Zalia justru tersenyum sinis. “Tidak perlu. Kamu bisa memperbaikinya nanti, setelah aku pergi. Aku tidak mau menghirup debu dari pekerjaanmu.” Willy terdiam, menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang bisa memperburuk situasi. Ia hanya mengangguk patuh dan berkata, “Baik, Nona.” Zalia memutar matanya dengan sikap malas. “Pastikan semuanya beres sebelum aku pulang lain hari.” Ricky, yang duduk di kursi dekat jendela, menambahkan dengan nada mengejek, “Dan jangan sampai ada noda di lantai. Kalau ada, aku akan pastikan kamu yang membersihkannya dengan lidahmu.” Willy hanya menjawab dengan sopan, “Saya mengerti, Tuan.” Namun, dalam hatinya, ia merasa luka yang ia alami semakin dalam. Hinaan demi hinaan dari Zalia dan Ricky mengingatkannya akan posisi rendahnya di rumah ini, meskipun ia tahu bahwa ia bekerja keras untuk memberikan yang terbaik. Ketika Zalia dan Ricky akhirnya meninggalkan kamar, Willy berdiri sendirian di sana, menatap dinding yang mengelupas dengan perasaan campur aduk. Bukan pekerjaan memperbaiki dinding yang membuatnya berat, tetapi kenyataan bahwa ia diperlakukan begitu rendah oleh orang-orang yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang dirinya. --- Hari semakin siang, jarum jam menunjuk pukul 9.30. Di rumah besar keluarga Haldi, suasana terasa lengang. Haldi sudah berangkat bekerja sejak jam 7 pagi, meninggalkan rumah dengan aura serius seperti biasa. Mira, sang nyonya rumah, menghilang bersama teman-teman sosialitanya, sibuk menghadiri acara atau sekedar menikmati kehidupan kelas atas. Willy, seperti yang diperintahkan pagi tadi, sibuk dengan tugas memperbaiki dinding kamar Zalia. Dengan peralatan seadanya, ia menambal dinding yang kulitnya mengelupas, mencoba memastikan setiap sudut terlihat rapi. Meski hatinya masih terasa berat akibat hinaan dan perlakuan buruk dari Zalia dan Ricky, Willy tetap menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab. Setiap sapuan kuas di dinding terasa seperti cara untuk mengalihkan pikirannya dari semua rasa sakit yang ia rasakan. Tiba-tiba, suara langkah ringan terdengar dari luar kamar. Willy menoleh, namun tak melihat siapa pun. Ia melanjutkan pekerjaannya, berpikir mungkin itu hanya perasaan. Tapi, tak lama kemudian, sebuah suara lembut memecah kesunyian. “Minum dulu, Willy.” Willy menoleh dan terkejut melihat Delia berdiri di ambang pintu. Di tangannya, ia membawa segelas es jeruk segar, yang terlihat begitu menggoda di bawah cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar. Delia tersenyum, senyum yang terasa hangat dan berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya. Ia melangkah masuk dan menyerahkan gelas itu kepada Willy. “Aku tahu mereka pasti menyusahkanmu. Orang-orang di rumah ini memang sudah biasa arogan,” katanya dengan nada penuh pengertian. Willy, yang semula ragu, menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia merasa aneh mendapat perhatian seperti ini, terutama setelah dua hari yang terasa begitu melelahkan. “Terima kasih, Nona Delia,” ujarnya pelan. Delia tertawa kecil. “Sudah kubilang, panggil aku Delia saja. Tidak perlu formal begitu.” Willy mengangguk sambil menyesap es jeruk itu. Rasanya begitu menyegarkan, seolah mampu menghapus sebagian beban yang menghimpit hatinya sejak pagi. Melihat Willy menikmati minuman itu, Delia duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap Willy dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Kamu sudah sarapan, Willy?” tanyanya tiba-tiba. Willy terdiam sejenak sebelum menggeleng. “Belum, Nona... eh, Delia. Saya kehilangan nafsu makan,” jawabnya jujur. “Kenapa?” Delia menatapnya dengan ekspresi prihatin. “Apa karena tadi pagi?” Willy hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak ingin terlihat lemah atau mengeluh di depan Delia, meskipun kenyataannya ia masih merasa tertekan oleh kejadian pagi itu. Delia berdiri dari kursinya. “Tunggu sebentar, aku akan kembali,” katanya sebelum melangkah keluar dari kamar. Willy hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang Delia rencanakan, tetapi hatinya merasa sedikit lebih ringan hanya karena kehadiran gadis itu. Ada sesuatu dalam sikap Delia yang terasa tulus, jauh berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya. Beberapa menit kemudian, Delia kembali dengan membawa sesuatu yang membuat Willy benar-benar terkejut. Ia memegang sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang terlihat begitu menggugah selera. Bau harum makanan itu langsung memenuhi kamar, membuat perut Willy yang kosong sejak pagi terasa lapar. “Ini untukmu,” kata Delia sambil meletakkan piring itu di atas meja kecil dekat tempat Willy bekerja. “Makanlah dulu sebelum melanjutkan pekerjaanmu.” Willy memandang Delia dengan mata lebar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dalam dua hari terakhir, ia hampir tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun di rumah ini. “Delia... ini terlalu berlebihan,” ujarnya pelan. “Saya tidak bisa menerima ini.” Namun, Delia hanya tersenyum. “Anggap saja ini ucapan terima kasihku karena kamu sudah membantuku kemarin. Jangan terlalu banyak berpikir, Willy. Makanlah dulu, biar kamu punya tenaga.” Willy masih terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespon. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan, syukur, terharu, dan mungkin sedikit bingung. Tetapi pada akhirnya, ia hanya bisa menatap Delia dengan penuh rasa hormat. Willy bergumam dalam hati, "Ini terasa aneh dan penuh tanda tanya. Apa sebenarnya niat Delia dibalik semua ini? Perasaanku mengatakan bakal terjadi hal tak terduga setelah ini." ###Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Darr! Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasa
Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka. Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin. Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mi
Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri. Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghenti
Pagi masih gelap saat Willy membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, tetapi ia tak mau mengambil risiko terlambat di hari pertama bekerja. Setelah meregangkan tubuh sejenak, Willy segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian sederhana dan membawa tas kecil berisi bekal pakaian seadanya, Willy melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, bunyi langkahnya yang tergesa-gesa mengundang teguran dari Metia, ibu tirinya. “Pagi-pagi sudah bikin kegaduhan saja! Orang mau tidur malah ribut!” suara Metia terdengar dari ruang tengah. “Ini hari pertama kerja, Bu. Saya harus berangkat lebih pagi,” jawab Willy dengan nada pelan, mencoba menahan emosinya. Alih-alih ikut senang atau mendukung, Metia justru melanjutkan kemarahannya. “Kerja? Siapa yang mau urus rumah kalau kamu pergi? Dasar anak nggak tahu diri! Pergi saja bikin susah!” Willy hanya bisa diam. Bukankah Metia sendiri yang memaksa Willy untuk mencari kerja? Tapi kenapa seka
Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din. Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut. Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya. Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur kare
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan
Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te
Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. ---Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambu
Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari. Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa. "Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan. Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?" "Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke ka
Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc