Home / Urban / Menantu Kuli / XI. Zalia yang galak

Share

XI. Zalia yang galak

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2025-01-05 09:57:07

Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras.

“Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu.

Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik.

“Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi.

Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.”

Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.”

Zalia menunjuk ke arah kamarnya dengan jari telunjuk yang gemetar karena emosi. “Kamarku kotor! Dindingnya mengelupas, catnya rontok, dan lantainya penuh serpihan. Kenapa kamu tidak cek itu kemarin-kemarin? Apa kerjaanmu di sini cuma tidur dan makan gratis?”

Willy menghela napas, mencoba menjelaskan. “Maaf, Nona Zalia. Saya baru bekerja di sini dua hari. Saya belum sempat mengecek seluruh ruangan.”

Namun, Zalia tidak mau mendengarkan. “Alasan saja! Dasar orang miskin dan pemalas. Orang sepertimu memang tidak akan pernah paham tanggung jawab!”

Kata-katanya terasa seperti cambukan bagi Willy, tetapi ia memilih untuk tetap diam, meskipun hatinya terasa sakit.

Suara gaduh itu memancing seorang pria keluar dari kamar. Dengan tubuh tegap dan pakaian santai yang terlihat mahal, Ricky, suami Zalia, muncul dengan ekspresi bosan.

“Ada apa ini?” tanyanya, matanya melirik tajam ke arah Willy.

“Orang ini, pekerja baru di rumah ini, tidak becus! Kamar kita kotor, dan dia bilang dia tidak tahu apa-apa,” jawab Zalia, menyulut amarahnya.

Ricky melangkah mendekat, dan tanpa peringatan, ia menekan kepala Willy dengan telunjuknya. “Hei, kamu dengar? Orang sepertimu harus tahu tempat! Kamu itu cuma pekerja rendahan, tahu? Jangan cari alasan untuk menghindari kerjaanmu!”

Willy hanya bisa menunduk, menahan emosi yang membuncah. Ia tahu bahwa jika ia membalas, posisinya di rumah ini akan semakin sulit.

“Dasar tolol! Otakmu itu pasti cuma sebesar kacang!” Ricky terus menghina sambil mendorong kepala Willy beberapa kali dengan jari telunjuknya.

Zalia tertawa kecil di belakangnya. “Dia memang begitu, Ricky. Pantas saja dia tidak bisa di andalkan. Miskin dan tolol itu paket komplit bagi pecundang semacam dia.”

Willy tetap berdiri di depan pintu kamar Zalia, menunduk dengan luka yang menggores hatinya. Namun, sebelum Zalia atau Ricky bisa melanjutkan hinaan mereka, suara langkah cepat terdengar. Bu Din, kepala asisten rumah tangga, datang dengan wajah khawatir.

“Non Zalia, Tuan Ricky, ada apa ini?” tanya Bu Din, mencoba meredakan situasi.

Zalia mengibaskan tangan. “Bukan urusanmu, Bu Din. Ini antara kami dengan pekerja baru ini.”

Namun, Bu Din tidak menyerah. Ia mendekati Willy dan menepuk bahunya dengan lembut. “Kamu tidak apa-apa, Willy?” bisiknya.

Willy mengangguk kecil, meskipun matanya masih terlihat suram. “Saya baik-baik saja, Bu.”

Bu Din menatap Zalia dan Ricky dengan sorot mata yang penuh keberanian, meskipun ia tahu posisinya. “Mungkin lebih baik kita semua tenang dulu. Willy hanya melakukan tugasnya sesuai yang diarahkan. Kalau ada masalah di kamar, pasti bisa diperbaiki.”

Zalia mendengus, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

Setelah situasi mereda sedikit, Willy kembali ke ruang peralatan untuk mengambil semen, kuas, sendok semen dan bahan lain yang diperlukan untuk memperbaiki dinding di kamar Zalia. Ia datang ke kamar tersebut dengan langkah berat, tetapi tetap berusaha menampilkan wajah tenang.

Zalia berdiri di pintu dengan tangan bersilang di dada, memandang Willy seperti seorang pengawas yang mencari alasan untuk memarahi.

“Kamu tahu apa yang harus dilakukan, kan?” tanyanya dengan nada meremehkan.

Willy mengangguk. “Saya akan memperbaiki dindingnya, Nona. Tapi saya sarankan Anda dan Tuan Ricky pindah ke kamar tamu sementara perbaikan dilakukan. Proses ini mungkin akan sedikit mengganggu.”

Namun, bukannya menerima saran itu, Zalia justru tersenyum sinis. “Tidak perlu. Kamu bisa memperbaikinya nanti, setelah aku pergi. Aku tidak mau menghirup debu dari pekerjaanmu.”

Willy terdiam, menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang bisa memperburuk situasi. Ia hanya mengangguk patuh dan berkata, “Baik, Nona.”

Zalia memutar matanya dengan sikap malas. “Pastikan semuanya beres sebelum aku pulang lain hari.”

Ricky, yang duduk di kursi dekat jendela, menambahkan dengan nada mengejek, “Dan jangan sampai ada noda di lantai. Kalau ada, aku akan pastikan kamu yang membersihkannya dengan lidahmu.”

Willy hanya menjawab dengan sopan, “Saya mengerti, Tuan.”

Namun, dalam hatinya, ia merasa luka yang ia alami semakin dalam. Hinaan demi hinaan dari Zalia dan Ricky mengingatkannya akan posisi rendahnya di rumah ini, meskipun ia tahu bahwa ia bekerja keras untuk memberikan yang terbaik.

Ketika Zalia dan Ricky akhirnya meninggalkan kamar, Willy berdiri sendirian di sana, menatap dinding yang mengelupas dengan perasaan campur aduk. Bukan pekerjaan memperbaiki dinding yang membuatnya berat, tetapi kenyataan bahwa ia diperlakukan begitu rendah oleh orang-orang yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang dirinya.

---

Hari semakin siang, jarum jam menunjuk pukul 9.30. Di rumah besar keluarga Haldi, suasana terasa lengang. Haldi sudah berangkat bekerja sejak jam 7 pagi, meninggalkan rumah dengan aura serius seperti biasa. Mira, sang nyonya rumah, menghilang bersama teman-teman sosialitanya, sibuk menghadiri acara atau sekedar menikmati kehidupan kelas atas. Willy, seperti yang diperintahkan pagi tadi, sibuk dengan tugas memperbaiki dinding kamar Zalia.

Dengan peralatan seadanya, ia menambal dinding yang kulitnya mengelupas, mencoba memastikan setiap sudut terlihat rapi. Meski hatinya masih terasa berat akibat hinaan dan perlakuan buruk dari Zalia dan Ricky, Willy tetap menjalankan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab. Setiap sapuan kuas di dinding terasa seperti cara untuk mengalihkan pikirannya dari semua rasa sakit yang ia rasakan.

Tiba-tiba, suara langkah ringan terdengar dari luar kamar. Willy menoleh, namun tak melihat siapa pun. Ia melanjutkan pekerjaannya, berpikir mungkin itu hanya perasaan. Tapi, tak lama kemudian, sebuah suara lembut memecah kesunyian.

“Minum dulu, Willy.”

Willy menoleh dan terkejut melihat Delia berdiri di ambang pintu. Di tangannya, ia membawa segelas es jeruk segar, yang terlihat begitu menggoda di bawah cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar.

Delia tersenyum, senyum yang terasa hangat dan berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya. Ia melangkah masuk dan menyerahkan gelas itu kepada Willy. “Aku tahu mereka pasti menyusahkanmu. Orang-orang di rumah ini memang sudah biasa arogan,” katanya dengan nada penuh pengertian.

Willy, yang semula ragu, menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia merasa aneh mendapat perhatian seperti ini, terutama setelah dua hari yang terasa begitu melelahkan. “Terima kasih, Nona Delia,” ujarnya pelan.

Delia tertawa kecil. “Sudah kubilang, panggil aku Delia saja. Tidak perlu formal begitu.”

Willy mengangguk sambil menyesap es jeruk itu. Rasanya begitu menyegarkan, seolah mampu menghapus sebagian beban yang menghimpit hatinya sejak pagi.

Melihat Willy menikmati minuman itu, Delia duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap Willy dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Kamu sudah sarapan, Willy?” tanyanya tiba-tiba.

Willy terdiam sejenak sebelum menggeleng. “Belum, Nona... eh, Delia. Saya kehilangan nafsu makan,” jawabnya jujur.

“Kenapa?” Delia menatapnya dengan ekspresi prihatin. “Apa karena tadi pagi?”

Willy hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak ingin terlihat lemah atau mengeluh di depan Delia, meskipun kenyataannya ia masih merasa tertekan oleh kejadian pagi itu.

Delia berdiri dari kursinya. “Tunggu sebentar, aku akan kembali,” katanya sebelum melangkah keluar dari kamar.

Willy hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang Delia rencanakan, tetapi hatinya merasa sedikit lebih ringan hanya karena kehadiran gadis itu. Ada sesuatu dalam sikap Delia yang terasa tulus, jauh berbeda dari anggota keluarga Haldi lainnya.

Beberapa menit kemudian, Delia kembali dengan membawa sesuatu yang membuat Willy benar-benar terkejut. Ia memegang sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang terlihat begitu menggugah selera. Bau harum makanan itu langsung memenuhi kamar, membuat perut Willy yang kosong sejak pagi terasa lapar.

“Ini untukmu,” kata Delia sambil meletakkan piring itu di atas meja kecil dekat tempat Willy bekerja. “Makanlah dulu sebelum melanjutkan pekerjaanmu.”

Willy memandang Delia dengan mata lebar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dalam dua hari terakhir, ia hampir tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun di rumah ini.

“Delia... ini terlalu berlebihan,” ujarnya pelan. “Saya tidak bisa menerima ini.”

Namun, Delia hanya tersenyum. “Anggap saja ini ucapan terima kasihku karena kamu sudah membantuku kemarin. Jangan terlalu banyak berpikir, Willy. Makanlah dulu, biar kamu punya tenaga.”

Willy masih terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespon. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan, syukur, terharu, dan mungkin sedikit bingung. Tetapi pada akhirnya, ia hanya bisa menatap Delia dengan penuh rasa hormat.

Willy bergumam dalam hati, "Ini terasa aneh dan penuh tanda tanya. Apa sebenarnya niat Delia dibalik semua ini? Perasaanku mengatakan bakal terjadi hal tak terduga setelah ini."

###

Related chapters

  • Menantu Kuli   XII. Asisten pribadi?

    Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman

    Last Updated : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

    Last Updated : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIV. Berjumpa Keenan

    Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida

    Last Updated : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XV. Tugas khusus

    Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te

    Last Updated : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVI. Figuran

    Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang

    Last Updated : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

    Last Updated : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XVIII. Histeris

    Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XIX. Nikahi aku

    Setelah lama terdiam, Delia akhirnya membuka suara, suaranya sedikit bergetar, “Masalah ini… tak akan semudah itu selesai.” Ben yang sebelumnya penuh percaya diri mengerutkan kening. “Kenapa? Aku bisa menekan Roman dan keluarganya. Mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kekuatanku.” Delia tersenyum pahit, menatap Ben dengan rasa terima kasih, namun tak dapat menyembunyikan rasa putus asa di wajahnya. “Benar, Pak Ben mungkin bisa menghalangi keluarga Roman. Tapi tidak untuk Ibu saya. Mira Haldi…” Suaranya sedikit tertahan. “…ibu saya akan terus menekan saya setiap hari. Mengintimidasi saya agar saya berubah pikiran. Dia tak peduli bagaimana perasaan saya.” Willy merasa tidak nyaman mendengar nada pahit itu. “Kenapa Ibumu begitu, Delia?” Delia tersenyum getir. “Ibu saya adalah seorang materialistis akut. Dia tidak peduli siapa saya, apa yang saya rasakan, selama dia mendapatkan keuntungan. Dan Ayah… Ayah saya tidak akan bisa berbuat banyak. Dia selalu kalah di hadapan Ibu.”

    Last Updated : 2025-01-09

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

  • Menantu Kuli   XXXIX. Kepala berasap

    Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena

  • Menantu Kuli   XXXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status