Beranda / Urban / Menantu Kuli / X. Mira murka

Share

X. Mira murka

Penulis: Leva Lorich
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-05 09:56:19

Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang.

Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat.

Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain.

Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk, meringis kesakitan.

Delia menutup mulutnya dengan tangan, terkejut dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia tahu Willy terlihat cukup tangguh, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa Willy mampu melumpuhkan dua orang dengan begitu mudah.

Di sisi lain, Tomey yang menyaksikan semuanya berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia tidak pernah melihat kedua temannya, yang biasanya cukup percaya diri dalam berkelahi, dikalahkan dengan begitu cepat.

"Apa-apaan ini?" Tomey bergumam, wajahnya memerah karena marah dan malu.

Namun, amarahnya mengalahkan rasa takut. "Kalian benar-benar tidak berguna!" bentaknya pada kedua temannya yang masih berusaha bangkit dari tanah.

Kini hanya tersisa Tomey sendiri, tetapi ia masih memiliki keberanian untuk maju. Dengan tinju yang sudah terangkat, ia berjalan mendekati Willy. "Jangan pikir kau bisa lolos dengan mudah!" katanya dengan nada penuh keyakinan.

Willy tetap diam, matanya menatap Tomey dengan tenang. Delia mencoba menghentikan Tomey. "Sudah cukup, Tomey! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri!"

Namun, Tomey tidak mendengarkan. Dengan teriakan penuh emosi, ia melancarkan sebuah pukulan lurus ke arah wajah Willy.

Sekali lagi, tubuh Willy bergerak seperti rumput yang tertiup angin, lincah dan fleksibel. Ia menghindar ke samping, membuat pukulan Tomey meleset. Sebelum Tomey sempat menarik kembali tangannya, Willy memutar tubuhnya dengan sebuah gerakan melingkar dan menggunakan bahunya untuk mendorong tubuh Tomey.

Tomey kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang ke tanah. Ia mencoba bangkit, tetapi sebelum ia sempat berdiri, Willy sudah berada di depannya. Dengan gerakan tenang, Willy menempatkan kakinya di tanah, menghalangi Tomey untuk menyerang lagi.

"Sudah cukup," kata Willy dengan suara yang rendah tapi penuh otoritas.

Tomey terdiam, terengah-engah, dan wajahnya yang memerah berubah menjadi pucat. Ia menyadari bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk menang melawan Willy.

Di sekitar mereka, beberapa mahasiswa yang masih berada di gerbang kampus mulai berkumpul, menyaksikan kejadian itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Beberapa bahkan mulai merekam dengan ponsel mereka. Situasi ini semakin mempermalukan Tomey, yang selama ini dikenal sebagai orang yang berkuasa di kampus.

Dengan susah payah, Tomey akhirnya berdiri, dibantu oleh kedua temannya. Ia menatap Willy dengan penuh kebencian, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Aku tidak akan melupakan ini," kata Tomey dengan suara dingin, sambil menunjuk ke arah Willy. "Kau akan menyesal karena telah mempermalukanku."

Delia maju selangkah, matanya tajam menatap Tomey. "Kau yang mempermalukan dirimu sendiri, Tomey. Jangan salahkan orang lain."

Tomey tidak menjawab. Ia hanya menggeram pelan sebelum berbalik dan pergi bersama kedua temannya, langkah mereka terlihat tertatih-tatih.

---

Saat suasana mulai mereda, Willy menghela napas panjang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa melakukan semua gerakan itu. Ia merasa tubuhnya bergerak sendiri, tanpa kontrol penuh dari pikirannya.

Delia menyentuh lengan Willy dengan lembut. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Willy mengangguk pelan. "Saya baik-baik saja, Delia. Apakah kamu terluka?"

Delia menggeleng. "Aku baik-baik saja. Tapi kau... aku tidak tahu kau bisa bertarung seperti itu. Kau seperti profesional."

Willy hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Ia juga merasa bingung dengan kemampuan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.

"Sudah, ayo kita pergi dari sini," kata Delia akhirnya. "Aku tidak ingin berada di sini lebih lama."

Willy mengangguk, dan mereka berdua kembali ke mobil.

---

Perjalanan pulang dari Universitas Arsaka terasa cukup hening. Willy fokus mengemudikan Mini Cooper biru milik Delia, sementara Delia duduk di kursi penumpang dengan tatapan kosong ke luar jendela. Namun, setelah beberapa menit berlalu, Delia memecah keheningan.

“Terima kasih, Willy,” katanya pelan.

Willy menoleh sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan. “Untuk apa, Delia?” tanyanya sopan.

Delia menghela napas. “Untuk tadi. Kau melindungiku dari Tomey. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak ada.”

Willy hanya tersenyum kecil. “Sudah tugas saya melindungimu, Delia.”

Namun, Delia menggeleng perlahan. “Bukan hanya itu. Entah kenapa... meskipun kita baru bertemu hari ini, aku merasa kau adalah orang yang bisa diandalkan. Mungkin aku terlalu cepat menilai, tapi... aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentangmu.”

Willy tidak menjawab. Kata-kata Delia membuatnya sedikit gugup, tetapi ia tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.

Sesampainya di rumah keluarga Haldi, lampu-lampu di ruang tamu menyala terang. Dari balik jendela besar, Willy bisa melihat Mira dan Haldi duduk di sofa, menunggu dengan ekspresi serius. Hatinya mulai terasa tidak nyaman.

“Kita sudah ditunggu,” kata Delia dengan nada cemas, memperhatikan hal yang sama.

Willy hanya mengangguk, lalu memarkir mobil dengan hati-hati di garasi sebelum keluar dan membukakan pintu untuk Delia. Keduanya berjalan masuk ke rumah, dan suasana tegang segera menyambut mereka.

“Duduk di sini,” kata Mira dengan nada dingin begitu Delia dan Willy masuk. Tangannya menunjuk ke kursi kosong di seberang mereka.

Willy dan Delia menurut, meskipun Willy sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

“Jadi, kau pikir kau bisa melakukan apa saja hanya karena kami mempekerjakanmu?” kata Mira, langsung menyerang Willy dengan kata-kata tajam.

Willy tetap diam, mencoba membaca situasi sebelum memberikan tanggapan.

“Orang tua Tomey baru saja meneleponku!” Mira melanjutkan, suaranya meninggi. “Mereka bilang sopir kami, yang tidak tahu diri, berani-beraninya menganiaya anak mereka di depan umum! Apa kau tahu betapa memalukan dan berbahayanya ini untuk reputasi keluarga kami?”

Delia mencoba berbicara. “Bu, itu bukan salah Willy. Tomey yang...”

“Diam, Delia!” potong Mira tajam. “Kau tidak perlu membela dia.”

Delia terdiam, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan.

Haldi yang duduk di samping Mira menatap Willy dengan ekspresi kecewa. “Kami mempekerjakanmu untuk melayani keluarga ini, Willy, bukan untuk membuat masalah.”

Willy merasa panas di dadanya, tetapi ia berusaha menahan diri. Dengan suara yang tenang, ia berkata, “Saya hanya melindungi Nona Delia, Pak. Tomey memaksa beliau untuk pergi bersamanya meskipun sudah menolak. Ketika saya mencoba membawa Nona Delia pergi, dia menyerang saya terlebih dahulu.”

Mira mendengus sinis. “Itu bukan urusanmu! Kau tidak punya hak untuk ikut campur dengan siapa Delia pergi atau tidak pergi!”

“Bu, itu tidak adil!” Delia kembali mencoba membela Willy. “Kalau bukan karena dia, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tomey itu kasar dan memaksa!”

Namun, Mira tidak peduli. “Delia, aku sudah bilang diam!”

Haldi menghela napas panjang. “Intinya, Willy, tindakanmu tidak bisa diterima. Sebagai karyawan, kau seharusnya tahu batasan. Kami tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi. Mengerti?”

Willy menundukkan kepala. “Saya mengerti, Pak,” jawabnya pelan, meskipun hatinya terasa seperti dihimpit batu besar.

---

Setelah pertemuan itu selesai, Willy berjalan kembali ke ruang belakang dengan langkah berat. Ia merasa dihantam oleh rasa kecewa yang mendalam. Mira terlalu keras dan tidak masuk akal, sementara Haldi hanya mengikuti keputusannya tanpa mempertimbangkan sisi lain.

Di dapur, Bu Din yang sedang membereskan piring makan malam menatap Willy dengan prihatin. “Kamu tidak apa-apa, Wil?” tanyanya lembut.

Willy hanya tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih.”

Namun, saat ia tiba di kamar kecilnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Duduk di tepi ranjang, ia menundukkan kepala, memegang rambutnya dengan kedua tangan. Ingin rasanya menjambak rambutnya sendiri.

“Kenapa semuanya jadi seperti ini?” gumam Willy pelan.

Hari kedua di rumah keluarga Haldi ternyata jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Willy mulai merasa bahwa mungkin ia tidak akan bertahan lama di tempat ini.

Willy menatap nanar daun pintu kamarnya, "Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini sekarang juga. Keluarga tidak logis!"

###

Bab terkait

  • Menantu Kuli   XI. Zalia yang galak

    Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   XII. Asisten pribadi?

    Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIV. Berjumpa Keenan

    Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XV. Tugas khusus

    Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVI. Figuran

    Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XVIII. Histeris

    Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Menantu Kuli   XXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempat

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

  • Menantu Kuli   XXXVI. Dukungan Ben

    "Ini adalah ide besar, Willy,” ujar Sano sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi ini juga bukan langkah yang bisa diambil sembarangan. Aku rasa kita perlu melibatkan Ayah. Dia punya banyak pengalaman dan mungkin bisa memberi pandangan yang lebih luas.” Willy mengangguk setuju. “Baik, Kak Sano. Aku akan mempersiapkan perhitungan untuk kedua bisnis ini. Kita temui Ayah Ben nanti sore.” “Bagus,” ujar Sano sambil bangkit berdiri. “Aku dan Paman Wastin akan melanjutkan persiapan kafe dulu. Kamu fokus dengan hitunganmu. Kalau ada yang kurang jelas, tinggal hubungi.” Setelah Sano dan Wastin meninggalkan ruangan, Willy mengeluarkan laptopnya. Ia mulai membuat perhitungan untuk kedua bisnis yang direncanakan, yaitu beverage dan es krim serta properti berupa hotel. ---Willy memulai dengan bisnis beverage dan es krim. Ia memperkirakan bahwa modal awal yang dibutuhkan akan mencakup pembelian tanah untuk lokasi pabrik seharga 10 miliar dan pembangunan pabrik sebesar 20 miliar. Mesin-mes

  • Menantu Kuli   XXXV. Ide sendiri

    Willy masih merenung di pojok ruangan, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Pikirannya berkecamuk, mencari inspirasi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar membuka kafe. Ia ingin membuktikan kepada semua orang, terutama keluarga Haldi, bahwa ia mampu lebih dari apa yang mereka pikirkan. Tak lama, Sano dan Wastin mendekat. Mereka tampak menyadari kegundahan di wajah Willy. “Kamu kenapa, Willy?” tanya Sano dengan nada tenang sambil menarik kursi dan duduk di dekatnya. Wastin juga ikut duduk di seberang Willy. “Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ada yang bisa kami bantu?” Willy menghela napas, lalu menatap keduanya. “Aku masih punya 100 miliar pemberian Ayah Ben. Tapi aku bingung bagaimana mengelolanya. Aku ingin memulai bisnis lain selain kafe ini, sesuatu yang lebih besar. Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Mendengar itu, Sano dan Wastin saling pandang. Sano tersenyum tipis. “Itu bukan masalah, Willy. Kamu hanya butuh arah yang jelas. Denga

  • Menantu Kuli   XXXIV. Centenario

    Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe. Pagi itu, Willy dan Delia sedang bersiap-siap di rumah keluarga Haldi. Delia mengenakan kemeja putih rapi dipadukan dengan rok biru pastel, rambutnya yang panjang dikepang sederhana, tampak cantik seperti biasa. Sementara Willy, dengan penampilan kasual, mengenakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya. “Sayang, sebelum ke kampus, kita mampir dulu ke rumah Ayah, ya,” ucap Willy sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku. “Kenapa ke sana? Bukannya kita langsung saja pakai Mini Cooper?” tanya Delia. Willy tersenyum kecil. “Aku mau pakai mobilku sendiri kali ini. Mini Cooper-mu biar tetap di sana. Lagipula, sudah lama aku tidak mengeluarkan Centenario-ku.” Delia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan buat heboh di kampus, ya.” “Tenang saja,” jawab Willy sambil menggandeng tangan istrinya. ---Mereka tiba di rumah Ben Dino, ayah angkat Willy, yang terletak di kawasan elit Kota Arsaka. Rumah besa

  • Menantu Kuli   XXXIII. Tak berterimakasih

    Matahari bersinar cerah ketika Willy dan Delia memutuskan untuk makan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu sederhana, namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang dihiasi bunga segar di setiap sudut. Delia terlihat ceria, menggenggam tangan Willy sambil berbincang ringan tentang rencana mereka untuk masa depan. “Willy, kita harus ke toko buku setelah ini, ya?” ujar Delia sambil menyuap potongan waffle ke mulutnya. “Baik, Sayang,” jawab Willy sambil tersenyum. “Kamu ingin beli buku apa kali ini?” Belum sempat Delia menjawab, pandangan Willy tertuju pada dua sosok yang baru saja memasuki butik mewah di seberang jalan. Mira dan Zalia. Keduanya tampak anggun dengan pakaian mahal dan gaya berjalan penuh percaya diri. Willy langsung mengenali mereka dan, tanpa ragu, melambaikan tangan untuk menyapa. “Nyonya Mira! Nona Zalia!” panggil Willy dengan suara cukup keras. Delia, yang menyadari apa yang dilakukan Willy, segera menahan napas. “Willy, jangan...” Namun terlambat, Mir

  • Menantu Kuli   XXXII. Haldi mulai luluh

    Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,

  • Menantu Kuli   XXXI. Pilih Kasih

    Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi

  • Menantu Kuli   XXX. Bapakku

    Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status