Home / Urban / Menantu Kuli / X. Mira murka

Share

X. Mira murka

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2025-01-05 09:56:19

Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang.

Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat.

Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain.

Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk, meringis kesakitan.

Delia menutup mulutnya dengan tangan, terkejut dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia tahu Willy terlihat cukup tangguh, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa Willy mampu melumpuhkan dua orang dengan begitu mudah.

Di sisi lain, Tomey yang menyaksikan semuanya berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia tidak pernah melihat kedua temannya, yang biasanya cukup percaya diri dalam berkelahi, dikalahkan dengan begitu cepat.

"Apa-apaan ini?" Tomey bergumam, wajahnya memerah karena marah dan malu.

Namun, amarahnya mengalahkan rasa takut. "Kalian benar-benar tidak berguna!" bentaknya pada kedua temannya yang masih berusaha bangkit dari tanah.

Kini hanya tersisa Tomey sendiri, tetapi ia masih memiliki keberanian untuk maju. Dengan tinju yang sudah terangkat, ia berjalan mendekati Willy. "Jangan pikir kau bisa lolos dengan mudah!" katanya dengan nada penuh keyakinan.

Willy tetap diam, matanya menatap Tomey dengan tenang. Delia mencoba menghentikan Tomey. "Sudah cukup, Tomey! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri!"

Namun, Tomey tidak mendengarkan. Dengan teriakan penuh emosi, ia melancarkan sebuah pukulan lurus ke arah wajah Willy.

Sekali lagi, tubuh Willy bergerak seperti rumput yang tertiup angin, lincah dan fleksibel. Ia menghindar ke samping, membuat pukulan Tomey meleset. Sebelum Tomey sempat menarik kembali tangannya, Willy memutar tubuhnya dengan sebuah gerakan melingkar dan menggunakan bahunya untuk mendorong tubuh Tomey.

Tomey kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang ke tanah. Ia mencoba bangkit, tetapi sebelum ia sempat berdiri, Willy sudah berada di depannya. Dengan gerakan tenang, Willy menempatkan kakinya di tanah, menghalangi Tomey untuk menyerang lagi.

"Sudah cukup," kata Willy dengan suara yang rendah tapi penuh otoritas.

Tomey terdiam, terengah-engah, dan wajahnya yang memerah berubah menjadi pucat. Ia menyadari bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk menang melawan Willy.

Di sekitar mereka, beberapa mahasiswa yang masih berada di gerbang kampus mulai berkumpul, menyaksikan kejadian itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Beberapa bahkan mulai merekam dengan ponsel mereka. Situasi ini semakin mempermalukan Tomey, yang selama ini dikenal sebagai orang yang berkuasa di kampus.

Dengan susah payah, Tomey akhirnya berdiri, dibantu oleh kedua temannya. Ia menatap Willy dengan penuh kebencian, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Aku tidak akan melupakan ini," kata Tomey dengan suara dingin, sambil menunjuk ke arah Willy. "Kau akan menyesal karena telah mempermalukanku."

Delia maju selangkah, matanya tajam menatap Tomey. "Kau yang mempermalukan dirimu sendiri, Tomey. Jangan salahkan orang lain."

Tomey tidak menjawab. Ia hanya menggeram pelan sebelum berbalik dan pergi bersama kedua temannya, langkah mereka terlihat tertatih-tatih.

---

Saat suasana mulai mereda, Willy menghela napas panjang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa melakukan semua gerakan itu. Ia merasa tubuhnya bergerak sendiri, tanpa kontrol penuh dari pikirannya.

Delia menyentuh lengan Willy dengan lembut. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Willy mengangguk pelan. "Saya baik-baik saja, Delia. Apakah kamu terluka?"

Delia menggeleng. "Aku baik-baik saja. Tapi kau... aku tidak tahu kau bisa bertarung seperti itu. Kau seperti profesional."

Willy hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Ia juga merasa bingung dengan kemampuan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.

"Sudah, ayo kita pergi dari sini," kata Delia akhirnya. "Aku tidak ingin berada di sini lebih lama."

Willy mengangguk, dan mereka berdua kembali ke mobil.

---

Perjalanan pulang dari Universitas Arsaka terasa cukup hening. Willy fokus mengemudikan Mini Cooper biru milik Delia, sementara Delia duduk di kursi penumpang dengan tatapan kosong ke luar jendela. Namun, setelah beberapa menit berlalu, Delia memecah keheningan.

“Terima kasih, Willy,” katanya pelan.

Willy menoleh sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan. “Untuk apa, Delia?” tanyanya sopan.

Delia menghela napas. “Untuk tadi. Kau melindungiku dari Tomey. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak ada.”

Willy hanya tersenyum kecil. “Sudah tugas saya melindungimu, Delia.”

Namun, Delia menggeleng perlahan. “Bukan hanya itu. Entah kenapa... meskipun kita baru bertemu hari ini, aku merasa kau adalah orang yang bisa diandalkan. Mungkin aku terlalu cepat menilai, tapi... aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentangmu.”

Willy tidak menjawab. Kata-kata Delia membuatnya sedikit gugup, tetapi ia tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.

Sesampainya di rumah keluarga Haldi, lampu-lampu di ruang tamu menyala terang. Dari balik jendela besar, Willy bisa melihat Mira dan Haldi duduk di sofa, menunggu dengan ekspresi serius. Hatinya mulai terasa tidak nyaman.

“Kita sudah ditunggu,” kata Delia dengan nada cemas, memperhatikan hal yang sama.

Willy hanya mengangguk, lalu memarkir mobil dengan hati-hati di garasi sebelum keluar dan membukakan pintu untuk Delia. Keduanya berjalan masuk ke rumah, dan suasana tegang segera menyambut mereka.

“Duduk di sini,” kata Mira dengan nada dingin begitu Delia dan Willy masuk. Tangannya menunjuk ke kursi kosong di seberang mereka.

Willy dan Delia menurut, meskipun Willy sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

“Jadi, kau pikir kau bisa melakukan apa saja hanya karena kami mempekerjakanmu?” kata Mira, langsung menyerang Willy dengan kata-kata tajam.

Willy tetap diam, mencoba membaca situasi sebelum memberikan tanggapan.

“Orang tua Tomey baru saja meneleponku!” Mira melanjutkan, suaranya meninggi. “Mereka bilang sopir kami, yang tidak tahu diri, berani-beraninya menganiaya anak mereka di depan umum! Apa kau tahu betapa memalukan dan berbahayanya ini untuk reputasi keluarga kami?”

Delia mencoba berbicara. “Bu, itu bukan salah Willy. Tomey yang...”

“Diam, Delia!” potong Mira tajam. “Kau tidak perlu membela dia.”

Delia terdiam, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan.

Haldi yang duduk di samping Mira menatap Willy dengan ekspresi kecewa. “Kami mempekerjakanmu untuk melayani keluarga ini, Willy, bukan untuk membuat masalah.”

Willy merasa panas di dadanya, tetapi ia berusaha menahan diri. Dengan suara yang tenang, ia berkata, “Saya hanya melindungi Nona Delia, Pak. Tomey memaksa beliau untuk pergi bersamanya meskipun sudah menolak. Ketika saya mencoba membawa Nona Delia pergi, dia menyerang saya terlebih dahulu.”

Mira mendengus sinis. “Itu bukan urusanmu! Kau tidak punya hak untuk ikut campur dengan siapa Delia pergi atau tidak pergi!”

“Bu, itu tidak adil!” Delia kembali mencoba membela Willy. “Kalau bukan karena dia, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tomey itu kasar dan memaksa!”

Namun, Mira tidak peduli. “Delia, aku sudah bilang diam!”

Haldi menghela napas panjang. “Intinya, Willy, tindakanmu tidak bisa diterima. Sebagai karyawan, kau seharusnya tahu batasan. Kami tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi. Mengerti?”

Willy menundukkan kepala. “Saya mengerti, Pak,” jawabnya pelan, meskipun hatinya terasa seperti dihimpit batu besar.

---

Setelah pertemuan itu selesai, Willy berjalan kembali ke ruang belakang dengan langkah berat. Ia merasa dihantam oleh rasa kecewa yang mendalam. Mira terlalu keras dan tidak masuk akal, sementara Haldi hanya mengikuti keputusannya tanpa mempertimbangkan sisi lain.

Di dapur, Bu Din yang sedang membereskan piring makan malam menatap Willy dengan prihatin. “Kamu tidak apa-apa, Wil?” tanyanya lembut.

Willy hanya tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih.”

Namun, saat ia tiba di kamar kecilnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Duduk di tepi ranjang, ia menundukkan kepala, memegang rambutnya dengan kedua tangan. Ingin rasanya menjambak rambutnya sendiri.

“Kenapa semuanya jadi seperti ini?” gumam Willy pelan.

Hari kedua di rumah keluarga Haldi ternyata jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Willy mulai merasa bahwa mungkin ia tidak akan bertahan lama di tempat ini.

Willy menatap nanar daun pintu kamarnya, "Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini sekarang juga. Keluarga tidak logis!"

###

Related chapters

  • Menantu Kuli   XI. Zalia yang galak

    Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar

    Last Updated : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   XII. Asisten pribadi?

    Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman

    Last Updated : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

    Last Updated : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIV. Berjumpa Keenan

    Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida

    Last Updated : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XV. Tugas khusus

    Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te

    Last Updated : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVI. Figuran

    Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang

    Last Updated : 2025-01-07
  • Menantu Kuli   XVII. Delia dimana?

    Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will

    Last Updated : 2025-01-08
  • Menantu Kuli   XVIII. Histeris

    Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak

    Last Updated : 2025-01-08

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

  • Menantu Kuli   XXXIX. Kepala berasap

    Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena

  • Menantu Kuli   XXXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status