Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tidak memperpanjang masalah. Dengan berat hati, Willy akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomor rekeningnya. Ia merasa canggung, seperti melanggar prinsip hidupnya sendiri. Namun, ia tahu bahwa menolak lebih jauh hanya akan dianggap tidak sopan. Beberapa menit kemudian, ponsel Willy bergetar. Sebuah notifikasi masuk dari aplikasi mobile banking-nya. Matanya membelalak saat membaca pesan yang muncul di layar, "Dana 100 miliar telah berhasil ditransfer ke rekening Anda." Willy hampir menjatuhkan ponselnya. Ia menatap layar itu dengan wajah pucat, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Pak Ben, ini terlalu banyak… Saya tidak bisa menerimanya,” katanya dengan suara gemetar. Ben tertawa kecil, lalu menepuk bahu Willy. “Willy, uang itu bukan hadiah. Itu adalah bentuk kasih seorang ayah kepada anaknya. Kau kini adalah bagian dari keluargaku, dan aku ingin memastikan kau tidak perlu khawatir tentang masa depanmu.” Willy hanya bisa terdiam, merasa terlalu kecil di hadapan kemurahan hati Ben. --- Sebelum mereka berpisah, Ben kembali menatap Willy dengan serius. “Willy, apakah pekerjaanmu adalah sopir dari nona Delia ini?” Willy mengangguk kecil. “Saya bukan sopir tetap, Pak Ben. Saya bekerja sebagai kuli di rumah keluarga Haldi, sekaligus menjadi asisten pribadi Nona Delia jika tidak ada pekerjaan lain.” Ben mengernyit, tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Kuli? Dengan bakat dan kemampuanmu, kenapa kau mau merendahkan dirimu seperti itu?” Willy menjawab dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan. “Pak Ben, saya memang berasal dari keluarga sederhana. Saya terbiasa bekerja keras, dan saya percaya bahwa hidup sederhana adalah cara terbaik untuk tetap rendah hati. Saya tidak ingin melupakan siapa diri saya, atau mengecewakan keluarga Haldi yang telah memberi saya pekerjaan.” Ben menghela napas panjang. Ia tampak ingin membantah, tetapi akhirnya tersenyum kecil. “Kau benar-benar pria yang luar biasa, Willy. Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, jika kau butuh apa pun, kapan pun, aku ada di sini untukmu.” Willy mengangguk, merasa sedikit lega karena berhasil menolak dengan cara yang sopan. --- Ketika mereka akhirnya berpamitan, Ben mengantar Willy dan Delia hingga ke pintu mobil. Saat Willy menghidupkan mesin, Delia masih tampak terpana oleh apa yang baru saja terjadi. Di sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa hening. Willy berkonsentrasi pada jalan, sementara Delia melamun, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Namun, akhirnya ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Willy,” kata Delia pelan, memecah keheningan. “Ya, Nona?” jawab Willy, tetap fokus pada jalan. “Kau tahu, saldo rekeningmu sekarang sudah lebih besar daripada laba tahunan ayahku. Bahkan mungkin lebih besar dari total kekayaan keluargaku.” Willy tersenyum tipis. “Saya tidak pernah memikirkan jumlahnya, Nona. Itu bukan alasan saya membantu Pak Ben tadi.” Delia mengangguk, meski dalam hati ia masih sulit percaya bahwa Willy bisa tetap tenang setelah menerima uang sebesar itu. “Tapi kenapa kau tidak mau berhenti bekerja di rumahku? Dengan uang sebanyak itu, kau bisa hidup nyaman tanpa perlu repot-repot bekerja keras.” Willy menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Hidup nyaman tidak selalu berarti bahagia, Nona. Bagi saya, kebahagiaan adalah menjalani hidup dengan tujuan. Dan pekerjaan saya di rumah keluarga Haldi adalah bagian dari tujuan itu.” Delia memandang Willy dengan rasa kagum yang semakin dalam. Ia tidak pernah bertemu seseorang seperti Willy sebelumnya, seseorang yang begitu sederhana, tetapi memiliki kekuatan karakter yang luar biasa. "Tapi jangan panggil Nona lagi. Kau selalu lupa. Panggil Delia saja." Imbuh Delia. --- Saat mereka hampir tiba di rumah, Willy berkata dengan suara yang tenang tapi tegas. “Delia, saya punya satu permintaan.” “Apa itu, Willy?” tanya Delia, penasaran. “Rahasiakan ini,” kata Willy sambil melirik ke arah Delia. “Jangan pernah memberitahu siapa pun tentang uang yang saya terima dari Pak Ben. Saya tidak ingin orang-orang di rumah memandang saya berbeda hanya karena uang itu.” Delia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tahu permintaan itu akan sulit dipenuhi. Dengan saldo rekening sebesar itu, Willy sekarang memiliki kekayaan yang jauh melebihi keluarganya sendiri. Namun, ia berjanji untuk menjaga rahasia itu sebaik mungkin. Saat mobil memasuki halaman rumah keluarga Haldi, Willy merasakan beban baru menghampirinya. Ia tahu bahwa kehidupannya mungkin tidak akan pernah sama lagi setelah pertemuan dengan Ben Dino. Namun, ia juga tahu bahwa kesederhanaan dan dedikasi adalah bagian dari dirinya yang tidak akan pernah ia tinggalkan. Delia menatap Willy saat mereka keluar dari mobil. Dalam hatinya, ia bertekad untuk menjaga rahasia Willy dan mendukungnya dengan cara apa pun yang ia bisa. --- Willy baru saja memarkir Mini Cooper biru milik Delia di garasi, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna sebelum ia masuk ke dalam rumah keluarga Haldi. Tangannya menggenggam kunci mobil dengan hati-hati, takut terjatuh atau salah tempat menyimpannya. Ia berjalan menuju ruang tengah dengan langkah perlahan, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian luar biasa bersama Ben Dino tadi. Saat memasuki ruang tengah, pandangannya tertuju pada seorang pemuda yang sedang duduk di meja makan. Pemuda itu tampak sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menyeruput kopi. Wajahnya cukup tampan, tetapi ada aura kesombongan yang sulit diabaikan. Willy tersenyum singkat sebagai bentuk sopan santun, namun ia tidak berani terlalu banyak berbicara, mengingat ia tidak mengenal siapa pemuda itu. Namun, siapa sangka, respon yang ia terima justru di luar dugaannya. “Hey, kamu!” suara pemuda itu terdengar keras, menghentikan langkah Willy yang hendak menuju dapur. Willy menoleh, bingung. “Iya, Tuan?” Pemuda itu bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Willy dengan langkah yang penuh percaya diri. “Kamu pikir kamu siapa? Masuk ke rumah ini tanpa menyapa tuan rumah? Tidak ada sopan santun sama sekali!” Willy mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang salah. “Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud kurang sopan. Saya hanya…” Pemuda itu memotong dengan nada tinggi. “Karyawan baru, ya? Dasar bodoh! Seharusnya kamu tahu aturan di rumah ini. Setiap karyawan wajib menyapa tuan rumah, terutama aku, Keenan Haldi. Aku ini anak kedua dari keluarga ini, paham?” Willy hanya bisa menunduk, menahan diri untuk tidak membalas. Ia tidak ingin membuat masalah, terutama setelah hari panjang yang penuh kejadian ini. Keenan terus saja memarahi Willy, bahkan menambahkan berbagai penghinaan yang membuat Willy semakin merasa kecil. “Orang miskin seperti kamu memang selalu begini. Tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun. Apa gunanya punya otak kalau tidak bisa dipakai?” Namun sebelum Willy sempat menjawab, suara lembut tapi tegas milik Delia menghentikan Keenan. “Keenan, sudah cukup!” Delia muncul dari arah dapur dengan ekspresi tidak senang. Ia berdiri di antara Keenan dan Willy, seolah menjadi perisai bagi pria itu. “Apa maksudmu membela dia?” Keenan menatap adiknya dengan tajam. “Dia ini karyawan baru yang tidak sopan! Masuk tanpa menyapa tuan rumah. Apa kamu mau dia jadi seenaknya di sini? Tolong jernihlah dalam berpikir.” Delia menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. “Dia baru dua hari di sini, Keenan. Lagipula, dia sudah menyapa. Apa kamu tidak lihat tadi?” Keenan mendengus. “Menyapa? Itu bukan menyapa. Itu hanya senyum singkat. Orang seperti dia harus tahu tempatnya. Jangan terlalu baik pada orang, Delia, terutama pada karyawan miskin dan bodoh seperti dia.” Willy mendengar kata-kata itu dengan hati yang berat, tetapi ia tetap diam. Ia tahu bahwa membalas hanya akan memperburuk situasi. Keenan akhirnya berbalik dan berjalan menuju tangga, meninggalkan Willy dan Delia di ruang tengah. “Jangan biarkan dia merasa nyaman di sini, Delia. Orang seperti dia hanya akan menyulitkan kita,” ###Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will
Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak
Darr! Suara gebrakan meja menggema di ruang makan kecil itu. Metia berdiri dengan penuh amarah, wajahnya memerah, sementara Willy hanya duduk diam, menatap wanita itu dengan ekspresi datar. Dia sudah terbiasa dengan kemarahan Metia, ibu tirinya yang tak pernah bisa berperilaku sedikit ramah kepadanya. “Dengar, Willy!” bentak Metia, menatapnya tajam. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Ayahmu, Alden, sudah lama meninggal. Kau hidup di sini hanya dengan makan dan tidur, sementara aku yang memutar otak menjalankan usaha bakery ini. Apa gunanya kau di rumah ini kalau hanya menjadi beban?” raung Metia dengan wajah merah padam. Willy tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Alden, ayahnya, meninggal dunia ketika Willy masih kelas satu SMA. Sejak saat itu, kehidupannya berubah drastis. Metia mengambil alih semua, termasuk usaha bakery yang ayahnya bangun dari nol. Willy sering menawarkan diri untuk membantu menjalankan usaha bakery itu, tapi Metia selalu menolak dengan berbagai alasa
Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka. Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin. Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mi
Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri. Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghenti
Pagi masih gelap saat Willy membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, tetapi ia tak mau mengambil risiko terlambat di hari pertama bekerja. Setelah meregangkan tubuh sejenak, Willy segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian sederhana dan membawa tas kecil berisi bekal pakaian seadanya, Willy melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, bunyi langkahnya yang tergesa-gesa mengundang teguran dari Metia, ibu tirinya. “Pagi-pagi sudah bikin kegaduhan saja! Orang mau tidur malah ribut!” suara Metia terdengar dari ruang tengah. “Ini hari pertama kerja, Bu. Saya harus berangkat lebih pagi,” jawab Willy dengan nada pelan, mencoba menahan emosinya. Alih-alih ikut senang atau mendukung, Metia justru melanjutkan kemarahannya. “Kerja? Siapa yang mau urus rumah kalau kamu pergi? Dasar anak nggak tahu diri! Pergi saja bikin susah!” Willy hanya bisa diam. Bukankah Metia sendiri yang memaksa Willy untuk mencari kerja? Tapi kenapa seka
Setelah hampir satu jam menunggu di depan gerbang kampus tanpa tanda-tanda kemunculan Delia, Willy memutuskan untuk masuk ke area kampus. Ia mulai berlari ke sana kemari, mengintip ke dalam ruang kelas, koridor, dan bahkan taman kecil di tengah gedung. Semua tempat tampak kosong. Peluh membasahi keningnya. Pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang sebenarnya terjadi? Delia tidak pernah terlambat seperti ini, apalagi menghilang tanpa kabar. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap suara teriakan seorang wanita. Suara itu terdengar jauh, lemah, seperti berasal dari area paling belakang kampus. Jantung Willy berdetak lebih cepat. Tanpa ragu, ia berlari menuju sumber suara. Suara teriakan itu membawanya ke sebuah gudang tua yang terletak di ujung kampus, tersembunyi di balik pepohonan. Gudang itu terlihat usang, dengan dinding kusam dan pintu kayu yang sudah lapuk. Willy mendekati pintu gudang dan mendengar suara langkah kaki bergegas dari dalam. Ia segera mendobrak
Setelah mengantar Delia ke kampus tepat waktu, Willy langsung melajukan Mini Cooper biru menuju rumah Ben Dino. Perjalanan itu terasa berbeda. Ada rasa gugup yang menyelimuti pikirannya sejak Ben meneleponnya pagi tadi. Meski Ben adalah pria yang hangat dan penuh perhatian, Willy tidak bisa mengabaikan bahwa ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di kota Arsaka. Tiba di rumah Ben, Willy kembali tertegun melihat kemegahan bangunan yang dua kali lebih besar dari rumah keluarga Haldi. Gerbang besar terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang ditata rapi. Willy memarkirkan mobilnya di dekat pintu utama, dan sebelum ia sempat mengetuk, pintu sudah dibuka oleh seorang pelayan yang menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Tuan Willy. Pak Ben sudah menunggu Anda di ruang keluarga.” Willy mengikuti pelayan itu, masuk ke ruang keluarga yang dipenuhi dengan perabotan mewah namun tetap terasa hangat. Ben Dino langsung berdiri begitu melihatnya. “Will
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan