Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. --- Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambutan, hingga durian, taman itu terlihat seperti versi kecil dari kebun raya kota. Pepohonan yang rimbun memberikan suasana teduh meskipun matahari sedang terik-teriknya. Willy menghirup udara segar sambil melangkah santai, merasa lebih rileks. "Ini seperti surga kecil," gumam Willy sambil memandangi area luas yang tertata rapi. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu ketika sebuah mangga besar jatuh dari pohon di dekatnya. Mangga itu meluncur dengan kecepatan tinggi, hampir mengenai kepalanya. Refleks, Willy melompat mundur dan mengayunkan tangan kanannya. Pukulan itu mengenai mangga yang sedang jatuh, menghancurkannya menjadi serpihan sebelum menyentuh tanah. Willy berdiri terpaku, menatap tangan dan sisa buah yang bertebaran di tanah. "Apa barusan?" bisiknya, bingung. --- Willy teringat pada perasaan aneh yang beberapa hari terakhir ini muncul di tubuhnya. Ia sering mendapati dirinya melakukan gerakan yang seolah-olah dipandu oleh naluri. Kecepatan dan kekuatan tubuhnya seperti meningkat, meskipun ia tidak pernah melakukan latihan khusus. Iseng, Willy mencoba meniru gerakan yang tadi dilakukannya. Ia mengayunkan tangan, menendang udara, dan bergerak seperti sedang mempraktikkan beladiri. Hasilnya membuatnya tercengang. Gerakan-gerakannya terasa begitu alami, seolah tubuhnya sudah terlatih selama bertahun-tahun. Willy berhenti sejenak, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi padanya. "Padahal aku tidak pernah belajar beladiri," pikirnya sambil memandangi tangannya sendiri. Rasa penasaran mendorong Willy untuk mencoba lebih jauh. Ia mulai mencari tantangan kecil di sekitarnya. Sebuah batu besar di sudut taman menarik perhatiannya. Willy mendekat, merasakan permukaan batu yang keras dan kasar. "Apakah aku bisa menghancurkan ini?" tanyanya pada diri sendiri. Dengan sedikit ragu, Willy menarik napas dalam, mengepalkan tangan, lalu mengayunkan pukulannya ke arah batu itu. Suara keras terdengar, dan batu itu pecah menjadi beberapa bagian. Willy terdiam, matanya melebar. "Apa-apaan ini?" bisiknya lagi, kali ini dengan nada lebih bingung. Namun, rasa ingin tahunya belum terpuaskan. Willy mulai membuat tantangan-tantangan lain untuk menguji batas kemampuannya. Ia mencoba melompat ke dahan pohon yang tinggi, dan berhasil melakukannya dengan mudah. Ia meninju tanah keras hingga menciptakan lubang kecil. Semua itu ia lakukan tanpa merasa lelah atau kesakitan. Setelah beberapa percobaan, Willy duduk di bawah pohon, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Kenapa aku bisa melakukan semua ini? Dari mana datangnya kekuatan ini?" pikirnya sambil memandang kedua tangannya. Keringat mengalir di dahinya, bukan karena lelah, tetapi karena bingung. Willy tahu bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang tidak wajar. Namun, ia tidak tahu harus berbuat apa dengan kekuatan ini atau apa yang akan terjadi selanjutnya. --- Setelah puas mencoba berbagai gerakan aneh di taman belakang, Willy kembali ke rumah keluarga Haldi. Ia berjalan dengan langkah ringan, tidak merasa lelah meskipun sudah melakukan hal-hal yang cukup menguras tenaga. Ada perasaan aneh dalam tubuhnya, staminanya terasa meningkat, dan rasa capek seperti menghilang begitu saja. Begitu masuk ke halaman samping rumah, pandangan Willy tertuju ke garasi yang tadi pagi ia gunakan untuk mencuci SUV keluarga. Ia teringat pesan Haldi beberapa hari lalu, "Jangan pernah menganggur, Willy. Kalau tidak ada tugas, cari sesuatu yang bisa kamu kerjakan." Willy merasa pesan itu sangat masuk akal. Selain membuatnya tetap sibuk, inisiatif seperti ini juga bisa meningkatkan kepercayaan keluarga Haldi terhadap dirinya. “Baiklah, garasi ini perlu dirapikan,” gumam Willy sambil melangkah mendekat. Garasi itu besar, cukup untuk menampung lima mobil sekaligus. Di sudut-sudutnya terdapat tumpukan alat-alat bengkel, ban cadangan, dan beberapa kotak yang berisi perlengkapan lain. Willy memutuskan untuk membersihkan area itu terlebih dahulu. Ia mulai dengan menyapu lantai, mengelap rak-rak besi, lalu mengatur ulang alat-alat yang berserakan. Semua itu ia lakukan dengan cekatan dan tanpa merasa lelah. Bahkan, ia merasa energinya semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu. "Apa ini efek dari latihan tadi?" pikir Willy, sambil menyeka peluh di dahinya. Dalam waktu kurang dari satu jam, garasi itu terlihat jauh lebih rapi. Willy merasa puas dengan hasilnya dan kembali merenungkan kondisi fisiknya yang tiba-tiba berubah drastis. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara panggilan dari arah dapur mengejutkannya. "Willy! Ayo makan siang dulu, Nak!" Willy menoleh dan melihat Bu Din, kepala asisten rumah tangga, melambai dari pintu dapur. Wanita paruh baya itu adalah sosok yang ramah, tapi juga tegas dalam menjalankan tugasnya. Willy segera meletakkan kain lap yang ia gunakan dan berjalan mendekat. --- Di ruang makan para asisten rumah tangga, aroma masakan sederhana namun lezat memenuhi udara. Di meja makan, sudah tersaji sepiring nasi, semangkuk sayur, ikan yang wangi, dan segelas air es. Willy duduk di salah satu kursi sambil mengucapkan terima kasih kepada Bu Din. "Makannya yang banyak, Willy. Kamu kerja dari pagi, pasti lapar," kata Bu Din sambil duduk di kursi seberang. "Terima kasih, Bu Din," jawab Willy sambil mulai menyendok nasi ke piringnya. Suasana makan siang itu terasa santai. Bu Din, seperti biasa, tidak bisa menahan diri untuk mengobrol. Kali ini, ia menatap Willy dengan senyum menggoda. "Willy, aku lihat tadi pagi kamu mengantar Nona Delia ke kampus, ya?" tanyanya dengan nada bercanda. "Iya, Bu," jawab Willy sambil tetap makan. "Ah, Nona Delia memang ramah orangnya. Tapi hati-hati, Willy," kata Bu Din sambil menunjuk dengan sendok. "Hati-hati kenapa, Bu?" tanya Willy sambil mengangkat alis. Bu Din tertawa kecil. "Jangan sampai kamu tergoda, Nak. Itu anak majikan kita. Cantik, ramah, iya. Tapi tetap saja, dia itu dari keluarga kaya. Kita ini hanya serpihan kapas, bukan kelas mereka." Willy terdiam sejenak, mencerna kata-kata Bu Din. Ia tahu wanita itu tidak bermaksud jahat, hanya mencoba mengingatkan. "Saya tahu, Bu. Saya hanya bekerja di sini," jawab Willy akhirnya, mencoba bersikap tenang. "Bagus kalau kamu sadar. Kadang, yang muda-muda ini gampang terlena. Nona Delia memang baik, tapi jangan sampai lupa diri," kata Bu Din lagi, kali ini dengan nada lebih serius. Willy mengangguk sambil melanjutkan makannya. Dalam hati, ia tidak bisa mengabaikan rasa kagum yang ia rasakan pada Delia. Gadis itu memang berbeda, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga sikapnya yang ramah dan hangat. Namun, Willy sadar betul bahwa ia hanyalah seorang karyawan di rumah ini. Setelah makan siang selesai, Willy mengucapkan terima kasih lagi kepada Bu Din dan membantu membereskan meja makan. Sambil mencuci piring, ia merenungkan ucapannya. "Aku harus tetap fokus pada pekerjaanku. Ini semua hanya kekaguman biasa," pikirnya, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu perasaan itu mungkin lebih dari sekedar kagum. Tiba-tiba Willy terpikir sesuatu, "Tapi bagaimana kalau aku benar-benar jatuh cinta?" ###Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Ben Dino menatap Willy dengan sorot mata penuh keyakinan. "Willy, tolong berikan nomor rekeningmu sekarang," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Willy tertegun, mencoba memahami maksud pria yang baru saja ia tolong. Ia menggeleng pelan. “Pak Ben, saya tidak bisa menerima itu. Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Saya tidak membutuhkan uang tanda terimakasih.” Ben mengangkat tangannya, menyela ucapan Willy. Senyumnya tetap ramah, tetapi suaranya mengandung otoritas. “Willy, aku tahu kau adalah pria yang sangat rendah hati, tapi izinkan aku berkata begini. Tadi kau menolak pemberianku karena kau menganggap itu hadiah karena telah menyembuhkanku. Tapi sekarang aku ingin mentransfer uang untuk anakku. Apakah itu salah?” Willy terdiam, tidak bisa menjawab. Perkataan Ben terlalu tegas untuk disangkal. Ia melirik Delia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka dengan cermat. Gadis itu hanya mengangguk pelan, seolah memberi isyarat bahwa Willy sebaiknya tida
Setelah Keenan pergi, suasana di ruang tengah menjadi hening. Willy masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan di rumah ini, meski ia tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. “Maafkan kakakku, Willy,” suara Delia akhirnya memecah keheningan. Willy menggeleng pelan. “Bukan salah kamu, Delia. Saya hanya... tidak ingin membuat masalah.” Delia menatap Willy dengan ekspresi penuh simpati. “Keenan memang selalu seperti itu. Dia suka meremehkan orang lain, terutama mereka yang tidak berada di level yang sama dengannya. Tapi jangan biarkan dia membuatmu merasa kecil, Willy. Kau jauh lebih baik dari apa yang dia pikirkan.” Willy tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha untuk tetap sabar dan tidak terpancing.” Setelah Delia pergi, Willy kembali ke dapur untuk meletakkan kunci mobil. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Kata-kata Keenan te
Willy mengatakan dengan terbatas bahwa ia sedang berada di taman belakang. Tak disangka Delia justru berniat untuk menyusul ke sana. Tak menunggu lama, Delia muncul dengan gaun tidur yang begitu indah. Wajah cantiknya terlihat natural dan sangat mempesona. Rambut panjangnya yang hitam tergerai alami. Willy bisa melihat bahwa sesuatu di bagian dada Delia tidak berukuran kecil. Namun cepat-cepat ia memalingkan pandangannya karena tak enak jika diketahui oleh Delia.Delia datang dengan membawa sepiring nasi berikut lauknya. "Waktunya makan malam," ucap Delia ramah. Pilih kebingungan untuk berkomentar. Hari ini sudah tiga kali Delia membawakan makanan untuknya. Sesuatu yang aneh dan tidak wajar bagi Willy yang merasa hanya sebagai kuli pesuruh di rumah itu. "Jangan seperti ini terus, Delia. Saya tidak enak dengan pandangan Nyonya Mira dan kakakmu," Willy menatap Delia dengan perasaan serba salah.Delia tersenyum riang, "Hei dengarlah kuli yang sedang menyamar. Kau sekarang adalah orang
Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempat
Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat
"Ini adalah ide besar, Willy,” ujar Sano sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi ini juga bukan langkah yang bisa diambil sembarangan. Aku rasa kita perlu melibatkan Ayah. Dia punya banyak pengalaman dan mungkin bisa memberi pandangan yang lebih luas.” Willy mengangguk setuju. “Baik, Kak Sano. Aku akan mempersiapkan perhitungan untuk kedua bisnis ini. Kita temui Ayah Ben nanti sore.” “Bagus,” ujar Sano sambil bangkit berdiri. “Aku dan Paman Wastin akan melanjutkan persiapan kafe dulu. Kamu fokus dengan hitunganmu. Kalau ada yang kurang jelas, tinggal hubungi.” Setelah Sano dan Wastin meninggalkan ruangan, Willy mengeluarkan laptopnya. Ia mulai membuat perhitungan untuk kedua bisnis yang direncanakan, yaitu beverage dan es krim serta properti berupa hotel. ---Willy memulai dengan bisnis beverage dan es krim. Ia memperkirakan bahwa modal awal yang dibutuhkan akan mencakup pembelian tanah untuk lokasi pabrik seharga 10 miliar dan pembangunan pabrik sebesar 20 miliar. Mesin-mes
Willy masih merenung di pojok ruangan, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Pikirannya berkecamuk, mencari inspirasi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar membuka kafe. Ia ingin membuktikan kepada semua orang, terutama keluarga Haldi, bahwa ia mampu lebih dari apa yang mereka pikirkan. Tak lama, Sano dan Wastin mendekat. Mereka tampak menyadari kegundahan di wajah Willy. “Kamu kenapa, Willy?” tanya Sano dengan nada tenang sambil menarik kursi dan duduk di dekatnya. Wastin juga ikut duduk di seberang Willy. “Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ada yang bisa kami bantu?” Willy menghela napas, lalu menatap keduanya. “Aku masih punya 100 miliar pemberian Ayah Ben. Tapi aku bingung bagaimana mengelolanya. Aku ingin memulai bisnis lain selain kafe ini, sesuatu yang lebih besar. Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Mendengar itu, Sano dan Wastin saling pandang. Sano tersenyum tipis. “Itu bukan masalah, Willy. Kamu hanya butuh arah yang jelas. Denga
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe. Pagi itu, Willy dan Delia sedang bersiap-siap di rumah keluarga Haldi. Delia mengenakan kemeja putih rapi dipadukan dengan rok biru pastel, rambutnya yang panjang dikepang sederhana, tampak cantik seperti biasa. Sementara Willy, dengan penampilan kasual, mengenakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya. “Sayang, sebelum ke kampus, kita mampir dulu ke rumah Ayah, ya,” ucap Willy sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku. “Kenapa ke sana? Bukannya kita langsung saja pakai Mini Cooper?” tanya Delia. Willy tersenyum kecil. “Aku mau pakai mobilku sendiri kali ini. Mini Cooper-mu biar tetap di sana. Lagipula, sudah lama aku tidak mengeluarkan Centenario-ku.” Delia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan buat heboh di kampus, ya.” “Tenang saja,” jawab Willy sambil menggandeng tangan istrinya. ---Mereka tiba di rumah Ben Dino, ayah angkat Willy, yang terletak di kawasan elit Kota Arsaka. Rumah besa
Matahari bersinar cerah ketika Willy dan Delia memutuskan untuk makan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu sederhana, namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang dihiasi bunga segar di setiap sudut. Delia terlihat ceria, menggenggam tangan Willy sambil berbincang ringan tentang rencana mereka untuk masa depan. “Willy, kita harus ke toko buku setelah ini, ya?” ujar Delia sambil menyuap potongan waffle ke mulutnya. “Baik, Sayang,” jawab Willy sambil tersenyum. “Kamu ingin beli buku apa kali ini?” Belum sempat Delia menjawab, pandangan Willy tertuju pada dua sosok yang baru saja memasuki butik mewah di seberang jalan. Mira dan Zalia. Keduanya tampak anggun dengan pakaian mahal dan gaya berjalan penuh percaya diri. Willy langsung mengenali mereka dan, tanpa ragu, melambaikan tangan untuk menyapa. “Nyonya Mira! Nona Zalia!” panggil Willy dengan suara cukup keras. Delia, yang menyadari apa yang dilakukan Willy, segera menahan napas. “Willy, jangan...” Namun terlambat, Mir
Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,
Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi
Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata