Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri.
Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghentikannya. “Selamat pagi. Ada keperluan apa?” tanya sekuriti itu dengan sopan. Willy menunjukkan kertas dari Wastin dan menjelaskan maksud kedatangannya. Pria itu mengangguk, mempersilakan Willy duduk di kursi di samping pos jaga. “Tunggu sebentar. Saya akan menghubungi pemilik rumah,” ujarnya sebelum masuk ke dalam pos kecil yang dilengkapi telepon. Beberapa menit kemudian, sekuriti itu kembali dan mempersilakan Willy masuk. Ia diantar melewati taman menuju sebuah paviliun kecil yang berada di sisi rumah utama. Paviliun itu memiliki ruangan sederhana, seluas kamar tidur biasa, tetapi dilengkapi dengan meja dan kursi seperti ruangan kantor. Di sanalah Willy diminta duduk menunggu. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk. Usianya sekitar 45 tahun, sedikit lebih tua daripada Wastin. Wajah mereka memiliki kemiripan, tetapi kesan yang ditinggalkan pria ini jauh berbeda. Wastin ramah dan hangat, sementara pria ini tampak dingin dan pendiam. “Saya Haldi,” katanya memperkenalkan diri singkat sambil duduk di kursi seberang meja. Suaranya tegas, dan ia menatap Willy dengan tajam, seperti sedang menilai. Willy berdiri dan membungkuk sopan. “Saya Willy, Pak. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan.” Haldi tidak menanggapi basa-basi itu. Ia membuka map berisi berkas lamaran Willy, membacanya dalam diam. Setelah beberapa saat, ia mulai mengajukan pertanyaan. “Willy Wanbilien, usia 20 tahun, belum menikah. Jelaskan tentang keluargamu!” “Saya tinggal dengan ibu tiri, Pak. Ayah saya sudah meninggal. Kami memiliki sebuah toko bakery.” jawab Willy dengan nada tenang, meski hati kecilnya merasa sedih setiap kali membahas hal itu. “Pernah bekerja di mana sebelumnya?” “Saya belum pernah bekerja resmi, Pak.” Jawab Willy jujur. "Toko itu?" Haldi mengerutkan kening, merasa sedikit ada kejanggalan. "Dikelola ibu tiri saya. Saya tidak dilibatkan di dalamnya," Willy memilih kata-kata yang lebih enak didengar, meski begitu Haldi yang cerdas tentu bisa menangkap sebuah ketidakadilan yang tersirat. Haldi mengangguk tipis. Ia lalu menanyakan hobi Willy, yang dijawabnya dengan jelas, “Saya suka membaca dan mencoba memperbaiki barang-barang yang rusak di rumah.” Setelah sesi wawancara singkat itu, Haldi mulai menjelaskan pekerjaan yang dibutuhkan rumahnya. “Kami butuh seorang kuli tetap untuk menangani berbagai masalah di rumah. Mulai dari pipa air yang mampet, genteng bocor, lampu rusak, cat dinding yang mengelupas, sampai memperbaiki pintu atau perabot lain. Semua hal itu akan menjadi tanggung jawabmu.” Haldi menatap Willy tajam, mencoba menilai reaksi pemuda itu. “Punya pengalaman dalam pertukangan?” Willy menjawab dengan jujur, “Saya belum pernah jadi tukang secara resmi, Pak. Tapi sejak kecil, saya sering membantu ayah memperbaiki rumah serta beberapa peralatan, baik yang menggunakan listrik ataupun tidak. Jadi, saya cukup mengerti cara kerja dasar dalam perbaikan beberapa hal tersebut.” Haldi mengangguk pelan, meski jelas ada keraguan di wajahnya. Namun, kesantunan Willy dan cara bicaranya yang tenang membuat Haldi cukup terkesan. “Baiklah,” kata Haldi akhirnya. “Kita coba selama satu bulan dulu. Kalau hasil kerjamu mengecewakan, jangan harap bisa bertahan di sini.” “Saya akan melakukan yang terbaik, Pak,” jawab Willy tegas. Haldi melanjutkan penjelasannya. “Selain memperbaiki rumah, kalau tidak ada yang rusak, waktumu bisa digunakan untuk merawat taman, menguras kolam renang, atau membersihkan halaman. Jadi, tidak ada waktu menganggur di sini. Cari kesibukan di dalam jam kerja.” Willy mengangguk, menerima segala tanggung jawab itu tanpa keberatan. “Bisa menyetir mobil?” tanya Haldi tiba-tiba. “Bisa, Pak. Saya biasa mengemudikan mobil almarhum ayah saya dulu. Tapi sekarang sudah dijual ibu tiri saya,” jawab Willy, lagi-lagi menyiratkan kepedihan hidupnya bersama Metia. “Bagus. Nanti, kalau kamu cukup mahir, kamu bisa juga mengantar atau menjemput anggota keluarga kalau dibutuhkan. Tapi itu akan saya uji besok-besok.” Haldi menjelaskan aturan kerja di rumahnya dengan singkat namun tegas. “Hari kerjanya setiap hari. Jam kerja dari pukul enam pagi sampai enam sore. Kalau takut terlambat, kami menyediakan kamar untuk karyawan yang ingin menginap. Tapi ingat, tidak ada toleransi untuk keterlambatan atau kecerobohan. Dan ada tambahan uang lembur di luar jam itu. Untuk libur, kau bebas menentukannya, 3 hari dalam satu bulan dan boleh digabung.” Willy mengangguk paham. “Dan yang paling penting,” lanjut Haldi, menatap Willy dengan serius, “aturan utama di sini adalah jujur, patuh, dan giat. Kalau melanggar salah satu saja, kamu akan langsung menerima teguran keras, bisa jadi akan dipecat jika fatal.” Willy menjawab dengan yakin, “Saya mengerti, Pak. Saya akan mematuhi semua aturan.” "Untuk gaji masa percobaan satu bulan ini adalah 1,5 juta. Jika kau lolos, maka gaji reguler di bulan-bulan berikutnya adalah 3 juta di luar ongkos lembur. Lembur akan dihitung pro-rata dikalikan jumlah jam lemburmu selama satu bulan." Haldi mengakhiri penjelasannya. Willy mengangguk. "Baik, Pak. Saya bersedia bekerja disini." "Jika demikian, mulai besok pagi kau boleh mulai aktif kerja. Kau diterima." Haldi berdiri, menjabat tangan Willy. --- Setelah pembicaraan selesai, Haldi memberikan arahan kepada salah satu staf rumah tangganya untuk mengantar Willy melihat-lihat rumah dan area kerja yang akan menjadi tanggung jawabnya. Willy merasa kagum sekaligus sedikit gugup melihat betapa besar dan mewahnya rumah itu. Setiap sudutnya tampak terawat sempurna, tetapi tanggung jawab untuk mempertahankannya jelas bukan hal yang mudah. Saat Willy meninggalkan rumah itu siang harinya, ia merasa campur aduk. Ada rasa lega karena akhirnya mendapatkan pekerjaan, tetapi juga rasa cemas apakah ia mampu memenuhi ekspektasi Haldi. Namun, ia tahu satu hal bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Malam itu, Willy mempersiapkan dirinya dengan matang. Ia mencari tahu cara memperbaiki berbagai kerusakan rumah dari internet dan membaca beberapa artikel sederhana tentang perawatan taman. Meski tubuhnya lelah, pikirannya dipenuhi tekad. “Ini adalah awal baru,” pikir Willy. “Aku harus membuktikan bahwa aku layak mendapatkan pekerjaan ini.” Willy masih meraba-raba, bagaimana suasana kerja perdananya besok. "Pak Haldi cukup bijaksana, tapi bagaimana dengan anggota keluarga yang lain, apa mereka galak? Atau bahkan kejam? Willy langsung beranjak tidur. Saat ia sudah terlelap, Willy tak menyadari bahwa sesuatu terjadi pada tubuhnya. Sebuah cahaya terang menerobos dari luar rumah, memasuki jendela kamar Willy yang sedikit terbuka. Cahaya itu berwarna putih menyilaukan, yang kemudian membentur tubuh Willy. Bamm!! Begitu mengenai tubuh Willy, cahaya itu seperti terserap dan masuk ke dalam tubuhnya. Sesaat kemudian cahaya itu sudah hilang, ditelan tubuh Willy. Cahaya apa itu? ###Pagi masih gelap saat Willy membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, tetapi ia tak mau mengambil risiko terlambat di hari pertama bekerja. Setelah meregangkan tubuh sejenak, Willy segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian sederhana dan membawa tas kecil berisi bekal pakaian seadanya, Willy melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, bunyi langkahnya yang tergesa-gesa mengundang teguran dari Metia, ibu tirinya. “Pagi-pagi sudah bikin kegaduhan saja! Orang mau tidur malah ribut!” suara Metia terdengar dari ruang tengah. “Ini hari pertama kerja, Bu. Saya harus berangkat lebih pagi,” jawab Willy dengan nada pelan, mencoba menahan emosinya. Alih-alih ikut senang atau mendukung, Metia justru melanjutkan kemarahannya. “Kerja? Siapa yang mau urus rumah kalau kamu pergi? Dasar anak nggak tahu diri! Pergi saja bikin susah!” Willy hanya bisa diam. Bukankah Metia sendiri yang memaksa Willy untuk mencari kerja? Tapi kenapa seka
Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din. Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut. Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya. Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur kare
Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc
Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari. Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa. "Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan. Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?" "Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke ka
Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. ---Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambu
Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s
Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s
Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per
Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu
[Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi
Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be
Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena
Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa
Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat