Home / Urban / Menantu Kuli / II. Yang tak terduga

Share

II. Yang tak terduga

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2024-12-02 14:22:07

Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam.

Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka.

Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin.

Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mineral itu dengan perlahan, mencoba mendinginkan tubuhnya. Pandangannya teralihkan ke seberang jalan, di mana sebuah restoran seafood tampak begitu ramai. Willy membaca papan nama di atas pintu masuk restoran itu “Restoran Ester - Spesialis Seafood.”

Keramaian restoran itu membuat Willy berpikir. “Mungkin mereka sedang membutuhkan karyawan tambahan,” gumamnya dalam hati. Meski tubuhnya sudah lelah, ia memutuskan untuk mencoba peruntungannya sekali lagi. Dengan langkah penuh harapan, ia menyeberang jalan dan masuk ke restoran tersebut.

Di dalam restoran, aroma seafood segar memenuhi udara. Perut lapar Willy segera merespon aroma itu dengan rasa perut yang melilit. Para pelayan tampak sibuk mondar-mandir melayani para pelanggan. Willy mencoba mencari seseorang yang tampak seperti atasan di tempat itu. Tidak lama kemudian, ia melihat seorang pria berusia sekitar 40-an dengan kemeja rapi berdiri di dekat kasir.

“Permisi, Pak,” Willy menyapanya sopan. “Apakah restoran ini sedang membutuhkan tenaga kerja? Saya bersedia melakukan pekerjaan apa pun.”

Pria itu, yang ternyata adalah manajer restoran, memandang Willy dengan tatapan meremehkan. Ia memperhatikan kemeja lusuh dan penampilan sederhana Willy, lalu mendengus.

“Kau kira restoran ini tempat apa?” ucapnya dengan nada cemooh. “Kami tidak membutuhkan orang sepertimu di sini. Pergi saja sebelum aku memanggil sekuriti.”

Willy terkejut dengan respon kasar itu. Beberapa pengunjung yang duduk di meja terdekat mulai memperhatikan mereka. Wajah Willy memerah, lebih karena rasa malu daripada marah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membungkukkan badan sedikit sebagai tanda permisi, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.

Saat Willy hendak melangkahkan kaki keluar dari restoran, sebuah suara menghentikannya.

“Nak, tunggu sebentar!”

Willy menoleh. Seorang pria yang duduk di dekat pintu masuk restoran melambaikan tangan ke arahnya. Pria itu tampak bersih dan rapi, mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan celana panjang hitam. Wajahnya terlihat ramah, berbeda jauh dari manajer yang baru saja mengusir Willy.

“Apa kau sedang mencari pekerjaan?” tanya pria itu sambil tersenyum.

“Iya, Pak,” jawab Willy cepat. “Saya sangat membutuhkan pekerjaan.”

Pria itu menyuruh Willy duduk di meja bersamanya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Wastin. Setelah berbicara sebentar, Wastin memesan makanan untuk Willy, sesuatu yang membuat pemuda itu merasa sedikit tidak enak hati.

“Tidak usah sungkan, makanlah. Kau pasti lapar,” kata Wastin, menepuk bahunya.

Willy merasa malu sekaligus lega. Sejak pagi, ia belum makan apa pun karena tidak ingin meminta makanan dari Metia. Ia tahu ibu tirinya tidak akan memberinya dengan sukarela. Dengan rasa syukur, Willy mulai menyantap makanan yang dipesankan Wastin.

Melihat Willy makan dengan lahap, Wastin hanya tersenyum kecil. “Kau dari mana tadi?” tanyanya santai.

Willy menjawab dengan jujur bahwa ia sudah berkeliling kota sepanjang pagi untuk mencari pekerjaan. Ia menceritakan sedikit tentang hidupnya, tentang bagaimana sulitnya ia mendapatkan pekerjaan karena hanya memiliki ijazah SMA.

Setelah Willy selesai makan, Wastin memulai pembicaraan yang lebih serius. “Kebetulan sekali,” katanya.

“Siapa namamu, Nak?" Wastin sejenak menghentikan kalimatnya, menatap wajah Willy seolah ingin mengetahui kejujuran dari mata Willy.

"Willy, Pak." Jawab Willy sopan.

"Baiklah. Jadi begini, Willy. Keluarga kakakku, Haldi, sedang mencari tenaga kerja di rumah mereka. Bukan pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tinggi, tapi lebih ke pekerjaan kasar. Kalau kau bersedia, aku bisa merekomendasikanmu pada mereka.” Ucap Wastin.

Willy merasa seperti mendapatkan angin segar. Matanya berbinar. “Saya bersedia, Pak,” jawabnya cepat.

“Pekerjaan apa pun saya terima, asal itu pekerjaan yang jujur. Tidak pekerjaan menipu, mencuri, ataupun pekerjaan keji lainnya.” Lanjut Willy serius.

“Bagus,” jawab Wastin sambil mengangguk. “Keluarga kakakku saat ini sedang berlibur ke luar kota, tapi mereka akan kembali besok pagi. Aku akan memberimu alamat rumah mereka. Kau bisa datang ke sana besok pagi, jam delapan.”

Wastin menuliskan alamat itu di selembar kertas kecil, lalu menyelipkan nomornya di sana juga. “Kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungiku,” katanya.

Willy menerima kertas itu dengan hati penuh syukur. Ia merasa seperti akhirnya menemukan titik terang di tengah gelapnya hidup selama ini.

---

Ketika Willy kembali ke rumah sore itu, Metia tidak ada di ruang tamu. Rumah itu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus melalui celah-celah jendela. Willy masuk ke kamarnya dan duduk di atas kasur tua kesayangannya.

Ia memandang kertas kecil yang diberikan Wastin. Ada rasa lega yang perlahan muncul di hatinya, seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya sedikit berkurang.

Namun, di balik rasa lega itu, ada juga rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. “Bagaimana kalau aku tidak cocok dengan pekerjaan itu?” pikirnya. “Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?”

Willy tahu ia tidak punya banyak pilihan. Pekerjaan ini adalah satu-satunya harapan yang ia miliki saat ini. Jika ia menolak, mungkin ia tidak akan mendapatkan peluang serupa lagi.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Willy merasa sedikit tenang. Ia memejamkan matanya dengan tekad baru di dalam hati. “Aku tidak akan mengecewakan Pak Wastin. Aku harus melakukan yang terbaik.”

Esok pagi akan menjadi awal yang baru bagi Willy, sebuah langkah kecil menuju masa depan yang mungkin lebih baik. Di tengah ketidakpastian hidupnya, ia merasa bersyukur masih ada orang seperti Wastin yang mau memberinya kesempatan.

Dengan semangat baru, Willy bersiap untuk menghadapi hari esok yang penuh harapan. Sebelum tidur, ia memilih kemeja dan celana yang paling bersih, kemudian menyeterikanya. Tak ada kemeja dan celana yang bagus, semuanya sederhana serta usang karena sudah lama dipakai. Dia hanya mencari yang paling bersih saja.

Namun, di balik rasa lega itu, ada juga rasa cemas yang menggelayuti pikirannya.

“Bagaimana kalau aku tidak cocok dengan pekerjaan itu?” pikirnya.

“Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?”

###

Related chapters

  • Menantu Kuli   III. Golden, 21

    Jalan Golden, 21. Alamat ini sudah tertulis rapi di kertas kecil yang diberikan oleh Wastin. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana di warung dekat rumah, Willy menaiki bus umum menuju lokasi itu. Perjalanan terasa panjang karena pikiran Willy dipenuhi berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau aku tidak cocok?" pikirnya, sementara ia mencoba menenangkan diri. Sesampainya di halte terdekat, Willy turun dan mulai berjalan kaki. Ia bertanya kepada beberapa orang yang ditemui di jalan untuk memastikan arah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, ia akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah. Rumah itu berdiri menjulang dengan desain modern dan gagah. Temboknya berwarna putih bersih dengan ornamen kayu di beberapa sudut. Di depan rumah, ada taman yang luas dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Sebuah pagar tinggi dengan gerbang besi hitam melindungi area rumah itu, memberikan kesan anggun sekaligus tegas. Saat Willy mendekati gerbang, seorang pria berseragam sekuriti menghenti

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   IV. Kekuatan aneh

    Pagi masih gelap saat Willy membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, tetapi ia tak mau mengambil risiko terlambat di hari pertama bekerja. Setelah meregangkan tubuh sejenak, Willy segera menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian sederhana dan membawa tas kecil berisi bekal pakaian seadanya, Willy melangkah ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, bunyi langkahnya yang tergesa-gesa mengundang teguran dari Metia, ibu tirinya. “Pagi-pagi sudah bikin kegaduhan saja! Orang mau tidur malah ribut!” suara Metia terdengar dari ruang tengah. “Ini hari pertama kerja, Bu. Saya harus berangkat lebih pagi,” jawab Willy dengan nada pelan, mencoba menahan emosinya. Alih-alih ikut senang atau mendukung, Metia justru melanjutkan kemarahannya. “Kerja? Siapa yang mau urus rumah kalau kamu pergi? Dasar anak nggak tahu diri! Pergi saja bikin susah!” Willy hanya bisa diam. Bukankah Metia sendiri yang memaksa Willy untuk mencari kerja? Tapi kenapa seka

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   V. Mengenal penghuni rumah

    Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din. Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut. Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya. Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur kare

    Last Updated : 2024-12-02
  • Menantu Kuli   VI. Mengenal Delia

    Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menantu Kuli   VII. Mengantar ke kampus

    Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari. Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa. "Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan. Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?" "Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke ka

    Last Updated : 2025-01-04
  • Menantu Kuli   VIII. Serpihan kapas

    Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. ---Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambu

    Last Updated : 2025-01-04
  • Menantu Kuli   IX. Tomey pengganggu

    Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te

    Last Updated : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   X. Mira murka

    Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan

    Last Updated : 2025-01-05

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempat

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

  • Menantu Kuli   XXXVI. Dukungan Ben

    "Ini adalah ide besar, Willy,” ujar Sano sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi ini juga bukan langkah yang bisa diambil sembarangan. Aku rasa kita perlu melibatkan Ayah. Dia punya banyak pengalaman dan mungkin bisa memberi pandangan yang lebih luas.” Willy mengangguk setuju. “Baik, Kak Sano. Aku akan mempersiapkan perhitungan untuk kedua bisnis ini. Kita temui Ayah Ben nanti sore.” “Bagus,” ujar Sano sambil bangkit berdiri. “Aku dan Paman Wastin akan melanjutkan persiapan kafe dulu. Kamu fokus dengan hitunganmu. Kalau ada yang kurang jelas, tinggal hubungi.” Setelah Sano dan Wastin meninggalkan ruangan, Willy mengeluarkan laptopnya. Ia mulai membuat perhitungan untuk kedua bisnis yang direncanakan, yaitu beverage dan es krim serta properti berupa hotel. ---Willy memulai dengan bisnis beverage dan es krim. Ia memperkirakan bahwa modal awal yang dibutuhkan akan mencakup pembelian tanah untuk lokasi pabrik seharga 10 miliar dan pembangunan pabrik sebesar 20 miliar. Mesin-mes

  • Menantu Kuli   XXXV. Ide sendiri

    Willy masih merenung di pojok ruangan, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Pikirannya berkecamuk, mencari inspirasi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar membuka kafe. Ia ingin membuktikan kepada semua orang, terutama keluarga Haldi, bahwa ia mampu lebih dari apa yang mereka pikirkan. Tak lama, Sano dan Wastin mendekat. Mereka tampak menyadari kegundahan di wajah Willy. “Kamu kenapa, Willy?” tanya Sano dengan nada tenang sambil menarik kursi dan duduk di dekatnya. Wastin juga ikut duduk di seberang Willy. “Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ada yang bisa kami bantu?” Willy menghela napas, lalu menatap keduanya. “Aku masih punya 100 miliar pemberian Ayah Ben. Tapi aku bingung bagaimana mengelolanya. Aku ingin memulai bisnis lain selain kafe ini, sesuatu yang lebih besar. Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Mendengar itu, Sano dan Wastin saling pandang. Sano tersenyum tipis. “Itu bukan masalah, Willy. Kamu hanya butuh arah yang jelas. Denga

  • Menantu Kuli   XXXIV. Centenario

    Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe. Pagi itu, Willy dan Delia sedang bersiap-siap di rumah keluarga Haldi. Delia mengenakan kemeja putih rapi dipadukan dengan rok biru pastel, rambutnya yang panjang dikepang sederhana, tampak cantik seperti biasa. Sementara Willy, dengan penampilan kasual, mengenakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya. “Sayang, sebelum ke kampus, kita mampir dulu ke rumah Ayah, ya,” ucap Willy sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku. “Kenapa ke sana? Bukannya kita langsung saja pakai Mini Cooper?” tanya Delia. Willy tersenyum kecil. “Aku mau pakai mobilku sendiri kali ini. Mini Cooper-mu biar tetap di sana. Lagipula, sudah lama aku tidak mengeluarkan Centenario-ku.” Delia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan buat heboh di kampus, ya.” “Tenang saja,” jawab Willy sambil menggandeng tangan istrinya. ---Mereka tiba di rumah Ben Dino, ayah angkat Willy, yang terletak di kawasan elit Kota Arsaka. Rumah besa

  • Menantu Kuli   XXXIII. Tak berterimakasih

    Matahari bersinar cerah ketika Willy dan Delia memutuskan untuk makan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu sederhana, namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang dihiasi bunga segar di setiap sudut. Delia terlihat ceria, menggenggam tangan Willy sambil berbincang ringan tentang rencana mereka untuk masa depan. “Willy, kita harus ke toko buku setelah ini, ya?” ujar Delia sambil menyuap potongan waffle ke mulutnya. “Baik, Sayang,” jawab Willy sambil tersenyum. “Kamu ingin beli buku apa kali ini?” Belum sempat Delia menjawab, pandangan Willy tertuju pada dua sosok yang baru saja memasuki butik mewah di seberang jalan. Mira dan Zalia. Keduanya tampak anggun dengan pakaian mahal dan gaya berjalan penuh percaya diri. Willy langsung mengenali mereka dan, tanpa ragu, melambaikan tangan untuk menyapa. “Nyonya Mira! Nona Zalia!” panggil Willy dengan suara cukup keras. Delia, yang menyadari apa yang dilakukan Willy, segera menahan napas. “Willy, jangan...” Namun terlambat, Mir

  • Menantu Kuli   XXXII. Haldi mulai luluh

    Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,

  • Menantu Kuli   XXXI. Pilih Kasih

    Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi

  • Menantu Kuli   XXX. Bapakku

    Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status