Beranda / Urban / Menantu Kuli / V. Mengenal penghuni rumah

Share

V. Mengenal penghuni rumah

Penulis: Leva Lorich
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 14:25:07

Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din.

Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut.

Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya.

Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur karena tidak perlu bolak-balik dari rumahnya yang jauh.

Setelah itu, Bu Din mengenalkan Willy pada semua karyawan yang bekerja di rumah besar itu.

Pertama, ada Kuma dan Lia, dua asisten memasak yang bekerja di dapur bersama Bu Din. Usia mereka sedikit di atas Willy, mungkin sekitar 25 tahun. Keduanya tampak ramah, meski Lia lebih pendiam dibandingkan Kuma yang cerewet dan suka bercanda.

“Kita bakal sering ketemu di dapur, Willy. Kalau kamu lapar, jangan malu-malu minta makan, ya!” ujar Kuma dengan tawa lepas. Lia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.

Kemudian ada Bu Nick, seorang wanita seusia Bu Din yang bertanggung jawab atas urusan cuci mencuci pakaian. "Kalau bajumu kotor, kasih saja ke saya. Tapi jangan lupa taruh di keranjang, jangan sembarangan," katanya dengan nada serius namun bersahabat.

Willy juga diperkenalkan pada Nira dan Sada, yang bertugas membersihkan rumah. Keduanya tampak enerjik dan bersahabat. "Semoga kamu tidak sering membuat berantakan, ya. Kalau tidak, kita yang repot," canda Sada, disambut tawa Nira.

Di bagian keamanan, ada Pak Gani dan Pak Dany, dua sekuriti yang bergantian shift. Mereka berada di usia sekitar 30-an dan tampak sangat profesional. Willy ingat bahwa salah satu dari mereka yang membawanya ke paviliun kemarin pagi.

Terakhir, ada Pak Deny, sopir keluarga yang berusia sekitar 45 tahun, seumuran dengan Pak Haldi. “Kalau kamu butuh tumpangan, bilang saja, asal tidak melanggar aturan,” katanya sambil tersenyum ramah.

Selama ini, Bu Din juga merangkap sebagai tukang kebun. Willy sempat terkejut mendengar hal itu. "Ya, saya memang suka tanaman, jadi tidak masalah. Tapi kalau kamu ada waktu luang, bisa bantu-bantu merawat taman, ya," ujarnya.

Setelah selesai berkenalan dengan para karyawan, Bu Din memberikan penjelasan tentang anggota keluarga Haldi.

“Yang paling sering kamu temui tentu Nyonya Mira, istri Pak Haldi. Dia memang sedikit galak, tapi kalau kamu kerja dengan baik, dia tidak akan macam-macam,” jelas Bu Din. Willy langsung teringat pada wanita cantik yang membentaknya tadi pagi.

“Lalu ada Nona Zalia, anak sulung. Usianya 27 tahun dan sudah menikah dengan Ricky. Mereka menjalankan butik pakaian yang cukup sukses. Tapi hati-hati, Zalia galaknya mirip ibunya,” lanjut Bu Din sambil tersenyum kecil.

“Anak kedua, Keenan, masih bujang. Umurnya 25 tahun, tapi... ya, dia agak sulit diatur. Suka mabuk-mabukan. Kalau bisa, hindari konflik dengannya,” pesan Bu Din dengan nada serius.

“Yang terakhir, si bungsu Delia. Dia seumuran kamu, Nak, 20 tahun. Anak yang baik, lembut, dan santun. Sekarang masih kuliah di Universitas Arsaka. Kalau ketemu dia, pasti kamu akan merasa nyaman,” ujar Bu Din dengan nada hangat.

Mendengar cerita tentang Delia, Willy merasa sedikit lega. Setidaknya ada seseorang yang mungkin bisa menjadi teman baik di rumah besar ini.

---

Setelah semua perkenalan selesai, Bu Din mempersilakan Willy untuk istirahat sejenak sebelum mulai bekerja. Namun, baru saja Willy duduk di kamarnya, ia dipanggil oleh Pak Haldi.

Di ruang tamu, Pak Haldi sudah menunggunya dengan ekspresi serius. “Willy, saya ada tugas untukmu. Kran air di kamar mandi saya mampet. Sebelum saya pulang sore nanti, saya ingin masalah itu sudah selesai,” katanya tanpa banyak basa-basi.

“Baik, Pak. Saya akan segera mengerjakannya,” jawab Willy dengan yakin, meski ia merasa sedikit gugup.

Pak Haldi kemudian berangkat ke kantor, meninggalkan Willy dengan tugas pertamanya. Willy segera memeriksa kondisi kamar mandi di kamar Pak Haldi. Kamar itu sangat rapi dan mewah, tetapi kran wastafelnya benar-benar mampet. Air hanya keluar sedikit meski sudah diputar habis.

"Ternyata kamu benar-benar kerja disini ya. Awas, kerja yang benar. Jangan hanya mencari gaji buta!" Mira menyambut Willy di kamar itu.

Awalnya Willy agak senang melihat Mira yang cantik dengan badan yang bagus meski sudah berusia 40 tahun. Tapi rasa simpatinya langsung luntur saat kembali mendengar ocehan pedas Mira.

"Baik, Nyonya. Akan saya perhatikan." Willy mengangguk yakin.

Willy kembali ke Bu Din untuk meminta saran. “Bu, saya butuh beberapa alat untuk memperbaiki kran. Apa saya boleh mengambil dari gudang?”

“Tentu, Nak. Semua alat ada di gudang belakang. Kalau ada yang kurang, bilang saja. Nanti saya belikan,” jawab Bu Din sambil memberikan kunci gudang.

Di gudang, Willy menemukan beberapa alat seperti kunci pas, obeng, dan tang. Dengan perlengkapan itu, ia kembali ke kamar mandi Mira dan mulai bekerja.

Di belakang Willy, terlihat Mira yang celingak-celinguk mengamati cara kerja Willy. "Hati-hati, jangan sampai patah krannya!" cicit Mira sok tahu. Willy hanya mengangguk.

Awalnya, Willy merasa yakin bahwa ia bisa menyelesaikan tugas ini dengan cepat. Tapi kenyataan berkata lain. Saat membuka bagian dalam kran, ia menemukan karat yang sudah menumpuk dan membuat aliran air terhambat. Willy harus membersihkan karat itu, tetapi alat yang tersedia tidak cukup memadai.

Ia kembali ke Bu Din untuk meminta cairan pembersih khusus. “Wah, sepertinya kita kehabisan cairan itu. Tunggu sebentar, saya telepon toko langganan untuk membelinya,” kata Bu Din.

Sambil menunggu cairan pembersih datang, Willy memanfaatkan waktu untuk merapikan alat-alat di gudang dan mempelajari cara kerja beberapa alat yang belum pernah ia gunakan sebelumnya. Ia ingin memastikan bahwa ia siap menghadapi tugas-tugas lainnya di masa depan.

Saat cairan pembersih tiba, Willy kembali bekerja. Ia membersihkan karat dengan hati-hati, memastikan tidak ada bagian yang rusak. Setelah selesai, ia merakit kembali kran tersebut dan menguji aliran air.

Air mengalir deras dan lancar. Willy tersenyum puas. Tugas pertamanya berhasil diselesaikan dengan baik.

"Lumayan juga kemampuanmu," kata-kata Mira terdengar samar, antara pujian dan remehan.

Ketika Pak Haldi pulang sore harinya, ia langsung memeriksa kamar mandi. Setelah melihat hasil kerja Willy, ia memberikan anggukan kecil. “Bagus. Lanjutkan kerja seperti ini,” katanya singkat sebelum masuk ke ruang kamarnya.

Bagi Willy, komentar singkat itu adalah sebuah penghargaan besar. Ia merasa bahwa hari pertamanya di rumah keluarga Haldi adalah awal yang baik. Meski ada banyak tantangan, ia bertekad untuk terus belajar dan memberikan yang terbaik.

Willy sejenak merenung, "Perasaanku sedikit tidak nyaman dengan Nona Zalia, Tuan Ricky, dan Tuan Keenan. Padahal belum pernah bertemu dengan mereka. Perasaan apa ini?"

###

Bab terkait

  • Menantu Kuli   VI. Mengenal Delia

    Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Menantu Kuli   VII. Mengantar ke kampus

    Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari. Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa. "Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan. Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?" "Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke ka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Menantu Kuli   VIII. Serpihan kapas

    Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. ---Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Menantu Kuli   IX. Tomey pengganggu

    Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   X. Mira murka

    Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   XI. Zalia yang galak

    Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Menantu Kuli   XII. Asisten pribadi?

    Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Menantu Kuli   XIII. Orang berpengaruh

    Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06

Bab terbaru

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

  • Menantu Kuli   XXXIX. Kepala berasap

    Kafe Centenario akhirnya mulai beroperasi. Hari pertama pembukaan berlangsung cukup ramai dengan pengunjung yang penasaran. Namun, Willy tahu bahwa kesuksesan sebuah bisnis tidak hanya bergantung pada hari pertama. Ia perlu memperluas jangkauan dan menarik lebih banyak pelanggan. Dengan tekad itu, Willy memutuskan untuk turun langsung ke pusat keramaian Kota Arsaka untuk membagikan brosur promosi kafe. Mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, Willy berjalan di antara hiruk-pikuk jalanan yang penuh dengan orang-orang. Ia menyapa setiap pejalan kaki yang melintas, dengan ramah menawarkan brosur yang berisi informasi tentang Kafe Centenario. Namun, langkah Willy terhenti ketika suara yang familiar dan tidak menyenangkan terdengar dari belakangnya. “Eh, itu bukan Willy si pengangguran yang tinggal numpang di rumah mertuanya?” suara itu berasal dari Keenan, yang berdiri di dekat Ricky, suami Zalia. Mereka berdua menatap Willy dengan senyum sinis di wajah mereka. “Wah, bena

  • Menantu Kuli   XXXVIII. Pilihan terakhir

    Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempa

  • Menantu Kuli   XXXVII. Rapat lanjutan

    Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status