Setelah pertemuan pertamanya dengan wanita galak yang belum dikenal, Willy merasa sedikit canggung. Namun, suasana mulai mencair ketika ia berkenalan dengan kepala asisten rumah tangga di rumah itu, seorang wanita bernama Bu Din.
Berusia sekitar 50 tahun, Bu Din memiliki sikap yang ramah dan keibuan. Senyumnya tulus, dan caranya berbicara membuat Willy merasa diterima. "Selamat datang, Nak Willy. Semoga kamu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bu Din, ya," ucapnya sambil menepuk bahu Willy dengan lembut. Bu Din kemudian mengajak Willy untuk berkeliling rumah. Mereka berhenti di sebuah kamar berukuran sedang yang terletak di dekat taman belakang. “Ini kamarmu, Nak. Memang sederhana, tapi nyaman kok. Kalau butuh apa-apa, bilang saja ke saya,” ujarnya. Kamar itu memang tidak besar, tetapi bersih dan cukup terang dengan satu jendela kecil yang menghadap ke taman. Ada sebuah tempat tidur, lemari kecil, dan meja kerja sederhana. Willy merasa bersyukur karena tidak perlu bolak-balik dari rumahnya yang jauh. Setelah itu, Bu Din mengenalkan Willy pada semua karyawan yang bekerja di rumah besar itu. Pertama, ada Kuma dan Lia, dua asisten memasak yang bekerja di dapur bersama Bu Din. Usia mereka sedikit di atas Willy, mungkin sekitar 25 tahun. Keduanya tampak ramah, meski Lia lebih pendiam dibandingkan Kuma yang cerewet dan suka bercanda. “Kita bakal sering ketemu di dapur, Willy. Kalau kamu lapar, jangan malu-malu minta makan, ya!” ujar Kuma dengan tawa lepas. Lia hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. Kemudian ada Bu Nick, seorang wanita seusia Bu Din yang bertanggung jawab atas urusan cuci mencuci pakaian. "Kalau bajumu kotor, kasih saja ke saya. Tapi jangan lupa taruh di keranjang, jangan sembarangan," katanya dengan nada serius namun bersahabat. Willy juga diperkenalkan pada Nira dan Sada, yang bertugas membersihkan rumah. Keduanya tampak enerjik dan bersahabat. "Semoga kamu tidak sering membuat berantakan, ya. Kalau tidak, kita yang repot," canda Sada, disambut tawa Nira. Di bagian keamanan, ada Pak Gani dan Pak Dany, dua sekuriti yang bergantian shift. Mereka berada di usia sekitar 30-an dan tampak sangat profesional. Willy ingat bahwa salah satu dari mereka yang membawanya ke paviliun kemarin pagi. Terakhir, ada Pak Deny, sopir keluarga yang berusia sekitar 45 tahun, seumuran dengan Pak Haldi. “Kalau kamu butuh tumpangan, bilang saja, asal tidak melanggar aturan,” katanya sambil tersenyum ramah. Selama ini, Bu Din juga merangkap sebagai tukang kebun. Willy sempat terkejut mendengar hal itu. "Ya, saya memang suka tanaman, jadi tidak masalah. Tapi kalau kamu ada waktu luang, bisa bantu-bantu merawat taman, ya," ujarnya. Setelah selesai berkenalan dengan para karyawan, Bu Din memberikan penjelasan tentang anggota keluarga Haldi. “Yang paling sering kamu temui tentu Nyonya Mira, istri Pak Haldi. Dia memang sedikit galak, tapi kalau kamu kerja dengan baik, dia tidak akan macam-macam,” jelas Bu Din. Willy langsung teringat pada wanita cantik yang membentaknya tadi pagi. “Lalu ada Nona Zalia, anak sulung. Usianya 27 tahun dan sudah menikah dengan Ricky. Mereka menjalankan butik pakaian yang cukup sukses. Tapi hati-hati, Zalia galaknya mirip ibunya,” lanjut Bu Din sambil tersenyum kecil. “Anak kedua, Keenan, masih bujang. Umurnya 25 tahun, tapi... ya, dia agak sulit diatur. Suka mabuk-mabukan. Kalau bisa, hindari konflik dengannya,” pesan Bu Din dengan nada serius. “Yang terakhir, si bungsu Delia. Dia seumuran kamu, Nak, 20 tahun. Anak yang baik, lembut, dan santun. Sekarang masih kuliah di Universitas Arsaka. Kalau ketemu dia, pasti kamu akan merasa nyaman,” ujar Bu Din dengan nada hangat. Mendengar cerita tentang Delia, Willy merasa sedikit lega. Setidaknya ada seseorang yang mungkin bisa menjadi teman baik di rumah besar ini. --- Setelah semua perkenalan selesai, Bu Din mempersilakan Willy untuk istirahat sejenak sebelum mulai bekerja. Namun, baru saja Willy duduk di kamarnya, ia dipanggil oleh Pak Haldi. Di ruang tamu, Pak Haldi sudah menunggunya dengan ekspresi serius. “Willy, saya ada tugas untukmu. Kran air di kamar mandi saya mampet. Sebelum saya pulang sore nanti, saya ingin masalah itu sudah selesai,” katanya tanpa banyak basa-basi. “Baik, Pak. Saya akan segera mengerjakannya,” jawab Willy dengan yakin, meski ia merasa sedikit gugup. Pak Haldi kemudian berangkat ke kantor, meninggalkan Willy dengan tugas pertamanya. Willy segera memeriksa kondisi kamar mandi di kamar Pak Haldi. Kamar itu sangat rapi dan mewah, tetapi kran wastafelnya benar-benar mampet. Air hanya keluar sedikit meski sudah diputar habis. "Ternyata kamu benar-benar kerja disini ya. Awas, kerja yang benar. Jangan hanya mencari gaji buta!" Mira menyambut Willy di kamar itu. Awalnya Willy agak senang melihat Mira yang cantik dengan badan yang bagus meski sudah berusia 40 tahun. Tapi rasa simpatinya langsung luntur saat kembali mendengar ocehan pedas Mira. "Baik, Nyonya. Akan saya perhatikan." Willy mengangguk yakin. Willy kembali ke Bu Din untuk meminta saran. “Bu, saya butuh beberapa alat untuk memperbaiki kran. Apa saya boleh mengambil dari gudang?” “Tentu, Nak. Semua alat ada di gudang belakang. Kalau ada yang kurang, bilang saja. Nanti saya belikan,” jawab Bu Din sambil memberikan kunci gudang. Di gudang, Willy menemukan beberapa alat seperti kunci pas, obeng, dan tang. Dengan perlengkapan itu, ia kembali ke kamar mandi Mira dan mulai bekerja. Di belakang Willy, terlihat Mira yang celingak-celinguk mengamati cara kerja Willy. "Hati-hati, jangan sampai patah krannya!" cicit Mira sok tahu. Willy hanya mengangguk. Awalnya, Willy merasa yakin bahwa ia bisa menyelesaikan tugas ini dengan cepat. Tapi kenyataan berkata lain. Saat membuka bagian dalam kran, ia menemukan karat yang sudah menumpuk dan membuat aliran air terhambat. Willy harus membersihkan karat itu, tetapi alat yang tersedia tidak cukup memadai. Ia kembali ke Bu Din untuk meminta cairan pembersih khusus. “Wah, sepertinya kita kehabisan cairan itu. Tunggu sebentar, saya telepon toko langganan untuk membelinya,” kata Bu Din. Sambil menunggu cairan pembersih datang, Willy memanfaatkan waktu untuk merapikan alat-alat di gudang dan mempelajari cara kerja beberapa alat yang belum pernah ia gunakan sebelumnya. Ia ingin memastikan bahwa ia siap menghadapi tugas-tugas lainnya di masa depan. Saat cairan pembersih tiba, Willy kembali bekerja. Ia membersihkan karat dengan hati-hati, memastikan tidak ada bagian yang rusak. Setelah selesai, ia merakit kembali kran tersebut dan menguji aliran air. Air mengalir deras dan lancar. Willy tersenyum puas. Tugas pertamanya berhasil diselesaikan dengan baik. "Lumayan juga kemampuanmu," kata-kata Mira terdengar samar, antara pujian dan remehan. Ketika Pak Haldi pulang sore harinya, ia langsung memeriksa kamar mandi. Setelah melihat hasil kerja Willy, ia memberikan anggukan kecil. “Bagus. Lanjutkan kerja seperti ini,” katanya singkat sebelum masuk ke ruang kamarnya. Bagi Willy, komentar singkat itu adalah sebuah penghargaan besar. Ia merasa bahwa hari pertamanya di rumah keluarga Haldi adalah awal yang baik. Meski ada banyak tantangan, ia bertekad untuk terus belajar dan memberikan yang terbaik. Willy sejenak merenung, "Perasaanku sedikit tidak nyaman dengan Nona Zalia, Tuan Ricky, dan Tuan Keenan. Padahal belum pernah bertemu dengan mereka. Perasaan apa ini?" ###Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun. Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpanc
Sebelum membersihkan diri, Willy memutuskan untuk menemui Haldi, kepala keluarga yang memiliki aura tenang namun tegas. Willy tahu bahwa bekerja di rumah ini membutuhkan kedisiplinan dan transparansi. Permintaan Delia tadi membuatnya sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, sebaiknya disampaikan kepada Haldi agar tidak timbul masalah di kemudian hari. Willy berjalan menuju ruang kerja Haldi, ruangan besar dengan jendela besar yang menghadap taman. Ia mengetuk pintu pelan. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Willy membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Haldi sedang duduk di meja kayu besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap. Di depannya, ada beberapa dokumen yang sedang diperiksa. "Selamat pagi, Pak Haldi," sapa Willy dengan sopan. Haldi mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Pagi, Willy. Ada apa?" "Begini, Pak," Willy mulai berbicara, meskipun ada sedikit gugup di nada suaranya. "Baru saja Nona Delia meminta saya untuk mengantarnya ke ka
Setelah mengantar Delia ke kampus, Willy langsung kembali ke rumah dan memulai tugas berikutnya, yaitu mencuci Mini Cooper biru milik Delia. Mobil kecil itu terasa lebih mudah ditangani dibanding SUV besar yang ia bersihkan tadi pagi. Entah karena ukurannya yang mungil atau karena Willy mulai terbiasa dengan standar ketat yang diajarkan Mira, ia menyelesaikan tugasnya jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Mobil Delia kini berkilau sempurna, bahkan lebih bersih dari ketika ia melihatnya pertama kali. Willy mengangguk puas sambil menyeka keringat di dahinya. Ia menyimpan peralatan cuci ke tempat semula, lalu kembali ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, siang itu terasa begitu panas dan membosankan. Tidak ada tugas tambahan dari Mira atau Haldi, dan Willy mulai merasa tidak betah diam saja. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. ---Taman belakang keluarga Haldi adalah tempat yang menakjubkan. Penuh dengan pohon buah-buahan seperti mangga, jambu, rambu
Sore hari sesuai kesepakatan dengan Delia, Willy meluncur dengan Mini Cooper biru menuju Universitas Arsaka. Ia mengemudi dengan hati-hati, merasa bangga sekaligus gugup menjalankan tugas ini. Mobil mungil itu melaju mulus di jalan raya, menarik perhatian beberapa orang yang meliriknya dengan kagum. “Mobil ini benar-benar memikat,” gumam Willy sambil menyesuaikan posisi kaca spion. Universitas Arsaka mulai terlihat di kejauhan, dengan gerbang besar bergaya modern yang berdiri kokoh di depan. Mahasiswa-mahasiswa terlihat santai berlalu-lalang, beberapa duduk di bangku taman sambil mengobrol atau membaca. Willy memarkir mobil di tepi jalan dekat gerbang dan segera mencari sosok Delia. Namun, apa yang dilihatnya di sana membuatnya tertegun. Delia berdiri di bawah pohon rindang, dikelilingi oleh tiga orang pemuda. Dari kejauhan, Willy bisa melihat salah satu pemuda itu berbicara dengan nada keras, sementara Delia tampak berusaha mempertahankan sikap tenang meskipun jelas terlihat te
Dua pemuda itu menyerang Willy secara bersamaan, masing-masing dengan tinju yang meluncur dari arah berlawanan. Dalam hitungan detik, mereka sudah berada dalam jarak serang. Willy tidak sempat berpikir. Sekali lagi, tubuhnya bergerak sendiri, seolah naluri pertahanannya mengambil alih. Ia melangkah ke samping dengan gesit, menghindari pukulan pertama, sementara tangan kirinya terangkat untuk menangkis tinju yang datang dari arah lain. Gerakannya cepat, hampir tidak terlihat, tetapi sangat akurat. Sebelum salah satu dari mereka sempat melancarkan serangan lagi, Willy melancarkan sebuah tendangan rendah yang menyapu kaki salah satu pemuda, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Pemuda itu mencoba bangkit, tetapi sebelum ia berhasil berdiri, Willy sudah bergerak ke arah yang lain. Pemuda kedua mencoba menyerang dengan sebuah tendangan lurus, tetapi Willy memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan itu. Dengan sebuah pukulan cepat ke perut, pemuda itu kehilangan keseimbangan
Hari ketiga Willy di rumah keluarga Haldi dimulai lebih berat dari dua hari sebelumnya. Kekecewaan atas perlakuan Mira dan Haldi masih menyisakan luka di hatinya, tetapi ia mencoba mengalihkan pikiran dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan. Namun, pagi itu, sebelum matahari sepenuhnya naik, pintu kamarnya digedor keras. “Hey! Bangun kamu!” suara perempuan lantang terdengar dari balik pintu. Willy terbangun dengan tergesa, mengenakan kausnya sebelum membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan raut wajah penuh amarah. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya digerai sempurna, dan ekspresinya menunjukkan jelas bahwa ia tidak sedang dalam suasana hati yang baik. “Heh, kamu kuli baru di sini kan? Siapa namamu?” tanyanya dengan nada tinggi. Willy, meskipun masih setengah mengantuk, menjawab sopan. “Nama saya Willy, Nona.” Wanita itu mendengus. “Zalia. Aku anak sulung di rumah ini. Dan aku tidak punya waktu untuk basa-basi.” Zalia menunjuk ke ar
Tepat tengah hari, Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar Zalia. Dinding yang keropos hanya sedikit, namun Zalia membesar-besarkan masalah seolah-olah seluruh kamar membutuhkan renovasi total. Willy menghela napas panjang saat mengemasi alat-alatnya, berusaha mengabaikan sisa-sisa kemarahan yang sempat meluap di hatinya. Tepat saat ia hendak keluar dari kamar, Delia muncul lagi, kali ini membawa sepiring makan siang yang tampak sangat menggoda. Ia melangkah anggun ke dalam ruangan dan menatap Willy dengan senyum khasnya. “Sudah selesai, ya? Bagus. Sekarang makan dulu,” ujar Delia sambil menyerahkan piring itu kepada Willy. Willy menatapnya dengan sedikit bingung. “Terima kasih, Nona Delia. Tapi ini terlalu merepotkan.” Delia tertawa kecil. “Berhenti memanggilku Nona. Panggil saja Delia. Dan ini bukan merepotkan, aku hanya tidak suka melihatmu kelaparan.” Willy hanya bisa menuruti tanpa banyak bicara. Sambil menikmati makan siangnya, Delia duduk di kursi dan meman
Kerumunan orang di sekitar tempat parkir toko alat tulis masih berdiri, memandangi Willy dengan tatapan penuh keraguan. Namun, Willy tak peduli. Pandangannya tertuju pada pria paruh baya yang terkulai di atas trotoar. Nafas pria itu terdengar berat, dan wajahnya tampak pucat. Delia mencoba menghentikan Willy dengan memegang lengannya. “Willy, jangan gegabah. Nanti malah makin salah,” bisiknya cemas. Namun, Willy hanya tersenyum samar. “Saya tahu apa yang harus dilakukan, Delia.” Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, Willy berlutut di samping pria itu. Ia menempelkan telapak tangannya di perut pria tersebut, tepat di lokasi yang nalurinya tunjukkan sebagai sumber masalah. Tangannya mulai bergerak, memijat dengan tekanan lembut namun penuh makna. Seolah-olah ia sudah dilatih bertahun-tahun, padahal gerakannya sepenuhnya naluriah. Orang-orang di sekitarnya mulai mencemooh. “Dia pikir dia dokter?” “Lihat bajunya, seperti teknisi bengkel. Mana mungkin dia tahu cara menangani i
Pada suatu malam, Mini Cooper biru milik Delia berhenti di halaman rumah keluarga Haldi. Willy keluar dari mobil, menutup pintu dengan perlahan, dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia baru saja kembali setelah seharian sibuk mengurus berbagai hal untuk bisnisnya yang akan segera diluncurkan. Namun, begitu pintu terbuka, suara Mira langsung terdengar tajam menusuk telinga. “Kau ini sebenarnya niat menghidupi Delia atau tidak, Willy?” Mira berdiri di ruang tamu dengan tatapan menghujam, tangan terlipat di dada. Willy yang kelelahan hanya memandang sekilas sebelum berjalan masuk. Namun, Mira melangkah mendekat, tidak memberinya ruang untuk menghindar. “Seharian luntang-lantung entah ke mana, pulang sudah malam seperti ini. Kau hanya mengandalkan suntikan dana dari kami, mertuamu? Lalu badanmu yang masih sehat itu gunanya apa? Atau karena otakmu tumpul, jadi kau tak bisa berpikir untuk merintis kerja yang lebih baik?” Willy menahan napas, mencoba meredam emosinya. Sebelum ia sempat
Rapat dimulai dengan suasana penuh antusias. Willy duduk di meja bersama Ben Dino, Sano, dan Wastin di kafe Centenario yang baru selesai direnovasi. Willy memulai pembicaraan dengan memaparkan ide bisnis beverage dan es krim serta proyek pembangunan hotel yang direncanakan. Ia menjelaskan kembali perkiraan modal, target pasar, dan langkah awal yang telah ia rancang. Sano menyimak dengan seksama, sesekali memberikan masukan. Sementara itu, Ben Dino terlihat tersenyum kecil, seolah sudah memiliki rencana lain di kepalanya. Setelah Willy selesai menjelaskan, Ben membuka suara. “Willy, ide-ide ini sangat bagus. Aku bangga melihat kamu berpikir ke arah yang lebih besar. Dan untuk itu, aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya, aku sudah memiliki solusi untuk beberapa hal penting dalam bisnis ini.” Willy dan yang lain menatap Ben dengan rasa penasaran. “Aku sudah memiliki dua lokasi strategis yang cocok untuk kedua bisnis ini,” ujar Ben dengan tenang. “Satu lokasi berada di pusat
"Ini adalah ide besar, Willy,” ujar Sano sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi ini juga bukan langkah yang bisa diambil sembarangan. Aku rasa kita perlu melibatkan Ayah. Dia punya banyak pengalaman dan mungkin bisa memberi pandangan yang lebih luas.” Willy mengangguk setuju. “Baik, Kak Sano. Aku akan mempersiapkan perhitungan untuk kedua bisnis ini. Kita temui Ayah Ben nanti sore.” “Bagus,” ujar Sano sambil bangkit berdiri. “Aku dan Paman Wastin akan melanjutkan persiapan kafe dulu. Kamu fokus dengan hitunganmu. Kalau ada yang kurang jelas, tinggal hubungi.” Setelah Sano dan Wastin meninggalkan ruangan, Willy mengeluarkan laptopnya. Ia mulai membuat perhitungan untuk kedua bisnis yang direncanakan, yaitu beverage dan es krim serta properti berupa hotel. ---Willy memulai dengan bisnis beverage dan es krim. Ia memperkirakan bahwa modal awal yang dibutuhkan akan mencakup pembelian tanah untuk lokasi pabrik seharga 10 miliar dan pembangunan pabrik sebesar 20 miliar. Mesin-mes
Willy masih merenung di pojok ruangan, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Pikirannya berkecamuk, mencari inspirasi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar membuka kafe. Ia ingin membuktikan kepada semua orang, terutama keluarga Haldi, bahwa ia mampu lebih dari apa yang mereka pikirkan. Tak lama, Sano dan Wastin mendekat. Mereka tampak menyadari kegundahan di wajah Willy. “Kamu kenapa, Willy?” tanya Sano dengan nada tenang sambil menarik kursi dan duduk di dekatnya. Wastin juga ikut duduk di seberang Willy. “Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Ada yang bisa kami bantu?” Willy menghela napas, lalu menatap keduanya. “Aku masih punya 100 miliar pemberian Ayah Ben. Tapi aku bingung bagaimana mengelolanya. Aku ingin memulai bisnis lain selain kafe ini, sesuatu yang lebih besar. Tapi… aku tidak tahu harus mulai dari mana.” Mendengar itu, Sano dan Wastin saling pandang. Sano tersenyum tipis. “Itu bukan masalah, Willy. Kamu hanya butuh arah yang jelas. Denga
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di kafe. Pagi itu, Willy dan Delia sedang bersiap-siap di rumah keluarga Haldi. Delia mengenakan kemeja putih rapi dipadukan dengan rok biru pastel, rambutnya yang panjang dikepang sederhana, tampak cantik seperti biasa. Sementara Willy, dengan penampilan kasual, mengenakan jaket hitam dengan kaos putih di dalamnya. “Sayang, sebelum ke kampus, kita mampir dulu ke rumah Ayah, ya,” ucap Willy sambil memasukkan kunci mobil ke dalam saku. “Kenapa ke sana? Bukannya kita langsung saja pakai Mini Cooper?” tanya Delia. Willy tersenyum kecil. “Aku mau pakai mobilku sendiri kali ini. Mini Cooper-mu biar tetap di sana. Lagipula, sudah lama aku tidak mengeluarkan Centenario-ku.” Delia terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, terserah kamu. Tapi jangan buat heboh di kampus, ya.” “Tenang saja,” jawab Willy sambil menggandeng tangan istrinya. ---Mereka tiba di rumah Ben Dino, ayah angkat Willy, yang terletak di kawasan elit Kota Arsaka. Rumah besa
Matahari bersinar cerah ketika Willy dan Delia memutuskan untuk makan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu sederhana, namun nyaman, dengan meja-meja kayu yang dihiasi bunga segar di setiap sudut. Delia terlihat ceria, menggenggam tangan Willy sambil berbincang ringan tentang rencana mereka untuk masa depan. “Willy, kita harus ke toko buku setelah ini, ya?” ujar Delia sambil menyuap potongan waffle ke mulutnya. “Baik, Sayang,” jawab Willy sambil tersenyum. “Kamu ingin beli buku apa kali ini?” Belum sempat Delia menjawab, pandangan Willy tertuju pada dua sosok yang baru saja memasuki butik mewah di seberang jalan. Mira dan Zalia. Keduanya tampak anggun dengan pakaian mahal dan gaya berjalan penuh percaya diri. Willy langsung mengenali mereka dan, tanpa ragu, melambaikan tangan untuk menyapa. “Nyonya Mira! Nona Zalia!” panggil Willy dengan suara cukup keras. Delia, yang menyadari apa yang dilakukan Willy, segera menahan napas. “Willy, jangan...” Namun terlambat, Mir
Pagi berikutnya, suasana rumah keluarga Haldi kembali terasa tegang. Willy, meski berstatus sebagai pekerja di rumah itu, sebenarnya adalah suami Delia, anak bungsu keluarga Haldi. Pernikahan mereka terjadi diam-diam, tanpa restu keluarga besar, kecuali dari Haldi yang diam-diam menerima keputusan putrinya. Namun, statusnya sebagai suami Delia tidak mengubah perlakuan keluarga lain terhadapnya. Mira, ibu Delia, dan Zalia, kakaknya, terus merendahkan Willy, sementara Keenan, kakak Delia yang lainnya, kerap mencari alasan untuk menghina atau memojokkannya. Hari ini, suasana itu kembali terasa saat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Zalia dan suaminya, Ricky, muncul dengan ekspresi penuh arogansi. Willy sedang menyapu halaman ketika mereka turun dari mobil. "Heh, Willy," panggil Zalia dengan nada tinggi. "Cepat ke gudang, ada barang-barang yang harus kau angkut ke mobil. Jangan lambat!" Willy meletakkan sapunya, menatap Zalia dengan tenang. "Baik, Nona Zalia," jawabnya sopan,
Haldi muncul di ambang ointu ruang tamu dengan wajah datar. Secara garis besar ia sudah tahu duduk permasalahannya karena sempat berhenti di teras untuk beberapa saat sebelum masuk.Keenan yang merasa mendapat angin karena kehadiran ayahnya, segera angkat bicara, "Ayah. Pemuda muskin yang mengaku menantu Ayah ini sudah berbuat tidak senonoh pada Ibu." Haldi terkejut, tapi ia tidak serta merta menerima informasi dari satu sisi saja. Haldi menoleh ke arah Willy. "Benar apa yang dikatakan Keenan, Willy?"Willy masih cukup emosional. Dengan cepat ia menggeleng. "Itu tuduhan tak berdasar, Tuan Haldi. Saya juga heran, bahkan Nyonya Mira juga menuduh seperti itu,"Haldi merasakan ada kejanggalan dari keadaan ini. "Keenan, panggil Ibumu."Tak menunggu lama, Keenan sudah melangkah cepat menaiki tangga untuk memanggil Mira. Tak lebih dari dua menit kemudian Mira sudah turun ke ruang tamu.Haldi menatap teman-teman Keenan dan berkata, "Tolong kalian pulang dulu. Ini masalah keluarga dan privasi
Keenan berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Ibu!” panggilnya keras. “Pak Dany bilang kau tadi sakit dan pingsan. Apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini padamu?” Keenan menuding Willy dengan mata menyala-nyala. Willy hanya berdiri diam, menundukkan kepala, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. Keenan tidak berhenti. “Jangan-jangan dia menganiaya Ibu sampai pingsan? Dasar bajingan tak tahu diri! Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini hanya karena menikahi Delia?” Mira, yang masih lemah, mengangkat tangannya perlahan. “Bukan begitu, Keenan,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ibu tadi memang sakit perut hingga pingsan. Tapi sekarang sudah sembuh… sendiri.” Keenan mengernyit. “Sendiri? Apa maksud Ibu?” Mira menghindari tatapan Willy, lalu melanjutkan, “Willy tadi sok-sokan mau mengobati Ibu. Dia mencoba memijat perut Ibu, seolah dia tahu apa yang dia lakukan. Jelas itu cuma upaya coba-coba yang bisa merugikan Ibu, dong.” Mata Keenan menyipit, menata