Zayyan mengusap wajahnya dengan kasar ketika tak menemukan Zea. Lelaki itu tampak duduk dengan tak tenang. Beberapa kali dia mengumpat kasar dan memaki benda-benda di dekatnya. "Kau tidak bisa pergi dariku, Zea!" tekan Zayyan. Tiba-tiba pintu ruangan Zayyan terbuka. Tampak Zevanya berjalan masuk ke dalam ruangan suaminya itu. "Kau kenapa, Sayang?" tanya Zevanya tersenyum licik. Zayyan yang baru menyadari kehadiran sang istri. Dia menatap wanita itu tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, Zevanya?!" tanyanya dengan nada dingin dan juga tajam. "Apa yang salah jika aku menemui suamiku?" Zayyan tak menanggapi. Jika istrinya itu sudah kembali padanya pasti hanya ada satu yaitu, uang. Zevanya duduk di pangkuan sang suami. Lalu dia mengelus dada lelaki itu dengan lembut. "Jangan sentuh-sentuh, Jalang!" sentak Zayyan mendorong wanita itu hingga jatuh. "Zayyan!" Zevanya merengut kesal. Dia berdiri sudah payah karena gaunnya yang sangat pendek. "Apa yang kau inginkan?" tanya Zayyan taj
Zea mengusap punggung Zayyan, walau dia tidak tahu kenapa lelaki ini memeluknya kian erat? "Kak.""Biarkan sebentar saja! Aku hanya ingin memelukmu," pinta Zayyan mengeratkan pelukannya. Ar kecil melihat sang ayah yang tak seperti biasa. Dalam hati anak kecil itu bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa ayahnya itu tampak gelisah. "Jangan membuatku takut lagi," ungkap Zayyan tanpa sadar. Zea terdiam lalu menghela napas panjang. Tadi saat dia berada di rumah ayahnya, Samuel datang dan mengatakan bahwa terjadi sesuatu pada Ar. Hal itulah yang membuat Zea segera pulang, tetapi saat sampai di mansion Ar malah baik-baik saja dan bermain dengan para pelayan. "Iya, Kak. Aku minta maaf ya!" Zea melepaskan pelukan sang kakak ipar. Dia usap dengan lembut pipi suami kakaknya itu. "Aku tidak ke mana-mana, aku di sini bersama kalian," sambungnya kemudian. Zayyan mengangguk seperti anak kecil. Biarlah seperti ini terus, berpura-pura tidak tahu jika wanita yang di depannya ini bukan
"Mommy, ayo naik!" ajak Ar. Zea menghembuskan napasnya kasar. Walaupun selama ini tidur seranjang dengan Zayyan, tetapi dia tidak pernah merasa secangung ini. Apa karena kejadian panas yang pernah dia lewati bersama sang kakak ipar? "Apa kau akan terus berdiri di situ?" sindir Zayyan kesal. "Memangnya aku harus berdiri di mana, Kak?" tanya Zea polos. "Mommy, cepat naik ke atas ranjang. Ar sudah mengantuk!" desak Ar menguap beberapa kali. Melihat Zea yang diam saja. Zayyan sontak turun dari ranjang, lalu mengangkat tubuh gadis itu akan berbaring di atas ranjang. "Kakak." Sejenak tatapan keduanya bertemu dengan jantung saling berpacu. Wajah Zea merah merona beriringan dengan irama jantung Zayyan. "Maaf, Kak." Segera Zea memalingkan wajahnya. "Setidaknya di depan Ar bersikap baik sedikit lah," bisik Zayyan sebelum akhirnya bangkit dari tubuh wanita itu. Zea memaksa senyum. Lalu bangun dan duduk di samping Ar. "Ar sudah mengantuk?" tanyanya lembut. "Iya, Mommy," jawab Ar terse
Zea membuka mata perlahan. Wanita itu terkejut ketika sudah berada di tengah dua pria tampan sekaligus. Tangan Zayyan dan Ar memeluk petit Zea dengan posesif. "Aduh, kenapa aku bisa tiba-tiba di tengah? Bukannya semalam aku di dekat Ar?" Zea mendengus kesal ketika sudah bergerak. Apalagi tangan Zayyan yang besar itu semakin erat memeluknya. Ditambah tangan mungil Ar yang juga melingkar di sana. "Kak," panggilnya. "Kak, bangun! Aku susah gerak." Bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk wanita yang berada di sampingnya ini. Tubuh Zea begitu hangat dan nyaman. Dia tak mau kehilangan pelukan ini sampai kapanpun. Bolehkah Zayyan berharap jika Zea akan berdiri di sampingnya setiap waktu? "Kakak!" Zea sedikit gerah, apalagi sudah pagi. Sontak kedua pria berbeda usia dan generasi itu mengeliat di dekat Zea. Wajah bantal keduanya justru terlihat menggemaskan di mata Zea. "Pagi, Son," sapa Zea pada Ar. Ar perlahan membuka matanya. Wajah pertama yang dia lihat adalah Zea. S
"Kak, besok aku ada pemotretan di vila tuan Morgan!" ucap Zea meletakan secangkir kopi kental di atas meja Zayyan. "Vila?" Kening Zayyan mengerut. "Iya, Kak. Soalnya kontrak yang bulan lalu belum selesai," jawab Zea. Sebenarnya dia tidak paham sekali masalah dunia modeling. Namun, demi perannya sebagai Zevanya, perlahan Zea mulai mempelajari kehidupan sang kakak. "Batalkan!" tegas Zayyan. "Tapi, Kak–""Aku akan bayar semua denda kontrak itu. Mulai sekarang, kau fokus saja menjadi istriku, melayani aku dan Ar!" tekan Zayyan menutup berkas di atas mejanya.Zea menghela napas panjang. Dia benar-benar tak bisa lepas sedikitpun dari jeratan Zayyan yang terus mengikatnya. Padahal lelaki ini sudah tahu kalau dirinya bukanlah Zevanya, tetapi Zayyan masih keukeh menahannya. "Kenapa diam? Kau tidak suka dengan keputusanku?" Zayyan menatap wanita itu dengan tajam. Jelas dia tidak mau istri palsunya itu berduaan saja dengan laki-laki lain. "Bukan begitu, Kak. Aku bosan saja tinggal di rumah
"Kak, kenapa sih mukanya kusut amat?" Shania terus saja menggoda Sean yang enggan peduli padanya. "Pulang sana!" usir Sean malas. "Dih, jahat amat sih, Kak, sama adik sendiri," sindir Shania. "Eh, Kak. Di mana Kak Zea, tumben tidak ada di sini? Atau Kakak sudah ungkapin perasaan Kakak ke dia?" Sean terdiam. Shania memang menjadi teman curhatnya, ketika dia galau jika berhubungan dengan Zea. Sean menggelengkan kepalanya dengan helaan napas panjang. "Lho, kenapa, Kak?" tanya Shania heran. "Zea sudah tidak bekerja di sini," jawabnya dengan nada berat. Shania terkejut, gadis yang masih berstatus mahasiswa kedokteran semester tujuh itu menatap sang kakak dengan penuh tanda tanya. Tak heran jika Sean terlihat murung seperti ini karena memang Zea satu-satunya wanita yang bisa membuat seorang Sean tersenyum. "Kak Zea ke mana, Kak?" tanya Shania penasaran. "Shan!" Mata Sean berkaca-kaca. Kadang dia tak malu menangis di depan adiknya itu jika sudah merasa benar-benar hancur. "Iya, Kak
"Haduh, habislah aku!" teriak Zea dalam hati. Wanita itu tersenyum kikuk sembari menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia bingung harus jawab apa? Apalagi melihat tatapan mata Zayyan yang seperti siap mengulitinya hidup-hidup. "Hem, tadi aku mencari angin segar di taman, Kak," sangkal Zea. "Bawa tas dan memakai pakaian seperti ini?" Zayyan menatap Zea dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Di luar dingin, Kak. Jadi aku pakai jacket," jawabnya lagi. Zayyan berjalan mendekat ke arah Zea. Sebenarnya dia benar-benar ingin mengekang Zea agar tak ke mana-mana. Namun, dia takut jika wanita itu merasa tak nyaman dan nanti malah pergi meninggalkan dirinya. "Kenapa keluar dingin-dingin? Kau meninggalkan Ar sendirian!" Zea melirik ke arah keponakannya yang tertidur, wanita merasa bersalah karena tadi pergi tanpa izin pada Ar. "Maaf, Kak!" Zea lagi-lagi menunduk. Wanita itu berjalan mundur, saat Zayyan mendekatinya. Lalu Zayyan mendekati telinga Zea hingga membuat wanita itu bergi
"Kenapa diam?" tanya Zayyan yang melihat Zea bungkam ketika dia meminta menggandung anaknya. "Apa kau tidak ingin menggandung anakku lagi?" Zayyan benar-benar ingin mengikat Zea, agar wanita itu selalu ada di sisinya. "Bukan aku tidak mau, tapi..." Zea terdiam sejenak. Ingin rasanya dia jujur bahwa dirinya adalah Zea bukan Zevanya. Namun, entah kenapa hatinya malah ragu. "Tapi kenapa?" tanya Zayyan menatap netra coklat milik Zea. Tatapan wanita ini selalu mampu memberikan sentuhan hangat di relung hati terdalamnya. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya belum siap hamil lagi," sangkal Zea. "Kenapa belum siap? Bukankah aku sudah memintamu berhenti menjadi model serta fokus mengurus aku dan Ar? Apa lagi yang kau takutkan?" Zayyan masih memaksa. Dia ingin menyentuh Zea atas cinta bukan karena paksaan. "Maafkan aku, Kak. Bukan aku tidak mau. Tapi aku bukan istrimu. Aku tidak bisa menggandung anakmu. Kita bahkan sudah melakukan hubungan terlarang tanpa ikatan pernikahan," batin Zea. "Umph!"