Davin melangkahkan kaki berpantofelnya dengan perlahan. Kedua tangannya bersembunyi di dalam saku celana hitam. Jas hitamnya melekat di tubuhnya dengan pas, seolah-olah jas itu hanya diciptakan untuk Davin. Sementara sepasang mata hitamnya mengamati deretan truk-truk besar yang terparkir di sebuah area terbuka yang cukup luas.“Pak Davin, kalau saya boleh tahu, truk mana yang sedang Anda cari?” tanya Vincent di belakang Davin, ia belum paham apa alasan Davin jauh-jauh datang ke pabrik manufaktur ini—yang memproduksi sparepart motor dan mobil.Davin tak menjawab. Rahangnya mengeras, menahan mual akibat hidungnya yang mencium aroma tidak sedap dari solar dan mesin-mesin puluhan truk di hadapannya. Ditambah lagi parfum Vincent—yang sampai saat ini masih belum bersahabat di hidung Davin.“Pak, kita sudah melewati bagian ini dua kali. Anda masih belum menemukan truk yang Anda cari?” tanya Vincent lagi dengan bingung. “Kalau Anda memberitahu saya, saya bisa membantu mencarinya.”Davin menge
“Sepertinya aku harus membuka toko bunga di rumah. Lihat itu, bunga-bunga yang kamu kasih kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi, masih ada di sana. Tapi walau begitu aku sangat suka semua bunga dari kamu.”Davin bersandar di jendela yang terbuka, bersedekap dada. Bibirnya menyunggingkan senyum samar seraya memandangi Jingga, yang terus berbicara sambil menata bunga mawar merah pemberiannya ke dalam vas keramik.“Kamu tahu, Dave, bunga-bunga ini benar-benar membuat hari-hariku menjadi lebih cerah,” ujar Jingga sambil tersenyum melihat ke arah Davin. “Aku selalu merasa terharu setiap kali melihat mereka, karena setiap bunga mengingatkanku akan kebaikan dan kasih sayang kamu.”“Aku senang karena ternyata kamu punya sisi seperti ini.” Davin berkata tanpa melepaskan tatapan matanya dari Jingga.Kening Jingga berkerut bingung. “Sisi seperti apa?”“Banyak bicara.”Jingga mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah bilang kalau aku akan banyak bicara di depan orang yang membuatku nyaman, bukan?”“Mm-hm
Davin tersenyum melihat tingkah lucu Oliver yang tengah bermain-main di pangkuannya."Hey, sudah Papa bilang jangan ke sana. Panas, nanti kamu terbakar," ucap Davin dengan lembut sambil menarik Oliver yang hampir merangkak mendekati api unggun. Ia segera mendudukkan Oliver di pangkuannya dan mengunci dengan pelukan di sekitar tubuh kecil anak itu."Papa!" teriak Oliver dengan riang, mencoba untuk meronta agar bisa keluar dari pelukan Davin."Tidak. Bahaya. Di sini saja," Davin menjelaskan dengan tegas, tetapi tetap lembut, sambil mempertahankan pelukannya.“Papa…!” seru Oliver lagi, masih berusaha membebaskan diri."Aku cemburu," gerutu Jingga dengan bibir cemberut, membuat Davin seketika menoleh pada wanita yang sedang duduk di sampingnya sambil menyandarkan kepala di bahunya.“Siapa yang kamu cemburui, hem?” tanya Davin sambil mengecup puncak kepala Jingga dan menghirup aroma floral yang khas dari rambutnya.Jingga menjawil pipi Oliver sambil tersenyum. “Semakin hari kamu semakin pi
Jingga tersenyum cerah, menatap sebuah buku berbahan kanvas di hadapannya. Setiap lembaran buku itu merupakan lukisan gambar Davin dalam berbagai ekspresi, yang sengaja Jingga buat beberapa hari terakhir.Jingga lantas memasukkan buku itu ke dalam sebuah box yang berukuran tidak terlalu besar. Ia menghias box tersebut dengan tali pita berwarna merah. Rencananya, ia akan memberikan hadiah ini kepada Davin nanti, saat pria itu pulang dari kantor.Ya, tadi pagi Davin pamit kepadanya untuk pergi ke kantor karena ada masalah baru di perusahaan. Davin sempat berjanji bahwa ia akan pulang secepatnya. Dan sebelum pergi, Davin mengingatkan agar Jingga tidak pergi ke mana-mana hari ini.Setelah menaruh box tersebut di dalam lemari, Jingga bergegas menghampiri ranjang saat ia mendengar ponselnya berdering.Diraihnya benda tipis itu yang menelungkup di dekat bantal, dan keningnya berkerut bingung begitu mendapati nomor tidak dikenal di layar ponselnya.Awalnya Jingga menghiraukan panggilan terseb
Sambil mencengkeram amplop berisi surat dan foto tersebut, Jingga keluar dari ruangan kerja Davin. Ia hanya berkata pada Arum yang ia lewati dan tampak khawatir melihat kondisinya.“Aku titip Oliver. Tolong jaga dia baik-baik.”Di luar rumah, Jingga dicegat oleh dua bodyguard berjas hitam.“Maaf, Nyonya. Anda akan pergi ke mana?” tanya salah seorang dari mereka.“Aku ingin menemui suamiku,” jawab Jingga dengan suara dingin tanpa menatap kedua lelaki itu.“Mohon maaf, tapi Anda tidak boleh meninggalkan rumah ini.”“Aku ingin menemui suamiku,” tegas Jingga sekali lagi. Suara Jingga terdengar jauh lebih dingin.“Sekali lagi kami minta maaf, tapi Pak Davin berpesan agar—““Aku bilang aku ingin menemui suamiku!!!” Jingga berteriak, menatap mereka berdua dengan penuh amarah.Mendengar teriakan Jingga, kedua bodyguard itu tampak terkejut. Mereka saling bertatapan sebentar sebelum salah satu dari mereka mengangkat tangan untuk menenangkan Jingga."Maafkan kami, Nyonya. Kami hanya menjalankan
Melihat Jingga meneteskan air mata dan marah padanya, dunia Davin seketika terasa hancur. Ia tidak suka melihat Jingga menangis. Dan hari ini ia telah melukai Jingga lagi akibat kesalahan yang pernah diperbuatnya. Davin keluar dari kebekuannya, dan ia baru sadar Jingga telah pergi.Detik itu juga, Davin segera menyusul Jingga keluar dengan wajah pucat pasi. Ia harus mencegah Jingga. Wanita itu tidak boleh menumpangi mobil apapun! Atau Davin tidak bisa mencegah kematiannya.“Jingga, tunggu! Kumohon tunggu aku sebentar! Aaargh!” Davin menggeram frustrasi dan menjambak rambut ketika pintu lift yang membawa Jingga, di hadapannya dengan jarak sekitar tujuh meter darinya, tertutup. Davin tidak keburu menjangkaunya.Sebelum pintu tertutup beberapa detik yang lalu, Davin sempat melihat Jingga menunduk sambil menangis, dan pemandangan itu membuat dada Davin terasa nyeri. Ia ingin merengkuh Jingga dan menenangkannya. Namun, ia terlambat.Setibanya di depan lift itu, Davin menekan-nekan call bu
Dengan tangan gemetar, Jingga meraih pintu mobil dan mencoba membukanya. Namun, pintu itu terkunci. Kaca pintunya hancur. Dengan panik, Jingga lantas mengetuk kaca depan mobil, berteriak memanggil-manggil nama Davin."Dave! Davin, bangun! Tolong, buka pintunya!" jerit Jingga, suaranya pecah di tengah keputusasaan. Air matanya tak terbendung lagi, ia menangis sejadi-jadinya dengan hati terluka.Dodi dan beberapa orang lain yang berhenti untuk membantu sudah berada di sekitar mobil, mencoba membantu Jingga. Namun, mobil itu terlalu rusak untuk bisa dibuka dengan mudah.Tiba-tiba, Jingga merasakan tangannya tergenggam erat oleh tangan Davin yang terkulai lemah dari dalam mobil, terasa hangat dan lembut. Mata Davin terbuka setengah, mencoba memandang Jingga dengan susah payah.“Sayang, kamu baik-baik saja?” desis Davin dengan suara serak, setiap kata yang terucap terasa seperti usaha terakhirnya.Jingga balas menggenggam tangan Davin dengan erat, di saat kondisi seperti ini Davin masih me
“Perempuan pembawa sial!" desis Lucy tajam. "Gara-gara kamu anak saya jadi celaka!”Jingga tercenung. Ia diam saat Lucy mendorong bahunya dengan kasar.Seakan belum puas menyudutkan Jingga, dengan penuh amarah Lucy berseru, “Kalau kamu tidak mengganggu dia di kantor tadi siang, dan kalau dia tidak menyusul kamu, anak saya akan baik-baik saja sekarang!”Lucy kembali mendorong bahu Jingga. “Sekarang apa yang akan kamu lakukan?! Kamu harus bertanggung jawab kalau anak saya kenapa-napa!” teriak Lucy lagi, suaranya menggema di lorong yang sepi itu.“Mi! Sudahlah! Ngapain, sih, marah-marah?” Amarylis mengingatkan dengan ekspresinya yang tampak kacau. Matanya sembab. Tubuhnya terlihat lemah.Namun, Lucy tidak menghiraukannya. Bak orang kesetanan, dia mendorong bahu Jingga sekali lagi, lalu menjambak rambutnya sambil menyerukan sumpah serapah dengan marah.Jingga hanya diam dengan tatapan menerawang. Ia tak memiliki keinginan untuk melawan. Botol infusan terjatuh dari tangannya, menyebabkan d