Jingga meraih tangan Davin. Menggenggamnya dengan lembut. Lalu menempelkan telapak tangan pria itu ke pipinya.Untuk waktu yang cukup lama Jingga hanya menghabiskan waktu dengan memandangi wajah Davin yang pucat dan tenang. Luka-luka di wajah dan gips pada kaki Davin membuat hati Jingga sakit saat memandangnya.“Sudah tiga hari kamu tidur, Dave,” gumam Jingga dengan tatapan penuh kerinduan. “Kapan kamu mau bangun?”Hening. Tak ada jawaban. Hanya bunyi konstan dari alat pemantau yang terhubung dengan Davin, yang terdengar memenuhi ruangan sunyi itu.Sudah tiga hari berlalu sejak operasi selesai dilakukan. Namun, sampai saat ini, Davin tak kunjung mendapat kesadarannya. Membuat hari-hari Jingga terasa gelap dan sunyi.“Demam Oliver sudah sembuh,” lanjut Jingga lagi, ingin mencurahkan isi hatinya hari ini pada suaminya. “Tapi dia selalu rewel dan terus nyari kamu di rumah. Sepertinya dia juga merasa kehilangan papanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Jingga menarik napas dalam-dala
Jingga keluar dari lift, melangkah dengan cepat menuju sebuah ruangan rawat VIP di ujung lorong. Sorot matanya penuh dengan kebahagiaan dan tampak bersemangat.“Bu Jingga sudah sampai?”Mendengar pertanyaan itu, Jingga seketika menoleh ke belakang dan mendapati pria berambut seperti model rambut tentara. “Oh, Vincent? Kamu juga baru sampai?”“Iya. Tadi saya sedang di kantor polisi saat mendapat kabar dari salah satu anak buah Pak Davin, bahwa Pak Davin sudah siuman.”Keduanya melangkah bersama-sama. Seorang anak buah Davin yang berjaga di depan pintu langsung membukakan pintu untuk mereka berdua.Jingga merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti akan bertemu dengan kekasih yang sudah lama ia rindukan.Pintu terbuka, ia tersenyum lebar, semua orang yang berada di dalam ruangan itu seketika menoleh ke arahnya.Tatapan Jingga langsung tertuju pada sosok pria yang sedang berbaring setengah duduk di atas ranjang pasien. Pria itu menatap ke arahnya. Jingga membalas tatapannya
“Gimana kepala kamu? Masih sakit?” Jingga menutup pintu di belakangnya.Pria yang semula sedang menatap ke arah luar jendela itu seketika menoleh, menatap kaki Jingga dengan tatapan dingin dan menelisik. Ia tidak menjawab pertanyaan Jingga.“Kamu pasti bingung dengan kenyataan yang kamu dapati sekarang.” Jingga menarik sebuah kursi di pinggir ranjang dan mendaratkan bokongnya di sana. “Termasuk kaki aku. Dari tadi kamu terus menerus menatapnya. Kenapa? Kaki aku indah juga, bukan?”Davin mendengus kasar dan membuang muka ke arah lain.Meski terkesan diabaikan, Jingga sama sekali tidak menyerah. Ia kembali bertanya, “Ada yang kamu inginkan sekarang? Minum mungkin? Atau makanan? Tiga hari nggak bangun sepertinya perutmu—““Aku ingin kamu pergi dari hadapanku,” sela Davin dengan suara dingin, ia sibuk dengan remote televisi, memindah-mindahkan chanel tanpa minat.Jingga tertawa pelan. Tawanya berhasil mengundang perhatian Davin yang langsung menatapnya dengan mata melebar tajam.“Kenapa t
“Saat saya sedang di florist, saya mendapat telepon dari Dicky, manajer HRD kita,” lanjut Vincent, “dia katanya mendapat pesan dari Anda untuk menghubungi saya sebelum Anda pergi terburu-buru.”Davin mendengarkan dengan kening berkerut, tatapan matanya campuran antara percaya dan tidak.“Melalui Dicky, Anda menyuruh saya untuk menghubungi Dodi, agar Dodi yang membawa Bu Jingga saat itu, menghentikan mobilnya saat itu juga. Tapi... setelah saya selesai menelepon Dodi, kecelakaan itu tiba-tiba terjadi.“Anda tertabrak atau ditabrak mobil SUV tepat di depan mobil yang Bu Jingga tumpangi. Saat itu Anda sepertinya sedang mengejar Bu Jingga.”“Untuk apa aku mengejar dia?” Davin menatap Vincent dengan mata disipitkan.Vincent menggeleng. “Saya tidak tahu alasan pastinya, hanya Anda dan Bu Jingga yang tahu,” timpalnya tanpa ragu. “Tapi Mia bilang, sebelumnya Bu Jingga sempat datang ke kantor Anda dan terjadi keributan di sana. Sebelum akhirnya Bu Jingga dan Anda sama-sama pergi.”Mendengar pe
Dengan kursi rodanya, Davin pergi ke taman rumah sakit. Ia menolak saat bodyguard menawarkan diri untuk mendorongnya. Ia lebih suka pergi sendiri meski tidak seleluasa saat ia berjalan. Menurut Davin, dirinya akan semakin terlihat lemah saat kursi rodanya didorong oleh orang lain.Hangat sinar matahari yang menimpanya setibanya di taman, membuat pikiran Davin terasa jauh lebih ringan setelah kenyataan yang ia dapati membuat kepalanya terasa penuh.Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit milik New Pacific Group. Hasil rancangan seorang arsitek ternama. Taman rumah sakit ini bukanlah sekadar ruang terbuka. Ini adalah oase damai di tengah beton dan kaca bangunan modern. Pepohonan rindang memberikan naungan, sementara bunga-bunga berwarna-warni menghiasi tepi jalan setapak.Saat matanya sibuk memandangi beberapa pasien yang sedang berburu sinar matahari ditemani oleh keluarga mereka, tanpa sengaja tatapan Davin tertuju pada dua orang yang tengah duduk berdampingan di kursi kayu,
Setelah mendengar apa yang Jingga katakan di taman beberapa saat yang lalu, Davin menjadi lebih pendiam. Pria itu tidak protes saat Jingga membantu menaikkannya ke atas ranjang dan menyelimutinya. Kemudian dengan lembut, Jingga memeriksa selang infus yang tersambung ke lengan Davin, memastikan semuanya berjalan dengan baik.Tatapannya lantas teralihkan pada punggung tangan Davin yang penuh dengan bekas luka dan goresan, mengingatkan Jingga pada betapa berbahayanya kecelakaan yang dialami pria itu. Melihat tanda-tanda cedera pada tubuh Davin membuat hati Jingga terasa berat, akan tetapi Jingga merasa bersyukur karena Davin masih bisa berada di sisinya.“Kamu nggak menyuruhku pergi lagi?” tanya Jingga seraya mencari sesuatu di dalam tasnya yang teronggok di sofa.Davin mendengus seraya menatap layar televisi yang menayangkan berita dengan volume rendah. “Aku nggak peduli lagi apa yang kamu lakukan,” tukasnya, “menyuruhmu pergi tapi tidak didengarkan membuatku lelah!”Jingga menahan seny
Jingga merasakan pipinya memanas seketika. Ia berguling ke kiri dan kanan, lalu menangkup pipinya dengan perasaan tak karuan. Kejadian memalukan siang tadi di rumah sakit, saat Davin tiba-tiba memeluknya dan berkata hal-hal aneh, terbayang-bayang lagi di benak Jingga. Membuat Jingga merasa malu dan salah tingkah sendiri malam ini.“Walaupun amnesia dia tetap saja menyebalkan!” gumam Jingga seraya menaruk selimut menutupi wajahnya, seolah-olah ia khawatir pipinya yang merah terlihat oleh Davin. Padahal malam ini mereka berdua berada di tempat yang berbeda.Siang tadi, setelah kejadian canggung bersama Davin yang membuat jantung Jingga berdebar-debar, Lucy tiba-tiba datang dan membuat kecanggungan itu hilang dalam sekejap.Lucy menjenguk Davin sambil membawa makanan kesukaan putranya itu. Dan yang membuat Jingga merasa cukup aneh adalah sikap Lucy kepadanya, yang berubah menjadi baik di hadapan Davin. Entah apa yang ada di pikiran ibu mertuanya saat itu, Jingga sama sekali tidak mengert
Mimik wajah Davin yang suram adalah pemandangan pertama yang Jingga lihat begitu ia tiba di ruangan itu.Jingga menghela napas pelan, lalu tersenyum. “Selamat malam!”Davin tidak menyahut. Sepasang mata pria itu mengikuti ke manapun Jingga melangkah. Jingga menaruh barang bawaannya di sofa.“Bagaimana sekarang? Perut kamu masih mual-mual?” Jingga menggelung rambutnya seraya menghampiri Davin.“Menurutmu? Apa mualku akan langsung hilang setelah melihatmu?” ketus Davin seraya bersedekap dada dan memejamkan mata.“Iya, kurasa begitu.”“Apa?” Mata Davin kembali terbuka dan menyipit pada Jingga.Jingga mengulum senyum, ia mendaratkan bokongnya di tepian ranjang. “Dulu, kamu juga sering merasa mual dan obat yang paling ampuh untuk menghilangkannya adalah bertemu denganku.”Mendengarnya, mata Davin seketika melebar tak percaya. Tidak mungkin! Davin yang dulu berkata seperti itu pasti jelmaan roh yang sedang bucin akut, pikirnya dengan ngeri.“Terserah apa katamu,” tukas Davin sambil memejamk
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah