“Saat saya sedang di florist, saya mendapat telepon dari Dicky, manajer HRD kita,” lanjut Vincent, “dia katanya mendapat pesan dari Anda untuk menghubungi saya sebelum Anda pergi terburu-buru.”Davin mendengarkan dengan kening berkerut, tatapan matanya campuran antara percaya dan tidak.“Melalui Dicky, Anda menyuruh saya untuk menghubungi Dodi, agar Dodi yang membawa Bu Jingga saat itu, menghentikan mobilnya saat itu juga. Tapi... setelah saya selesai menelepon Dodi, kecelakaan itu tiba-tiba terjadi.“Anda tertabrak atau ditabrak mobil SUV tepat di depan mobil yang Bu Jingga tumpangi. Saat itu Anda sepertinya sedang mengejar Bu Jingga.”“Untuk apa aku mengejar dia?” Davin menatap Vincent dengan mata disipitkan.Vincent menggeleng. “Saya tidak tahu alasan pastinya, hanya Anda dan Bu Jingga yang tahu,” timpalnya tanpa ragu. “Tapi Mia bilang, sebelumnya Bu Jingga sempat datang ke kantor Anda dan terjadi keributan di sana. Sebelum akhirnya Bu Jingga dan Anda sama-sama pergi.”Mendengar pe
Dengan kursi rodanya, Davin pergi ke taman rumah sakit. Ia menolak saat bodyguard menawarkan diri untuk mendorongnya. Ia lebih suka pergi sendiri meski tidak seleluasa saat ia berjalan. Menurut Davin, dirinya akan semakin terlihat lemah saat kursi rodanya didorong oleh orang lain.Hangat sinar matahari yang menimpanya setibanya di taman, membuat pikiran Davin terasa jauh lebih ringan setelah kenyataan yang ia dapati membuat kepalanya terasa penuh.Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit milik New Pacific Group. Hasil rancangan seorang arsitek ternama. Taman rumah sakit ini bukanlah sekadar ruang terbuka. Ini adalah oase damai di tengah beton dan kaca bangunan modern. Pepohonan rindang memberikan naungan, sementara bunga-bunga berwarna-warni menghiasi tepi jalan setapak.Saat matanya sibuk memandangi beberapa pasien yang sedang berburu sinar matahari ditemani oleh keluarga mereka, tanpa sengaja tatapan Davin tertuju pada dua orang yang tengah duduk berdampingan di kursi kayu,
Setelah mendengar apa yang Jingga katakan di taman beberapa saat yang lalu, Davin menjadi lebih pendiam. Pria itu tidak protes saat Jingga membantu menaikkannya ke atas ranjang dan menyelimutinya. Kemudian dengan lembut, Jingga memeriksa selang infus yang tersambung ke lengan Davin, memastikan semuanya berjalan dengan baik.Tatapannya lantas teralihkan pada punggung tangan Davin yang penuh dengan bekas luka dan goresan, mengingatkan Jingga pada betapa berbahayanya kecelakaan yang dialami pria itu. Melihat tanda-tanda cedera pada tubuh Davin membuat hati Jingga terasa berat, akan tetapi Jingga merasa bersyukur karena Davin masih bisa berada di sisinya.“Kamu nggak menyuruhku pergi lagi?” tanya Jingga seraya mencari sesuatu di dalam tasnya yang teronggok di sofa.Davin mendengus seraya menatap layar televisi yang menayangkan berita dengan volume rendah. “Aku nggak peduli lagi apa yang kamu lakukan,” tukasnya, “menyuruhmu pergi tapi tidak didengarkan membuatku lelah!”Jingga menahan seny
Jingga merasakan pipinya memanas seketika. Ia berguling ke kiri dan kanan, lalu menangkup pipinya dengan perasaan tak karuan. Kejadian memalukan siang tadi di rumah sakit, saat Davin tiba-tiba memeluknya dan berkata hal-hal aneh, terbayang-bayang lagi di benak Jingga. Membuat Jingga merasa malu dan salah tingkah sendiri malam ini.“Walaupun amnesia dia tetap saja menyebalkan!” gumam Jingga seraya menaruk selimut menutupi wajahnya, seolah-olah ia khawatir pipinya yang merah terlihat oleh Davin. Padahal malam ini mereka berdua berada di tempat yang berbeda.Siang tadi, setelah kejadian canggung bersama Davin yang membuat jantung Jingga berdebar-debar, Lucy tiba-tiba datang dan membuat kecanggungan itu hilang dalam sekejap.Lucy menjenguk Davin sambil membawa makanan kesukaan putranya itu. Dan yang membuat Jingga merasa cukup aneh adalah sikap Lucy kepadanya, yang berubah menjadi baik di hadapan Davin. Entah apa yang ada di pikiran ibu mertuanya saat itu, Jingga sama sekali tidak mengert
Mimik wajah Davin yang suram adalah pemandangan pertama yang Jingga lihat begitu ia tiba di ruangan itu.Jingga menghela napas pelan, lalu tersenyum. “Selamat malam!”Davin tidak menyahut. Sepasang mata pria itu mengikuti ke manapun Jingga melangkah. Jingga menaruh barang bawaannya di sofa.“Bagaimana sekarang? Perut kamu masih mual-mual?” Jingga menggelung rambutnya seraya menghampiri Davin.“Menurutmu? Apa mualku akan langsung hilang setelah melihatmu?” ketus Davin seraya bersedekap dada dan memejamkan mata.“Iya, kurasa begitu.”“Apa?” Mata Davin kembali terbuka dan menyipit pada Jingga.Jingga mengulum senyum, ia mendaratkan bokongnya di tepian ranjang. “Dulu, kamu juga sering merasa mual dan obat yang paling ampuh untuk menghilangkannya adalah bertemu denganku.”Mendengarnya, mata Davin seketika melebar tak percaya. Tidak mungkin! Davin yang dulu berkata seperti itu pasti jelmaan roh yang sedang bucin akut, pikirnya dengan ngeri.“Terserah apa katamu,” tukas Davin sambil memejamk
Jingga keluar dari kamar mandi dan ia melihat raut muka Davin berubah. Tidak ketus, tapi juga tidak ramah. Benar-benar raut muka yang sulit sekali diartikan. Mata pria itu pun sempat tertuju pada perut Jingga sesaat, sebelum berpaling ke arah lain.Namun Jingga memilih untuk tidak bertanya apa alasan mood pria itu berubah, perutnya sudah merasa lapar dan ia memutuskan menyantap sarapannya terlebih dulu.Selain ada hidangan bacon dan telur, ada juga panekuk dan buah-buahan. Jingga tidak yakin ia bisa menghabiskan semua makanan itu. Sepertinya Davin membeli semua itu karena dia belum tahu makanan favorit Jingga.Setelah Jingga menghabiskan bacon dan telur, ia tiba-tiba mendapat panggilan video dari Amarylis. Jingga tersenyum dan mengangkat panggilan tersebut. Wajah Oliver yang sedang menangis seketika muncul di layar ponselnya.“Kak Jingga, dia baru bangun terus nangis nyariin Kakak,” ujar Amarylis, “maaf ya, aku nggak bisa nenangin dia kali ini.”Jingga tersenyum, mengangguk. “Nggak apa
“Sayang, mau titip pesan apa ke Papa hari ini, hem?” tanya Jingga.Lalu terdengar celotehan Oliver yang sama sekali tidak bisa dimengerti, seolah-olah dia sedang menimpali pertanyaan ibunya.“Apa...? Mama harus menyampaikan pesan kamu ke Papa, kalau kamu sayang Papa?” Jingga menaruh maskara ke tempat make up sebelum ia menoleh, tersenyum pada putranya yang berambut hitam legam seperti Davin itu, duduk di baby chair.Oliver tertawa. Dia mengangguk lucu seakan mengerti apa yang ibunya ucapkan.Jingga mendekat, berjongkok di depan Oliver, kedua tangannya ia tangkupkan di pipi Oliver yang chubby. “Baiklah. Mama akan berusaha sampaikan pesan kamu ke Papa, ya.” Ia tersenyum penuh kelembutan. “Oliver jangan sedih, ya. Sebentar lagi Papa pasti akan pulang. Papa sayaaaang banget sama Oliver. Hem?”Oliver kembali tertawa sambil berseru, “Papa...!”Jingga mengangkat anak itu ke pangkuan, mengecup keningnya sambil berjalan keluar dari kamar. Lalu ia menyerahkan Oliver pada Arum.“Saya senang seka
“Sial! Kenapa nomornya tidak aktif?” desis Davin pada dirinya sendiri.Seraya mendengus kasar, ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap nama Vincent di layar dengan geram.Sudah sejak kemarin Vincent tidak bisa dihubungi, bahkan lelaki itu tidak ada menjenguknya lagi ke rumah sakit. Padahal sebagai seorang asisten pribadi, seharusnya Vincent selalu siap siaga di dekat Davin.‘Lihat saja, kali ini aku benar-benar akan menahan gajimu!’ batin Davin dengan kesal.Ia membanting ponsel ke atas sofa, lalu menggerakan kursi rodanya menuju dinding kaca.Cukup lama Davin berdiam diri di sana, memandangi area taman di bawah, yang menjadi tempat pertemuan terakhirnya dengan Jingga kemarin pagi.Kala mengingat nama Jingga, dada Davin tiba-tiba terasa nyeri dan sesak. Hatinya diliputi perasaan ingin bertemu, tapi juga kecewa dalam waktu bersamaan. Ingin menggali lebih dalam hubungan mereka berdua, tapi keinginannya itu terbabat habis oleh fakta yang ia dengar dari Chelsea kemarin.“Dave, kamu