“Sial! Kenapa nomornya tidak aktif?” desis Davin pada dirinya sendiri.Seraya mendengus kasar, ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap nama Vincent di layar dengan geram.Sudah sejak kemarin Vincent tidak bisa dihubungi, bahkan lelaki itu tidak ada menjenguknya lagi ke rumah sakit. Padahal sebagai seorang asisten pribadi, seharusnya Vincent selalu siap siaga di dekat Davin.‘Lihat saja, kali ini aku benar-benar akan menahan gajimu!’ batin Davin dengan kesal.Ia membanting ponsel ke atas sofa, lalu menggerakan kursi rodanya menuju dinding kaca.Cukup lama Davin berdiam diri di sana, memandangi area taman di bawah, yang menjadi tempat pertemuan terakhirnya dengan Jingga kemarin pagi.Kala mengingat nama Jingga, dada Davin tiba-tiba terasa nyeri dan sesak. Hatinya diliputi perasaan ingin bertemu, tapi juga kecewa dalam waktu bersamaan. Ingin menggali lebih dalam hubungan mereka berdua, tapi keinginannya itu terbabat habis oleh fakta yang ia dengar dari Chelsea kemarin.“Dave, kamu
Jingga menghela napas berat seraya memandangi gedung rumah sakit di hadapannya. Ia berharap kali ini Davin mau menemuinya lagi. Bagaimanapun juga, Jingga harus meminta penjelasan kenapa Davin tiba-tiba menjauh.Langkah kaki Jingga terayun melewati lobi, lift dan lorong dengan jantung berdebar-debar. Perasaannya tak karuan, antara rindu dan takut ditolak, bercampur menjadi satu.Setibanya di depan pintu ruang rawat Davin, Jingga merasa heran karena tidak ada bodyguard yang berjaga di depan pintu.Bukankah seharusnya Jingga senang, tidak ada lagi dua pria yang menghalanginya sekarang? Namun perasaan Jingga mendadak tidak nyaman.Ia pun mendorong pintu di hadapannya.Seketika, Jingga tercenung.Ruangan itu tampak sepi dan kosong. Selimut di atas kasur terlipat rapi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan itu sedang digunakan untuk merawat pasien.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang staf medis yang menghampiri Jingga.Jingga menoleh, dan ia melihat pera
Davin mengancingkan kemeja hitamnya seraya menatap pantulan dirinya di cermin. Meski acara malam ini bukan acara formal, dan meski kakinya belum bisa berjalan tanpa kruk, tapi Davin adalah Davin, yang lebih suka memakai setelan formal seperti saat ini.Pintu kamarnya tiba-tiba didorong kasar, membuat Davin menoleh ke arah pintu dan ia langsung disuguhi pemandangan wajah cemberut Amarylis yang berjalan menghampirinya.“Mau ke mana?” tanya Amarylis, ketus.Davin tersenyum kecil. “Jangan bicara ketus dan cemberut sama kakakmu sendiri. Kamu jadi terlihat jelek.”“Mas mau pergi sama wanita genit itu?” desak Amarylis tanpa menghiraukan ucapan Davin sebelumnya.“Iya,” jawab Davin, "tapi harus kamu tahu kalau dia bukan wanita genit."Amarylis mendengus sekaligus tertawa sinis. “Yang benar saja dong, Mas! Masa Mas mau menyia-nyiakan istri sebaik Kak Jingga demi wanita ular yang nggak punya urat malu itu?!” berang Amarylis dengan nada tinggi. Ia menatap kakaknya dengan jengkel.Davin berdiri men
Suara dentuman keras dari dua mobil yang beradu, membuat kepala Davin tiba-tiba diserang rasa sakit yang luar biasa. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum. Davin mengerang kesakitan, memegangi kepalanya yang terasa akan pecah.Namun, di balik rasa sakit yang tak tertahankan itu, Davin merasakan sesuatu yang aneh. Kilatan-kilatan memori mulai muncul di benaknya, memecah kegelapan yang menyelimuti ingatannya.Ia ingat bagaimana ia terjepit di dalam mobil sambil menatap tak berdaya pada Jingga yang menangis histeris. Ia ingat bagaimana ia memacu mobil sedan dengan kecepatan penuh lalu menghalangi mobil Jingga yang akan tertabrak mobil di hadapan mereka.Satu persatu ingatan yang lain muncul saling susul menyusul bagai kumpulan cuplikan film. Tentang kepergian dirinya dan Jingga ke Roma. Tentang kejutan pesta ulang tahun. Tentang canda dan tawa mereka berdua.‘Jingga...,’ bisik Davin dalam hati dengan dada yang terasa nyeri.Ia masih tertunduk memegangi kepala. Perlahan ia ingat semuanya.
Davin tidak tahu ke mana tujuan Jingga pergi. Satpam dan Dodi juga tidak diberitahu oleh Jingga.Masih dengan wajah pucat pasi di dalam mobil yang melaju menuju bandara, Davin menghubungi Roy—salah satu bodyguard yang ia pekerjakan untuk menjaga Jingga dan Oliver.“Halo?” sapa Roy sesaat setelah panggilan Davin terangkat. “Apa ini benar-benar Pak Da—““Ke mana Jingga?” sela Davin dengan tajam.“Bu Jingga? Mohon maaf, Pak, saya tidak tahu karena—““Tidak tahu, kamu bilang?” Davin geram mendengar jawaban tak bertanggung jawab dari pria itu. “Bukankah sudah kusuruh kamu mengawasi istriku? Kenapa bisa kamu tidak tahu keberadaan dia sekarang?” berangnya, marah.“Saya dan teman-teman yang lain meminta maaf kepada Anda, Pak Davin. Kami sudah tidak bekerja lagi di rumah Anda sejak beberapa hari yang lalu.”“Apa maksdmu?” Davin menajamkan tatapannya dengan rahang berkedut.“Nyonya Lucy sudah memecat kami.”“Sialan!” umpat Davin seraya mengepalkan tangan. Lagi-lagi ibunya ikut campur urusannya.
Sebuah tarikan pelan di bajunya yang diiringi rengekan, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari pemandangan laut, ke arah Oliver yang duduk di babychair di sampingnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Jingga dengan lembut seraya merapikan rambut Oliver yang terbang tersibak angin.Mengerti pertanyaan ibunya, anak itu menunjuk-nunjuk piring kosong di hadapannya, sementara mulutnya penuh dengan buah pisang yang tengah ia kunyah.“Ooh... mau tambah lagi pisangnya?”Oliver mengangguk cepat. Jingga terkekeh pelan melihat tingkah putranya yang hobi makan pisang itu.Jingga mengupas satu buah pisang dan memotongnya menjadi potongan kecil, lalu ia taruh di piring Oliver. Sejenak Jingga memandangi anak itu yang tampak bersemangat. Matanya bersinar ceria, membuat Jingga tersenyum karena sorot matanya mengingatkannya pada Davin.Apa kabar pria itu sekarang?Jingga menghela napas berat.Ternyata pergi ke Bali tak lantas membuat ia lupa pada Davin. Tapi justru Jingga semakin merindukannya.Namun di bal
Davin berhasil menemukan lokasi Jingga dan Amarylis setelah ia meminta bantuan seseorang yang ahli di bidangnya. Ia tiba di restoran itu dan langsung disuguhi pemandangan yang membuat dadanya terasa terbakar.Bagaimana tidak?Di meja yang ada di dekat pagar pembatas sana, Jingga terlihat sedang duduk dengan seorang pria, ada Oliver di tengah-tengah mereka.Keduanya mengobrol dengan serius dan tampak akrab, sesekali Jingga mengangguk sambil tersenyum antusias, membuat Davin mengepalkan tangan menyaksikannya.Tanpa tunggu lama Davin segera melangkahkan kakinya mendekati meja tersebut. Lalu berhenti dan berkata, “Aku cari ke mana-mana. Ternyata... istriku sedang asyik mengobrol di sini, ya?”Ia memperhatikan wajah Jingga yang seketika berubah kaget, sepasang mata indahnya yang Davin rindukan itu kini terbelalak.“Bagaimana? Apakah menyenangkan mengobrol dengan pria lain di sini, Sayang?” tanya Davin lagi, ia sempat melirik dingin pada pria bule—yang juga tengah menatapnya penuh keherana
Di meja kosong, ia duduk sendirian di tengah ingar bingar club malam. Matanya mengedar ke sekeliling, lalu mengembuskan napas kasar begitu ia menemukan tiga orang pria yang terus mengikutinya ke manapun ia pergi.“Selamat malam, Pak Vincent,” sapa bartender yang menyerahkan pesanannya. “Ini minuman pesanan Anda.”Vincent mengamati bartender yang amat dikenalinya itu, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku jaketnya. Di antara telapak tangan dan bungkus rokok itu terselip kertas.“Pak Danish ada?” Vincent bertanya mengenai teman Davin pada bartender yang masih berdiri di sampingnya itu.“Pak Danish baru saja keluar beberapa menit yang lalu. Ada yang ingin Anda sampaikan?”Vincent melirik tiga pria mata-mata itu. Setelah memastikan mereka tidak melihat ke arahnya dan asyik mengobrol, Vincent menyerahkan secarik kertas tadi pada sang bartender.“Berikan ini pada Pak Danish kalau kamu bertemu dia. Pastikan pesan ini sampai ke tangannya. Ini sangat penting.”Bartender mengangguk,
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah