Share

152. Putus Asa

Author: Rosa Uchiyamana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Davin tidak tahu ke mana tujuan Jingga pergi. Satpam dan Dodi juga tidak diberitahu oleh Jingga.

Masih dengan wajah pucat pasi di dalam mobil yang melaju menuju bandara, Davin menghubungi Roy—salah satu bodyguard yang ia pekerjakan untuk menjaga Jingga dan Oliver.

“Halo?” sapa Roy sesaat setelah panggilan Davin terangkat. “Apa ini benar-benar Pak Da—“

“Ke mana Jingga?” sela Davin dengan tajam.

“Bu Jingga? Mohon maaf, Pak, saya tidak tahu karena—“

“Tidak tahu, kamu bilang?” Davin geram mendengar jawaban tak bertanggung jawab dari pria itu. “Bukankah sudah kusuruh kamu mengawasi istriku? Kenapa bisa kamu tidak tahu keberadaan dia sekarang?” berangnya, marah.

“Saya dan teman-teman yang lain meminta maaf kepada Anda, Pak Davin. Kami sudah tidak bekerja lagi di rumah Anda sejak beberapa hari yang lalu.”

“Apa maksdmu?” Davin menajamkan tatapannya dengan rahang berkedut.

“Nyonya Lucy sudah memecat kami.”

“Sialan!” umpat Davin seraya mengepalkan tangan. Lagi-lagi ibunya ikut campur urusannya.
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
ayo Davin temukan jingga
goodnovel comment avatar
Shafi27
Susul cepet sebelum Oliver dapat papi bule disini Vin wkwk
goodnovel comment avatar
kak rose
jiaahhh...ayo Dave, susul Jingga ke Baliii Kasian sm Davin, pasti kakinya sakit banget deh. Ngiluu euy...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Istri Manis sang Pewaris   153. Bule Tidak Diundang

    Sebuah tarikan pelan di bajunya yang diiringi rengekan, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari pemandangan laut, ke arah Oliver yang duduk di babychair di sampingnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Jingga dengan lembut seraya merapikan rambut Oliver yang terbang tersibak angin.Mengerti pertanyaan ibunya, anak itu menunjuk-nunjuk piring kosong di hadapannya, sementara mulutnya penuh dengan buah pisang yang tengah ia kunyah.“Ooh... mau tambah lagi pisangnya?”Oliver mengangguk cepat. Jingga terkekeh pelan melihat tingkah putranya yang hobi makan pisang itu.Jingga mengupas satu buah pisang dan memotongnya menjadi potongan kecil, lalu ia taruh di piring Oliver. Sejenak Jingga memandangi anak itu yang tampak bersemangat. Matanya bersinar ceria, membuat Jingga tersenyum karena sorot matanya mengingatkannya pada Davin.Apa kabar pria itu sekarang?Jingga menghela napas berat.Ternyata pergi ke Bali tak lantas membuat ia lupa pada Davin. Tapi justru Jingga semakin merindukannya.Namun di bal

  • Istri Manis sang Pewaris   154. Tiga Pertanyaan

    Davin berhasil menemukan lokasi Jingga dan Amarylis setelah ia meminta bantuan seseorang yang ahli di bidangnya. Ia tiba di restoran itu dan langsung disuguhi pemandangan yang membuat dadanya terasa terbakar.Bagaimana tidak?Di meja yang ada di dekat pagar pembatas sana, Jingga terlihat sedang duduk dengan seorang pria, ada Oliver di tengah-tengah mereka.Keduanya mengobrol dengan serius dan tampak akrab, sesekali Jingga mengangguk sambil tersenyum antusias, membuat Davin mengepalkan tangan menyaksikannya.Tanpa tunggu lama Davin segera melangkahkan kakinya mendekati meja tersebut. Lalu berhenti dan berkata, “Aku cari ke mana-mana. Ternyata... istriku sedang asyik mengobrol di sini, ya?”Ia memperhatikan wajah Jingga yang seketika berubah kaget, sepasang mata indahnya yang Davin rindukan itu kini terbelalak.“Bagaimana? Apakah menyenangkan mengobrol dengan pria lain di sini, Sayang?” tanya Davin lagi, ia sempat melirik dingin pada pria bule—yang juga tengah menatapnya penuh keherana

  • Istri Manis sang Pewaris   155. Aku Bagai Orang Ketiga

    Di meja kosong, ia duduk sendirian di tengah ingar bingar club malam. Matanya mengedar ke sekeliling, lalu mengembuskan napas kasar begitu ia menemukan tiga orang pria yang terus mengikutinya ke manapun ia pergi.“Selamat malam, Pak Vincent,” sapa bartender yang menyerahkan pesanannya. “Ini minuman pesanan Anda.”Vincent mengamati bartender yang amat dikenalinya itu, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku jaketnya. Di antara telapak tangan dan bungkus rokok itu terselip kertas.“Pak Danish ada?” Vincent bertanya mengenai teman Davin pada bartender yang masih berdiri di sampingnya itu.“Pak Danish baru saja keluar beberapa menit yang lalu. Ada yang ingin Anda sampaikan?”Vincent melirik tiga pria mata-mata itu. Setelah memastikan mereka tidak melihat ke arahnya dan asyik mengobrol, Vincent menyerahkan secarik kertas tadi pada sang bartender.“Berikan ini pada Pak Danish kalau kamu bertemu dia. Pastikan pesan ini sampai ke tangannya. Ini sangat penting.”Bartender mengangguk,

  • Istri Manis sang Pewaris   156. Bersyukur Karena Kamulah Laki-laki itu

    Davin membuka matanya pagi itu. Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Oliver yang tertidur nyenyak, berbaring miring menghadapnya. Davin tersenyum, ia mendekatkan hidungnya ke mulut Oliver yang setengah terbuka. Harum mulut bayi yang khas membuatnya candu.“Kita berhasil melewati hari itu, Nak,” bisik Davin, “mamamu selamat dan kamu akan tumbuh besar didampingi dia.”Sudut bibir Oliver tersungging dalam tidurnya, entah karena dia sedang bermimpi indah atau karena dia mendengar dan mengerti akan ucapan ayahnya barusan. Davin ikut tersenyum.Harum aroma kopi yang menguar, membuat Davin segera turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.Ia mendapati Jingga sedang menggiling biji kopi, membuat hati Davin terasa penuh dan bahagia memandanginya.Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak menjalani pagi hari yang menyenangkan seperti hari ini.“Selamat pagi,” sapa Davin dengan suara serak seraya melingkarkan kedua tangan ke perut Jingga.“Oh? Hai, selamat pagi. Tidurmu nyenya

  • Istri Manis sang Pewaris   157. Pria Posesif Itu Telah Kembali

    Davin menggendong Oliver dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya menempelkan ponsel di telinga kanannya. Langkahnya terayun menuju pantai.“Ya Tuhan, Mas... kamu itu kemana saja, sih? Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa ngasih kabar ke Mami? Kamu tahu di sini Mami sampai khawatir dan sakit kepala mikirin kamu?”Davin mengembuskan napas kasar mendengar ucapan ibunya yang berlebihan di seberang telepon. Ia tersenyum sejenak pada Oliver, sebelum menjawab, “Aku lagi ada perlu yang sangat penting, Mi. Dan ini urusanku, Mami nggak perlu lagi ikut campur.”“Mas... lalu gimana dengan Chelsea? Apa kamu memikirkan perasaan dia setelah kamu campakkan malam itu?”“Menantu Mami itu Jingga, bukan Chelsea,” tegas Davin, “seharusnya Mami lebih memikirkan perasaan istriku dibanding wanita lain."“Mas! Kamu sendiri tahu kalau bagi Mami Chelsea itu—““Begini saja,” sela Davin sambil terus melangkah di atas pasir. “Besok aku akan pulang. Aku minta tolong Mami undang Chelsea dan keluarganya makan

  • Istri Manis sang Pewaris   158. Serangan Balik

    “Kamu gugup?”“Aku nggak gugup,” sanggah Jingga.Davin tersenyum. Ia mengelus belakang kepala Jingga dengan lembut. Lalu ibu jari tangan yang satunya lagi menyentuh dagu Jingga dan sedikit menariknya ke bawah, membuat Jingga menghentikan kegiatannya yang tengah menggigit bibir.“Jelas-jelas kamu gugup,” ucap Davin lagi dengan tatapan lembut. “Tangan kamu dingin, dan kebiasaanmu selalu menggigit bibir seperti ini kalau sedang gugup.”Akhirnya Jingga mengangguk seraya mengembuskan napas pelan. Ia menatap pria yang duduk di sampingnya dengan setelan semi formalnya—kemeja hitam yang digulung hingga siku dan celana hitam.“Aku memang masih gugup ketemu... orang tua kamu,” aku Jingga, “apalagi setelah kecelakaan yang menimpa kamu. Sepertinya kepercayaan mereka sama aku semakin menipis, atau bahkan nggak ada sama sekali.”Davin menarik kepala Jingga mendekatinya, lantas dikecupnya kening wanita itu cukup lama. “Jangan gugup. Selama ada aku di sisi kamu, kamu akan baik-baik saja. Ayo, kita tu

  • Istri Manis sang Pewaris   159. Kebohongan Akan Terungkap

    “Kamu, Chelsea, adalah dalang di balik kecelakaan itu. Kamu sengaja menyuruh seseorang untuk mencelakai istriku!”Tak ada yang tidak terkejut di ruangan itu kala mendengar ucapan Davin yang tegas dan tajam.Chelsea terkesiap, matanya terbelalak penuh kepanikan dan kebingungan. Ia membuka mulut, hendak membela diri, tapi Davin tidak memberinya kesempatan.“Kamu benar-benar lebih buruk dibanding dugaanku,” desis Davin dengan rahang mengeras."Dia tidak tahu apa-apa!" protes Emran, berusaha untuk melindungi anaknya."Tetapi Om tahu, bukan? Om tahu apa yang Chelsea rencanakan dan Om diam membantu menyembunyikannya," Davin menatap tajam ke arah Emran dan Nita. "Om juga bertanggung jawab atas perbuatan ini."Emran tersentak karena tudingan yang dilontarkan oleh Davin. Wajah Emran memerah, menahan amarah. “Kamu tidak bisa bicara sembarangan, Davin! Kamu tidak memiliki bukti dan saya bisa melaporkanmu atas pencemaran nama baik!”Davin tersenyum samar. “Apa menurut Om... saya tipe orang yang a

  • Istri Manis sang Pewaris   160. Pillowtalk

    Jingga menghapus sisa make up nya di depan cermin lebar. Bahkan dari dalam kamar mandi inipun Jingga masih bisa mendengar suara Davin yang tengah menelepon seseorang di kamar mereka. Entah siapa yang Davin hubungi, tapi Jingga yakin suaminya sedang memiliki urusan penting terkait kasus Chelsea dan ayahnya.Jingga mencuci muka dengan air yang mengalir dari keran. Ia menutup keran itu, lalu berdiri terpaku menatap wajahnya yang basah di depan cermin.Sebegitu bencinya kah Chelsea terhadapnya? Jingga bertanya-tanya dalam hati.Sampai-sampai Chelsea rela melakukan hal keji untuk melenyapkannya?Jingga lantas keluar dari kamar mandi dan melihat Davin masih menelepon. Tak ingin mengganggu pria itu, Jingga mengganti pakaiannya terlebih dulu di walk in closet dan kembali ke kamar dengan pakaian tidur. Setelah mengaplikasika skin care rutinnya, barulah Jingga naik ke tempat tidur.Dan pada saat yang sama, Davin menoleh ke arah Jingga. “Cukup sampai di sini dulu pembahasannya. Saya lanjutkan be

Latest chapter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 4

    Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 3

    Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 2

    “Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah

DMCA.com Protection Status