“Perempuan pembawa sial!" desis Lucy tajam. "Gara-gara kamu anak saya jadi celaka!”Jingga tercenung. Ia diam saat Lucy mendorong bahunya dengan kasar.Seakan belum puas menyudutkan Jingga, dengan penuh amarah Lucy berseru, “Kalau kamu tidak mengganggu dia di kantor tadi siang, dan kalau dia tidak menyusul kamu, anak saya akan baik-baik saja sekarang!”Lucy kembali mendorong bahu Jingga. “Sekarang apa yang akan kamu lakukan?! Kamu harus bertanggung jawab kalau anak saya kenapa-napa!” teriak Lucy lagi, suaranya menggema di lorong yang sepi itu.“Mi! Sudahlah! Ngapain, sih, marah-marah?” Amarylis mengingatkan dengan ekspresinya yang tampak kacau. Matanya sembab. Tubuhnya terlihat lemah.Namun, Lucy tidak menghiraukannya. Bak orang kesetanan, dia mendorong bahu Jingga sekali lagi, lalu menjambak rambutnya sambil menyerukan sumpah serapah dengan marah.Jingga hanya diam dengan tatapan menerawang. Ia tak memiliki keinginan untuk melawan. Botol infusan terjatuh dari tangannya, menyebabkan d
Jingga meraih tangan Davin. Menggenggamnya dengan lembut. Lalu menempelkan telapak tangan pria itu ke pipinya.Untuk waktu yang cukup lama Jingga hanya menghabiskan waktu dengan memandangi wajah Davin yang pucat dan tenang. Luka-luka di wajah dan gips pada kaki Davin membuat hati Jingga sakit saat memandangnya.“Sudah tiga hari kamu tidur, Dave,” gumam Jingga dengan tatapan penuh kerinduan. “Kapan kamu mau bangun?”Hening. Tak ada jawaban. Hanya bunyi konstan dari alat pemantau yang terhubung dengan Davin, yang terdengar memenuhi ruangan sunyi itu.Sudah tiga hari berlalu sejak operasi selesai dilakukan. Namun, sampai saat ini, Davin tak kunjung mendapat kesadarannya. Membuat hari-hari Jingga terasa gelap dan sunyi.“Demam Oliver sudah sembuh,” lanjut Jingga lagi, ingin mencurahkan isi hatinya hari ini pada suaminya. “Tapi dia selalu rewel dan terus nyari kamu di rumah. Sepertinya dia juga merasa kehilangan papanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Jingga menarik napas dalam-dala
Jingga keluar dari lift, melangkah dengan cepat menuju sebuah ruangan rawat VIP di ujung lorong. Sorot matanya penuh dengan kebahagiaan dan tampak bersemangat.“Bu Jingga sudah sampai?”Mendengar pertanyaan itu, Jingga seketika menoleh ke belakang dan mendapati pria berambut seperti model rambut tentara. “Oh, Vincent? Kamu juga baru sampai?”“Iya. Tadi saya sedang di kantor polisi saat mendapat kabar dari salah satu anak buah Pak Davin, bahwa Pak Davin sudah siuman.”Keduanya melangkah bersama-sama. Seorang anak buah Davin yang berjaga di depan pintu langsung membukakan pintu untuk mereka berdua.Jingga merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti akan bertemu dengan kekasih yang sudah lama ia rindukan.Pintu terbuka, ia tersenyum lebar, semua orang yang berada di dalam ruangan itu seketika menoleh ke arahnya.Tatapan Jingga langsung tertuju pada sosok pria yang sedang berbaring setengah duduk di atas ranjang pasien. Pria itu menatap ke arahnya. Jingga membalas tatapannya
“Gimana kepala kamu? Masih sakit?” Jingga menutup pintu di belakangnya.Pria yang semula sedang menatap ke arah luar jendela itu seketika menoleh, menatap kaki Jingga dengan tatapan dingin dan menelisik. Ia tidak menjawab pertanyaan Jingga.“Kamu pasti bingung dengan kenyataan yang kamu dapati sekarang.” Jingga menarik sebuah kursi di pinggir ranjang dan mendaratkan bokongnya di sana. “Termasuk kaki aku. Dari tadi kamu terus menerus menatapnya. Kenapa? Kaki aku indah juga, bukan?”Davin mendengus kasar dan membuang muka ke arah lain.Meski terkesan diabaikan, Jingga sama sekali tidak menyerah. Ia kembali bertanya, “Ada yang kamu inginkan sekarang? Minum mungkin? Atau makanan? Tiga hari nggak bangun sepertinya perutmu—““Aku ingin kamu pergi dari hadapanku,” sela Davin dengan suara dingin, ia sibuk dengan remote televisi, memindah-mindahkan chanel tanpa minat.Jingga tertawa pelan. Tawanya berhasil mengundang perhatian Davin yang langsung menatapnya dengan mata melebar tajam.“Kenapa t
“Saat saya sedang di florist, saya mendapat telepon dari Dicky, manajer HRD kita,” lanjut Vincent, “dia katanya mendapat pesan dari Anda untuk menghubungi saya sebelum Anda pergi terburu-buru.”Davin mendengarkan dengan kening berkerut, tatapan matanya campuran antara percaya dan tidak.“Melalui Dicky, Anda menyuruh saya untuk menghubungi Dodi, agar Dodi yang membawa Bu Jingga saat itu, menghentikan mobilnya saat itu juga. Tapi... setelah saya selesai menelepon Dodi, kecelakaan itu tiba-tiba terjadi.“Anda tertabrak atau ditabrak mobil SUV tepat di depan mobil yang Bu Jingga tumpangi. Saat itu Anda sepertinya sedang mengejar Bu Jingga.”“Untuk apa aku mengejar dia?” Davin menatap Vincent dengan mata disipitkan.Vincent menggeleng. “Saya tidak tahu alasan pastinya, hanya Anda dan Bu Jingga yang tahu,” timpalnya tanpa ragu. “Tapi Mia bilang, sebelumnya Bu Jingga sempat datang ke kantor Anda dan terjadi keributan di sana. Sebelum akhirnya Bu Jingga dan Anda sama-sama pergi.”Mendengar pe
Dengan kursi rodanya, Davin pergi ke taman rumah sakit. Ia menolak saat bodyguard menawarkan diri untuk mendorongnya. Ia lebih suka pergi sendiri meski tidak seleluasa saat ia berjalan. Menurut Davin, dirinya akan semakin terlihat lemah saat kursi rodanya didorong oleh orang lain.Hangat sinar matahari yang menimpanya setibanya di taman, membuat pikiran Davin terasa jauh lebih ringan setelah kenyataan yang ia dapati membuat kepalanya terasa penuh.Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit milik New Pacific Group. Hasil rancangan seorang arsitek ternama. Taman rumah sakit ini bukanlah sekadar ruang terbuka. Ini adalah oase damai di tengah beton dan kaca bangunan modern. Pepohonan rindang memberikan naungan, sementara bunga-bunga berwarna-warni menghiasi tepi jalan setapak.Saat matanya sibuk memandangi beberapa pasien yang sedang berburu sinar matahari ditemani oleh keluarga mereka, tanpa sengaja tatapan Davin tertuju pada dua orang yang tengah duduk berdampingan di kursi kayu,
Setelah mendengar apa yang Jingga katakan di taman beberapa saat yang lalu, Davin menjadi lebih pendiam. Pria itu tidak protes saat Jingga membantu menaikkannya ke atas ranjang dan menyelimutinya. Kemudian dengan lembut, Jingga memeriksa selang infus yang tersambung ke lengan Davin, memastikan semuanya berjalan dengan baik.Tatapannya lantas teralihkan pada punggung tangan Davin yang penuh dengan bekas luka dan goresan, mengingatkan Jingga pada betapa berbahayanya kecelakaan yang dialami pria itu. Melihat tanda-tanda cedera pada tubuh Davin membuat hati Jingga terasa berat, akan tetapi Jingga merasa bersyukur karena Davin masih bisa berada di sisinya.“Kamu nggak menyuruhku pergi lagi?” tanya Jingga seraya mencari sesuatu di dalam tasnya yang teronggok di sofa.Davin mendengus seraya menatap layar televisi yang menayangkan berita dengan volume rendah. “Aku nggak peduli lagi apa yang kamu lakukan,” tukasnya, “menyuruhmu pergi tapi tidak didengarkan membuatku lelah!”Jingga menahan seny
Jingga merasakan pipinya memanas seketika. Ia berguling ke kiri dan kanan, lalu menangkup pipinya dengan perasaan tak karuan. Kejadian memalukan siang tadi di rumah sakit, saat Davin tiba-tiba memeluknya dan berkata hal-hal aneh, terbayang-bayang lagi di benak Jingga. Membuat Jingga merasa malu dan salah tingkah sendiri malam ini.“Walaupun amnesia dia tetap saja menyebalkan!” gumam Jingga seraya menaruk selimut menutupi wajahnya, seolah-olah ia khawatir pipinya yang merah terlihat oleh Davin. Padahal malam ini mereka berdua berada di tempat yang berbeda.Siang tadi, setelah kejadian canggung bersama Davin yang membuat jantung Jingga berdebar-debar, Lucy tiba-tiba datang dan membuat kecanggungan itu hilang dalam sekejap.Lucy menjenguk Davin sambil membawa makanan kesukaan putranya itu. Dan yang membuat Jingga merasa cukup aneh adalah sikap Lucy kepadanya, yang berubah menjadi baik di hadapan Davin. Entah apa yang ada di pikiran ibu mertuanya saat itu, Jingga sama sekali tidak mengert