Jingga tersenyum cerah, menatap sebuah buku berbahan kanvas di hadapannya. Setiap lembaran buku itu merupakan lukisan gambar Davin dalam berbagai ekspresi, yang sengaja Jingga buat beberapa hari terakhir.Jingga lantas memasukkan buku itu ke dalam sebuah box yang berukuran tidak terlalu besar. Ia menghias box tersebut dengan tali pita berwarna merah. Rencananya, ia akan memberikan hadiah ini kepada Davin nanti, saat pria itu pulang dari kantor.Ya, tadi pagi Davin pamit kepadanya untuk pergi ke kantor karena ada masalah baru di perusahaan. Davin sempat berjanji bahwa ia akan pulang secepatnya. Dan sebelum pergi, Davin mengingatkan agar Jingga tidak pergi ke mana-mana hari ini.Setelah menaruh box tersebut di dalam lemari, Jingga bergegas menghampiri ranjang saat ia mendengar ponselnya berdering.Diraihnya benda tipis itu yang menelungkup di dekat bantal, dan keningnya berkerut bingung begitu mendapati nomor tidak dikenal di layar ponselnya.Awalnya Jingga menghiraukan panggilan terseb
Sambil mencengkeram amplop berisi surat dan foto tersebut, Jingga keluar dari ruangan kerja Davin. Ia hanya berkata pada Arum yang ia lewati dan tampak khawatir melihat kondisinya.“Aku titip Oliver. Tolong jaga dia baik-baik.”Di luar rumah, Jingga dicegat oleh dua bodyguard berjas hitam.“Maaf, Nyonya. Anda akan pergi ke mana?” tanya salah seorang dari mereka.“Aku ingin menemui suamiku,” jawab Jingga dengan suara dingin tanpa menatap kedua lelaki itu.“Mohon maaf, tapi Anda tidak boleh meninggalkan rumah ini.”“Aku ingin menemui suamiku,” tegas Jingga sekali lagi. Suara Jingga terdengar jauh lebih dingin.“Sekali lagi kami minta maaf, tapi Pak Davin berpesan agar—““Aku bilang aku ingin menemui suamiku!!!” Jingga berteriak, menatap mereka berdua dengan penuh amarah.Mendengar teriakan Jingga, kedua bodyguard itu tampak terkejut. Mereka saling bertatapan sebentar sebelum salah satu dari mereka mengangkat tangan untuk menenangkan Jingga."Maafkan kami, Nyonya. Kami hanya menjalankan
Melihat Jingga meneteskan air mata dan marah padanya, dunia Davin seketika terasa hancur. Ia tidak suka melihat Jingga menangis. Dan hari ini ia telah melukai Jingga lagi akibat kesalahan yang pernah diperbuatnya. Davin keluar dari kebekuannya, dan ia baru sadar Jingga telah pergi.Detik itu juga, Davin segera menyusul Jingga keluar dengan wajah pucat pasi. Ia harus mencegah Jingga. Wanita itu tidak boleh menumpangi mobil apapun! Atau Davin tidak bisa mencegah kematiannya.“Jingga, tunggu! Kumohon tunggu aku sebentar! Aaargh!” Davin menggeram frustrasi dan menjambak rambut ketika pintu lift yang membawa Jingga, di hadapannya dengan jarak sekitar tujuh meter darinya, tertutup. Davin tidak keburu menjangkaunya.Sebelum pintu tertutup beberapa detik yang lalu, Davin sempat melihat Jingga menunduk sambil menangis, dan pemandangan itu membuat dada Davin terasa nyeri. Ia ingin merengkuh Jingga dan menenangkannya. Namun, ia terlambat.Setibanya di depan lift itu, Davin menekan-nekan call bu
Dengan tangan gemetar, Jingga meraih pintu mobil dan mencoba membukanya. Namun, pintu itu terkunci. Kaca pintunya hancur. Dengan panik, Jingga lantas mengetuk kaca depan mobil, berteriak memanggil-manggil nama Davin."Dave! Davin, bangun! Tolong, buka pintunya!" jerit Jingga, suaranya pecah di tengah keputusasaan. Air matanya tak terbendung lagi, ia menangis sejadi-jadinya dengan hati terluka.Dodi dan beberapa orang lain yang berhenti untuk membantu sudah berada di sekitar mobil, mencoba membantu Jingga. Namun, mobil itu terlalu rusak untuk bisa dibuka dengan mudah.Tiba-tiba, Jingga merasakan tangannya tergenggam erat oleh tangan Davin yang terkulai lemah dari dalam mobil, terasa hangat dan lembut. Mata Davin terbuka setengah, mencoba memandang Jingga dengan susah payah.“Sayang, kamu baik-baik saja?” desis Davin dengan suara serak, setiap kata yang terucap terasa seperti usaha terakhirnya.Jingga balas menggenggam tangan Davin dengan erat, di saat kondisi seperti ini Davin masih me
“Perempuan pembawa sial!" desis Lucy tajam. "Gara-gara kamu anak saya jadi celaka!”Jingga tercenung. Ia diam saat Lucy mendorong bahunya dengan kasar.Seakan belum puas menyudutkan Jingga, dengan penuh amarah Lucy berseru, “Kalau kamu tidak mengganggu dia di kantor tadi siang, dan kalau dia tidak menyusul kamu, anak saya akan baik-baik saja sekarang!”Lucy kembali mendorong bahu Jingga. “Sekarang apa yang akan kamu lakukan?! Kamu harus bertanggung jawab kalau anak saya kenapa-napa!” teriak Lucy lagi, suaranya menggema di lorong yang sepi itu.“Mi! Sudahlah! Ngapain, sih, marah-marah?” Amarylis mengingatkan dengan ekspresinya yang tampak kacau. Matanya sembab. Tubuhnya terlihat lemah.Namun, Lucy tidak menghiraukannya. Bak orang kesetanan, dia mendorong bahu Jingga sekali lagi, lalu menjambak rambutnya sambil menyerukan sumpah serapah dengan marah.Jingga hanya diam dengan tatapan menerawang. Ia tak memiliki keinginan untuk melawan. Botol infusan terjatuh dari tangannya, menyebabkan d
Jingga meraih tangan Davin. Menggenggamnya dengan lembut. Lalu menempelkan telapak tangan pria itu ke pipinya.Untuk waktu yang cukup lama Jingga hanya menghabiskan waktu dengan memandangi wajah Davin yang pucat dan tenang. Luka-luka di wajah dan gips pada kaki Davin membuat hati Jingga sakit saat memandangnya.“Sudah tiga hari kamu tidur, Dave,” gumam Jingga dengan tatapan penuh kerinduan. “Kapan kamu mau bangun?”Hening. Tak ada jawaban. Hanya bunyi konstan dari alat pemantau yang terhubung dengan Davin, yang terdengar memenuhi ruangan sunyi itu.Sudah tiga hari berlalu sejak operasi selesai dilakukan. Namun, sampai saat ini, Davin tak kunjung mendapat kesadarannya. Membuat hari-hari Jingga terasa gelap dan sunyi.“Demam Oliver sudah sembuh,” lanjut Jingga lagi, ingin mencurahkan isi hatinya hari ini pada suaminya. “Tapi dia selalu rewel dan terus nyari kamu di rumah. Sepertinya dia juga merasa kehilangan papanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Jingga menarik napas dalam-dala
Jingga keluar dari lift, melangkah dengan cepat menuju sebuah ruangan rawat VIP di ujung lorong. Sorot matanya penuh dengan kebahagiaan dan tampak bersemangat.“Bu Jingga sudah sampai?”Mendengar pertanyaan itu, Jingga seketika menoleh ke belakang dan mendapati pria berambut seperti model rambut tentara. “Oh, Vincent? Kamu juga baru sampai?”“Iya. Tadi saya sedang di kantor polisi saat mendapat kabar dari salah satu anak buah Pak Davin, bahwa Pak Davin sudah siuman.”Keduanya melangkah bersama-sama. Seorang anak buah Davin yang berjaga di depan pintu langsung membukakan pintu untuk mereka berdua.Jingga merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti akan bertemu dengan kekasih yang sudah lama ia rindukan.Pintu terbuka, ia tersenyum lebar, semua orang yang berada di dalam ruangan itu seketika menoleh ke arahnya.Tatapan Jingga langsung tertuju pada sosok pria yang sedang berbaring setengah duduk di atas ranjang pasien. Pria itu menatap ke arahnya. Jingga membalas tatapannya
“Gimana kepala kamu? Masih sakit?” Jingga menutup pintu di belakangnya.Pria yang semula sedang menatap ke arah luar jendela itu seketika menoleh, menatap kaki Jingga dengan tatapan dingin dan menelisik. Ia tidak menjawab pertanyaan Jingga.“Kamu pasti bingung dengan kenyataan yang kamu dapati sekarang.” Jingga menarik sebuah kursi di pinggir ranjang dan mendaratkan bokongnya di sana. “Termasuk kaki aku. Dari tadi kamu terus menerus menatapnya. Kenapa? Kaki aku indah juga, bukan?”Davin mendengus kasar dan membuang muka ke arah lain.Meski terkesan diabaikan, Jingga sama sekali tidak menyerah. Ia kembali bertanya, “Ada yang kamu inginkan sekarang? Minum mungkin? Atau makanan? Tiga hari nggak bangun sepertinya perutmu—““Aku ingin kamu pergi dari hadapanku,” sela Davin dengan suara dingin, ia sibuk dengan remote televisi, memindah-mindahkan chanel tanpa minat.Jingga tertawa pelan. Tawanya berhasil mengundang perhatian Davin yang langsung menatapnya dengan mata melebar tajam.“Kenapa t