“Sepertinya aku harus membuka toko bunga di rumah. Lihat itu, bunga-bunga yang kamu kasih kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi, masih ada di sana. Tapi walau begitu aku sangat suka semua bunga dari kamu.”Davin bersandar di jendela yang terbuka, bersedekap dada. Bibirnya menyunggingkan senyum samar seraya memandangi Jingga, yang terus berbicara sambil menata bunga mawar merah pemberiannya ke dalam vas keramik.“Kamu tahu, Dave, bunga-bunga ini benar-benar membuat hari-hariku menjadi lebih cerah,” ujar Jingga sambil tersenyum melihat ke arah Davin. “Aku selalu merasa terharu setiap kali melihat mereka, karena setiap bunga mengingatkanku akan kebaikan dan kasih sayang kamu.”“Aku senang karena ternyata kamu punya sisi seperti ini.” Davin berkata tanpa melepaskan tatapan matanya dari Jingga.Kening Jingga berkerut bingung. “Sisi seperti apa?”“Banyak bicara.”Jingga mengerucutkan bibirnya. “Aku sudah bilang kalau aku akan banyak bicara di depan orang yang membuatku nyaman, bukan?”“Mm-hm
Davin tersenyum melihat tingkah lucu Oliver yang tengah bermain-main di pangkuannya."Hey, sudah Papa bilang jangan ke sana. Panas, nanti kamu terbakar," ucap Davin dengan lembut sambil menarik Oliver yang hampir merangkak mendekati api unggun. Ia segera mendudukkan Oliver di pangkuannya dan mengunci dengan pelukan di sekitar tubuh kecil anak itu."Papa!" teriak Oliver dengan riang, mencoba untuk meronta agar bisa keluar dari pelukan Davin."Tidak. Bahaya. Di sini saja," Davin menjelaskan dengan tegas, tetapi tetap lembut, sambil mempertahankan pelukannya.“Papa…!” seru Oliver lagi, masih berusaha membebaskan diri."Aku cemburu," gerutu Jingga dengan bibir cemberut, membuat Davin seketika menoleh pada wanita yang sedang duduk di sampingnya sambil menyandarkan kepala di bahunya.“Siapa yang kamu cemburui, hem?” tanya Davin sambil mengecup puncak kepala Jingga dan menghirup aroma floral yang khas dari rambutnya.Jingga menjawil pipi Oliver sambil tersenyum. “Semakin hari kamu semakin pi
Jingga tersenyum cerah, menatap sebuah buku berbahan kanvas di hadapannya. Setiap lembaran buku itu merupakan lukisan gambar Davin dalam berbagai ekspresi, yang sengaja Jingga buat beberapa hari terakhir.Jingga lantas memasukkan buku itu ke dalam sebuah box yang berukuran tidak terlalu besar. Ia menghias box tersebut dengan tali pita berwarna merah. Rencananya, ia akan memberikan hadiah ini kepada Davin nanti, saat pria itu pulang dari kantor.Ya, tadi pagi Davin pamit kepadanya untuk pergi ke kantor karena ada masalah baru di perusahaan. Davin sempat berjanji bahwa ia akan pulang secepatnya. Dan sebelum pergi, Davin mengingatkan agar Jingga tidak pergi ke mana-mana hari ini.Setelah menaruh box tersebut di dalam lemari, Jingga bergegas menghampiri ranjang saat ia mendengar ponselnya berdering.Diraihnya benda tipis itu yang menelungkup di dekat bantal, dan keningnya berkerut bingung begitu mendapati nomor tidak dikenal di layar ponselnya.Awalnya Jingga menghiraukan panggilan terseb
Sambil mencengkeram amplop berisi surat dan foto tersebut, Jingga keluar dari ruangan kerja Davin. Ia hanya berkata pada Arum yang ia lewati dan tampak khawatir melihat kondisinya.“Aku titip Oliver. Tolong jaga dia baik-baik.”Di luar rumah, Jingga dicegat oleh dua bodyguard berjas hitam.“Maaf, Nyonya. Anda akan pergi ke mana?” tanya salah seorang dari mereka.“Aku ingin menemui suamiku,” jawab Jingga dengan suara dingin tanpa menatap kedua lelaki itu.“Mohon maaf, tapi Anda tidak boleh meninggalkan rumah ini.”“Aku ingin menemui suamiku,” tegas Jingga sekali lagi. Suara Jingga terdengar jauh lebih dingin.“Sekali lagi kami minta maaf, tapi Pak Davin berpesan agar—““Aku bilang aku ingin menemui suamiku!!!” Jingga berteriak, menatap mereka berdua dengan penuh amarah.Mendengar teriakan Jingga, kedua bodyguard itu tampak terkejut. Mereka saling bertatapan sebentar sebelum salah satu dari mereka mengangkat tangan untuk menenangkan Jingga."Maafkan kami, Nyonya. Kami hanya menjalankan
Melihat Jingga meneteskan air mata dan marah padanya, dunia Davin seketika terasa hancur. Ia tidak suka melihat Jingga menangis. Dan hari ini ia telah melukai Jingga lagi akibat kesalahan yang pernah diperbuatnya. Davin keluar dari kebekuannya, dan ia baru sadar Jingga telah pergi.Detik itu juga, Davin segera menyusul Jingga keluar dengan wajah pucat pasi. Ia harus mencegah Jingga. Wanita itu tidak boleh menumpangi mobil apapun! Atau Davin tidak bisa mencegah kematiannya.“Jingga, tunggu! Kumohon tunggu aku sebentar! Aaargh!” Davin menggeram frustrasi dan menjambak rambut ketika pintu lift yang membawa Jingga, di hadapannya dengan jarak sekitar tujuh meter darinya, tertutup. Davin tidak keburu menjangkaunya.Sebelum pintu tertutup beberapa detik yang lalu, Davin sempat melihat Jingga menunduk sambil menangis, dan pemandangan itu membuat dada Davin terasa nyeri. Ia ingin merengkuh Jingga dan menenangkannya. Namun, ia terlambat.Setibanya di depan lift itu, Davin menekan-nekan call bu
Dengan tangan gemetar, Jingga meraih pintu mobil dan mencoba membukanya. Namun, pintu itu terkunci. Kaca pintunya hancur. Dengan panik, Jingga lantas mengetuk kaca depan mobil, berteriak memanggil-manggil nama Davin."Dave! Davin, bangun! Tolong, buka pintunya!" jerit Jingga, suaranya pecah di tengah keputusasaan. Air matanya tak terbendung lagi, ia menangis sejadi-jadinya dengan hati terluka.Dodi dan beberapa orang lain yang berhenti untuk membantu sudah berada di sekitar mobil, mencoba membantu Jingga. Namun, mobil itu terlalu rusak untuk bisa dibuka dengan mudah.Tiba-tiba, Jingga merasakan tangannya tergenggam erat oleh tangan Davin yang terkulai lemah dari dalam mobil, terasa hangat dan lembut. Mata Davin terbuka setengah, mencoba memandang Jingga dengan susah payah.“Sayang, kamu baik-baik saja?” desis Davin dengan suara serak, setiap kata yang terucap terasa seperti usaha terakhirnya.Jingga balas menggenggam tangan Davin dengan erat, di saat kondisi seperti ini Davin masih me
“Perempuan pembawa sial!" desis Lucy tajam. "Gara-gara kamu anak saya jadi celaka!”Jingga tercenung. Ia diam saat Lucy mendorong bahunya dengan kasar.Seakan belum puas menyudutkan Jingga, dengan penuh amarah Lucy berseru, “Kalau kamu tidak mengganggu dia di kantor tadi siang, dan kalau dia tidak menyusul kamu, anak saya akan baik-baik saja sekarang!”Lucy kembali mendorong bahu Jingga. “Sekarang apa yang akan kamu lakukan?! Kamu harus bertanggung jawab kalau anak saya kenapa-napa!” teriak Lucy lagi, suaranya menggema di lorong yang sepi itu.“Mi! Sudahlah! Ngapain, sih, marah-marah?” Amarylis mengingatkan dengan ekspresinya yang tampak kacau. Matanya sembab. Tubuhnya terlihat lemah.Namun, Lucy tidak menghiraukannya. Bak orang kesetanan, dia mendorong bahu Jingga sekali lagi, lalu menjambak rambutnya sambil menyerukan sumpah serapah dengan marah.Jingga hanya diam dengan tatapan menerawang. Ia tak memiliki keinginan untuk melawan. Botol infusan terjatuh dari tangannya, menyebabkan d
Jingga meraih tangan Davin. Menggenggamnya dengan lembut. Lalu menempelkan telapak tangan pria itu ke pipinya.Untuk waktu yang cukup lama Jingga hanya menghabiskan waktu dengan memandangi wajah Davin yang pucat dan tenang. Luka-luka di wajah dan gips pada kaki Davin membuat hati Jingga sakit saat memandangnya.“Sudah tiga hari kamu tidur, Dave,” gumam Jingga dengan tatapan penuh kerinduan. “Kapan kamu mau bangun?”Hening. Tak ada jawaban. Hanya bunyi konstan dari alat pemantau yang terhubung dengan Davin, yang terdengar memenuhi ruangan sunyi itu.Sudah tiga hari berlalu sejak operasi selesai dilakukan. Namun, sampai saat ini, Davin tak kunjung mendapat kesadarannya. Membuat hari-hari Jingga terasa gelap dan sunyi.“Demam Oliver sudah sembuh,” lanjut Jingga lagi, ingin mencurahkan isi hatinya hari ini pada suaminya. “Tapi dia selalu rewel dan terus nyari kamu di rumah. Sepertinya dia juga merasa kehilangan papanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Jingga menarik napas dalam-dala
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah