“ Harusnya Shafa yang menikah dengan pria lumpuh dan buta itu!”
Shafa tersentak kaget mendengar teriakan Fariha, ibunya dari dalam rumah. Shafa terpaku di luar rumah masih memegang kopernya. Niatnya adalah untuk memberikan kejutan pada orangtuanya karena dia telah kembali dari Mesir dan telah menyelesaikan masa kuliahnya di sana. Namun, kini justru dirinya yang terkejut dengan ucapan ibunya sendiri. “Naura tidak boleh menjadi istri kedua dari pria itu! Kalau perlu minta Shafa pulang sekarang juga untuk menggantikan Naura.” Shafa lagi-lagi merasakan kebingungan serta rasa kecewa. Sejak dulu, ibunya memang selalu membela kakaknya, Naura dan sebaliknya tidak pernah memperdulikannya. Shafa sempat bertanya-tanya apa sebabnya, namun hingga kini ia tidak menemukan jawaban itu. Padahal Shafa selalu berusaha untuk menjadi anak berbakti dan melakukan yang terbaik. Tapi, hal itu tidak cukup juga untuk membuat ibunya menyayanginya. “Shafa masih kuliah, Bu. Kita mungkin bisa coba cari cara lain dulu, bagaimana jika—,” ucapan Malik, ayah Shafa terpotong begitu dirinya menyadari kehadiran Shafa di depan mereka. “Shafa? Sejak kapan kamu ada di sana, kamu udah pulang?” Malik langsung tergugup dan kaget, menduga Shafa telah mendengar pertengkaran orangtuanya sejak tadi. Shafa berusaha tersenyum, menyembunyikan kekalutan hatinya dan mengucapkan salam pada kedua orangtuanya. “Bagus kamu pulang tepat pada waktunya. Bersiaplah kamu akan segera menikah.” Fariha terlihat kesal dan marah. Bahkan setelah menerima salam, Fariha langsung meminta Shafa untuk menikah dengan pria tak dikenal. Andai itu Naura, jika saja yang baru pulang Naura, apa Fariha akan melakukan ini? Shafana mengusap air matanya kasar, ia tetap berusaha untuk tegar. “Menikah? Dengan siapa, Bu? Dan kenapa harus Shafa?” Rentetan pertanyaan dari Shafa membuat Fariha berdecak kesal. “Dengan Pak Dewa, cucu dari Nyonya Nalani. Bos tempat ayahmu bekerja. Ayahmu dijebak rekan kerjanya dan dituduh menggelapkan uang perusahaan. Dia akan dibebaskan jika memenuhi syarat untuk menikahkan putrinya menjadi istri kedua Pak Dewa yang buta dan lumpuh karena istri pertamanya tidak bisa mengandung. Jika ayahmu tidak bisa memenuhinya, maka ayahmu harus masuk penjara.” “Artinya aku dijual untuk melahirkan pewaris bagi Pak Dewa?” Mendengar penjelasan ibunya, Shafa tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut sama sekali. “Ya. Naura tidak bisa menikah dengannya, karena sudah memiliki kekasih. Jadi kamu yang harus berkorban untuk keluarga ini. Kecuali kalau kamu tega lihat ayahmu masuk penjara!" Air mata Shafa mengalir begitu saja. Padahal dirinya sudah memiliki impian setelah kembali dari Mesir. Namun, kini impiannya harus kandas. Shafa tidak tega jika harus membiarkan ayahnya dihukum karena bukan kesalahannya. Apalagi selama ini, ayahnya juga sudah banyak berkorban untuknya. “Shafa, kamu tidak perlu khawatir. Ayah bisa coba pikirkan cara lain,” suara lembut ayahnya, membuat Shafa semakin merasa tidak tega. "Kamu tidak perlu berkorban, Nduk." "Bela aja terus, kalau kamu masih berpihak sama Shafana, biar aku sama anak-anak yang pergi, Mas." Fariha melengos begitu saja. "Bu—." "Ayah udah." Shafana menahan lengan Malik sambil menggeleng. "Aku akan menikah dengan Pak Dewa,” ujar Shafa lemah. Baginya yang terpenting adalah keluarganya. Shafa hanya berharap bahwa keputusannya ini tidak salah. ** ** ** Sementara itu, kekacauan yang tak jauh berbeda juga terjadi di rumah Dewananda. “Bagaimana bisa aku menikah dengan wanita lain?!” Dewa merasa kesal mendengar ucapan neneknya, Nalani yang memintanya untuk menikah lagi hanya karena Rania, istrinya belum bisa memberikan anak baginya. “Percayalah pada Oma, Dewa. Ini sudah tahun ketiga pernikahan kalian dan masih belum ada tanda kehamilan dari Rania. Nenek sudah tua dan lihatlah kondisimu saat ini.” Dewa berdecak tidak percaya dengan ucapan Neneknya sendiri. Dewa sadar setelah dirinya mengalami kecelakaan beberapa bulan yang lalu sehingga menyebabkan dirinya buta dan lumpuh, tidak ada yang bisa menggantikannya di perusahaan selain neneknya karena ayahnya pun masih terbaring di rumah sakit. Dewa menghela nafas berat. “Besok mereka akan datang ke rumah. Dan kalian akan menikah secepatnya. Dengarkan Oma kali ini, Dewa.” Setelah mengatakan itu dengan nada penuh permohonan, Nalani pulang meninggalkan Dewa yang masih termenung di ruang baca rumahnya. Suara langkah kaki terdengar di telinga Dewa dan menyadarkannya dari lamunan. “Rania?” Sepasang tangan lembut merangkul pundaknya. Dewa bisa langsung menebak bahwa itu memang istrinya. “Mas, terima saja permintaan Oma!” Alis Dewa menukik mendengar ucapan Rania. “Mas, aku takut bahwa benar aku mandul dan tidak bisa memberikan pewaris untukmu. Tapi, kamu tahu kan seberapa besar aku mencintai kamu? Karena itu, aku tidak masalah kamu menikah lagi. Kalaupun nanti wanita itu akan mengandung, kamu bisa mengambil anaknya untuk menjadi anak kita dan menceraikannya,” kata Rania panjang lebar. Dewa bisa merasakan ada nada sedih dalam ucapan Rania.Pagi ini, Shafa nampak begitu gugup dan tidak tenang. Pasalnya hari ini dia akan dipertemukan dengan calon suaminya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dan mereka akan langsung menikah. Shafa bertanya-tanya, akankah calon suaminya adalah seorang pria tua. Memikirkan hal itu, Shafa rasanya ingin kabur. Namun, tentu saja dirinya tidak tega melakukan hal itu karena sudah bisa dipastikan ayahnya akan langsung segera dijebloskan ke penjara. Shafa hanya bisa berdoa dalam hati, bahwa siapa pun calon suaminya nanti adalah pria yang baik. “Shafa, kita sudah sampai,” Malik menepuk lembut tangan Shafa, membuatnya tersadar dan segera ikut turun dari mobil jemputan yang diberikan oleh Nalani untuk keluarganya pagi tadi. Mata Shafa membulat tak percaya begitu melihat bangunan di depannya. Rumah yang tampak megah dan elegan, menunjukan status sosial calon suaminya yang begitu kaya dan berkuasa. Shafa menelan ludah dengan berat, namun berusaha untuk tampak tenang. Wajah Naura, kakak tiri
Saat pagi menjelang, Shafa segera membantu pelayan untuk menyiapkan makanan. Sebelumnya ia berusaha membantu Dewa, namun suaminya justru malah mengusirnya dari kamar dan tidak mau menerima semua bantuan yang Shafa berikan. Tak lama Dewa sudah tiba di ruang makan. Shafa cukup kagum, karena merasa Dewa sangat mandiri meskipun dirinya buta. Dewa berdehem, membuat para pelayan merasa kebingungan. “Dimana Rania?” Shafa sendiri sejak pagi tidak melihat kehadiran istri pertama suaminya itu, sehingga dia hanya bisa diam dan tidak menjawab pertanyaan Dewa. “Maaf Tuan, Saya tidak tahu. Saya belum melihat Nyonya sejak pagi tadi." Terdengar nada gugup di suara pelayan yang menjawab Dewa. Raut wajah Dewa semakin berubah menjadi dingin setelah mendengar jawaban itu. Dewa mengambil ponselnya dari saku dan menekan sebuah tombol panggilan cepat. "Mas Dewa," sahut orang di sebrang telepon. Napas Rania terengah-engah, seperti baru menyelesaikan lari marathon 10 km. "Kamu dimana, R
Sepulang dari hotel bersama dengan Manendra, Rania melihat suaminya berada tak jauh dari tempatnya saat ini. "Mas Dewaaaa!" Rania memekik dan berlari, hendak memeluk Dewa yang sedang berada di halaman rumah. Namun kakinya malah tersandung dan membuatnya jatuh. "Awhhh!" Shafa melotot, dia buru-buru menghampiri Rania yang tersungkur di rerumputan. "Mbak, Mbak enggak papa 'kan?" tanya Shafa. Dia berniat membantu Rania untuk berdiri akan tetapi istri pertama Dewa itu malah mendorong kedua bahu Shafa sampai Shafa terduduk di atas rumput. "Dasar monyet. Enggak usah sentuh-sentuh, aku jijik sama kamu. Kamu itu cuma pelakor," bisik Rania di depan wajah Shafa, tangan kanannya mencubit dan memelintir lengan Shafa. Shafa merasa sedih diperlakukan seperti itu, namun tidak dapat berbuat apa pun. Matanya melirik ke arah Dewa yang menunjukan wajah datar. Shafa menghela nafas. Baru dua hari pernikahannya, namun dirinya sudah diperlakukan begitu buruk oleh suaminya dan istri pertama
Shafana sudah kembali ke rumah. Dia merasa hampa dan kosong karena kamar yang dia tempati nyatanya terasa begitu asing, tidak ada barang-barang miliknya. “Apa? Kenapa kamu jual laptop aku Kak Naura?” Shafa terisak mendengar penuturan Naura lewat telepon. Tadi Shafa berniat meminta tolong untuk mengirimkan barang-barang pribadinya ke rumah Dewa, karena pernikahannya yang mendadak, Shafa belum sempat membawa semuanya. Namun, baru berapa hari ia menikah, Naura sudah berani menjual barangnya tanpa ijin. Yang membuat Shafa menjadi kecewa adalah karena isi di laptop itu. Di dalamnya terdapat draft naskah cerita yang perlu ia lanjutkan. Memang dirinya tidak pernah memberitahukan pada siapa pun bahwa ia adalah penulis buku. “Bukan begitu Bu...tapi-“ Shafa menelan kata-katanya. Fariha kini membela Naura dan justru berbalik mengatai Shafa perhitungan. "Kakak kamu lagi butuh uang, situasinya mendesak, Shafa. Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada Naura. Kamu bisa masuk keluarga
Shafana berhenti di depan suaminya. Napas yang masih terengah tidak membuat dia mengambil jeda saat berbicara. "Mas jangan salah paham, aku enggak tahu kenapa Bang Nendra ada di sini. Aku hanya---." "Apa yang berusaha kamu jelaskan, Shafa!" sarkas Dewa. "Kamu ingin menghina saya!" "Apa?" kaget Shafana. Dia nampak sangat kebingungan saat ini. Namun, Dewa tidak memperdulikan hal itu, kursi rodanya sudah semakin menjauh. "Astaghfirullah, aku lupa kalau Mas Dewa buta," lirih Shafana. "Tapi kenapa aku merasa kalau dia melihat semuanya. Ya ampun, aku terlalu ceroboh, sekarang aku harus gimana." "Tuan Muda, Non Shafa sepertinya tidak sengaja, saya yakin Non Shafa tidak bermaksud menghina Tuan Muda, kata Roy. "Mungkin Non Shafa belum terbiasa." "Tidak perlu menjelaskan hal tidak penting!" Roy mengangguk, dia meminta maaf karena sudah membuat Dewa semakin tidak nyaman. "Batalkan apa yang saya minta sebelumnya." "Tapi, Tuan---." "Saya bilang batalkan, Roy. Tidak perlu men
"Saya mendapatkan e-mail untuk rapat hari ini," kata Dewa. Ia menggerakkan tangannya agar Roy menyingkir dulu. "Maaf Pak Dewa, kehadiran Anda di sini tidak akan bisa merubah apapun," kata salah satu petinggi. Nalani mencengkram kuat kepalan tangannya. Rapat ini pasti sudah diatur seseorang, tidak mungkin mereka berbondong-bondong menyerukan hal yang sama jika tidak membuat rencana sebelumnya. "Jika kalian berpikir kalau orang disabilitas tidak bisa memimpin perusahaan, saya rasa itu tidak adil." Dewa tersenyum. Mereka semua kembali terdiam. Tidak ada yang berani menyahut ucapan Dewananda. "Roy!" panggil Dewa. Pria itu mengangguk, dia mengambil remot kecil untuk menghidupkan proyektor di ruangan itu. "Ini adalah data kenaikan harga saham setelah Pak Dewa mengalami kecelakaan, sempat turun dua persen, tapi setelah dua bulan, harga saham kembali naik tiga setengah persen." Orang-orang yang memperhatikan layar monitor itu kembali saling berbisik. "Untuk penjualan,
"Fokus pada pekerjaanmu!" Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung. "Pak tapi, ini masalah penting, saya—." "Diam atau keluar dari ruangan saya!" Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama. Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris. Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti. "Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy. Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana. "Bacakan!" "Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemud
Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya. Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja. Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan. "Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa." Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami. "Apa yang kau lakukan!" "Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu. "Panggil Roy." Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang