Saat pagi menjelang, Shafa segera membantu pelayan untuk menyiapkan makanan. Sebelumnya ia berusaha membantu Dewa, namun suaminya justru malah mengusirnya dari kamar dan tidak mau menerima semua bantuan yang Shafa berikan.
Tak lama Dewa sudah tiba di ruang makan. Shafa cukup kagum, karena merasa Dewa sangat mandiri meskipun dirinya buta. Dewa berdehem, membuat para pelayan merasa kebingungan. “Dimana Rania?” Shafa sendiri sejak pagi tidak melihat kehadiran istri pertama suaminya itu, sehingga dia hanya bisa diam dan tidak menjawab pertanyaan Dewa. “Maaf Tuan, Saya tidak tahu. Saya belum melihat Nyonya sejak pagi tadi." Terdengar nada gugup di suara pelayan yang menjawab Dewa. Raut wajah Dewa semakin berubah menjadi dingin setelah mendengar jawaban itu. Dewa mengambil ponselnya dari saku dan menekan sebuah tombol panggilan cepat. "Mas Dewa," sahut orang di sebrang telepon. Napas Rania terengah-engah, seperti baru menyelesaikan lari marathon 10 km. "Kamu dimana, Ran?" tanya Dewa pada istri pertamanya. "Aku lagi olahraga pagi, Mas. Mas Dewa lagi apa? Udah sarapan? Monyet peliharaan kamu udah bangun, dia enggak ngapa-ngapain kamu kan?" Salah satu tangan Dewa mengepal kuat, mendengar napas Rania di sebrang telepon membuat kepalanya panas. Dia bukan tidak tahu, hanya saja, berusaha menutupi itu. "Ya udah, Mas. A-aku tutup dulu ya, mau ke kamar mandi dulu, sakit perut. Bye, muach!" Rania langsung menutup telepon dengan buru-buru. Dewa menggertakan giginya mendengar hal itu. Di sisi lain Rania, kembali melanjutkan aktifitasnya setelah menutup telepon. "Keterlaluan kamu, Rania. Kamu memberikan playing kiss pada pria lain saat sedang berhubungan denganku?" Seorang pria dengan tubuh tegap menatap kesal Rania. "Sayang," sahut Rania dengan susah payah, dia berusaha mendorong dada Manendra tapi tenaga pria di atas tubuhnya benar-benar sangat kuat. "Ah-aku, melakukan itu karenah, aku enggak mau dia curigah, Babe." "Oh, enggak mau curiga," sarkas Manendra. "Oke, kamu memang minta dihukum, Rania." Dengan gerakan cepat Manendra membalik tubuh seksi istri kakaknya sendiri. Pria itu sama sekali tidak segan menghujam wanita yang seharusnya tidak dia sentuh. Bukan malu atau merasa bersalah, Rania pun terlihat sangat menikmati apa yang sedang mereka lakukan. Olaraga pagi yang dia katakan pada suaminya tidak lain adalah mengadu peluh bersama dengan adik iparnya sendiri. Keduanya melepaskan longlongan seperti serigala setelah ledakan yang kesekian kali terjadi. Bukan hanya pagi, mereka sudah melakukannya sejak malam, tapi selalu merasa tidak puas dan menginginkan lagi dan lagi. "Eumm, kamu memang yang terbaik, Ndra." "Hebat mana aku sama suami kamu, Sayang?" tanya Manendra setelah membaringkan tubuhnya di samping Rania. “Jelas kamu,” jawab Rania dengan nada penuh menggoda. ** ** ** "Ah, panas." Shafa meringis saat bubur yang ditumpahkan suaminya mengenai sedikit punggung tangannya. Mata perempuan itu mulai berkaca-kaca. Entah apa yang mengganggu pikiran Dewa, tepat setelah dia selesai menelpon, Dewa tiba-tiba mengamuk. Dewa terdiam, kesal, marah, semuanya bercampur menjadi satu. Kebaikan Shafana, bukan membuat dia lebih tenang malah menjadi bensin yang disiramkan ke bara api. “Saya bilang jangan sentuh saya!” seru Dewa. "Nggih, Mas," sahut Shafana lirih. Dewa begitu memperhatikan istri pertamanya tapi memperlakukan Shafa seperti manusia yang terjangkit penyakit menular. "Kamu harus sadar diri, Shafa. Kamu cuma istri simpanan," batin Shafana melihat Dewa yang kini sudah menjauh dan kembali ke kamarnya. Dewa menggeram kesal. Lima tahun menikah dengan Rania, awalnya dia pikir Rania tulus mencintainya. Wanita itu benar-benar terlihat baik. Namun, siapa sangka jika ternyata Rania dengan berani berselingkuh di belakangnya. Dewa tersenyum sinis begitu ingatannya kembali pada empat bulan yang lalu, hari pertama dimana Dewa menangkap basah perselingkuhan Rania dan Manendra, adik seayahnya. Dewa yang terbangun subuh hari, mendapati Rania istrinya tidak berada di sampingnya. Dirinya meraih kursi roda dan mencoba mencari keberadaan Rania. Siapa sangka Dewa justru malah mendengar suara desahan Rania. "Oh, Nendra lebih cepet!" Di atas tubuh Rania ada seorang pria, mereka berdua sama-sama full naked. Di atas sofa di ruang karoke dengan pintu terbuka, mereka terlihat begitu intim. "Tahan sebentar, kita keluarkan bersama." Hati Dewa mencelos, bajingan dan jalang yang ada di depannya ternyata adik dan istrinya. Rania, wanita itu mengkhianatinya bahkan saat beberapa minggu lagi mereka akan merayakan ulang tahun pernikahan. Dewa yang tidak terima dikhianati, mulai merencanakan untuk membalas dendam pada keduanya dengan perlahan dan dengan cara yang paling menyakitkan dan memalukan. "Rania!" panggil Dewa. Kedua manusia yang hampir mencapai puncaknya itu terdiam, mereka mematung melihat Dewa yang ada di ruangan tersebut. Namun, hanya untuk beberapa detik karena detik berikutnya Manendra kembali menghujam kakak iparnya. Mereka yakin bahwa Dewa tidak dapat melihat mereka. "Babe," bisik Rania, dia menggeleng, meminta Manendra untuk tidak bergerak. "Kepalang tanggung, Sayang." "Rania, kamu di sini?" tanya Dewa pura-pura tidak melihatnya. Setelah kecelakaan yang menimpanya, Dewa memutuskan untuk pura-pura buta. Dia ingin menjebak dan mencari tahu pelaku yang melakukan hal itu. Siapa sangka, Dewa justru juga mendapati perselingkuhan istrinya sendiri. Dewa meraba apapun yang ada di dekatnya dan dengan sengaja memecahkan sebuah asbak tebal. Keadaan di kamar kedua yang temaram menjadi semakin gelap di mata Dewa. "Bagaimana ini?" kesal Rania. "Jawab aja! Aku selesai," kata Manendra lega setelah mendapatkan pelepasan. "Bajingan, " kesal Rania sambil mendorong Manendra. Pria itu tersenyum kemudian mencuri ciuman kekasihnya itu. Rania kemudian menghampiri Dewa dengan suara parau, bertingkah seolah baru bangun tidur padahal sedang mengenakan pakaian. "Mas Dewa, kenapa ke sini?" tanya Rania mendekati suaminya. Dia menyentuh punggung tangan Dewa tapi suaminya itu menghindar secara halus. "Aku mau tidur, bereskan pecahan kacanya!" titah Dewa. Rania tertohok, dia tersenyum miris seraya melihat punggung Dewananda yang sudah mulai menjauh. "Awas saja kamu Dewa. Tunggu sampai Nendra menggantikanmu menjadi CEO!" gumam Rania sambil mengepalkan kedua tangannya.Sepulang dari hotel bersama dengan Manendra, Rania melihat suaminya berada tak jauh dari tempatnya saat ini. "Mas Dewaaaa!" Rania memekik dan berlari, hendak memeluk Dewa yang sedang berada di halaman rumah. Namun kakinya malah tersandung dan membuatnya jatuh. "Awhhh!" Shafa melotot, dia buru-buru menghampiri Rania yang tersungkur di rerumputan. "Mbak, Mbak enggak papa 'kan?" tanya Shafa. Dia berniat membantu Rania untuk berdiri akan tetapi istri pertama Dewa itu malah mendorong kedua bahu Shafa sampai Shafa terduduk di atas rumput. "Dasar monyet. Enggak usah sentuh-sentuh, aku jijik sama kamu. Kamu itu cuma pelakor," bisik Rania di depan wajah Shafa, tangan kanannya mencubit dan memelintir lengan Shafa. Shafa merasa sedih diperlakukan seperti itu, namun tidak dapat berbuat apa pun. Matanya melirik ke arah Dewa yang menunjukan wajah datar. Shafa menghela nafas. Baru dua hari pernikahannya, namun dirinya sudah diperlakukan begitu buruk oleh suaminya dan istri pertama
Shafana sudah kembali ke rumah. Dia merasa hampa dan kosong karena kamar yang dia tempati nyatanya terasa begitu asing, tidak ada barang-barang miliknya. “Apa? Kenapa kamu jual laptop aku Kak Naura?” Shafa terisak mendengar penuturan Naura lewat telepon. Tadi Shafa berniat meminta tolong untuk mengirimkan barang-barang pribadinya ke rumah Dewa, karena pernikahannya yang mendadak, Shafa belum sempat membawa semuanya. Namun, baru berapa hari ia menikah, Naura sudah berani menjual barangnya tanpa ijin. Yang membuat Shafa menjadi kecewa adalah karena isi di laptop itu. Di dalamnya terdapat draft naskah cerita yang perlu ia lanjutkan. Memang dirinya tidak pernah memberitahukan pada siapa pun bahwa ia adalah penulis buku. “Bukan begitu Bu...tapi-“ Shafa menelan kata-katanya. Fariha kini membela Naura dan justru berbalik mengatai Shafa perhitungan. "Kakak kamu lagi butuh uang, situasinya mendesak, Shafa. Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada Naura. Kamu bisa masuk keluarga
Shafana berhenti di depan suaminya. Napas yang masih terengah tidak membuat dia mengambil jeda saat berbicara. "Mas jangan salah paham, aku enggak tahu kenapa Bang Nendra ada di sini. Aku hanya---." "Apa yang berusaha kamu jelaskan, Shafa!" sarkas Dewa. "Kamu ingin menghina saya!" "Apa?" kaget Shafana. Dia nampak sangat kebingungan saat ini. Namun, Dewa tidak memperdulikan hal itu, kursi rodanya sudah semakin menjauh. "Astaghfirullah, aku lupa kalau Mas Dewa buta," lirih Shafana. "Tapi kenapa aku merasa kalau dia melihat semuanya. Ya ampun, aku terlalu ceroboh, sekarang aku harus gimana." "Tuan Muda, Non Shafa sepertinya tidak sengaja, saya yakin Non Shafa tidak bermaksud menghina Tuan Muda, kata Roy. "Mungkin Non Shafa belum terbiasa." "Tidak perlu menjelaskan hal tidak penting!" Roy mengangguk, dia meminta maaf karena sudah membuat Dewa semakin tidak nyaman. "Batalkan apa yang saya minta sebelumnya." "Tapi, Tuan---." "Saya bilang batalkan, Roy. Tidak perlu men
"Saya mendapatkan e-mail untuk rapat hari ini," kata Dewa. Ia menggerakkan tangannya agar Roy menyingkir dulu. "Maaf Pak Dewa, kehadiran Anda di sini tidak akan bisa merubah apapun," kata salah satu petinggi. Nalani mencengkram kuat kepalan tangannya. Rapat ini pasti sudah diatur seseorang, tidak mungkin mereka berbondong-bondong menyerukan hal yang sama jika tidak membuat rencana sebelumnya. "Jika kalian berpikir kalau orang disabilitas tidak bisa memimpin perusahaan, saya rasa itu tidak adil." Dewa tersenyum. Mereka semua kembali terdiam. Tidak ada yang berani menyahut ucapan Dewananda. "Roy!" panggil Dewa. Pria itu mengangguk, dia mengambil remot kecil untuk menghidupkan proyektor di ruangan itu. "Ini adalah data kenaikan harga saham setelah Pak Dewa mengalami kecelakaan, sempat turun dua persen, tapi setelah dua bulan, harga saham kembali naik tiga setengah persen." Orang-orang yang memperhatikan layar monitor itu kembali saling berbisik. "Untuk penjualan,
"Fokus pada pekerjaanmu!" Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung. "Pak tapi, ini masalah penting, saya—." "Diam atau keluar dari ruangan saya!" Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama. Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris. Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti. "Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy. Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana. "Bacakan!" "Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemud
Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya. Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja. Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan. "Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa." Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami. "Apa yang kau lakukan!" "Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu. "Panggil Roy." Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang
Selama perjalanan pulang, Shafana tidak berani lagi menatap Dewa atau berdekatan dengannya. Wanita itu tidak bisa mendekati suaminya karena jantungnya masih berdebar kencang. Dewa sendiri terlihat acuh tak acuh seolah ciuman itu tidak berarti sama sekali. Andai dia tahu bagaimana gelisahnya Shafana saat Ini, Dewa pasti akan menyesal karena sudah memarahi istrinya setelah mencuri ciuman pertama sang istri.Pikiran Shafana melayang ke mana-mana. Situasi ini, jika dia jatuh cinta kepada Dewananda, dia akan menjadi orang ketiga, dia mungkin tidak akan memafkan dirinya sendiri kalau sampai menjadi perusak hubungan Dewa dan istri pertamanya. "Tuan Muda, Non Shafa, kita sudah sampai," kata Roy. Shafana terperanjat, dia langsung turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah. Roy tersenyum, hal itu membuat Dewa menatap sinis dirinya. "Fokus pada tugasmu, Roy.""Baik Tuan Muda.""Dewa."Seorang wanita menyambut kepulangan anaknya. Lebih tepatnya anak sambung. Putri, wanita itu
"Mas Dewa," gumam Shafana. "Saya tidak pernah menyukai orang lemah." Mencelos, mata Shafana berkaca-kaca. Mudah bagi Dewa untuk mengatakan itu, tapi tidak mungkin baginya untuk melawan Putri dan Rania. Di sini dilah yang salah. "Mas Dewa," panggil Shafana. Dia berdiri di depan suaminya. "Mas, mungkin besok aku harus pergi ke suatu tempat, aku akan terlambat ke perusahaan, aku---." "Tidak ada yang membutuhkanmu," katanya dingin. Kembali Shafana hanya bisa tersenyum. Setidaknya dia sudah meminta izin. "Aku anggap Mas Dewa sudah memberikan izin," kata Shafana dengan nada ceria. Roy yang mendorong kursi roda Dewa tersenyum, dia senang karena Shafana tidak menyerah pada Dewananda. ** ** Suara ketukan di pintu kamar Shafana terdengar, padahal saat itu dia sudah bersiap pergi ke kamar mandi untuk tidur. "Maaf, Non." Roy tersenyum setelah Shafana membuka pintu kamar. "Waktu itu, Tuan Muda meminta saya untuk mencarikan ini." Roy memberikan laptop lama Shafana. "Alhamdulillah, i