Share

8. Jangan Melampaui Batas!

"Fokus pada pekerjaanmu!"

Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung.

"Pak tapi, ini masalah penting, saya—."

"Diam atau keluar dari ruangan saya!"

Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama.

Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris.

Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti.

"Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy.

Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana.

"Bacakan!"

"Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemudian mengangguk. "Baik, Pak."

"Saya tidak tuli."

Shafana menoleh, dia lagi-lagi terkejut tapi kemudian mengangguk dan mulai mengecilkan suaranya.

"Pak, untuk tanah yang ini." Shafana ragu. "Menurut saya, ada beberapa hal yang janggal, lokasinya terlalu strategis, tapi harga jualnya dibawah harga seharusnya."

"Kamu belajar ilmu ekonomi?" tanyanya dingin.

"Bukan, Pak. Saya kuliah jurusan psikologi."

"Jangan melampaui batas, Shafana."

"Ba-baik, Pak."

Di balik kacamatanya, pria itu menatap Shafana sekilas kemudian menatap berkas yang baru saja dibicarakannya.

** **

"Selidiki itu!" titah Dewa pada Roy. Dia melemparkan salah satu berkas di atas mejanya.

Roy tidak banyak bertanya, jika Dewa sudah memberikan perintah seperti itu, biasanya memang ada sesuatu yang janggal.

"Pak Roy." Shafana yang baru membuka pintu menyapa. Dia kembali berjalan menghampiri suaminya, meletakan sebuah cangkir keramik di depan Dewananda.

"Saya diberitahu Oma kalau Mas Dewa harus meminum herbal ini."

"Ini kantor."

"Ma-af, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Shafana meruntuki kebodohannya sendiri. Dia belum terbiasa memanggil Dewa dengan dua sebutan berbeda.

Setelah duduk di samping suaminya, Shafana masih menatap pria itu, lagi-lagi dia tersenyum, aneh sekali bukan? Dia merasa kalau aura Dewa terlalu kuat. Bahkan dia yang sudah berusaha untuk menghindar pun tidak bisa melakukannya.

Dewananda berdehem, mambuat Shafana sedikit terperanjat dan kembali fokus pada laptop di depannya.

"Padahal buta, tapi kenapa aku seperti merasa kalau matanya bisa menatap tajam padaku," batin Shafana.

** **

Saat hampir menjelang pulang, pintu ruangan Dewa terbuka begitu saja. Seorang wanita cantik masuk, cara berjalannya, tatapan matanya, persis seperti model yang sedang marah.

Tentu saja, siapa yang tidak akan marah kalau suami dan istri keduanya berada di dalam satu ruangan seharian penuh.

"Mas!" panggil Rania. Dia mendekati Dewa, merangkul pundaknya dan memberikan kecupan singkat di pipi.

"Perhatikan sikapmu, Rania."

Wanita itu menghela napas, dia menatap sengit Shafana, wanita yang sengaja menunduk, pura-pura tidak terpengaruh.

"Mas Dewa." Rania memanggil dengan suara manjanya.

Dewa sebetulnya kesal, sejak malam itu, dia tidak pernah suka Rania menyentuhnya.

"Katakan."

"Mas, kenapa enggak bilang kalau Shafana kerja sama kamu."

"Mbak, saya mohon jangan salah paham kepada Pak Dewa, saya di sini bukan atas kemauannya Pak Dewa, saya diminta Oma untuk menjaga Pak Dewa."

"Shut up!" kesal Rania. "Apa aku bicara padamu?"

Dewa menarik ujung bibirnya, bukankah dua wanita ini sangat menjengkelkan? Namun, Dewa lebih senang mereka bertengkar, dia hanya ingin tahu, sampai mana mereka bisa pura-pura anggun di depannya.

Dewa sangat ingin melihat wujud asli kedua wanita ini.

"Mbak, saya mengatakan yang sebenarnya, sa-saya tidak mau Mbak Rani sama Pak Dewa berantem karena salah paham."

Mendengar namanya disebut, Rania meradang, dia tidak suka dipanggil seperti itu, Shafana harus memanggilnya lengkap, bukan Rani karena dia bukan pelakor yang merebut suami saudaranya sendiri.

Sudut bibir Rania tertarik ke atas. "Takut saya berantem sama Mas Dewa, atau kamu cemburu?"

"Cemburu, ma-mana mungkin, Mbak. Saya tidak akan cemburu." Ia gelagapan.

Kening Dewa mengerut samar, setelah menyinggungnya dengan mengatakan harus merawatnya, sekarang Shafana secara terang-terangan menghinanya. Dia tidak cemburu, bagimana jika itu Manendra, apa Shafana akan cemburu?

"Pulanglah!" kata Dewa.

Rania mengangkat bahunya, memberikan isyarat mengejek pada Shafana.

"Pulang dulu, Rania. Aku masih harus bekerja."

"Ma-s," protes Rania. Dia ingin sekali mendebat Dewananda tapi hal itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.

"Oke, aku pulang," katanya dengan nada sedih. Dia menunduk, mengecup bibir Dewa sekilas kemudian keluar dari sana.

Pintu ruangan itu tertutup, tapi api di dada Dewa mulai membara.

"Shafana!" panggil Dewa. Suaranya sangat rendah tapi begitu mengintimidasi.

"Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu kemudian berdiri. Namun, belum apa-apa, Dewa sudah menarik tangannya, pria itu membuat Shafana duduk di atas pangkuan.

Bola mata Shafana mulai bergerak gelisah, dia meringis saat lengannya dicengkram erat, membuatnya seperti didekap sangat kuat. Yang lebih parah, tangan kanan Dewa mencengkram rahangnya. Jantung Shafana semakin berdebar, tubuhnya mendadak lemas begitu saja.

"Pak De-wa, apa yang Bapak lakukan?"

"Kenapa? Kamu takut?" gumam pria itu dingin.

Tangan dan kaki Shafana bergetar pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Sakit, lengan dan rahangnya seperti akan remuk jika Dewa tidak segera melepaskannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
jangan galak dong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status